Mukena Buat Ibu
U
|
dara
hari ini terasa dingin karena rintik-rintik air langit basahi Jakarta, hingga
badanku menggigil. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 10.00 wib. Rembesan
air hujan basahi teras rumah kontrakan.
Huh! Hujan belum reda, menghambat
pekerjaanku saja. Hanya segelas kopi
pahit dan semangkok indomie temaniku, sambil menyeruput kopi ini sampai ludes,
aku mulai menyerogok sakuku. “Hah ! ternyata pil penenang tak ada lagi.”
Namaku Faisal, tapi orang-orang terminal
ini menyebutku Liar. Karena aku selalu liar mencopet dan liar menghasut
orang-orang memakai pil setan. Dan di
terminal ini aku termasuk pimpinan kawanan pencopet. Saat mencopet, terasa
sekali pergulatan batin yang membuat jiwaku terasa teriris. Antara kekuatan
baik dan buruk.
Bukan keadaan ekonomi yang memaksaku
terjun ke lembah hitam ini. Tetapi karena diriku sendiri, yang awal mulanya
pergaulan dan lingkungan.
Padahal, Ibu dan Ayahku ingin aku jadi
anak yang berpendidikan, bekerja yang baik. Sampai aku di kuliahkan bahkan
dikasih modal untuk buka usaha. Aku sendiri yang menyiakannya. Enam bulan aku
buka rental komputer, pelanggan pun mulai banyak. Tapi apalah hendak dikata,
akulah yang salah.
Suatu ketika, Aku pergi dari rumah
dengan bawa pakaian yang menutupi tubuhku doang.
Meninggalkan utang berjuta-juta pada teman-temanku, tanpa sepengetahuan orang
tua. Uang pinjaman, aku gunakan untuk ongkos berangkat ke Jakarta. Ibu dan Ayah,
pasti risau sebab tak ada kabar tentang aku.
***
Gemerlap lampu kota, indahnya dunia, menggelincirkanku
ke sebuah episode hidup yang suram. Kadang aku bosan dengan hidupku yang
bergelut. Maksiat telah hiasi hidupku, berbagai perbuatan keji hampir ku
lakukan.
Sesaat, teringat masa kecilku, aku
begitu sedih. Ingat Ibu, Ayah, adik-adik
di kampung halaman nan jauh di mata. Suasana kampungku yang asri dan agamis
buat jiwaku terasa ingin kembali.
Terlintas di benakku pesan Ibu empat
tahun yang lalu, ”Anakku Faisal, sebelum Ibu meninggalkan dunia, Ibu ingin
mukena pemberianmu dari hasil yang halal.” Hampir sepuluh tahun aku tinggalkan
kampung halaman. Ah! ini semua hanya ingatan belaka, aku harus bereaksi.
Malam hinggapi hari, seperti biasa aku
beroperasi disela hingar bingar kehidupan kota. Mataku tajam memutar
mencari-cari mangsa selanjutnya. Menembus remang malam terhiasi deru bis dan
kenderaan yang berlalu lalang.
Adzan isya berkumandang, saat mendengar
muadzin mengalunkan nada indah hatiku terasa teriris. Ingatkan aku kembali
pesan Ibu, ”Nak…jangan tinggalkan sholat.” Ingin rasanya kuhamparkan kembali
sajadahku, ingin rasanya aku kembali ke pangkuan-Nya yang telah lama kulupakan.
Andai dulu aku tak ke kota, andai dulu
aku menuruti kata Ibu. Oh, Ibuuu. Semua penyesalan hinggapi batinku. Akupun
kembali ke rumah kontrakan, niat jahat tak jadi kulaksanakan.
***
Keesokan harinya, aku terbangun dari
tidurku. Mentari terasa menyengat kulit hingga kepalaku berhawa panas tubuhku
diguyur keringat, tapi entah kenapa pesan Ibu yang satu ini selalu ingatkanku,
“Anakku Faisal, sebelum Ibu meninggal dunia, Ibu ingin mukena pemberianmu dari hasil yang halal.” Sehingga
gerakan langkah menuju pekerjaan halal. Langsung aku beranjak dari tidurku cari
pekerjaan demi mukena keinginan Ibu.
Aku nakal, aku jahat, tapi aku jua
manusia yang ada nurani. Aku bandel, aku manusia tak tahu diri walaupun begitu
apa kata Ibu selalu aku katakan “iya” tapi iya di sini tak pernah iya
pelaksanaan dan aku masih bersyukur tak pernah lisan ini berujar “ah”.
Karena di kala aku masih duduk di bangku
kelas 3 SD Ibu mengatakan padaku “jangan sekali-kali
kamu mengatakan kepada Ayah dan Ibu perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak dan ucapkanlah perkataan yang
mulia anakku. Ibu mengatakan ini sebab sudah banyak anak-anak yang mulai
beranjak remaja mulai membantah dan suka berkata “ah”. Makanya Ibu mengatakan ini anakku. Agar kelak kamu bukan orang
yang termasuk seperti itu.”
Kata-kata ini selalu aku ingat. Justru
karena ini aku tak berani mengatakan tidak dan ah. Tapi perbuatanku yang sangat
kelewatan. Maafkan aku Ibu, Ayah.
“Alhamdulillah.” Aku diizinkan bekerja
selama seminggu di warung Mpok Ati,. Sebagai penghidang makanan dan minuman.
Kebetulan, penghidang biasa pulang
kampung.
Hari demi hari aku lalui tak terasa uang
membeli mukena buat Ibu cukup, kontrak pekerjaanku usai sudah. Allah memudahkan
rezeki untuk keinginan Ibu. Aku pamit pada Mpok Ati dan melanjutkan
perjalananku menuju pasar untuk membeli keinginan Ibu.
Aku kembali menuju kontrakan. Dari jauh
kutatap terminal. Ntah kenapa timbul lagi niat jahatku, mencopet dan mencopet.
Godaan setan berhasil memasuki pikiran jua nuraniku. ”Aku harus ke terminal.” Sambil membawa
bungkusan plastik hitam yang berisi mukena.
“Mas, kalau mau ke Bandung naik bis yang
mana ya?” terdengar suara wanita yang menggugahku dari lamunan.
“Oh ya Mbak, emangnya mau kemana?”
tanyaku basa-basi, insting jahatku kembali muncul. Mencari kelengahan wanita
itu. Entah apa yang ada dalam otakku, tanganku langsung meraih tas wanita itu.
“Copet!” teriak wanita itu mengiringi
lariku menuju kerumunan penumpang bis, dalam hitungan detik aku telah hilang
dalam kegelapan dan lolos dari hajaran massa.
Dengan terengah aku susuri gang gelap,
sambil menenteng tas hasil rampasanku dan
bungkusan berisi mukena. Sampai di tempat, aku langsung berbaring.
Setelah itu pikiranku melayang, memikirkan wanita berjilbab yang wajahnya
bersembunyi di balik cadar hitam yang jadi korbanku.
Rasa menyesal hadir. Namun, rasa itu
akan hilang dengan sendirinya di telan waktu. Pasti aku akan melakukan tindakan
jahat lagi.
Malam semakin larut, hujan turun basahi
tanah terasa berisik menganggu tidurku. Seperti hujan kemarin malam. Teringat
hasil rampasanku. Kubuka tas kulit warna coklat yang kuletakkan di atas meja.
Ada mukena yang berbalut sajadah kecil, juga ada Al-Qur’an mungil yang
menyelinap di tas.
Jantungku berdegup kencang. Menahan
himpitan sesal yang semakin merasuk qolbu. Aku telah menghalangi seorang wanita
untuk beribadah. Kembali pikiranku melayang, bagaimana nasib wanita itu
sekarang? Semua bekalnya telah kuambil secara tidak syah.
Betapa tidak bergunanya hidupku.
Mengambil hak orang lain. Jika hal ini
terjadi pada adikku sendiri seperti yang
aku lakukan selama ini pada orang lain juga wanita ini, pasti aku marah dan
sedih. Tapi kenapa aku tega melakukan ini?
Kuraba kembali tas itu, ada dompet berwarna
biru dihiasi gambar bunga kemerah-merahan.
Berisi uang, surat-surat penting, kartu tanda mahasiswa, KTP. dan dua lembar foto kusam yang tampak menyelinap
di antara uang receh.
“Astagfirullohaldzim” sekian lama, baru
ini ucapan istigfar keluar dari lisanku. Tanganku gemetar menatap kedua foto
itu. Foto pertama adalah foto kami sekeluarga semasa kami masih kanak-kanak,
foto kedua adalah foto Ibu yang kutinggalkan menjelang sebelas tahun.
Wajah Ibu dulu muda pasti sekarang
keriput, badan yang dulu kekar pasti
kian membungkuk. Ibu…bagaimanakah sekarang keadaanmu? Langsung kubaca KTP,
Ihdina Sari yaitu nama pemilik tas yang kurampas.
“Ihdina adalah adikku. Lantas, kenapa ia
tiba-tiba ada di Jakarta? Apa ia khusus mencari diriku yang tak berguna ini?
yang telah lama tinggalkan rumah. Dan kenapa aku dan dia tak saling kenal?
Ya Allah, dosa-dosaku tidak hanya
membuatku lupa diri, tapi keluargaku juga, sampai-sampai aku tak kenal dan tak
ingat adikku sendiri. Ampuni aku ya Allah…mungkin adikku Ihdina ke mari karena
kekhawatiran Ibu yang memikirkanku terus-menerus.
Aku yakin, pasti karena ini. Apalagi,
setelah Ayah meninggal dunia tanpa kehadiranku dulu. Ya Allah…aku benar-benar anak yang tak
berguna. Pasti Ibu semakin kurus dan merindukan aku. “Gumamku dalam hati.
Hah!
kok aku jadi ngelamun begini ya? Hah! Tidak! Tidak! Ihdina, Ihdina ini tak
mungkin. Ini tak mungkin….Ya Allah, ampuni aku. Aku sendiri yang berpikiran
jangan sampai apa yang kulakukan terjadi pada adik sendiri, tapi kenyataannya
aku tega. Oh, tidak tidak…..
Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju
terminal mencari adikku. Setengah perjalanan aku merasa lelah akhirnya aku
berjalan. Bayangan Ihdina terus di pikiranku. Hingga buat aku melamun lagi dan
ingat kejadian tadi.
“Ya Allah kenapa aku lupa diri? sampai-sampai
adik sendiri tak kukenal lagi. Kenapa juga Ihdina tak mengenaliku? Memang, kini perubahan pada diriku sungguh
banyak, berjambang lebat, kumis tebal, dan ada tato menyelimuti lengan
tanganku. Pastinya adikku tidak mengenaliku lagi. Dan kenapa juga aku tak
mengenalinya?
Jelas, aku tak mengenalnya. Karena wajah
manis adikku sekarang dihiasi penutup unik. Hanya bola matanya yang tampak. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul lagi dalam benakku.
Aku telusuri terus perjalanan ini. Tanpa kaki liarku yang seperti kaki besi
itu.
Tiba-tiba di perempatan jalan,
aaaaa…sebuah mobil bercat hitam menyerempet tubuhku. Bungkusan plastik berisi mukena untuk Ibu juga tas adik
yang ingin dikembalikan yang ditenteng di tangan kananku bertebaran di tengah
keramaian orang. Mukena buat Ibu tak dapat kulihat kemana arah melayangnya.
Mukena buat Ibu, mukena buat Ibu, mukena
buat Ibuuu. Dengan nada teriak aku ucapkan. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Kakiku sukar digerakkan. Tak terasa, dunia seperti berputar dan mataku terasa
gelap. ***
Ranah Kompak,
Mei 2012
Penulis
sekarang ini menjalani perkuliahan di FKIP UMSU jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Aktif di komunitas penulis anak kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar