EFFENDY-DJUMIRAN
H
|
ATI saya tergemap.
Orang-orang yang bakal dijagokan rumah politik daerah ini tidak berkaliber
nasional. Sejumlah orang saya kirim sistem maklumat singkat (SMS). Saya bilang,
mengapa tidak ada yang memunculkan nama-nama berkelas? Saya cuma bisa kritik.
Wah!
Begitu peduli saya pada daerah ini.
Mungkin lantaran pernah didoktrin Wiyatamandala dan P4. Aha! Bukan berarti yang
tidak mendapat didikan Wiyatamandala dan P4 tidak cinta pada negara lho. Hahahaha......
Tapi begitulah. Saking cintanya,
saya merasa tidak puas dengan nama-nama yang kala itu muncul jadi kandidat
gubernur Sumatera Utara. Provinsi sebesar ini hanya akan dipimpin produk lokal!
Mengapa kalah dengan Provinsi Jawa Barat yang berani memajukan nama Deddy
Mizwar, Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, Teteng Masduki, di samping incumbent dan tokoh lokal lainnya.
“Lalu, menurut sampeyan, siapa yang tokoh nasional itu?” Balasan SMS teman saya itu begitu polos. Tapi
susah juga menjawabnya. Hehehee….. apologi pun muncul dari jempol saya dengan
ketikan SMS, “Terserahlah, Bang. Bukankah banyak orang Sumatera Utara yang top
dan menasional di Jakarta atau sekelas almarhum Rizal Nurdin.”
Beberapa hari kemudian, saya nyaris
tidak percaya. Partai kepala banteng moncong putih memunculkan nama lain.
Mereka memutar mitos! Gus Irawan Pasaribu dan Rustam Effendy Nainggolan batal
diusung. Kalau Gus Irawan, sudahlah. Tapi Pak Nainggolan itu….. Ah!
Saya baca di koran Dumay (dunia maya) alias internet, nama
Effendy Muara Sakti Simbolon resmi ditetapkan dari Jakarta. Terlepas bagaimana
proses mencuatnya nama Abang Ganteng ini mengalahkan si kumis Gus Irawan dan
“jago tua” R.E. Nainggolan, saya pun mengucapkan selamat via SMS kepada teman
saya.
Entah mengapa, saya seperti orang
sinting. Cengar-cengir di rumah. Seperti ada secercah harapan pada nama itu. Apa
rupanya kepentingan saya? Entah, mengalir sajalah.
Apa balasan SMS teman saya yang
aktivis partai Bu Megawati Soekarno Putri itu? Ternyata dia mengaku kecewa.
Sebab, nama yang muncul bukan asli daerah sini! Saya justru kecewa dengan kawan
saya itu. Patutkah saya harus berteori-teori untuk menjelaskan kepadanya?
Saya mengatakan, seharusnya teman
saya itu bersyukur ternyata ada yang mampu menghilangkan egosentris kedaerahan.
Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sesungguhnya memang pertarungan
politik nasional, bukan pertarungan politik lokal. Mau tak mau, tokoh yang
muncul sedikitnya punya reputasi nasional.
Secara antropologis, orang Batak
menyebar di seluruh dunia. Sebagaimana orang Jawa di Suriname dan Madagaskar di
Afrika, tetap mengakui dan menjalankan budaya Jawa di negaranya yang notebene berwarga
negara bukan Indonesia. Begitu juga teman-teman saya yang orang Batak yang
tinggal di Bengkulu, Jakarta, Bandung, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Amerika,
Jepang, dan sebagainya.
Mereka cuma dipisahkan secara
geografis dan demografis. Namun secara kultural, secara genealogis, saya tetap
orang Jawa dan Aceh, meski lahir di Medan. Ayahnya ayah saya orang Aceh, namun
hidupnya dihabiskan di Jawa. Sementara, ayah-ibu emak saya asli orang Jawa.
Ayah dan emak saya menikah di Jawa. Lalu, menetap di Medan. Jadi, orang apakah
saya?
Yah, sudahlah. Masalah etnisitas tak
usahlah dulu diperdebatkan. Saya ingat kata Fredrik Barth (1988 : 18),
“Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang didudukinya.” Begitulah.
Effendy Simbolon tentu tak menduga bakal bermitra dengan R.E. Nainggolan dan
Amri Tambunan, ataupun Gus Irawan Pasaribu dan Chairuman Harahap selaku sama
orang Batak.
Sayangnya, di antara ratusan orang
Batak yang duduk di parlemen, Effendy Simbolon terbilang paling pemberani dan
elegan memerjuangkan penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Jilid I
(2003) dan Jilid II (2010). Sampai-sampai nyaris adu fisik dalam persidangan dengan
tokoh Pemuda Pancasila Yoris Raweyai selaku lawan politik kala itu.
Ehm, banyak orang Batak di PDI
Perjuangan. Namun, Megawati Soekarno Putri memercayai Effendy Simbolon. Saya
pun sependapat. Orang Batak satu ini sedikit berbeda dengan orang Batak
perantauan di ibu kota Republik Indonesia. Nasionalismenya jangan diragukan!
Saatnya
memang masalah egosentris teritorial dan sentimen etnisitas ditanggalkan dalam
ekologi politik saat ini. Saya agak terkejut ketika nama Affan Lubis diapungkan
bakal mendampingi Effendy Simbolon. Sebab, keduanya satu perahu. Ternyata, itu
cuma isu. Djumiran Abdi-lah yang justru dirangkul. Ini merupakan persemaian
adaptasi entitas kultural yang tengah dipraktikkan partai modern semacam PDI
Perjuangan.
Nah!
***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar