Sabtu, 19 Januari 2013

Cerpen : Ria Jelia Saragih



Panggilan untuk Keluargaku                        

 

S
elamat pagi waktu. Selamat siang waktu. Selamat sore waktu. Selamat malam waktu. Loka seakan gelap seiring perjalanan hidupku. Hidup ini tak bisa dimengerti, secuilpun tak bisa kupahami.
            Keindahan pernikahan tidak berlaku buatku. Bukan sebuah kebahagiaan namun kehampaan. Teringat janji di masa lalu tentang sebuah pernikahan indah, mengikat ikrar dalam bahtera rumah tangga, namun semua itu lenyap sudah.
            Aku menikahi perempuan yang tergila-gila pada ide. Sementara virus yang berada dalam otakku semakin akut. Apalagi sejak dokter menvonis usiaku tidak lama lagi.
“Maaf. Cuma sepotong roti. Ada rapat di kantor.”
            Hanya tiga kalimat yang terucap dari bibir merahnya. Jiwaku semakin gusar tak menentu. Tingkah itu membuatku jenuh. Anak-anakku butuh kasih sayang dari sosok seorang ibu. Paras mungil mereka membuatku semangat hidup.
            Rahasia terbesar jika keluargaku tidak mengetahui penderitaanku. Walau pekerjaan selalu menodongku dalam waktu yang singkat. Aku tetap semangat demi anakku.
            Istriku sungguh keterlaluan setelah mengenal lelaki topeng yang dianggapnya rekan kerjanya itu. Perhatiannya terhadap anak-anak pupus sudah. Permainan dalam ponselnya membuat ia sibuk dengan kumpulan huruf-huruf yang tertera sambil menggerakkan tepi mulut sebelah bawah dan atas tanpa sebab tertentu.
***
            Waktu semakin kencang. Gedung cokelat itu terus pamerkan diri yang semakin hari semakin maju. Segala pernak-pernik timbul dalam tubuhnya. Namun, seolah menertawakan aku dalam kehampaan. Batinku tertekan, pikiran pun memuncak.
            Pancaran mentari semakin membuatku lelah tak berdaya. Segumpal jiwa dihimpit masalah. Tiba-tiba munculah setitik cahaya yang semakin lama semakin menyungsep dalam penerangan. Motivasi pun berkobar saat rangkaian kata tersaji menyambutku.
            “Pagi, kawan. Tampaknya kau gelisah. Lebih penting pikirkan masa depan anak-anakmu dan yang paling utama lagi masalah penyakitmu itu. Jangan pikirkan omongan orang lain. Ciptakan harimu dengan semangat,” gumanan Ari yang berselera humor yang tak lain sahabatku.
            Berbagai desas-desus tak pernah luput dari pemberitaan di kantor. Seluruh karyawan sibuk menggali informasi tentang kehidupan keluargaku termasuk kelakuan istriku yang dikatakan simpanan suami orang.
            Tak kalah hebatnya lagi teman sekantorku memergoki istriku keluar dari sebuah hotel bintang tiga di tengah kota. Sudah janggal rasanya mendengar hal seperti itu. Aku hanya bisa membisu dan tak berdaya.
            “Ah, sudahlah!”
Kalimat itu selalu terluncur dari mulutku. Mereka hanya ingin memastikan keadaan aku dan istriku. Sejumlah karyawan selalu menemuiku untuk berbincang-bincang dengan hal yang sangat rahasia bagiku.
Hatiku pecah tak terarah lagi. Sejenak aku tinggalkan untuk penenangan jiwa. Aku pun beranjak dari kumpulan mulut-mulut tajam dengan lidah tak bertulang.
***
Rautan raksasa itu memancarkan diri bersama titik-titik cahaya, tandakan hitam-hitam sudah menyatu dengan sempurna. Detik berjalan sangat deras seiring suasana malam yang mencekam. Otakku berputar kencang mengelilingi masa depan anak-anakku nanti.
Istriku tidak akan menjadikan buah hatiku menjadi orang yang bijaksana melainkan menciptakan bagaimana cara mendapatkan uang secara tidak wajar. Sungguh aku tidak menginginkan hal itu. Meski waktuku akan berakhir, takkan ku biarkan istriku menguasai seluruh hartaku untuk kepentingan dirinya.
Secara rahasia aku berusaha sembunyikan penderitaan yang kusebut pembunuh yang bekerja secara diam-diam dengan investasi secara perlahan dalam otakku.
Istriku masih diam, acuh tak acuh. Pintu kamar telah ditutup. Anak-anak tidak dibiarkan masuk. Ia menggelengkan kepala pertanda musik menguasai kedua telinga lembutnya sambil mengedipkan mata ke arah layar telepon genggamannya.
Selang dua jam, aku terbangun. Raut parasnya terlihat pulas dan sangat polos tak menandakan kesalahan terbesar dalam keluarga. Teringat kembali tingkah lakunya, rasa itu semakin retak hingga menuju kehancuran kalbu.
“Aku harus mempersiapkan warisan untuk masa depan anak-anakku sebelum aku pergi meninggalkan mereka. Waktuku sudah tidak panjang. Vonis itu telah menghantuiku.”
Sebuah persegi panjang yang berukuran empat belas sentimeter dengan tinggi dua puluh lima sentimeter itu telah dipenuhi berbagai program teraktual yang menyatu dalam dunia secara universal dengan sambungan internet itu menjadi saksi peryataan.
Jariku tak hentinya menari dengan lincah secara beruntun. Tidak ada sepatah kata lagi. Kalimat yang meluncur dari bibirku selalu konsisten dan menghitam dalam benak. Seketika kumpulan huruf-huruf mungil itu berarak.
Kepalaku putar belit dan berasa jemu sekali. Virus itu mulai bekerja keras lagi. Butiran-butiran ampuh akan kutanam lagi. Terasa goyah berasa tak nyaman di tubuh.
***
Nyanyian jago wakilkan dering angka yang terbalut kaca dalam kamar tidur. Sinar dunia masih tertutup selimut putih-putih biru secara lambat dengan waktu yang akan menggeser diri untuk memamerkan cahayanya.
Meja kebutuhan itu menghidangkan berbagai sajian pagi. Seperti biasanya keluargaku menjalani berbagai aktifitasnya. Namun, suatu pertanda selalu saja menemaniku saat keindahan memancarkan kesejukan.
“Kali ini aku saja yang menghantarkan anak-anak ke sekolah. Kebetulan aku memimpin rapat yang lokasinya tak jauh dengan sekolah anak-anak.”
Lagi-lagi istriku acuh tak acuh.
“Tumben sekali! Ya, memang seharusnya itu urusanmu sebagai ibu dari anak-anak.”
Lagi-lagi tak ada suara. Aku dan istriku terus berpandangan. Tatapan matanya seakan berbicara. Ketidakacuhannya membuat aku untuk enggan merangkai sajak-sajak indah untuk mengucapkannya.
“Aku berangkat dulu. Sampai jumpa dan tunggu kepulangan kami.”
Nada istriku bergetar. Membentur dinding-dinding hati. Menghantam pikiranku. Kata yang dilontarkan dari bibirnya sangat biasa. Tetapi menyimpan makna yang sangat tajam. Aku terdiam. Terpaku. Tak ada lagi kata  maupun nada yang keluar kecuali desahan nafas yang menahan tanya.
Tidak ada sepatah sajak. Senyuman maut yang selalu aku hadirkan di hadapan mereka. Istriku pun berlalu meninggalkan ruangan sajian bersama anak-anak. Kulangkahkan kedua kaki untuk mencari nafkah.
Beranjak meninggalkan rumah, telepon yang berada dalam sudut ruangan terdengar nyaring. Beralih aku kembali memasuki wadah yang berukuran sepuluh kali lima belas meter itu untuk menjawab suara instrumen.
“Tidak…..!!!”
Aku histeris.
“Ini tidak mungkin terjadi. Cukup !”
Nadaku bergetar hebat. Kedua bola penglihatanku melahirkan air suci. Sulit dipercaya, itulah kenyataannya. Terlalu cepat. Sangat cepat. Mereka meninggalkan aku sendiri. Menghantam diri dari keterpurukkan.
***
Sekiranya peristiwa itu tak ada, maka aku masih bersama keluargaku. Terasa pedih melebihi penyakit yang melanda kepalaku. Sempat terpikir hidupku akan berakhir dan meninggalkan orang terdekat termasuk keluargaku.
Kenyataannya aku hidup sendiri. Sepi berserak. Panggilan itu telah dilalui keluargaku. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Kelak seiring waktu yang merangkak, aku akan punah dengan sendirinya.
***
Hari-hari telah berlalu. Angin masih saja genit dan menggigit tubuhku disertai daun-daun yang berguguran. Menabur bunga, menetes air dimata. Aku bersedih. Dingin hati terasa, separuh jiwaku menghampa perih itu terbalut sepi. Melar sendiri.
Mereka telah pergi meninggalkan aku yang kini merindukan kehadirannya ke nirwana. Jemari kaku, hilang bentuk. Rintik-rintik putih  jatuhkan diri. Membalut kisah. Air mata pun terus menampar hati. Mereka telah pergi dan tak mungkin kembali. Kecelakaan itu merupakan saat terakhirku bersama istri dan anak-anakku.
Dengan jiwa yang sepi, aku tetap hidup. Sendiri. Aku masih sendiri. Menunggu. Aku akan tetap menunggu. Lemahnya penglihatanku menandakan kejayaan penyakit itu yang semakin lama semakin besar berinvestasi dalam organ otakku.  ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar