Cerpen
: Indri
I
|
ni tentang seseorang yang sering kutemui, Teman. Dia adalah penjual buku
bekas dan bajakan. Sebelum toko bukunya digusur, dia adalah pemilik toko buku
besar tepat di pinggir jalan depan kampusku. Kami sering menemuinya, tapi tentu
bukan untuk bertanya kabarnya. Kami datang untuk bercengkrama dengan buku-buku
bajakannya. Bagi segelintir orang mungkin dia adalah seorang kriminal, tapi
tidak bagi kami. Bagi kami mahasiswa-mahasiswa yang tidak punya bulanan lebih
untuk membeli produk asli percetakan dari toko buku yang ber-AC itu, dia adalah
seorang pahlawan. Dengan harga yang jauh lebih murah, kami bisa mendapatkan
buku yang sama seperti yang terpajang di toko buku ber-AC itu darinya. Dan
bagiku, Teman, dia adalah sarjana tanpa gelar atau profesor tanpa sebuah
penelitian. Mengapa tidak, hampir seluruh buku yang kutanyakan padanya dia tahu,
bahkan dia mampu menceritakan kembali isi-isi buku itu.
Ini kisahnya padaku, tentang salah satu hari terburuk
baginya, saat segerombolan Satpol PP datang seperti malaikat pencabut nyawa
yang tanpa pikir panjang langsung melaksanakan tugas yang diamanahkan pada
mereka. Toko buku itu rata dengan tanah. Dia ingin membela diri, tapi apa daya,
dia tidak memiliki bukti hitam di atas putih yang disyahkan materai enam ribu
dan bertanda tangan tentang hak milik atas tanah tempat bangunannya berdiri.
Dia hanya bisa mengusap dadanya dalam-dalam saat menyaksikan satu-satunya tempat
untuknya menyambung hidup diporak-porandakan oleh mereka yang mengaku pembela
rakyat itu.
Aku melihatnya, Teman, menyaksikan buldoser yang
seperti raksasa itu menggulung keping demi keping toko bukunya. Aku melihatnya,
si gempal berkumis tebal itu berlari berlomba dengan tangan-tangan buldoser
mengutip serakan buku-buku bekasnya. Aku melihatnya, si suara kasar yang baik
hati itu duduk membatu di atas tumpukan-tumpukan buku yang sempat ia
selamatkan. Aku melihatnya, si senyum lebar yang mengembang itu, sayu terpuruk.
Hari itu hidupnya mengajarkanku tentang yang salah belum tentu bersalah,
pernahkah kau tanyakan mengapa yang salah melakukan hal yang salah, apakah
sepenuhnya yang salah bersalah?
Sejak hari itu namanya sempat lesap. Kami
pontang-panting ke sana kemari mencari tempat yang mengerti keadaan kami, yang
mau menyediakan produk yang kami inginkan seperti yang dipajang di toko buku
ber-AC itu dengan harga miring tentunya. Tempat seperti itu memang disediakan
oleh kota ini, tapi pelayanannya berbeda, Teman. Kami tidak bisa membaca buku berjam-jam
di tempat itu tanpa harus membelinya, dan masih untung kami tidak dilempar
dengan makian pedagang yang kesal karena buku yang kami baca berjam-jam itu
tidak jadi dibeli.
Sedangkan di tempatnya berbeda. Kau akan tahu kalau
kau sendiri yang mencobanya. Dia sangat humoris, meski saat pandangan pertama
kau sempat ditakutkan oleh kumis tebal yang hampir menutupi bibir atasnya
dengan perut gempal yang selalu terbuka. Tapi semua itu akan terganti saat dia
sudah mulai berbicara dan kau akan langsung tahu kalau pria berlogat Batak
kental ini sangat bersahabat.
Di tempatnya, kau tidak perlu berdiri berjam-jam
saat membaca hingga betis-betismu meronta, karena dia sangat mengerti
kebutuhanmu. Meski hanya papan panjang yang ditopang empat kaki itu yang mampu
disediakannya tapi kupastikan betismu akan sangat berterima kasih karena itu.
Satu semester kami kehilangan dirinya. Kini dia hadir
dalam wujud yang berbeda. Tentang wujud bukan maksudku pada dirinya, Teman. Dia
masih sama, masih dengan kumis tebalnya, masih dengan perut gempalnya yang selalu
terbuka, masih dengan senyum ramahnya, dan masih dengan logat Bataknya yang
bersahabat
Ini tentang toko bukunya. Kau pernah dengar
tentang toko berjalan, kalau tidak maka kau akan melihat toko bukunya bisa
berjalan. Karena ia menyulap mobil kap terbukanya menjadi sebuah toko buku.
Alasannya sederhana, jika segerombolan berseragam coklat krim itu datang lagi
maka dia dan toko bukunya bisa melarikan diri. Senyumku sedikit mengembang saat
dia mengatakan hal itu padaku.
Pertemuan itu sangat berkesan bagiku, Teman,
kenapa tidak hari itu ia memuntahkan kekesalannya pada kami. Bukan karena kami
tidak membeli bukunya padahal buku itu telah kami baca berjam-jam, bukan pula
karena kami selalu menawar harga lebih dari batas keuntungannya, tapi karena
kami mahasiswa. Kau pasti bertanya kan apa yang salah jika kami mahasiswa.
Tapi, ini benar, Teman, alasannya karena kami mahasiswa.
”Macam mananya kalian? Mahasiswa. Tapi tak ada
beraninya kalian. Orang jualan buku digusur, tempat mojok-mojok dibiarkan, tapi
kalian diam aja. Mahasiswa kayak gitu? Tak ada mahasiswa kayak gitu.”
Jika kau di posisi kami apa yang akan kaukatakan
padanya, Teman? Kupastikan kau lebih memilih diam. Benar, kami juga melakukan
hal itu. Kami hanya diam, menelan semua muntahan kekesalannya. Paling tidak
sedikit meringis, menertawakan diri sendiri. Karena bagaimanapun, apa yang
dikatakannya itu benar.
”Ah...percuma
aku becakap kayak gini sama kalian, jangankan mau membela orang lain, membela
diri kalian sendiri aja kalian tak bisa. Buktinya tak ada mahasiswa yang berani
nolak kalau dosennya jualan diktat, padahal samanya isinya dari zaman
kakak-kakak kelas kalian dulu. Mana mau orang itu kalau kalian foto kopi yang
punya kakak-kakak kalian itu. Makan kalianlah apa yang dikasih orang itu.”
***
Langit bersorak melihat tingkahnya. Sedikit konyol.
Dan senyumku kembali mengembang karena itu.
Hari itu, hari setelah beberapa bulan ia berjualan
dengan wujud yang berbeda. Segerombolan seragam krim itu datang lagi. Masih
dengan tugas yang sama, menyingkirkan mereka yang dianggap memenuhi sudut kota
ini. Dia kembali berlari, kali ini berbeda, dia tidak perlu repot-repot
berlomba dengan tangan-tangan buldoser mengutip buku-bukunya, karena kali ini
saat dia melarikan diri serempak buku-bukunya ikut serta.
Dia benar-benar membuktikan ucapannya, Teman,
tentang toko bukunya yang ikut melarikan diri bersamanya. Aku kira itu hanya
salah satu guyonannya saja. Tapi itu benar. Dan seperti langit aku bersorak
untuknya.
Kusampaikan maaf darinya untuk petugas negara
berseragam krim yang terlihat dipermainkan. Maaf jika memang dia salah. Tapi
tahukah kau mengapa ia melakukan hal yang salah? Apa menurutmu ia sepenuhnya
bersalah?
Benar negara ini menyediakan banyak hal untuk
rakyatnya. Tapi pernahkah kau bertanya, apakah mereka benar-benar mencicipinya?
Setidaknya dia berusaha. Paling tidak, untuk
menyambung hidupnya dan keluarganya. Apa kau lebih suka melihat mereka meminta
belas kasihan dari orang lain, berdiri di level terendah derajat manusia.
Bagiku aku lebih suka melihat mereka seperti itu. Bermain kucing-kucingan
dengan mereka yang mengaku penegak hukum itu.
***
”Yang namanya ilmu itu kalau uda ada manfaatnya
untuk orang itu baru namanya ilmu, kalau masih di buku, masih di otak, itu
bukan ilmu, itu hafalan. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi tapi tak satu pun ilmu
kalian itu bisa dimanfaatkan sama orang lain.”
Itu guyonannya, Teman, tapi tidak bagiku. Bagiku
itu tamparan darinya. Tentang ilmu yang harus kupertanggungjawabkan. Tentang
ilmu yang tidak kudapatkan dari bangku kuliahku, tapi darinya. Darinya, orang
yang bagi segelintir orang dipandang kriminal itu, Teman. Ini tentangnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar