Cerpen : Muhammad Anhar
A
|
ku mengamati bungkus permen transparan yang terlempar-lempar
di trotoar ini. Bersamanya puluhan daun-daun trembesi yang kering, paduan
keduanya menimbulkan gemersik. Sapuan angin senja terasa malas-malasan membawa aroma
basah milik langit, aroma yang kini selalu mengingatkanku pada satu sosok,
gadis berkepang dua dengan wajah oriental. Baju putih bermotif bunga lili merah yang kamu pakai sepadan dengan yang di bawahnya, rok merah
marun.
“Manis,” pujiku.
Mendengar kuberkata begitu kamu merundukkan
wajah, persis sekali seperti perangai biji-biji padi yang mulai berisi,
menyembunyikan yang jelas-jelas terbaca sepertimu, raut merona merah-muda.
Ada sesuatu yang selalu buatku
rindu. Lesung pipit di kedua pipimu yang berisi. Tiap kali kamu tersenyum, ikut
menyipitkan dua matamu yang semula sipit menjadi semakin sipit. Kuku-kukumu
selalu rapi seolah pagar rumah bangsawan yang saban hari dirawat.
Kali ini kamu membawa sesuatu,
sesuatu yang mencurigakan di balik tubuhnya yang semampai. Oh, aku menatap
kakinya, kali ini ia memakai kets merah saga, di punggung sepatu itu tali putih
terikat rapi, menciptakan bentuk bulatan dan garis lurus. Aku membayangkan
kedua sepatu itu disatukan, “persis sayap kupu-kupu!” gumamku.
***
Sudah tiga senja aku duduk di
sini, saat senja bertamu di kota yang mulai mengantongi karbondioksida yang
banyak. Aku selalu duduk di sebelah timur taman kota, tempat yang paling sudut,
yang seringkali jadi tempat pasangan muda-mudi melepas hasrat asmara mereka.
Pertama kali menemukan pasangan
seperti itu, aku mendengus dan mendamprat mereka dengan kata-kata serapah, aku
beranggapan mereka telah menodai tempat ini, tempat kita terakhir kali membahas
tentang sebuah legenda yang jarang didengar oleh manusia, tentang hujan dan
genangan yang dicipta di ceruk-ceruk permukaan bumi, termasuk di tempat ini,
ada ceruk sedang yang selalu setia
menjadi tempat genangan singgah.
“Kamu percaya… di sana ada
kehidupan layaknya di sini,” katamu. Aku menatapnya lekat-lekat, namun lebih
tepat aku hanya memperhatikan bibir tipisnya yang bergerak-gerak,
mengingatkanku pada sepotong rembulan yang pendar.
“Ah, masak? Nggak percaya aku…,”
timpalku kurang setuju sambil melonggarkan dasi yang sedari pagi mencekikku
dengan alasan modernitas aturan kantor.
Ia menatapku, kali ini dengan
mata yang benar-benar bulat, hitam dan sendu.
“Suatu saat kamu pasti tahu,
kenapa aku percaya ini…,” katamu sembari menyodorkan deretan gigi yang putih
dan rapi, lesung pipitmu ikut muncul.
Aku mengangguk beberapa kali,
sebenarnya belum mengiyakan, sebenarnya masih mencerna, atau yang lebih
tepatnya sebenarnya menghargai keyakinannya.
Aku lalu duduk berbalik menghadap ke arahmu, memindahkan sebelah kaki,
menduduki bangku taman seolah menaiki kuda pacuan,
“Emhh, ini kali ketiga kita
bertemu kan?” ujarku mengalihkan pembicaraan, sementara wajah di depanku
menunduk, lantas mengangguk. Pelan.
Untuk beberapa saat aku menunggu
jawaban yang lebih dari sekedar anggukan, tapi Rahna tidak menjawab, kini ia
malah menutup kedua wajah dengan telapak tangan. Beberapa saat kemudian ia
menoleh dengan wajah yang digenangi air mata disertai sesenggukan yang
sesekali. Dalam. Menyayat perasaan siapapun yang mendengarnya. Bening yang
melandai di pipimu yang berisi, yang kemudian jatuh membasahi rok marun,
meninggalkna bulatan kecil di beberapa tempat di sana.
Aku tertegun, segera aku meminta
maaf dan menawarkan untuk pulang saja, ia mengangguk. Kuat. Aku memintanya
meredakan dahulu bening yang masih mengalir itu. Ia merespon dengan mengayunkan
telapak tangan untuk mengelapnya, pelan, di pipi dan dua kali di sudut matanya
yang memerah.
Seperti biasa kamu tak mau
diantar, kali ini aku menawarkan sampai empat kali, namun semua kau tolak halus,
beralasan, “tidak ingin merepotkan,”
klise tapi sedaya upayaku gagal sebab kamu tetap tak bergeming untuk
mengangguk. Akhirnya, seperti dua pertemuan sebelumnya aku menyerah dan menjejeri
langkahnya menuju pintu Barat taman kota. segera setelah mengantarnya hingga di
ujung jalan, melihatnya hingga menghilang di sebuah tikungan salah satu gang
dekat tamam, dan kenyataan pahit yang
terus kurasakan saat ini adalah; hari itulah akhir aku bertemu kamu.
***
Ini hari kelima selepas pertemuan
terakhir denganmu, hujan masih memberi tanda meski siang tadi sudah tiba dan membuat sebal rekanku Giny dan Hawa,
rencana hang-out untuk merayakan
proyek yang ‘gol’. Makan siang di resto ternama, gagal. Hujan membuat makan
siang mereka disertai kerut dan lesu meski di hadapan mereka tersedia potongan
rendang, capcay, soto dan sambal udang gala tersedia.
Mendung masih menggulung,
menebal, angin terus gelisah, mendesau, menimbulkan gemersik daun-daun trembesi
untuk saling berlaga dan menjatuhkan daun lain yang sudah kecoklatan, juga
beberapa yang kekuningan.
Hari ini aku meninggalkan tas
kerja di lokerku, tepat jam dua tiga puluh dua menit aku memutuskan ke tempat
ini, membiarkan pekerjaanku terbengkalai, juga beberapa surat yang mesti kuurus
ke kantor pusat kutinggalkan dengan konsekuensi akan kena ceramah banyak dari
bos keesokan pagi. Beberapa miss call
ku-reject, “telepon-telepon ini mulai
memuakkan!” rutukku.
“Hari…” seperti sebuah suara
terdengar, itu kamu, ya! Ya! Ya! Aku menoleh kanan-kiri, kenal betul
pendengaranku pada panggilan itu, suara yang muncul dari arah depanku tadi.
Jantungku berdegup kencang,
sangat kontras dengan gerakanku yang
lamban, sangat pelan guna melongok, menjorokkan wajah ke sebuah ceruk
trotoar di depanku yang berisi genangan sisa hujan tadi.
“Owhh…!” seruku lantang, spontan.
Sial! Ini tidak seperti yang harapkan. Kenyataannya adalah; Nihil. Tidak ada
wajahmu di sana. Aku terpaku beberapa saat, mengerjap, mengucek, lalu mencoba
melihat lagi, hasilnay tetap sama. Ah, Rahna, kukira kamu akan hadir di sini,
lewat genangan ini. Hati kian senada dengan mendung.
Aku teringat, Tyas, sahabatku yang kuliah psikologi,
“terkadang kita akan mengalami halusinasi yang berlebihan, adiktif, disebabkan
kerinduan yang begitu dalam”, aku coba menepis kenyataan, berharap untuk kali
ini aku tak salah. Aku tajamkan pandangan, ahh… hanya melihat wajah ini, aku
sendiri yang kian menua dengan lipatan halus di beberapa tempat di wajah.
Aku meremas telapak tangan,
mengumpat sejadi-jadinya di hati. Lantas, sebelum hujan jatuh, aku meninggalkan
tempat ini dengan memikul berkarung-karung rindu yang pahit. Akal mengambil
kendali, bergegas aku melangkah menuju
kantor, menemui Mira yang jelas-jelas menyatakan cintanya padaku.
“Dan ketika kerinduan itu sudah
diikhlaskan, maka sisi-sisi imajiner itu akan hilang dengan sendirinya”
terngiang lagi ucapan Tyas.
***
Di sebuah tempat, di mana langit
berwarna kuning keemasan, di salah satu sudut, di sebuah kamar yang
bening, ada sebuah cermin yang terbuat
dari air hujan, ada satu sosok yang memunggungi langit dan berbicara sendiri
sambil sesengukan.
”Har maafkan aku,
lupa memberitahumu satu hal penting,
bahwa kamu baru bisa melihatku kalau ada air mata yang jatuh di genangan itu.”
***
Duniakoma, Medan basah, 13 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar