Sabtu, 12 Januari 2013

Cerpen : Ummi Wipi (Sabtu, 12 Januari 2013)



Pohon Cinta

 

S
enja mulai tiba. Tampak di sebelah Barat langit merah berpadu jingga. Kampus mulai sepi. Mata kuliah Sosiolinguistik pun berakhir. Aku mulai mengemas buku-buku dan alat tulis lainnya ke dalam tas.  Huh… akhirnya selesai juga.  Sudah sedari tadi mata  ini melirik ke jam yang melingkar di tangan. Tak sabar cepat-cepat ke luar.
Aku pun keluar dari ruangan dan menuruni anak tangga satu persatu, ekstrahati-hati karena lantainya yang licin ditambah lagi sepatu tumitku yang sedikit sensitif dengan keramik. Kulangkahkan kakiku ke sebuah pohon yang sering kami juluki pohon cinta yang terletak di belakang fakultas. Pohonnya amat rindang dan sejuk. Sebelum pulang ke kos aku ingin istirahat sejenak di bawah pohon ini untuk menghilangkan rasa jenuh karena satu harian belajar.
Huh… kuhelakan lagi nafasku sambil menuju pohon cinta. Etsss … ternyata bukan aku saja yang ingin menghilangkan rasa jenuh duduk di bawah pohon cinta. Pak Ahmad yang menjadi dosen Semantikku sudah terlebih dahulu duduk di bawah pohon itu. Tapi ngomong-ngomong, apakah beliau juga merasa jenuh karena mengajar satu harian? Bukankah beliau pernah berkata kalau mengajar adalah hobi yang sudah mendarah daging baginya? Kusapa beliau sok ramah.
“Selamat sore, Pak.”
“Sore, loh kok belum pulang?”
“Iya, Pak, mau duduk-duduk  sebentar di sini, untuk menghilangkan rasa jenuh.”
Beliau hanya tersenyum mendengar perkataanku.
“Bapak sendiri kok belum pulang?”
“ Bapak biasa seperti ini, Nak, sebelum pulang atau sewaktu istirahat Bapak sempatkan sejenak duduk di bawah pohon cinta ini.”
Aku sempat tercengang mendengarkan perkataan beliau. Kok Bapak ini menjuluki pohon ini  sebagai pohon cinta juga ya? Padahal julukan itukan yang tahu hanya aku, Manda, dan juga Imel.
“Kenapa Bapak menjuluki pohon ini sebagai pohon cinta, Pak?” tanyaku mencari tahu.
“Karena setiap orang yang duduk di bawah pohon ini akan merasakan cinta, Nak. Cinta dari sebuah pohon yang telah memberikan kesejukan bagi setiap orang yang duduk di bawahnya.  Ada kisah cinta yang sangat hebat yang terjadi di bawah pohon ini, Nak,” ucapnya padaku dengan begitu meyakinkan.
“Kau mau mendengarkannya?”
“Mau, Pak,” jawabku tanpa ragu.
Jarang sekali kutemui dosen yang mau menceritakan tentang kehidupannya apalagi tentang kisah cintanya. Pak Ahmad memang  sosok dosen yang terbuka. Keakrabannya pada siswa membuatku semakin mengaguminya. Pak Ahmad berhenti sejenak berbicara. Sesaat ia menarik nafas. Dadanya kelihatan amat sesak ketika hendak bercerita tentang kisah cinta itu.
“Ini kisah saya sendiri, Nak.”
Aku pun semakin serius untuk mendengarkannya. Dengan perlahan Pak Ahmad menceritakan kisah cintanya.
**
Dulu saya memiliki sahabat seorang wanita yang sangat baik. Kami sangat dekat. Tak pernah ada pertengkaran di antara kami, mengerjakan tugas selalu bersama, bahkan dalam hal-hal kegiatan di kampus kami juga selalu bersama. Sampai teman-teman beranggapan kalau kami pacaran.
Hari berganti saya lalui bersamanya. Entah mengapa perasaan cinta itu pun  mulai datang mengelabui hati saya. Tapi saya tak berani untuk mengungkapkan cinta itu kepadanya. Kami sering duduk di bawah pohon ini. Sekadar untuk bercerita, mengerjakan tugas atau menghilangkan rasa penat. Sama seperti kamu, sebelum pulang ke rumah menyempatkan diri untuk duduk sejenak di bawah pohon ini.
Dia juga seperti itu, sangat suka duduk di bawah pohon ini. Dia menjuluki pohon ini sebagai pohon cinta. Sempat saya bertanya mengapa kamu menyebut pohon ini sebagai pohon cinta? Dia mengatakan karena setiap orang yang duduk di sini akan merasakan cinta dari sebuah pohon yang memberikan suatu kesejukan dan keindahan.
Belum lama saya kuliah, orang tua saya meninggal dunia. Sebagai anak sulung saya harus menjadi tulang punggung dalam keluarga. Siang malam saya bekerja keras. Meskipun demikian, saya tetap melanjutkan cita-cita dan impian-impian saya. Pukul dua sampai pukul lima dini pagi saya bekerja di Pasar Sambu sebagai buruh, menurunkan sayur dari truk serta mengantarkan sayur-sayur tersebut kepada penjual.
Sepulang dari bekerja  saya sempatkan tidur sejenak untuk memulihkan tenaga.  Pukul tujuh tiga puluh  saya sudah harus ke kampus. Tak jarang saya harus tergesa-gesa dan berpenampilan apa adanya. Sore hari setelah pulang kuliah saya sempatkan untuk menarik becak dayung sebentar, buat tambah-tambahan kebutuhan sehari-hari. Sampai akhirnya saya tak fokus lagi terhadap pelajaran.
Untungnya ada wanita yang menjadi sahabat saya itu, yang mau membantu saya baik di kala suka maupun duka. Dialah yang mengerjakan semua tugas-tugas kuliah saya. Semakin hari rasa cinta itu semakin bergejolak dalam hati, saya begitu sangat mencintainya. Toh, saya tak berani untuk mengungkapkannya. Yang saya takutkan adalah jika saya mengungkapkannya tetapi dia tidak mencintai saya, maka hancurlah harapan dan cita-cita saya, karena selama ini dialah yang mengerjakan tugas-tugas kuliah saya. Saya hanya membahas tugas-tugas itu ketika sudah diselesaikannya.
Sewindu berlalu, hati kian beradu. Cinta itu semakin mengusik hati saya. Saya tak tahu cinta itu apakah juga dimilikinya. Tak berapa lama, ada pria yang mencintainya. Pria itu selalu menitipkan salam untuknya,tapi saya tak pernah menyampaikannya. Hingga pria itu menitipkan surat cinta pada saya untuknya. Saya bimbang untuk memberikan.
Sudah lima hari surat itu di tangan saya, tapi belum juga saya berikan. Siang malam saya berpikir keras. Jika dia pacaran dengan pria lain bagaimana dengan nasib saya yang amat mencintainya? Bagaimana dengan hati dan perasaan saya? Bagaimana pula dengan tugas-tugas saya yang selama ini dikerjakannya? Haruskah saya mengorbankan semuanya? Ah, entahlah ketika itu hati dan pikiran saya bertempur. 
Hingga akhirnya saya lebih mendengarkan hati kecil yang lebih memilih untuk menyampaikan amanah orang lain. Dengan membaca Bismillah saya menguatkan hati memberikan surat itu padanya. Meski resikonya menyayat hati saya. Sebelum memberikan surat itu, saya mengajaknya untuk duduk di bawah pohon ini, kemudian dengan bimbang dan berat hati saya mengeluarkan amplop merah jambu dan memberikan kepadanya.
“Dari siapa?” tanyanya sambil menatap mata saya dengan begitu serius.
Saya tak menjawabnya, karena saya tahu si pengirim surat pasti mencantumkan namanya.
Dengan perlahan dibukanya amplop tersebut. Kemudian dibacanya. Saya hanya menundukkan kepala. Saya terkejut ketika melihatnya merobek-robek surat itu. Apakah isi surat itu ada yang membuatnya sakit hati? Ditatapnya mata saya begitu dalam, seolah-olah dia akan memancarkan sinar cinta. Jantung saya berdetak kencang. Kemudian saya lihat matanya mulai berkaca dan akhirnya mengeluarkan bola-bola mutiara yang jatuh di pipi. Dipeluknya saya dengan erat, air matanya pun membasahi pundak saya.
“Kau jahat,” ucapnya di telinga saya. “Apakah kau tak tahu selama ini aku mencintaimu?”
Darah saya yang tak berjalan dengan lancar , mulai stabil ketika  mendengar ucapannya. Saya hapus air matanya. Dia pun terdiam.
“Selama ini aku juga mencintaimu, tapi yang kutakutkan jika kau tak membalas cintaku maka semua itu akan merusak persahabatan kita.”
Pohon cinta inilah yang menyaksikan kisah cinta kami dan pohon cinta ini pula yang menjadi saksi di mana kami mengukir cinta dan persahabatan. Lama kami merajut cinta dan persahabatan. Semua berjalan dengan baik, sampai akhirnya kami tamat meraih gelar S1.
 Setelah itu saya jarang berjumpa dengannya. Karena sibuk seharian mendayung becak. Pekerjaan menjadi buruh di Pasar Sambu pun terpaksa saya hentikan, mengingat kesehatan tubuh yang mulai menurun akibat pengaruh angin malam.
Suatu saat saya memutuskan untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. Kedatangan saya disambut baik oleh Ibunya. Saya dipersilahkan duduk dan dihidangkan secangkir teh hangat. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki berbadan tegap membawa mobil sedan berwarna hitam. Tanpa salam laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Dia adalah orang tua pacar saya.
“Sepeda siapa di depan?”
“Sepeda teman saya, Pa, ini orangnya. Namanya Ahmad.”
Saya pun megulurkan tangan dan menyetel wajah dengan senyuman.
“Sejak kapan kamu berteman dengan orang pinggiran?” ketus papanya tanpa menghiraukan perasaan saya. Kemudian papanya masuk ke dalam kamar. Hati ini bagai tersayat belati ketika mendengarnya.
Waktu telah berlalu, lamaran pekerjaan saya pun diterima di beberapa sekolah. Tapi saya masih tetap menarik becak buat tambahan biaya sekolah keenam adik saya.  Dua kali saya mengirim surat padanya sama sekali tak ada balasan. Ketika saya mangkal becak di pajak Petisah, orang tua pacar saya menemui saya. Dia mencampakkan sebuah surat ke wajah saya. Surat itu adalah surat yang saya kirim dua hari yang lalu untuk pacar saya.
“Jangan bermimpi kamu akan mendapatkan anak saya, jauhi dia. Dasar orang pinggiran tak tahu diri.”
Satu hari setelah kejadian itu pacar saya mengirim surat bahwa papanya telah mengetahui hubungan kami berdua. Papanya sangat marah ketika mengetahuinya. Di dalam surat itu, dia meminta untuk menemui saya di suatu tempat.
“Dalam minggu ini aku akan bertunangan dengan laki-laki lain, maafkan aku.”
Saya sangat terkejut mendengarkan kata-katanya, mulut saya kaku, tubuh saya bergetar dan lemas sepertinya saya akan roboh. Segampang itu dia mengakhiri cinta ini.
“Mengapa kau lakukan ini semua padaku?”
“Maafkan aku, yang pasti semua ini bukanlah pilihan hatiku.”
“Lantas?”
“Aku tak ingin melihatmu tersakiti.”
“Apa maksudmu, bukankah sekarang kau menyakitiku.”
Dia hanya terdiam dan meneteskan air mata.
“Kau tahu, Papa tak merestui hubungan kita berdua. Papa nekad menyuruh orang untuk membunuhmu jika aku tak menerima lamaran dari anak sahabat Papaku. Aku  tak ingin kau mati.” Isak tangisnya meledak. Didekapnya saya. “Maafkan aku, ketahuilah aku sangat mencintaimu.”
**
Itulah, Nak, segelintir kisah cinta amat pahit yang pernah saya alami. Kalimat dan pesan terakhir yang terucap dari mulutnya, “Tolong jangan lupakan kisah cinta kita di bawah pohon cinta. Karena di bawah pohon cinta itulah kita merajut sebuah cinta dan persahabatan, meskipun cinta kita terputus tapi kuharap kau takkan memutuskan tali persahabatan kita. Dan jika Tuhan memang mengizinkan di pohon cinta itu pulalah kita akan bertemu nantinya.”  Tapi sampai sekarang saya belum pernah bertemu dengannya. Kabar terakhir yang saya dapat dari teman saya dia ada di Riau karena suaminya ditugaskan di sana.
“Riau?”
Saya terkejut ketika Pak Ahmad menyebutkan kampung halaman saya. Sekilas teringat kembali di memoriku, bukankah sebelumnya aku pernah mendengar cerita ini juga dari ibu? Jangan jangan….
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.
“Kalau boleh saya tahu, siapa nama wanita yang menjadi pacar Bapak?”
“Raitina,” ucapnya dengan nada pelan.
Seketika jantungku berdetak kencang, tanganku bergetar. Ibu… ***




Ummi Wipi adalah nama pena dari Ummi Habibah Damanik. Mahasiswa FKIP UMSU semester VII.







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar