Rabu, 30 Oktober 2013

Teater dan Penjual Obat (Sabtu, 28 September 2013)






T
EATER di Medan masih bertahan. Meski pementasan masih terbilang minim tiap tahunnya, namun pertunjukan teater ditunggu para apenonton. Sebab, teater memang merupakan suatu bentuk tontonan. Tak ayal, masing-masing grup teater memiliki penontonnya sendiri.
Samakah teater dengan penjual obat tepi jalan? Ya, seorang penjual obat dapat dikatakan sedang berteater. Mungkin agak pelik untuk digambarkan sebaliknya. Namun itulah hakikat sebenarnya jika dilihat dari segi bentuk tontonan. Teater adalah bentuk tontonan. Secara ringkas bentuk tontonan akan mengajak penonton untuk menumpukan pertunjukan itu. Ia mampu menjadikan sebuah ruang yang sunyi menjadi meriah dan riuh.
Jika dua orang sedang berkomunikasi di dalam sebuah percakapan yang sulit dan sunyi, ia dikira sebagai satu bentuk perhubungan intrapersonal di antara satu sama lain. Akan tetapi, jika percakapan mereka itu mampu menarik perhatian orang ramai, maka ia dianggap sebagai satu bentuk tontonan yang sukses.
Secara jelas, tontonan adalah sebagian dari kehidupan dan ia telah dinilai oleh para ahli psikologi dan sosiologi. Apabila dua kanak-kanak bermain peran di halaman ataupun teras rumah, sesungguhnya mereka juga sedang menampilkan tontonan di dalam konteks imajinasi dan kepuasan mereka. Seorang pelajar yang menanyakan materi pelajaran di dalam kelas kepada gurunya adalah salah satu bentuk tontonan dan begitu juga apabila gurunya itu menjawab pertanyaan yang diajukan siswa tersebut.
Bentuk tontonan terbagi atas dua bagian, yaitu tontonan secara langsung dan tidak langsung. Bentuk secara langsung ialah apabila penonton bertindak membalas terhadap peran. Tontonan tidak langsung bermakna penonton sekadar memerhatikan bentuk tontonan dan mereka terikat kepada “batas” di antara penonton dan penonton mengalami apa yang disebut sebagai “willing suspension of disebelief”.
Namun begitu kedua elemen ini tidak bisa dipisahkan berdasasrkan teori Brecht yang menyatakan bahwa penonton harus diasingkan dari bentuk tontonan guna menimbulkan perasaan logis di dalam diri mereka. Unsur alienisasi ini bermaksud supaya penonton tidak sekadar merasakan “empathy” kepada bentuk tontonan, sebaliknya mereka harus menilai tentang diri mereka melalui tontonan itu.
Dalam pertunjukan drama tradisional, khususnya wayang, tontonan teaternya terletak pada kemahiran seorang dalang. Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun-temurun dari leluhurnya.
Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu memersiapkan wayang yang akan dimainkan.
Selama mengikuti ayahnya "ndalang" dalam kurun waktu yang lama -dari kecil hingga remaja- inilah proses pembelajaran itu terjadi dengan sangat alami, dan rata-rata anak dalang akan bisa mendalang setelah besar nanti. Tetapi banyak juga seorang anak dalang tidak akan menjadi Dalang di kelak kemudian hari, karena mempunyai pilihan hidup sendiri, misalnya berprofesi menjadi pegawai negeri, swasta, TNI dan sebagainnya.
Tetapi fenomena itu tidak selamanya benar, dengan adanya sekolah-sekolah pedalangan baik setingkat SMA dan perguruan tinggi, seperti Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia Surakarta misalnya, mencetak Sarjana Pedalangan yang tidak hanya mumpuni memainkan wayang tetapi juga berwawasan luas dan berpikir kritis. Dalam perguruan tinggi inilah lahir pula dalang yang bukan dari keturunan seorang Dalang, tetapi hanya seseorang yang mempunyai niat yang kuat untuk belajar dalang dan akhirnya bisa mendalang.
Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata Dahyang, yang berarti juru penyembuh berbagai macam penyakit. Dalang dalam "jarwo dhosok" diartikan pula sebagai "ngudal piwulang" (membeberkan ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonya. Untuk itu, seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak. Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai kekinian.
Dalang adalah seorang sutradara, penulis lakon, seorang narator, seorang pemain karakter, penyusun iringan, seorang "penyanyi", penata pentas, penari dan lain sebagainya. Kesimpulannya dalang adalah seseorang yang mempunyai kemampuan ganda, dan juga seorang manajer, paling tidak seorang pemimpin dalam pertunjukan bagi para anggotanya (pesinden dan pengrawit).
Begitulah. ***

      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar