Menggugat Kesadaran ‘Aku’ Dalam Cerpen “Mukena Buat
Ibu” Karya Ratna Sari Mandefa
S
|
ejatinya manusia itu memang makhluk penyadar. Sadar akan dirinya, sadar
akan salah dan benar. Kendalanya terkadang tahupun dia yang dilakukan itu salah,
eh malah dilakukan saja seperti tak ada hambatan.
Begitulah manusia, hari
ini ingat akan kesalahan kemarin, besok lupa lagi. Meskipun begitu tabiat
manusia tetap tak dapat dihalalkan pula adanya. Mengingat tentang lupa-lupa
ingat, marilah kita kaji cerpen milik Ratna Sari Mandefa dengan judul ”Mukena
Buat Ibu” yang terbit di Rubrik Budaya Harian Mimbar Umum tanggal 5 Januari
2013.
Cerpen ini mengambil setting
tempat di Jakarta dengan tokoh utama diberi nama Faisal. Faisal tinggal di
rumah kontrakannya yang berdekatan dengan terminal. Bekerja sebagai pencopet
dan penghasut orang-orang untuk memakai pil setan.
Dia juga dijuluki Liar oleh orang-orang terminal karena
kelihaiannya dalam bekerja. Si Liar bukan hanya pencopet biasa, dia juga
termasuk pimpinan kawanan pencopet.
Pekerjaan mencopet si tokoh utama ini bukanlah karena dia
datang dari keluarga tidak mampu, bukan masalah perut tapi pergaulan dan
lingkunganlah yang membuatnya sedemikian. Digambarkan juga bahwa ibu dan
ayahnya ingin menjadikannya anak yang berpendidikan dan bekerja yang baik tapi
gagal.
Ketika di kampung orang tuanya memberikannya modal usaha
tapi berselang enam bulan semuanya ludes akibat ulahnya sendiri. Bersebab
piutang yang banyak di kampung halaman, akhinya dia memutuskan pergi ke Jakarta
tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Itulah sebab dia pergi ke Jakarta. Sedangkan mengenai
perangainya, itu sudah bawaan dari tanah lahirnya.
Sebagai manusia, si Pencerita menyelipkan pula nilai
penyadaran akan kesalahan-kesalahan yang dia lakukan seperti yang digambarkan.
Hal itu dapat kita lihat pada penggalan cerpen berikut ini:
”Namaku Faisal,
tapi orang-orang terminal ini menyebutku Liar. Karena aku selalu liar mencopet dan liar menghasut
orang-orang memakai pil setan. Dan di terminal ini aku termasuk pimpinan
kawanan pencopet. Saat mencopet, terasa sekali pergulatan batin yang membuat
jiwaku terasa teriris. Antara kekuatan baik dan buruk.”
Pada kalimat akhir paragraf di atas, kita menemukan sifat
kemanusiaan pada Faisal. Sifat itu sia-sia
sebab dia tetap saja berpihak pada buruk walau ia paham itu buruk. Itulah
kesadaran yang sia-sia.
Mengenai perangai, saya menemukan ketimpangan cerita pada
asal mula Faisal. Pertama dikatakan Faisal berperangai seperti itu bukan karena
masalah ekonomi, melainkan pergaulan dan lingkungan ketika dia belum berangkat
ke Ibu kota (masih di kampung).
Namun pada cerita selanjutnya dikatakan pula Faisal
berasal dari keluarga yang baik-baik dan dari kampung yang agamais. Bukankah
pernyataan itu bertolak belakang? Dikatakan kampung agamais, pastilah sebab
penduduknya yang agamais maka dikatakan kampung itu agamais.
Bagaimana pula dengan perangai Faisal yang diperoleh dari
lingkungan dan pergaulannya? Sebenarnya di mana kampung Faisal!
Mungkin kita sepakat jika kita katakan Faisal ini bengal
dan lambai. Diceritakan lagi bahwa ibunya pernah berpesan kepadanya ingin
dibelikan mukena dari hasil yang halal sebelum meninggal.
Makna yang didapat dari penambahan kata halal dalam
permintaan ibunya itu mengasumsikan bahwa sama sekali yang dikerjakan Faisal
tak pernah halal. Karena berpenghasilan tak halal maka ibunya minta mukena dari
hasil yang halal.
Sementara dalam cerita si Faisal selalu saja disadarkan
akan perbuatannya yang salah. Akhirnya bertambah jelaslah kebengalan dan
kelambaiannya.
Di tengah kebengalan dan kelambaiannya, ada juga hal baik
yang menurut si pencerita yang masih dipegang teguh, yaitu tak mnegatakan ‘ah’
dan membentak kepada orang tua. Itu pesan ibunya ketika dia masih duduk di
bangku kelas 3 SD.
Alangkah bengal dan lambainya, ketika dalam ujaran tak
dilakukan tapi dalam perbuatan lebih dari yang disarankan dijalankan. Itulah si Faisal, tokoh utama dalam cerpen Mukena Buat Ibu.
Ada kerancuan lagi yang ditemukan pada paragraf yang
berbunyi sebagai berikut:
“Copet”! teriak
wanita itu mengiringi lariku menuju kerumunan penumpang bis, dalam hitungan
detik aku telah hilang dalam kegelapan dan lolos dari hajaran massa.
Secara logika,
manalah mungkin pencopet yang kedapatan mencopet berani berlari menuju kerumunan
orang. Apalagi dia sendiri. Secara spontan pencopet akan lari menuju jalan yang
lapang tanpa hambatan sehingga dia dapat berlari sekencang-kencangnya dan
sejauh-jauhnya bukan malah berlari ke tempat orang ramai, apalagi yang
kecopetan sudah berteriak. Begitulah psikologinya.
Akhirnya
melompat pada ending cerita, bahwa
sebenarnya yang dicopet Faisal tadi adalah adik kandungnya. Hal itupun dia
ketahui dari foto yang terselip di dompet itu. Keadaan itu tak lama berselang
dari peristiwa kecopetan. Dengan bersegera, faisal pun kembali ke TKP.
Di perempatan
menuju ke sana, dia diserempet mobil sedangkan dompet dan mukena yang
dibawanya terbang entah kemana. Akhirnya Faisal pun tak sadarkan diri.
Begitulah ending dari cerpen Ratna Sari Mandefa.
Banyak hal yang tak logika dan pengungkapan yang salah
tempat terdapat dalam cerpen ini. Sebagian saja yang dapat dipaparkan sebagai
bahan masukan dan pertimbangan bagi si Pencerita untuk kelahiran karya-karyanya
yang lain. Salam sastra. ***
Percut, 6 Januari 2013
Syafrizal Sahrun. Alumni UISU dan sekarang Mahasiswa PPs UMN. Menulis puisi dan esai di
surat kabar Mimbar Umum, Waspada, Analisa, Medan Bisnis, Haluan Kepri, Lampung
Post, Majalah Digital FRASA dan Majalah Horison.
,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar