SEPI
Sepi menaksir tubuhku lebih cermat dari lidah kemarau
lebih mengetahui titik waktu yang buntu.
Perlahan menyisir jejak lalu menyalak saat lampu padam.
Kini sepi menukik lebih cepat dari kelebat kilat,
saat jarak rentan retak dan rindu menghambar.
Sepi menyelinap saat bulan bercadar
dan aku hilang daya dijepit tebing sandiwara.
2011
DI GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT, AKU MENGENALMU SEPERTI
MENGENAL PUISI BARU
Angin menuntaskan berpuluh-kilometer perjalanan
lewat perkenalan dan jabat tangan.
Aku melihat puisi di kantung matamu
juga dari rambutmu kutemukan kalimat bersalju.
Ketika angin selatan berpapasan dengan angin utara.
Kita beranjak ke dalam ruang berdinding lukisan
dengan lampu besar yang menyala.
kita intim dalam kata, tenggelam dalam mantra.
Udara mencekam, hujan menggedor jendela kayu ruang itu
segalnya diam
namun kata kembali menderas seperti getar pesawat yang
melintas
ataupun gemuruh topan yang ditunggangi seribu puisi.
Kita mabuk dalam pusaran yang sama, pusaran kata.
Angin menuntaskan berpuluh-kilometer perjalanan
lewat perkenalan dan jabat tangan.
Sejenak kita lupa pada laju kereta maupun lalu-lalang
kendaraan
kita hanyut dalam bingar kata,
dalam bingar kata.
GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT
14 FEBRUARI 2010
TELAGA TANDA TANYA
Yang tehampar luas di mata sunyi adalah genangan tinta tak
terhingga
cekungan pekat tak beujung.
Aku yang tak pernah beruntung
menangkap cahaya di langit-langit kamar, kerap sendiri dalam
memar
Bagaimana mungkin aku berjalan tegar?
langkahku hanyut pada kantuk, terlelap dalam
keterjagaan
Yang terperangkap dalam angin ribut, pada senja yang hitam
adalah pesan yang tak tersampaikan
kandas di pertengahan musim, jalan cuaca senantiasa sunyi,
untuk ini.
Hatimu telaga tanda tanya
tak terselami
dan hatiku genangan tinta
untuk pesan cerita yang tak pernah terbaca.
Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar