Sabtu, 19 Januari 2013

ESAI : Syafrizal Sahrun


Menggugat Kesadaran ‘Aku’ Dalam Cerpen “Mukena Buat Ibu” Karya Ratna Sari Mandefa

 

S
ejatinya manusia itu memang makhluk penyadar. Sadar akan dirinya, sadar akan salah dan benar. Kendalanya terkadang tahupun dia yang dilakukan itu salah, eh malah dilakukan saja seperti tak ada hambatan.
            Begitulah manusia, hari ini ingat akan kesalahan kemarin, besok lupa lagi. Meskipun begitu tabiat manusia tetap tak dapat dihalalkan pula adanya. Mengingat tentang lupa-lupa ingat, marilah kita kaji cerpen milik Ratna Sari Mandefa dengan judul ”Mukena Buat Ibu” yang terbit di Rubrik Budaya Harian Mimbar Umum tanggal 5 Januari 2013.
Cerpen ini mengambil setting tempat di Jakarta dengan tokoh utama diberi nama Faisal. Faisal tinggal di rumah kontrakannya yang berdekatan dengan terminal. Bekerja sebagai pencopet dan penghasut orang-orang untuk memakai pil setan.
Dia juga dijuluki Liar oleh orang-orang terminal karena kelihaiannya dalam bekerja. Si Liar bukan hanya pencopet biasa, dia juga termasuk pimpinan kawanan pencopet.
Pekerjaan mencopet si tokoh utama ini bukanlah karena dia datang dari keluarga tidak mampu, bukan masalah perut tapi pergaulan dan lingkunganlah yang membuatnya sedemikian. Digambarkan juga bahwa ibu dan ayahnya ingin menjadikannya anak yang berpendidikan dan bekerja yang baik tapi gagal.
Ketika di kampung orang tuanya memberikannya modal usaha tapi berselang enam bulan semuanya ludes akibat ulahnya sendiri. Bersebab piutang yang banyak di kampung halaman, akhinya dia memutuskan pergi ke Jakarta tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Itulah sebab dia pergi ke Jakarta. Sedangkan mengenai perangainya, itu sudah bawaan dari tanah lahirnya.
Sebagai manusia, si Pencerita menyelipkan pula nilai penyadaran akan kesalahan-kesalahan yang dia lakukan seperti yang digambarkan. Hal itu dapat kita lihat pada penggalan cerpen berikut ini:
”Namaku Faisal, tapi orang-orang terminal ini menyebutku Liar. Karena aku selalu liar mencopet dan liar menghasut orang-orang memakai pil setan. Dan di terminal ini aku termasuk pimpinan kawanan pencopet. Saat mencopet, terasa sekali pergulatan batin yang membuat jiwaku terasa teriris. Antara kekuatan baik dan buruk.”
Pada kalimat akhir paragraf di atas, kita menemukan sifat kemanusiaan pada Faisal. Sifat itu sia-sia sebab dia tetap saja berpihak pada buruk walau ia paham itu buruk. Itulah kesadaran yang sia-sia.
Mengenai perangai, saya menemukan ketimpangan cerita pada asal mula Faisal. Pertama dikatakan Faisal berperangai seperti itu bukan karena masalah ekonomi, melainkan pergaulan dan lingkungan ketika dia belum berangkat ke Ibu kota (masih di kampung).
Namun pada cerita selanjutnya dikatakan pula Faisal berasal dari keluarga yang baik-baik dan dari kampung yang agamais. Bukankah pernyataan itu bertolak belakang? Dikatakan kampung agamais, pastilah sebab penduduknya yang agamais maka dikatakan kampung itu agamais.
Bagaimana pula dengan perangai Faisal yang diperoleh dari lingkungan dan pergaulannya? Sebenarnya di mana kampung Faisal!
Mungkin kita sepakat jika kita katakan Faisal ini bengal dan lambai. Diceritakan lagi bahwa ibunya pernah berpesan kepadanya ingin dibelikan mukena dari hasil yang halal sebelum meninggal.
Makna yang didapat dari penambahan kata halal dalam permintaan ibunya itu mengasumsikan bahwa sama sekali yang dikerjakan Faisal tak pernah halal. Karena berpenghasilan tak halal maka ibunya minta mukena dari hasil yang halal.
Sementara dalam cerita si Faisal selalu saja disadarkan akan perbuatannya yang salah. Akhirnya bertambah jelaslah kebengalan dan kelambaiannya.
Di tengah kebengalan dan kelambaiannya, ada juga hal baik yang menurut si pencerita yang masih dipegang teguh, yaitu tak mnegatakan ‘ah’ dan membentak kepada orang tua. Itu pesan ibunya ketika dia masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Alangkah bengal dan lambainya, ketika dalam ujaran tak dilakukan tapi dalam perbuatan lebih dari yang disarankan dijalankan. Itulah si Faisal, tokoh utama  dalam cerpen Mukena Buat Ibu.
Ada kerancuan lagi yang ditemukan pada paragraf yang berbunyi sebagai berikut:
“Copet”! teriak wanita itu mengiringi lariku menuju kerumunan penumpang bis, dalam hitungan detik aku telah hilang dalam kegelapan dan lolos dari hajaran massa.
 Secara logika, manalah mungkin pencopet yang kedapatan mencopet berani berlari menuju kerumunan orang. Apalagi dia sendiri. Secara spontan pencopet akan lari menuju jalan yang lapang tanpa hambatan sehingga dia dapat berlari sekencang-kencangnya dan sejauh-jauhnya bukan malah berlari ke tempat orang ramai, apalagi yang kecopetan sudah berteriak. Begitulah psikologinya.
Akhirnya melompat pada ending cerita, bahwa sebenarnya yang dicopet Faisal tadi adalah adik kandungnya. Hal itupun dia ketahui dari foto yang terselip di dompet itu. Keadaan itu tak lama berselang dari peristiwa kecopetan. Dengan bersegera, faisal pun kembali ke TKP.
Di perempatan  menuju ke sana, dia diserempet mobil sedangkan dompet dan mukena yang dibawanya terbang entah kemana. Akhirnya Faisal pun tak sadarkan diri. Begitulah ending dari cerpen Ratna Sari Mandefa.
Banyak hal yang tak logika dan pengungkapan yang salah tempat terdapat dalam cerpen ini. Sebagian saja yang dapat dipaparkan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi si Pencerita untuk kelahiran karya-karyanya yang lain. Salam sastra. ***

Percut, 6 Januari 2013




Syafrizal Sahrun. Alumni UISU dan sekarang Mahasiswa PPs UMN. Menulis puisi dan esai di surat kabar Mimbar Umum, Waspada, Analisa, Medan Bisnis, Haluan Kepri, Lampung Post, Majalah Digital FRASA dan Majalah Horison.
,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar