Sabtu, 05 Januari 2013

Cerpen : Ratna Sari Mandefa (Sabtu, 5 Januari 2013)



Mukena Buat Ibu

 

U
dara hari ini terasa dingin karena rintik-rintik air langit basahi Jakarta, hingga badanku menggigil. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 10.00 wib. Rembesan air hujan basahi teras rumah kontrakan.
Huh! Hujan belum reda, menghambat pekerjaanku saja. Hanya  segelas kopi pahit dan semangkok indomie temaniku, sambil menyeruput kopi ini sampai ludes, aku mulai menyerogok sakuku. “Hah ! ternyata pil penenang tak ada lagi.”
Namaku Faisal, tapi orang-orang terminal ini menyebutku Liar. Karena aku selalu liar mencopet dan liar menghasut orang-orang memakai pil setan.  Dan di terminal ini aku termasuk pimpinan kawanan pencopet. Saat mencopet, terasa sekali pergulatan batin yang membuat jiwaku terasa teriris. Antara kekuatan baik dan buruk.
Bukan keadaan ekonomi yang memaksaku terjun ke lembah hitam ini. Tetapi karena diriku sendiri, yang awal mulanya pergaulan dan lingkungan.
Padahal, Ibu dan Ayahku ingin aku jadi anak yang berpendidikan, bekerja yang baik. Sampai aku di kuliahkan bahkan dikasih modal untuk buka usaha. Aku sendiri yang menyiakannya. Enam bulan aku buka rental komputer, pelanggan pun mulai banyak. Tapi apalah hendak dikata, akulah yang salah.
Suatu ketika, Aku pergi dari rumah dengan bawa pakaian yang menutupi tubuhku doang. Meninggalkan utang berjuta-juta pada teman-temanku, tanpa sepengetahuan orang tua. Uang pinjaman, aku gunakan untuk ongkos berangkat ke Jakarta. Ibu dan Ayah, pasti risau sebab tak ada kabar tentang aku.
***
Gemerlap lampu kota, indahnya dunia, menggelincirkanku ke sebuah episode hidup yang suram. Kadang aku bosan dengan hidupku yang bergelut. Maksiat telah hiasi hidupku, berbagai perbuatan keji hampir ku lakukan.
Sesaat, teringat masa kecilku, aku begitu sedih. Ingat  Ibu, Ayah, adik-adik di kampung halaman nan jauh di mata. Suasana kampungku yang asri dan agamis buat jiwaku terasa ingin kembali.
Terlintas di benakku pesan Ibu empat tahun yang lalu, ”Anakku Faisal, sebelum Ibu meninggalkan dunia, Ibu ingin mukena pemberianmu dari hasil yang halal.” Hampir sepuluh tahun aku tinggalkan kampung halaman. Ah! ini semua hanya ingatan belaka, aku harus bereaksi.
Malam hinggapi hari, seperti biasa aku beroperasi disela hingar bingar kehidupan kota. Mataku tajam memutar mencari-cari mangsa selanjutnya. Menembus remang malam terhiasi deru bis dan kenderaan yang berlalu lalang.
Adzan isya berkumandang, saat mendengar muadzin mengalunkan nada indah hatiku terasa teriris. Ingatkan aku kembali pesan Ibu, ”Nak…jangan tinggalkan sholat.” Ingin rasanya kuhamparkan kembali sajadahku, ingin rasanya aku kembali ke pangkuan-Nya yang telah lama kulupakan.
Andai dulu aku tak ke kota, andai dulu aku menuruti kata Ibu. Oh, Ibuuu. Semua penyesalan hinggapi batinku. Akupun kembali ke rumah kontrakan, niat jahat tak jadi kulaksanakan.
***
Keesokan harinya, aku terbangun dari tidurku. Mentari terasa menyengat kulit hingga kepalaku berhawa panas tubuhku diguyur keringat, tapi entah kenapa pesan Ibu yang satu ini selalu ingatkanku, “Anakku Faisal, sebelum Ibu meninggal dunia, Ibu ingin mukena  pemberianmu dari hasil yang halal.” Sehingga gerakan langkah menuju pekerjaan halal. Langsung aku beranjak dari tidurku cari pekerjaan demi mukena keinginan Ibu.
Aku nakal, aku jahat, tapi aku jua manusia yang ada nurani. Aku bandel, aku manusia tak tahu diri walaupun begitu apa kata Ibu selalu aku katakan “iya” tapi iya di sini tak pernah iya pelaksanaan dan aku masih bersyukur tak pernah lisan ini berujar “ah”.
Karena di kala aku masih duduk di bangku kelas 3 SD Ibu mengatakan padaku “jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada Ayah dan Ibu perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak dan ucapkanlah perkataan yang mulia anakku. Ibu mengatakan ini sebab sudah banyak anak-anak yang mulai beranjak remaja mulai membantah dan suka berkata “ah”. Makanya Ibu mengatakan ini anakku. Agar kelak kamu bukan orang yang termasuk seperti itu.”
Kata-kata ini selalu aku ingat. Justru karena ini aku tak berani mengatakan tidak dan ah. Tapi perbuatanku yang sangat kelewatan. Maafkan aku Ibu, Ayah.
“Alhamdulillah.” Aku diizinkan bekerja selama seminggu di warung Mpok Ati,. Sebagai penghidang makanan dan minuman. Kebetulan,  penghidang biasa pulang kampung.
Hari demi hari aku lalui tak terasa uang membeli mukena buat Ibu cukup, kontrak pekerjaanku usai sudah. Allah memudahkan rezeki untuk keinginan Ibu. Aku pamit pada Mpok Ati dan melanjutkan perjalananku menuju pasar untuk membeli keinginan Ibu.
Aku kembali menuju kontrakan. Dari jauh kutatap terminal. Ntah kenapa timbul lagi niat jahatku, mencopet dan mencopet. Godaan setan berhasil memasuki pikiran jua nuraniku. ”Aku harus ke terminal.”  Sambil membawa  bungkusan plastik hitam yang berisi mukena.
“Mas, kalau mau ke Bandung naik bis yang mana ya?” terdengar suara wanita yang menggugahku dari lamunan.
“Oh ya Mbak, emangnya mau kemana?” tanyaku basa-basi, insting jahatku kembali muncul. Mencari kelengahan wanita itu. Entah apa yang ada dalam otakku, tanganku langsung meraih tas wanita itu.
“Copet!” teriak wanita itu mengiringi lariku menuju kerumunan penumpang bis, dalam hitungan detik aku telah hilang dalam kegelapan dan lolos dari hajaran massa.
Dengan terengah aku susuri gang gelap, sambil menenteng tas hasil rampasanku dan  bungkusan berisi mukena. Sampai di tempat, aku langsung berbaring. Setelah itu pikiranku melayang, memikirkan wanita berjilbab yang wajahnya bersembunyi di balik cadar hitam yang jadi korbanku.
Rasa menyesal hadir. Namun, rasa itu akan hilang dengan sendirinya di telan waktu. Pasti aku akan melakukan tindakan jahat lagi.
Malam semakin larut, hujan turun basahi tanah terasa berisik menganggu tidurku. Seperti hujan kemarin malam. Teringat hasil rampasanku. Kubuka tas kulit warna coklat yang kuletakkan di atas meja. Ada mukena yang berbalut sajadah kecil, juga ada Al-Qur’an mungil yang menyelinap di tas.
Jantungku berdegup kencang. Menahan himpitan sesal yang semakin merasuk qolbu. Aku telah menghalangi seorang wanita untuk beribadah. Kembali pikiranku melayang, bagaimana nasib wanita itu sekarang? Semua bekalnya telah kuambil secara tidak syah.
Betapa tidak bergunanya hidupku. Mengambil hak orang lain. Jika hal  ini terjadi pada adikku sendiri  seperti yang aku lakukan selama ini pada orang lain juga wanita ini, pasti aku marah dan sedih. Tapi kenapa aku tega melakukan ini?
Kuraba kembali tas itu, ada dompet berwarna biru dihiasi gambar bunga kemerah-merahan.  Berisi uang, surat-surat penting, kartu tanda mahasiswa, KTP. dan  dua lembar foto kusam yang tampak menyelinap di antara uang receh.
“Astagfirullohaldzim” sekian lama, baru ini ucapan istigfar keluar dari lisanku. Tanganku gemetar menatap kedua foto itu. Foto pertama adalah foto kami sekeluarga semasa kami masih kanak-kanak, foto kedua adalah foto Ibu yang kutinggalkan menjelang sebelas tahun.
Wajah Ibu dulu muda pasti sekarang keriput, badan yang dulu kekar  pasti kian membungkuk. Ibu…bagaimanakah sekarang keadaanmu? Langsung kubaca KTP, Ihdina Sari yaitu nama pemilik tas yang kurampas.
“Ihdina adalah adikku. Lantas, kenapa ia tiba-tiba ada di Jakarta? Apa ia khusus mencari diriku yang tak berguna ini? yang telah lama tinggalkan rumah. Dan kenapa aku dan dia tak saling kenal?
Ya Allah, dosa-dosaku tidak hanya membuatku lupa diri, tapi keluargaku juga, sampai-sampai aku tak kenal dan tak ingat adikku sendiri. Ampuni aku ya Allah…mungkin adikku Ihdina ke mari karena kekhawatiran Ibu yang memikirkanku terus-menerus.
Aku yakin, pasti karena ini. Apalagi, setelah Ayah meninggal dunia tanpa kehadiranku dulu.  Ya Allah…aku benar-benar anak yang tak berguna. Pasti Ibu semakin kurus dan merindukan aku. “Gumamku dalam hati.
 Hah! kok aku jadi ngelamun begini ya? Hah! Tidak! Tidak! Ihdina, Ihdina ini tak mungkin. Ini tak mungkin….Ya Allah, ampuni aku. Aku sendiri yang berpikiran jangan sampai apa yang kulakukan terjadi pada adik sendiri, tapi kenyataannya aku tega. Oh, tidak tidak…..
Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju terminal mencari adikku. Setengah perjalanan aku merasa lelah akhirnya aku berjalan. Bayangan Ihdina terus di pikiranku. Hingga buat aku melamun lagi dan ingat kejadian tadi.
“Ya Allah kenapa aku lupa diri? sampai-sampai adik sendiri tak kukenal lagi. Kenapa juga Ihdina tak mengenaliku?  Memang, kini perubahan pada diriku sungguh banyak, berjambang lebat, kumis tebal, dan ada tato menyelimuti lengan tanganku. Pastinya adikku tidak mengenaliku lagi. Dan kenapa juga aku tak mengenalinya?
Jelas, aku tak mengenalnya. Karena wajah manis adikku sekarang dihiasi penutup unik. Hanya bola matanya yang tampak.  Pertanyaan-pertanyaan ini muncul lagi dalam benakku. Aku telusuri terus perjalanan ini. Tanpa kaki liarku yang seperti kaki besi itu.
Tiba-tiba di perempatan jalan, aaaaa…sebuah mobil bercat hitam menyerempet tubuhku. Bungkusan  plastik berisi mukena untuk Ibu juga tas adik yang ingin dikembalikan yang ditenteng di tangan kananku bertebaran di tengah keramaian orang. Mukena buat Ibu tak dapat kulihat kemana arah melayangnya.
Mukena buat Ibu, mukena buat Ibu, mukena buat Ibuuu. Dengan nada teriak aku ucapkan. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kakiku sukar digerakkan. Tak terasa, dunia seperti berputar dan mataku terasa gelap. ***

Ranah Kompak, Mei 2012




Penulis sekarang ini menjalani perkuliahan di FKIP UMSU jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di komunitas penulis anak kampus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar