Cerpen
: Suhairi Rachmad
S
|
ebenarnya, Ki
Sholeh tak pernah bermimpi menjadi penggali kubur. Mulanya, ia bekerja menjadi
pemulung di sekitar perumahan Batu Cendana, sekitar satu kilo meter ke arah Barat dari monumen kerapan sapi. Berkat bantuan Pak
Sudarman, Ki Sholeh beralih profesi, menjadi penggali kubur.
Keriput di wajahnya tak menciutkan nyali menjadi pekerja keras. Ia selalu
datang kapan saja; di pagi buta, di bawah
terik
mentari, bahkan di malam pekat. Aroma
tanah atau bayang-bayang
kematian mengiringi kelebat dan langkah
kaki ke mana ia pergi. Orang-orang selalu memanggilnya di saat ada
maut menimpa.
Kali ini, Ki Sholeh baru saja
menyelesaikan menggali sebuah liang kubur. Wajahnya
yang senja menyimpan beban yang teramat berat. Disekanya keringat yang meleleh
pada bagian leher dan jidatnya. Wajahnya mendongak ke atas menatap matahari yang
cemas. Beberapa tetes keringat menyerbu ujung lidah. Mulutnya mencecap hingga
terdengar dari jarak beberapa depa. Asin, desisnya.
Kedua belah tangannya
ditepuk-tepukkan pada bagian paha agar kotoran-kotoran yang menempel pada
telapaknya berjatuhan. Cangkul dan linggis yang tergeletak di bawah pohon
kamboja kini dikemasi.
Berapakah upah yang akan
diterima seorang penggali kubur? Ah, tentu tak banyak. Yang penting, Ki Sholeh
mampu mencari uang tambahan untuk membayar listrik, kontrakan rumah, membayar
hutang, dan uang saku si Sulung yang kini duduk di bangku esde. Ah, tentu ia
akan pulang ke rumah dengan senyum tersungging, disambut Nyi Sinten di halaman
rumah dengan anak semata wayangnya.
"Tentu Ki Sholeh
bawa uang banyak," sambut Nyi Sinten.
"Oh, iya,
tentu," sambung si Sulung.
Ki Sholeh tersenyum bangga.
Keringat dan debu tipis membedaki beberapa bagian kulitnya. Ia tercipta sebagai
penunggang kubur ulung. Begitu cepat. Bahkan seperti terbang di angkasa. Bola
matanya yang rabun seperti menangkap beberapa tetangga mengejarnya. Pun isteri
dan seorang anaknya membuntuti langkah kakinya. Maka, ia harus bekerja dan
bekerja. Menggali kubur lalu menerima upah sebagai buruh.
Kadang, Ki Sholeh ragu
meneruskan tugasnya sebagai penggali kubur. Nyalinya ciut ketika hidungnya
mencium aroma tanah berbaur dengan bau keringat sendiri. Sorot matanya menaruh
ragu. Ia seperti membenamkan diri pada sebuah kematian.
Pada kesempatan yang
berbeda, ia mendengar jerit anaknya yang sulung. Tentu masih dari dalam kubur. Ia
sadar. Ini bukan ilusi, tetapi serupa kabar atau pesan dari alam sana. Entahlah!
"Aku akan berhenti
menjadi penggali kubur." Ki Sholeh terpaksa mengutarakan hal ini kepada
isterinya, Nyi Sinten.
"Kenapa, Ki?" tanya
Nyi Sinten dengan sorot mata tajam.
"Aku hanya ingin
berhenti," lanjut Ki Sholeh tanpa alasan.
"Kalau Ki Soleh
berhenti, kita mau makan apa? Kebutuhan rumah tangga terus membengkak. Harga
sembako tak pernah turun. Apalagi, anak kita kan masih sekolah. Bagaimana kalau
ia nanti mogok belajar atau mogok sekolah gara-gara tak punya uang saku?
Mencari nafkah bagi keluarga bukankah merupakan ibadah, Ki?"
Ki Sholeh duduk tak
bergeming. Otaknya berimbun penat. Malam yang pekat ini seperti isyarat masa
depan yang gelap. Padahal, Ki Sholeh sudah puluhan tahun menjalani tugasnya
menggali kubur. Bahkan, beberapa tetangga desa sebelah selalu memanggilnya
untuk menggali kubur ketika ada yang meninggal.
"Aku sudah tua, Nyi. Aku merasa ajalku
sudah di ambang pintu." Ki Sholeh mencoba mencari alasan.
"Ah, itu kan
sekedar perasaan. Ki Sholeh kan sudah tahu bahwa ajal itu adalah Tuhan yang
menentukan?"
"Apalagi,
akhir-akhir ini, aku seperti mendengar jeritan si Sulung di dalam kubur, Nyi.
Aku seperti sengaja menyiapkan kematian bagi dia? Bukankah ini biadab, Nyi?
Pokoknya, aku harus berhenti menjalani tugas ini!"
Nyi Sinten ngakak.
Suaranya sangat lantang seperti mengejek perkataan Ki Sholeh. Tetapi, jika Ki
Sholeh berhenti menjadi penggali kubur, mau bekerja apalagi. Tak ada bekal
ijazah yang bisa diandalkan. Pun tak ada keahlian khusus untuk memerbaiki
nasibnya.
Keinginan Ki Sholeh
untuk berhenti menjadi penggali kubur tersiar ke penjuru desa. Entah siapa yang
mengabarkannya, entah angin apa yang menyebarkannya. Hingga bulan keempat sejak
keputusan itu bergetar dari mulut Ki Sholeh, tak ada panggilan untuk menggali
kubur. Uang listrik sudah tiga bulan menunggak. Otomatis, ia tak bisa menikmati
aliran sinarnya. Maka, ia harus menggunakan lampu templek dengan bahan bakar
minyak tanah yang biayanya juga tak kecil.
Ancaman bulan depan, ia
harus keluar dari rumah kontrakannya karena tak mampu membayar. Apalagi,
anaknya yang duduk di bangku sekolah tidak diperbolehkan menimba ilmu karena
tak mampu membayar biaya kegiatan ekstra dan biaya tour akhir tahun.
"Ayolah berdoa, Ki,
agar tetangga kita banyak yang meninggal dunia. Kalau tidak, kita bisa diusir
dari rumah ini!" pinta Nyi Sinten dengan wajah gusar.
"Mendoakan
kematian? Ah, usulmu terlalu konyol, Nyi."
"Tetapi kita harus
berusaha agar kita bisa bertahan hidup. Salahmu sendiri ingin berhenti menjadi
penggali kubur. Kadang-kadang, ucapan seseorang akan menjadi doa. Andaikan pada
waktu itu Ki Sholeh berkeinginan menjadi orang kaya, tentu saat ini kita
menjadi kaya raya."
Suara Nyi Sinten semakin
lantang. Si Sulung terdengar beberapa kali batuk. Sudah beberapa hari ini ia
terkulai lemas di atas dipan. Badannya panas. Batuk menyerang hampir semalam
penuh. Jika pagi menjemput, barulah batuknya sedikit reda. Namun, jika dingin
datang menyergap, batuknya semakin menjadi.
"Ayolah berdoa, Ki,
demi sebuah kematian. Pasti orang-orang akan menyuruh Ki Sholeh menggali kubur.
Lalu, kita bisa menyambung aliran listrik yang diputus, kita bisa membayar
kontrak rumah, dan bisa mengobati si Sulung yang sakit!" desak Nyi Sinten.
Ki Sholeh menatap
dalam-dalam kesungguhan perkataan perempuan yang selama ini menjadi pendamping
hidupnya. Derit rerimbun pohon bambu di belakang rumah seperti menguatkan
desakan isterinya itu. Namun, kali ini ia harus berhati-hati. Jangankan doa,
ucapan seseorang terkadang terkabulkan oleh Tuhan. Maka, sebelum memutuskan
atau mengikuti desakan Nyi Sinten, Ki Sholeh harus memertimbangkan masak-masak.
Hampir setiap saat suara
Nyi Sinten menggempur gendang telinga Ki Sholeh. Alasannya cukup logis; agar
bisa membayar uang listrik, membayar kontrakan rumah, dan bisa mengobati si
sulung yang diserang penyakit.
Tengah malam yang
dingin, Ki Sholeh memutuskan untuk kembali menjalani tugasnya sebagai penggali
kabur. Otomatis, ia harus mendoakan sebuah kematian. Entah siapa yang
mengabarkan, pagi yang buta, seorang tetangga desa datang terengah-engah
menemui Ki Sholeh. Setelah menyambar cangkul dan linggis, Ki Sholeh mengikuti
langkah orang tersebut menuju area kuburan. Dari balik tirai kamar, Nyi Sinten
menyungging senyum seraya mengantarkan langkah Ki Sholeh dengan raut wajah
berbinar.
Hari pertama kerja, Ki
Sholeh disambut petir dan guntur bersahut-sahutan. Demi sebuah ibadah, ia harus
tetap bekerja. Hujan pagi yang lebat melumuri seluruh tubuhnya dan membuat
becek area kuburan. Semangatnya yang baja tak akan membuat nyali Ki Sholeh
menjadi ciut. Demi seorang isteri dan seorang anaknya, tentu.
Deru angin semakin
kencang. Beberapa bunga kamboja berjatuhan. Hujan semakin deras. Petir dan guntur
semakin membelah angkasa. Namun, Ki Sholeh masih bertahan di tengah derasnya
guyuran air hujan. Kali ini, ia merasakan galian tanahnya teramat liat.
Genangan air hujan juga menghambat ujung linggis atau cangkul menancap pada
tanah kubur itu. Maka, untuk menyelesaikan sebuah liang lahat, ia memerlukan
waktu agak panjang. Di ujung usahanya, wajahnya tertanam sungging walaupun
tubuhnya penuh getar.
Hujan reda. Setengah
berlari, Ki Sholeh pergi meninggalkan area kuburan. Tangannya yang dingin
menggenggam lembar uang puluhan ribu. Tak diperhatikannya pakaiannya yang kuyup
dan tubuhnya yang dilumuri lumpur. Sesampainya di ujung halaman, dingin
tubuhnya berubah tegang. Ia melihat kerumunan orang di teras rumahnya. Sementara,
kedua telinganya menangkap suara Nyi Sholeh memanggil-manggil nama si Sulung.
Ki Sholeh tak perlu
bertanya kepada orang-orang tentang kejadian di rumah itu. Sebab, aroma kemenyan
yang menyeruak pada ruang hidungnya mengabarkan kepergian si sulung. Ia
menerobos kerumunan orang. Sementara, uang puluan ribu yang semula digenggam
kini terlepas dan berserakan di tanah. ***
Sumenep, 09 Desember 2011
Suhairi Rachmad lahir di Sumenep, Madura. Alumnus Fak. Sastra Universitas Jember- dan
mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Jember. Salah satu cerpennya
dimuat dalam Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar