Kamis, 31 Oktober 2013

PENGGALI KUBUR (Sabtu, 5 Oktober 2013)


Cerpen : Suhairi Rachmad


S
ebenarnya, Ki Sholeh tak pernah bermimpi menjadi penggali kubur. Mulanya, ia bekerja menjadi pemulung di sekitar perumahan Batu Cendana, sekitar satu kilo meter ke arah Barat dari monumen kerapan sapi. Berkat bantuan Pak Sudarman, Ki Sholeh beralih profesi, menjadi penggali kubur.
Keriput di wajahnya tak menciutkan nyali menjadi pekerja keras. Ia selalu datang kapan saja; di pagi buta, di bawah terik mentari, bahkan di malam pekat. Aroma tanah atau bayang-bayang kematian mengiringi kelebat dan langkah kaki ke mana ia pergi. Orang-orang selalu memanggilnya di saat ada maut menimpa.
Kali ini, Ki Sholeh baru saja menyelesaikan menggali sebuah liang kubur. Wajahnya yang senja menyimpan beban yang teramat berat. Disekanya keringat yang meleleh pada bagian leher dan jidatnya. Wajahnya mendongak ke atas menatap matahari yang cemas. Beberapa tetes keringat menyerbu ujung lidah. Mulutnya mencecap hingga terdengar dari jarak beberapa depa. Asin, desisnya.
Kedua belah tangannya ditepuk-tepukkan pada bagian paha agar kotoran-kotoran yang menempel pada telapaknya berjatuhan. Cangkul dan linggis yang tergeletak di bawah pohon kamboja kini dikemasi.
Berapakah upah yang akan diterima seorang penggali kubur? Ah, tentu tak banyak. Yang penting, Ki Sholeh mampu mencari uang tambahan untuk membayar listrik, kontrakan rumah, membayar hutang, dan uang saku si Sulung yang kini duduk di bangku esde. Ah, tentu ia akan pulang ke rumah dengan senyum tersungging, disambut Nyi Sinten di halaman rumah dengan anak semata wayangnya.
"Tentu Ki Sholeh bawa uang banyak," sambut Nyi Sinten.
"Oh, iya, tentu," sambung si Sulung.
Ki Sholeh tersenyum bangga. Keringat dan debu tipis membedaki beberapa bagian kulitnya. Ia tercipta sebagai penunggang kubur ulung. Begitu cepat. Bahkan seperti terbang di angkasa. Bola matanya yang rabun seperti menangkap beberapa tetangga mengejarnya. Pun isteri dan seorang anaknya membuntuti langkah kakinya. Maka, ia harus bekerja dan bekerja. Menggali kubur lalu menerima upah sebagai buruh.
Kadang, Ki Sholeh ragu meneruskan tugasnya sebagai penggali kubur. Nyalinya ciut ketika hidungnya mencium aroma tanah berbaur dengan bau keringat sendiri. Sorot matanya menaruh ragu. Ia seperti membenamkan diri pada sebuah kematian.
Pada kesempatan yang berbeda, ia mendengar jerit anaknya yang sulung. Tentu masih dari dalam kubur. Ia sadar. Ini bukan ilusi, tetapi serupa kabar atau pesan dari alam sana. Entahlah!
"Aku akan berhenti menjadi penggali kubur." Ki Sholeh terpaksa mengutarakan hal ini kepada isterinya, Nyi Sinten.
"Kenapa, Ki?" tanya Nyi Sinten dengan sorot mata tajam.
"Aku hanya ingin berhenti," lanjut Ki Sholeh tanpa alasan.
"Kalau Ki Soleh berhenti, kita mau makan apa? Kebutuhan rumah tangga terus membengkak. Harga sembako tak pernah turun. Apalagi, anak kita kan masih sekolah. Bagaimana kalau ia nanti mogok belajar atau mogok sekolah gara-gara tak punya uang saku? Mencari nafkah bagi keluarga bukankah merupakan ibadah, Ki?"
Ki Sholeh duduk tak bergeming. Otaknya berimbun penat. Malam yang pekat ini seperti isyarat masa depan yang gelap. Padahal, Ki Sholeh sudah puluhan tahun menjalani tugasnya menggali kubur. Bahkan, beberapa tetangga desa sebelah selalu memanggilnya untuk menggali kubur ketika ada yang meninggal.
 "Aku sudah tua, Nyi. Aku merasa ajalku sudah di ambang pintu." Ki Sholeh mencoba mencari alasan.
"Ah, itu kan sekedar perasaan. Ki Sholeh kan sudah tahu bahwa ajal itu adalah Tuhan yang menentukan?"
"Apalagi, akhir-akhir ini, aku seperti mendengar jeritan si Sulung di dalam kubur, Nyi. Aku seperti sengaja menyiapkan kematian bagi dia? Bukankah ini biadab, Nyi? Pokoknya, aku harus berhenti menjalani tugas ini!"
Nyi Sinten ngakak. Suaranya sangat lantang seperti mengejek perkataan Ki Sholeh. Tetapi, jika Ki Sholeh berhenti menjadi penggali kubur, mau bekerja apalagi. Tak ada bekal ijazah yang bisa diandalkan. Pun tak ada keahlian khusus untuk memerbaiki nasibnya.
Keinginan Ki Sholeh untuk berhenti menjadi penggali kubur tersiar ke penjuru desa. Entah siapa yang mengabarkannya, entah angin apa yang menyebarkannya. Hingga bulan keempat sejak keputusan itu bergetar dari mulut Ki Sholeh, tak ada panggilan untuk menggali kubur. Uang listrik sudah tiga bulan menunggak. Otomatis, ia tak bisa menikmati aliran sinarnya. Maka, ia harus menggunakan lampu templek dengan bahan bakar minyak tanah yang biayanya juga tak kecil.
Ancaman bulan depan, ia harus keluar dari rumah kontrakannya karena tak mampu membayar. Apalagi, anaknya yang duduk di bangku sekolah tidak diperbolehkan menimba ilmu karena tak mampu membayar biaya kegiatan ekstra dan biaya tour akhir tahun.
"Ayolah berdoa, Ki, agar tetangga kita banyak yang meninggal dunia. Kalau tidak, kita bisa diusir dari rumah ini!" pinta Nyi Sinten dengan wajah gusar.
"Mendoakan kematian? Ah, usulmu terlalu konyol, Nyi."
"Tetapi kita harus berusaha agar kita bisa bertahan hidup. Salahmu sendiri ingin berhenti menjadi penggali kubur. Kadang-kadang, ucapan seseorang akan menjadi doa. Andaikan pada waktu itu Ki Sholeh berkeinginan menjadi orang kaya, tentu saat ini kita menjadi kaya raya."
Suara Nyi Sinten semakin lantang. Si Sulung terdengar beberapa kali batuk. Sudah beberapa hari ini ia terkulai lemas di atas dipan. Badannya panas. Batuk menyerang hampir semalam penuh. Jika pagi menjemput, barulah batuknya sedikit reda. Namun, jika dingin datang menyergap, batuknya semakin menjadi.
"Ayolah berdoa, Ki, demi sebuah kematian. Pasti orang-orang akan menyuruh Ki Sholeh menggali kubur. Lalu, kita bisa menyambung aliran listrik yang diputus, kita bisa membayar kontrak rumah, dan bisa mengobati si Sulung yang sakit!" desak Nyi Sinten.
Ki Sholeh menatap dalam-dalam kesungguhan perkataan perempuan yang selama ini menjadi pendamping hidupnya. Derit rerimbun pohon bambu di belakang rumah seperti menguatkan desakan isterinya itu. Namun, kali ini ia harus berhati-hati. Jangankan doa, ucapan seseorang terkadang terkabulkan oleh Tuhan. Maka, sebelum memutuskan atau mengikuti desakan Nyi Sinten, Ki Sholeh harus memertimbangkan masak-masak.
Hampir setiap saat suara Nyi Sinten menggempur gendang telinga Ki Sholeh. Alasannya cukup logis; agar bisa membayar uang listrik, membayar kontrakan rumah, dan bisa mengobati si sulung yang diserang penyakit.
Tengah malam yang dingin, Ki Sholeh memutuskan untuk kembali menjalani tugasnya sebagai penggali kabur. Otomatis, ia harus mendoakan sebuah kematian. Entah siapa yang mengabarkan, pagi yang buta, seorang tetangga desa datang terengah-engah menemui Ki Sholeh. Setelah menyambar cangkul dan linggis, Ki Sholeh mengikuti langkah orang tersebut menuju area kuburan. Dari balik tirai kamar, Nyi Sinten menyungging senyum seraya mengantarkan langkah Ki Sholeh dengan raut wajah berbinar.
Hari pertama kerja, Ki Sholeh disambut petir dan guntur bersahut-sahutan. Demi sebuah ibadah, ia harus tetap bekerja. Hujan pagi yang lebat melumuri seluruh tubuhnya dan membuat becek area kuburan. Semangatnya yang baja tak akan membuat nyali Ki Sholeh menjadi ciut. Demi seorang isteri dan seorang anaknya, tentu.
Deru angin semakin kencang. Beberapa bunga kamboja berjatuhan. Hujan semakin deras. Petir dan guntur semakin membelah angkasa. Namun, Ki Sholeh masih bertahan di tengah derasnya guyuran air hujan. Kali ini, ia merasakan galian tanahnya teramat liat. Genangan air hujan juga menghambat ujung linggis atau cangkul menancap pada tanah kubur itu. Maka, untuk menyelesaikan sebuah liang lahat, ia memerlukan waktu agak panjang. Di ujung usahanya, wajahnya tertanam sungging walaupun tubuhnya penuh getar.
Hujan reda. Setengah berlari, Ki Sholeh pergi meninggalkan area kuburan. Tangannya yang dingin menggenggam lembar uang puluhan ribu. Tak diperhatikannya pakaiannya yang kuyup dan tubuhnya yang dilumuri lumpur. Sesampainya di ujung halaman, dingin tubuhnya berubah tegang. Ia melihat kerumunan orang di teras rumahnya. Sementara, kedua telinganya menangkap suara Nyi Sholeh memanggil-manggil nama si Sulung.
Ki Sholeh tak perlu bertanya kepada orang-orang tentang kejadian di rumah itu. Sebab, aroma kemenyan yang menyeruak pada ruang hidungnya mengabarkan kepergian si sulung. Ia menerobos kerumunan orang. Sementara, uang puluan ribu yang semula digenggam kini terlepas dan berserakan di tanah. ***


 Sumenep, 09 Desember 2011

Suhairi Rachmad lahir di Sumenep, Madura. Alumnus Fak. Sastra Universitas Jember- dan mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Jember. Salah satu cerpennya dimuat dalam Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar