Rabu, 30 Oktober 2013

Raut Kenangan (Sabtu, 21 September 2013)


Cerpen : Muhammad Anhar


A
ku mengamati bungkus permen transparan yang terlempar-lempar di trotoar ini. Bersamanya puluhan daun-daun trembesi yang kering, paduan keduanya menimbulkan gemersik. Sapuan angin senja terasa malas-malasan membawa aroma basah milik langit, aroma yang kini selalu mengingatkanku pada satu sosok, gadis berkepang dua dengan wajah oriental. Baju putih  bermotif bunga lili merah yang kamu pakai  sepadan dengan yang di bawahnya, rok merah marun.
“Manis,” pujiku.
 Mendengar kuberkata begitu kamu merundukkan wajah, persis sekali seperti perangai biji-biji padi yang mulai berisi, menyembunyikan yang jelas-jelas terbaca sepertimu, raut merona merah-muda.
Ada sesuatu yang selalu buatku rindu. Lesung pipit di kedua pipimu yang berisi. Tiap kali kamu tersenyum, ikut menyipitkan dua matamu yang semula sipit menjadi semakin sipit. Kuku-kukumu selalu rapi seolah pagar rumah bangsawan yang saban hari dirawat.
Kali ini kamu membawa sesuatu, sesuatu yang mencurigakan di balik tubuhnya yang semampai. Oh, aku menatap kakinya, kali ini ia memakai kets merah saga, di punggung sepatu itu tali putih terikat rapi, menciptakan bentuk bulatan dan garis lurus. Aku membayangkan kedua sepatu itu disatukan, “persis sayap kupu-kupu!” gumamku.
***
Sudah tiga senja aku duduk di sini, saat senja bertamu di kota yang mulai mengantongi karbondioksida yang banyak. Aku selalu duduk di sebelah timur taman kota, tempat yang paling sudut, yang seringkali jadi tempat pasangan muda-mudi melepas hasrat asmara mereka.
Pertama kali menemukan pasangan seperti itu, aku mendengus dan mendamprat mereka dengan kata-kata serapah, aku beranggapan mereka telah menodai tempat ini, tempat kita terakhir kali membahas tentang sebuah legenda yang jarang didengar oleh manusia, tentang hujan dan genangan yang dicipta di ceruk-ceruk permukaan bumi, termasuk di tempat ini, ada ceruk sedang yang  selalu setia menjadi tempat genangan singgah.
“Kamu percaya… di sana ada kehidupan layaknya di sini,” katamu. Aku menatapnya lekat-lekat, namun lebih tepat aku hanya memperhatikan bibir tipisnya yang bergerak-gerak, mengingatkanku pada sepotong rembulan yang pendar.
“Ah, masak? Nggak percaya aku…,” timpalku kurang setuju sambil melonggarkan dasi yang sedari pagi mencekikku dengan alasan  modernitas aturan kantor.
Ia menatapku, kali ini dengan mata yang benar-benar bulat, hitam dan sendu.
“Suatu saat kamu pasti tahu, kenapa aku percaya ini…,” katamu sembari menyodorkan deretan gigi yang putih dan rapi, lesung pipitmu ikut muncul.
Aku mengangguk beberapa kali, sebenarnya belum mengiyakan, sebenarnya masih mencerna, atau yang lebih tepatnya sebenarnya menghargai keyakinannya.  Aku lalu duduk berbalik menghadap ke arahmu, memindahkan sebelah kaki, menduduki bangku taman seolah menaiki kuda pacuan,
“Emhh, ini kali ketiga kita bertemu kan?” ujarku mengalihkan pembicaraan, sementara wajah di depanku menunduk, lantas mengangguk. Pelan. 
Untuk beberapa saat aku menunggu jawaban yang lebih dari sekedar anggukan, tapi Rahna tidak menjawab, kini ia malah menutup kedua wajah dengan telapak tangan. Beberapa saat kemudian ia menoleh dengan wajah yang digenangi air mata disertai sesenggukan yang sesekali. Dalam. Menyayat perasaan siapapun yang mendengarnya. Bening yang melandai di pipimu yang berisi, yang kemudian jatuh membasahi rok marun, meninggalkna bulatan kecil di beberapa tempat di sana.
Aku tertegun, segera aku meminta maaf dan menawarkan untuk pulang saja, ia mengangguk. Kuat. Aku memintanya meredakan dahulu bening yang masih mengalir itu. Ia merespon dengan mengayunkan telapak tangan untuk mengelapnya, pelan, di pipi dan dua kali di sudut matanya yang memerah.
Seperti biasa kamu tak mau diantar, kali ini aku menawarkan sampai empat kali, namun semua kau tolak halus, beralasan,  “tidak ingin merepotkan,” klise tapi sedaya upayaku gagal sebab kamu tetap tak bergeming untuk mengangguk. Akhirnya, seperti dua pertemuan sebelumnya aku menyerah dan menjejeri langkahnya menuju pintu Barat taman kota. segera setelah mengantarnya hingga di ujung jalan, melihatnya hingga menghilang di sebuah tikungan salah satu gang dekat tamam, dan kenyataan pahit  yang terus kurasakan saat ini adalah; hari itulah akhir aku bertemu kamu.
***
Ini hari kelima selepas pertemuan terakhir denganmu, hujan masih memberi tanda meski siang tadi sudah tiba  dan membuat sebal rekanku Giny dan Hawa, rencana hang-out untuk merayakan proyek yang ‘gol’. Makan siang di resto ternama, gagal. Hujan membuat makan siang mereka disertai kerut dan lesu meski di hadapan mereka tersedia potongan rendang, capcay, soto dan sambal udang gala tersedia. 
Mendung masih menggulung, menebal, angin terus gelisah, mendesau, menimbulkan gemersik daun-daun trembesi untuk saling berlaga dan menjatuhkan daun lain yang sudah kecoklatan, juga beberapa yang kekuningan.
Hari ini aku meninggalkan tas kerja di lokerku, tepat jam dua tiga puluh dua menit aku memutuskan ke tempat ini, membiarkan pekerjaanku terbengkalai, juga beberapa surat yang mesti kuurus ke kantor pusat kutinggalkan dengan konsekuensi akan kena ceramah banyak dari bos keesokan pagi. Beberapa miss call ku-reject, “telepon-telepon ini mulai memuakkan!” rutukku.
“Hari…” seperti sebuah suara terdengar, itu kamu, ya! Ya! Ya! Aku menoleh kanan-kiri,  kenal betul  pendengaranku pada panggilan itu, suara yang  muncul dari arah depanku tadi.
Jantungku berdegup kencang, sangat kontras dengan gerakanku yang  lamban, sangat pelan guna melongok, menjorokkan wajah ke sebuah ceruk trotoar di depanku yang berisi genangan sisa hujan tadi.
“Owhh…!” seruku lantang, spontan. Sial! Ini tidak seperti yang harapkan. Kenyataannya adalah; Nihil. Tidak ada wajahmu di sana. Aku terpaku beberapa saat, mengerjap, mengucek, lalu mencoba melihat lagi, hasilnay tetap sama. Ah, Rahna, kukira kamu akan hadir di sini, lewat genangan ini. Hati kian senada dengan mendung.
Aku teringat,  Tyas, sahabatku yang kuliah psikologi, “terkadang kita akan mengalami halusinasi yang berlebihan, adiktif, disebabkan kerinduan yang begitu dalam”, aku coba menepis kenyataan, berharap untuk kali ini aku tak salah. Aku tajamkan pandangan, ahh… hanya melihat wajah ini, aku sendiri yang kian menua dengan lipatan halus di beberapa tempat di wajah.
Aku meremas telapak tangan, mengumpat sejadi-jadinya di hati. Lantas, sebelum hujan jatuh, aku meninggalkan tempat ini dengan memikul berkarung-karung rindu yang pahit. Akal mengambil kendali, bergegas aku melangkah  menuju kantor, menemui Mira yang jelas-jelas menyatakan cintanya padaku.
“Dan ketika kerinduan itu sudah diikhlaskan, maka sisi-sisi imajiner itu akan hilang dengan sendirinya” terngiang lagi ucapan Tyas.
***
Di sebuah tempat, di mana langit berwarna kuning keemasan, di salah satu sudut, di sebuah kamar yang bening,  ada sebuah cermin yang terbuat dari air hujan, ada satu sosok yang memunggungi langit dan berbicara sendiri sambil sesengukan.
”Har maafkan aku, lupa memberitahumu satu hal  penting, bahwa kamu baru bisa melihatku kalau ada air mata yang jatuh di genangan itu.” ***



Duniakoma, Medan basah, 13 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar