Panggilan untuk
Keluargaku
S
|
elamat pagi waktu. Selamat siang waktu. Selamat sore waktu. Selamat malam
waktu. Loka seakan gelap seiring perjalanan hidupku. Hidup ini tak bisa
dimengerti, secuilpun tak bisa kupahami.
Keindahan pernikahan tidak
berlaku buatku. Bukan sebuah kebahagiaan namun kehampaan. Teringat janji di
masa lalu tentang sebuah pernikahan indah, mengikat ikrar dalam bahtera rumah
tangga, namun semua itu lenyap sudah.
Aku menikahi perempuan
yang tergila-gila pada ide. Sementara virus yang berada dalam otakku semakin
akut. Apalagi sejak dokter menvonis usiaku tidak lama lagi.
“Maaf. Cuma sepotong roti. Ada rapat di kantor.”
Hanya tiga kalimat yang terucap dari bibir
merahnya. Jiwaku semakin gusar tak menentu. Tingkah itu membuatku jenuh.
Anak-anakku butuh kasih sayang dari sosok seorang ibu. Paras mungil mereka
membuatku semangat hidup.
Rahasia terbesar jika
keluargaku tidak mengetahui penderitaanku. Walau pekerjaan selalu menodongku
dalam waktu yang singkat. Aku tetap semangat demi anakku.
Istriku sungguh
keterlaluan setelah mengenal lelaki topeng yang dianggapnya rekan kerjanya itu.
Perhatiannya terhadap anak-anak pupus sudah. Permainan dalam ponselnya membuat
ia sibuk dengan kumpulan huruf-huruf yang tertera sambil menggerakkan tepi
mulut sebelah bawah dan atas tanpa sebab tertentu.
***
Waktu
semakin kencang. Gedung cokelat itu terus pamerkan diri yang semakin hari
semakin maju. Segala pernak-pernik timbul dalam tubuhnya. Namun, seolah
menertawakan aku dalam kehampaan. Batinku tertekan, pikiran pun memuncak.
Pancaran mentari semakin
membuatku lelah tak berdaya. Segumpal jiwa dihimpit masalah. Tiba-tiba munculah
setitik cahaya yang semakin lama semakin menyungsep dalam penerangan. Motivasi
pun berkobar saat rangkaian kata tersaji menyambutku.
“Pagi,
kawan. Tampaknya kau gelisah. Lebih penting pikirkan masa depan anak-anakmu dan
yang paling utama lagi masalah penyakitmu itu. Jangan pikirkan omongan orang
lain. Ciptakan harimu dengan
semangat,” gumanan Ari yang berselera humor yang tak lain sahabatku.
Berbagai desas-desus tak pernah luput dari
pemberitaan di kantor. Seluruh karyawan sibuk menggali informasi tentang
kehidupan keluargaku termasuk kelakuan istriku yang dikatakan simpanan suami
orang.
Tak kalah hebatnya lagi
teman sekantorku memergoki istriku keluar dari sebuah hotel bintang tiga di
tengah kota. Sudah janggal rasanya mendengar hal seperti itu. Aku hanya bisa
membisu dan tak berdaya.
“Ah,
sudahlah!”
Kalimat itu selalu terluncur dari mulutku. Mereka
hanya ingin memastikan keadaan aku dan istriku. Sejumlah karyawan selalu
menemuiku untuk berbincang-bincang dengan hal yang sangat rahasia bagiku.
Hatiku pecah tak terarah lagi. Sejenak aku
tinggalkan untuk penenangan jiwa. Aku pun beranjak dari kumpulan mulut-mulut
tajam dengan lidah tak bertulang.
***
Rautan raksasa itu memancarkan diri bersama
titik-titik cahaya, tandakan hitam-hitam sudah menyatu dengan sempurna. Detik
berjalan sangat deras seiring suasana malam yang mencekam. Otakku berputar
kencang mengelilingi masa depan anak-anakku nanti.
Istriku tidak akan menjadikan buah hatiku menjadi
orang yang bijaksana melainkan menciptakan bagaimana cara mendapatkan uang secara
tidak wajar. Sungguh aku tidak menginginkan hal itu. Meski waktuku akan
berakhir, takkan ku biarkan istriku menguasai seluruh hartaku untuk kepentingan
dirinya.
Secara rahasia aku berusaha sembunyikan
penderitaan yang kusebut pembunuh yang bekerja secara diam-diam dengan
investasi secara perlahan dalam otakku.
Istriku masih diam, acuh tak acuh. Pintu kamar telah ditutup. Anak-anak tidak
dibiarkan masuk. Ia menggelengkan kepala pertanda musik menguasai kedua telinga
lembutnya sambil mengedipkan mata ke arah layar telepon genggamannya.
Selang dua jam, aku terbangun. Raut
parasnya terlihat pulas dan sangat polos tak menandakan kesalahan terbesar
dalam keluarga. Teringat kembali tingkah lakunya, rasa itu semakin retak hingga
menuju kehancuran kalbu.
“Aku harus mempersiapkan warisan
untuk masa depan anak-anakku sebelum aku pergi meninggalkan mereka. Waktuku
sudah tidak panjang. Vonis itu telah menghantuiku.”
Sebuah persegi panjang yang
berukuran empat belas sentimeter dengan tinggi dua puluh lima sentimeter itu
telah dipenuhi berbagai program teraktual yang menyatu dalam dunia secara
universal dengan sambungan internet itu menjadi saksi peryataan.
Jariku tak hentinya menari dengan lincah secara
beruntun. Tidak ada sepatah kata lagi. Kalimat yang meluncur dari bibirku
selalu konsisten dan menghitam dalam benak. Seketika kumpulan huruf-huruf
mungil itu berarak.
Kepalaku putar belit dan berasa jemu sekali. Virus
itu mulai bekerja keras lagi. Butiran-butiran ampuh akan kutanam lagi. Terasa
goyah berasa tak nyaman di tubuh.
***
Nyanyian jago wakilkan dering angka yang terbalut
kaca dalam kamar tidur. Sinar dunia masih tertutup selimut putih-putih biru
secara lambat dengan waktu yang akan menggeser diri untuk memamerkan cahayanya.
Meja kebutuhan itu menghidangkan berbagai sajian
pagi. Seperti biasanya keluargaku menjalani berbagai aktifitasnya. Namun, suatu pertanda selalu saja
menemaniku saat keindahan memancarkan kesejukan.
“Kali ini aku saja yang menghantarkan anak-anak ke
sekolah. Kebetulan aku memimpin rapat yang lokasinya tak jauh dengan sekolah
anak-anak.”
Lagi-lagi istriku acuh tak acuh.
“Tumben sekali! Ya, memang seharusnya itu urusanmu
sebagai ibu dari anak-anak.”
Lagi-lagi tak ada suara. Aku dan istriku terus
berpandangan. Tatapan matanya seakan berbicara. Ketidakacuhannya membuat aku
untuk enggan merangkai sajak-sajak indah untuk mengucapkannya.
“Aku berangkat dulu. Sampai jumpa dan tunggu
kepulangan kami.”
Nada istriku bergetar. Membentur dinding-dinding
hati. Menghantam pikiranku. Kata yang dilontarkan dari bibirnya sangat biasa.
Tetapi menyimpan makna yang sangat tajam. Aku terdiam. Terpaku. Tak ada lagi
kata maupun nada yang keluar kecuali desahan nafas yang menahan tanya.
Tidak ada sepatah sajak. Senyuman maut yang selalu
aku hadirkan di hadapan mereka. Istriku pun berlalu meninggalkan ruangan sajian
bersama anak-anak. Kulangkahkan kedua kaki untuk mencari nafkah.
Beranjak meninggalkan rumah, telepon yang berada
dalam sudut ruangan terdengar nyaring. Beralih aku kembali memasuki wadah yang
berukuran sepuluh kali lima belas meter itu untuk menjawab suara instrumen.
“Tidak…..!!!”
Aku histeris.
“Ini tidak mungkin terjadi. Cukup !”
Nadaku bergetar hebat. Kedua bola penglihatanku
melahirkan air suci. Sulit dipercaya, itulah kenyataannya. Terlalu cepat.
Sangat cepat. Mereka meninggalkan aku sendiri. Menghantam diri dari
keterpurukkan.
***
Sekiranya peristiwa itu tak ada, maka aku masih
bersama keluargaku. Terasa pedih melebihi penyakit yang melanda kepalaku.
Sempat terpikir hidupku akan berakhir dan meninggalkan orang terdekat termasuk
keluargaku.
Kenyataannya aku hidup sendiri. Sepi berserak.
Panggilan itu telah dilalui keluargaku. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Kelak
seiring waktu yang merangkak, aku akan punah dengan sendirinya.
***
Hari-hari telah berlalu. Angin masih
saja genit dan menggigit tubuhku disertai daun-daun yang berguguran. Menabur
bunga, menetes air dimata. Aku bersedih. Dingin hati terasa, separuh jiwaku
menghampa perih itu terbalut sepi. Melar sendiri.
Mereka telah pergi meninggalkan aku yang kini
merindukan kehadirannya ke nirwana. Jemari kaku, hilang bentuk. Rintik-rintik
putih jatuhkan diri. Membalut kisah. Air mata pun terus menampar hati.
Mereka telah pergi dan tak mungkin kembali. Kecelakaan itu merupakan saat terakhirku bersama
istri dan anak-anakku.
Dengan jiwa yang sepi, aku tetap hidup. Sendiri. Aku masih sendiri. Menunggu.
Aku akan tetap menunggu. Lemahnya penglihatanku menandakan kejayaan penyakit
itu yang semakin lama semakin besar berinvestasi dalam organ otakku. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar