Kamis, 31 Oktober 2013

TENTANGNYA PADAKU (Sabtu, 28 September 2013)

Cerpen : Indri


I
ni tentang seseorang yang sering kutemui, Teman. Dia adalah penjual buku bekas dan bajakan. Sebelum toko bukunya digusur, dia adalah pemilik toko buku besar tepat di pinggir jalan depan kampusku. Kami sering menemuinya, tapi tentu bukan untuk bertanya kabarnya. Kami datang untuk bercengkrama dengan buku-buku bajakannya. Bagi segelintir orang mungkin dia adalah seorang kriminal, tapi tidak bagi kami. Bagi kami mahasiswa-mahasiswa yang tidak punya bulanan lebih untuk membeli produk asli percetakan dari toko buku yang ber-AC itu, dia adalah seorang pahlawan. Dengan harga yang jauh lebih murah, kami bisa mendapatkan buku yang sama seperti yang terpajang di toko buku ber-AC itu darinya. Dan bagiku, Teman, dia adalah sarjana tanpa gelar atau profesor tanpa sebuah penelitian. Mengapa tidak, hampir seluruh buku yang kutanyakan padanya dia tahu, bahkan dia mampu menceritakan kembali isi-isi buku itu.
Ini kisahnya padaku, tentang salah satu hari terburuk baginya, saat segerombolan Satpol PP datang seperti malaikat pencabut nyawa yang tanpa pikir panjang langsung melaksanakan tugas yang diamanahkan pada mereka. Toko buku itu rata dengan tanah. Dia ingin membela diri, tapi apa daya, dia tidak memiliki bukti hitam di atas putih yang disyahkan materai enam ribu dan bertanda tangan tentang hak milik atas tanah tempat bangunannya berdiri. Dia hanya bisa mengusap dadanya dalam-dalam saat menyaksikan satu-satunya tempat untuknya menyambung hidup diporak-porandakan oleh mereka yang mengaku pembela rakyat itu.
Aku melihatnya, Teman, menyaksikan buldoser yang seperti raksasa itu menggulung keping demi keping toko bukunya. Aku melihatnya, si gempal berkumis tebal itu berlari berlomba dengan tangan-tangan buldoser mengutip serakan buku-buku bekasnya. Aku melihatnya, si suara kasar yang baik hati itu duduk membatu di atas tumpukan-tumpukan buku yang sempat ia selamatkan. Aku melihatnya, si senyum lebar yang mengembang itu, sayu terpuruk. Hari itu hidupnya mengajarkanku tentang yang salah belum tentu bersalah, pernahkah kau tanyakan mengapa yang salah melakukan hal yang salah, apakah sepenuhnya yang salah bersalah?
Sejak hari itu namanya sempat lesap. Kami pontang-panting ke sana kemari mencari tempat yang mengerti keadaan kami, yang mau menyediakan produk yang kami inginkan seperti yang dipajang di toko buku ber-AC itu dengan harga miring tentunya. Tempat seperti itu memang disediakan oleh kota ini, tapi pelayanannya berbeda, Teman. Kami tidak bisa membaca buku berjam-jam di tempat itu tanpa harus membelinya, dan masih untung kami tidak dilempar dengan makian pedagang yang kesal karena buku yang kami baca berjam-jam itu tidak jadi dibeli.
Sedangkan di tempatnya berbeda. Kau akan tahu kalau kau sendiri yang mencobanya. Dia sangat humoris, meski saat pandangan pertama kau sempat ditakutkan oleh kumis tebal yang hampir menutupi bibir atasnya dengan perut gempal yang selalu terbuka. Tapi semua itu akan terganti saat dia sudah mulai berbicara dan kau akan langsung tahu kalau pria berlogat Batak kental ini sangat bersahabat.
Di tempatnya, kau tidak perlu berdiri berjam-jam saat membaca hingga betis-betismu meronta, karena dia sangat mengerti kebutuhanmu. Meski hanya papan panjang yang ditopang empat kaki itu yang mampu disediakannya tapi kupastikan betismu akan sangat berterima kasih karena itu.
Satu semester kami kehilangan dirinya. Kini dia hadir dalam wujud yang berbeda. Tentang wujud bukan maksudku pada dirinya, Teman. Dia masih sama, masih dengan kumis tebalnya, masih dengan perut gempalnya yang selalu terbuka, masih dengan senyum ramahnya, dan masih dengan logat Bataknya yang bersahabat
Ini tentang toko bukunya. Kau pernah dengar tentang toko berjalan, kalau tidak maka kau akan melihat toko bukunya bisa berjalan. Karena ia menyulap mobil kap terbukanya menjadi sebuah toko buku. Alasannya sederhana, jika segerombolan berseragam coklat krim itu datang lagi maka dia dan toko bukunya bisa melarikan diri. Senyumku sedikit mengembang saat dia mengatakan hal itu padaku.
Pertemuan itu sangat berkesan bagiku, Teman, kenapa tidak hari itu ia memuntahkan kekesalannya pada kami. Bukan karena kami tidak membeli bukunya padahal buku itu telah kami baca berjam-jam, bukan pula karena kami selalu menawar harga lebih dari batas keuntungannya, tapi karena kami mahasiswa. Kau pasti bertanya kan apa yang salah jika kami mahasiswa. Tapi, ini benar, Teman, alasannya karena kami mahasiswa.
”Macam mananya kalian? Mahasiswa. Tapi tak ada beraninya kalian. Orang jualan buku digusur, tempat mojok-mojok dibiarkan, tapi kalian diam aja. Mahasiswa kayak gitu? Tak ada mahasiswa kayak gitu.”
Jika kau di posisi kami apa yang akan kaukatakan padanya, Teman? Kupastikan kau lebih memilih diam. Benar, kami juga melakukan hal itu. Kami hanya diam, menelan semua muntahan kekesalannya. Paling tidak sedikit meringis, menertawakan diri sendiri. Karena bagaimanapun, apa yang dikatakannya itu benar.
 ”Ah...percuma aku becakap kayak gini sama kalian, jangankan mau membela orang lain, membela diri kalian sendiri aja kalian tak bisa. Buktinya tak ada mahasiswa yang berani nolak kalau dosennya jualan diktat, padahal samanya isinya dari zaman kakak-kakak kelas kalian dulu. Mana mau orang itu kalau kalian foto kopi yang punya kakak-kakak kalian itu. Makan kalianlah apa yang dikasih orang itu.”

***
Langit bersorak melihat tingkahnya. Sedikit konyol. Dan senyumku kembali mengembang karena itu.
Hari itu, hari setelah beberapa bulan ia berjualan dengan wujud yang berbeda. Segerombolan seragam krim itu datang lagi. Masih dengan tugas yang sama, menyingkirkan mereka yang dianggap memenuhi sudut kota ini. Dia kembali berlari, kali ini berbeda, dia tidak perlu repot-repot berlomba dengan tangan-tangan buldoser mengutip buku-bukunya, karena kali ini saat dia melarikan diri serempak buku-bukunya ikut serta.
Dia benar-benar membuktikan ucapannya, Teman, tentang toko bukunya yang ikut melarikan diri bersamanya. Aku kira itu hanya salah satu guyonannya saja. Tapi itu benar. Dan seperti langit aku bersorak untuknya.
Kusampaikan maaf darinya untuk petugas negara berseragam krim yang terlihat dipermainkan. Maaf jika memang dia salah. Tapi tahukah kau mengapa ia melakukan hal yang salah? Apa menurutmu ia sepenuhnya bersalah?
Benar negara ini menyediakan banyak hal untuk rakyatnya. Tapi pernahkah kau bertanya, apakah mereka benar-benar mencicipinya?
Setidaknya dia berusaha. Paling tidak, untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. Apa kau lebih suka melihat mereka meminta belas kasihan dari orang lain, berdiri di level terendah derajat manusia. Bagiku aku lebih suka melihat mereka seperti itu. Bermain kucing-kucingan dengan mereka yang mengaku penegak hukum itu.
***
”Yang namanya ilmu itu kalau uda ada manfaatnya untuk orang itu baru namanya ilmu, kalau masih di buku, masih di otak, itu bukan ilmu, itu hafalan. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi tapi tak satu pun ilmu kalian itu bisa dimanfaatkan sama orang lain.”
Itu guyonannya, Teman, tapi tidak bagiku. Bagiku itu tamparan darinya. Tentang ilmu yang harus kupertanggungjawabkan. Tentang ilmu yang tidak kudapatkan dari bangku kuliahku, tapi darinya. Darinya, orang yang bagi segelintir orang dipandang kriminal itu, Teman. Ini tentangnya. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar