Sabtu, 12 Januari 2013

CORONG : Suyadi San


 EFFENDY-DJUMIRAN


H
ATI saya tergemap. Orang-orang yang bakal dijagokan rumah politik daerah ini tidak berkaliber nasional. Sejumlah orang saya kirim sistem maklumat singkat (SMS). Saya bilang, mengapa tidak ada yang memunculkan nama-nama berkelas? Saya cuma bisa kritik. Wah!
           Begitu peduli saya pada daerah ini. Mungkin lantaran pernah didoktrin Wiyatamandala dan P4. Aha! Bukan berarti yang tidak mendapat didikan Wiyatamandala dan P4 tidak cinta pada negara lho. Hahahaha......
            Tapi begitulah. Saking cintanya, saya merasa tidak puas dengan nama-nama yang kala itu muncul jadi kandidat gubernur Sumatera Utara. Provinsi sebesar ini hanya akan dipimpin produk lokal! Mengapa kalah dengan Provinsi Jawa Barat yang berani memajukan nama Deddy Mizwar, Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, Teteng Masduki, di samping incumbent dan tokoh lokal lainnya.
        “Lalu, menurut sampeyan, siapa yang tokoh nasional itu?”  Balasan SMS teman saya itu begitu polos. Tapi susah juga menjawabnya. Hehehee….. apologi pun muncul dari jempol saya dengan ketikan SMS, “Terserahlah, Bang. Bukankah banyak orang Sumatera Utara yang top dan menasional di Jakarta atau sekelas almarhum Rizal Nurdin.” 
        Beberapa hari kemudian, saya nyaris tidak percaya. Partai kepala banteng moncong putih memunculkan nama lain. Mereka memutar mitos! Gus Irawan Pasaribu dan Rustam Effendy Nainggolan batal diusung. Kalau Gus Irawan, sudahlah. Tapi Pak Nainggolan itu….. Ah!
            Saya baca di koran Dumay (dunia maya) alias internet, nama Effendy Muara Sakti Simbolon resmi ditetapkan dari Jakarta. Terlepas bagaimana proses mencuatnya nama Abang Ganteng ini mengalahkan si kumis Gus Irawan dan “jago tua” R.E. Nainggolan, saya pun mengucapkan selamat via SMS kepada teman saya.
            Entah mengapa, saya seperti orang sinting. Cengar-cengir di rumah. Seperti ada secercah harapan pada nama itu. Apa rupanya kepentingan saya? Entah, mengalir sajalah.
          Apa balasan SMS teman saya yang aktivis partai Bu Megawati Soekarno Putri itu? Ternyata dia mengaku kecewa. Sebab, nama yang muncul bukan asli daerah sini! Saya justru kecewa dengan kawan saya itu. Patutkah saya harus berteori-teori untuk menjelaskan kepadanya?
         Saya mengatakan, seharusnya teman saya itu bersyukur ternyata ada yang mampu menghilangkan egosentris kedaerahan. Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sesungguhnya memang pertarungan politik nasional, bukan pertarungan politik lokal. Mau tak mau, tokoh yang muncul sedikitnya punya reputasi nasional.
          Secara antropologis, orang Batak menyebar di seluruh dunia. Sebagaimana orang Jawa di Suriname dan Madagaskar di Afrika, tetap mengakui dan menjalankan budaya Jawa di negaranya yang notebene berwarga negara bukan Indonesia. Begitu juga teman-teman saya yang orang Batak yang tinggal di Bengkulu, Jakarta, Bandung, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Amerika, Jepang, dan sebagainya.
          Mereka cuma dipisahkan secara geografis dan demografis. Namun secara kultural, secara genealogis, saya tetap orang Jawa dan Aceh, meski lahir di Medan. Ayahnya ayah saya orang Aceh, namun hidupnya dihabiskan di Jawa. Sementara, ayah-ibu emak saya asli orang Jawa. Ayah dan emak saya menikah di Jawa. Lalu, menetap di Medan. Jadi, orang apakah saya?
          Yah, sudahlah. Masalah etnisitas tak usahlah dulu diperdebatkan. Saya ingat kata Fredrik Barth (1988 : 18), “Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang didudukinya.” Begitulah. Effendy Simbolon tentu tak menduga bakal bermitra dengan R.E. Nainggolan dan Amri Tambunan, ataupun Gus Irawan Pasaribu dan Chairuman Harahap selaku sama orang Batak.
           Sayangnya, di antara ratusan orang Batak yang duduk di parlemen, Effendy Simbolon terbilang paling pemberani dan elegan memerjuangkan penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Jilid I (2003) dan Jilid II (2010). Sampai-sampai nyaris adu fisik dalam persidangan dengan tokoh Pemuda Pancasila Yoris Raweyai selaku lawan politik kala itu.
Ehm, banyak orang Batak di PDI Perjuangan. Namun, Megawati Soekarno Putri memercayai Effendy Simbolon. Saya pun sependapat. Orang Batak satu ini sedikit berbeda dengan orang Batak perantauan di ibu kota Republik Indonesia. Nasionalismenya jangan diragukan!
Saatnya memang masalah egosentris teritorial dan sentimen etnisitas ditanggalkan dalam ekologi politik saat ini. Saya agak terkejut ketika nama Affan Lubis diapungkan bakal mendampingi Effendy Simbolon. Sebab, keduanya satu perahu. Ternyata, itu cuma isu. Djumiran Abdi-lah yang justru dirangkul. Ini merupakan persemaian adaptasi entitas kultural yang tengah dipraktikkan partai modern semacam PDI Perjuangan.
Nah! *** 
           


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar