Pohon Cinta
S
|
enja
mulai tiba. Tampak di sebelah Barat langit merah berpadu jingga. Kampus mulai
sepi. Mata kuliah Sosiolinguistik pun berakhir. Aku mulai mengemas buku-buku
dan alat tulis lainnya ke dalam tas.
Huh… akhirnya selesai juga. Sudah
sedari tadi mata ini melirik ke jam yang
melingkar di tangan. Tak sabar cepat-cepat ke luar.
Aku pun keluar dari ruangan dan menuruni
anak tangga satu persatu, ekstrahati-hati karena lantainya yang licin ditambah
lagi sepatu tumitku yang sedikit sensitif dengan keramik. Kulangkahkan kakiku
ke sebuah pohon yang sering kami juluki pohon cinta yang terletak di belakang fakultas.
Pohonnya amat rindang dan sejuk. Sebelum pulang ke kos aku ingin istirahat
sejenak di bawah pohon ini untuk menghilangkan rasa jenuh karena satu harian
belajar.
Huh… kuhelakan lagi nafasku sambil
menuju pohon cinta. Etsss … ternyata bukan aku saja yang ingin menghilangkan
rasa jenuh duduk di bawah pohon cinta. Pak Ahmad yang menjadi dosen Semantikku
sudah terlebih dahulu duduk di bawah pohon itu. Tapi ngomong-ngomong, apakah
beliau juga merasa jenuh karena mengajar satu harian? Bukankah beliau pernah berkata
kalau mengajar adalah hobi yang sudah mendarah daging baginya? Kusapa beliau
sok ramah.
“Selamat sore, Pak.”
“Sore, loh kok belum pulang?”
“Iya, Pak, mau duduk-duduk sebentar di sini, untuk menghilangkan rasa
jenuh.”
Beliau hanya tersenyum mendengar
perkataanku.
“Bapak sendiri kok belum pulang?”
“ Bapak biasa seperti ini, Nak, sebelum
pulang atau sewaktu istirahat Bapak sempatkan sejenak duduk di bawah pohon
cinta ini.”
Aku sempat tercengang mendengarkan
perkataan beliau. Kok Bapak ini menjuluki pohon ini sebagai pohon cinta juga ya? Padahal julukan
itukan yang tahu hanya aku, Manda, dan juga Imel.
“Kenapa Bapak menjuluki pohon ini
sebagai pohon cinta, Pak?” tanyaku mencari tahu.
“Karena setiap orang yang duduk di bawah
pohon ini akan merasakan cinta, Nak. Cinta dari sebuah pohon yang telah
memberikan kesejukan bagi setiap orang yang duduk di bawahnya. Ada kisah cinta yang sangat hebat yang terjadi
di bawah pohon ini, Nak,” ucapnya padaku dengan begitu meyakinkan.
“Kau mau mendengarkannya?”
“Mau, Pak,” jawabku tanpa ragu.
Jarang sekali kutemui dosen yang mau
menceritakan tentang kehidupannya apalagi tentang kisah cintanya. Pak Ahmad
memang sosok dosen yang terbuka.
Keakrabannya pada siswa membuatku semakin mengaguminya. Pak Ahmad berhenti
sejenak berbicara. Sesaat ia menarik nafas. Dadanya kelihatan amat sesak ketika
hendak bercerita tentang kisah cinta itu.
“Ini kisah saya sendiri, Nak.”
Aku pun semakin serius untuk
mendengarkannya. Dengan perlahan Pak Ahmad menceritakan kisah cintanya.
**
Dulu
saya memiliki sahabat seorang wanita yang sangat baik. Kami sangat dekat. Tak
pernah ada pertengkaran di antara kami, mengerjakan tugas selalu bersama,
bahkan dalam hal-hal kegiatan di kampus kami juga selalu bersama. Sampai
teman-teman beranggapan kalau kami pacaran.
Hari
berganti saya lalui bersamanya. Entah mengapa perasaan cinta itu pun mulai datang mengelabui hati saya. Tapi saya
tak berani untuk mengungkapkan cinta itu kepadanya. Kami sering
duduk di bawah pohon ini. Sekadar untuk bercerita, mengerjakan tugas atau
menghilangkan rasa penat. Sama seperti kamu, sebelum pulang ke rumah
menyempatkan diri untuk duduk sejenak di bawah pohon ini.
Dia
juga seperti itu, sangat suka duduk di bawah pohon ini. Dia menjuluki pohon ini
sebagai pohon cinta. Sempat saya bertanya mengapa kamu menyebut pohon ini
sebagai pohon cinta? Dia mengatakan karena setiap orang yang duduk di sini akan
merasakan cinta dari sebuah pohon yang memberikan suatu kesejukan dan
keindahan.
Belum
lama saya kuliah, orang tua saya meninggal dunia. Sebagai anak sulung saya
harus menjadi tulang punggung dalam keluarga. Siang malam saya bekerja keras.
Meskipun demikian, saya tetap melanjutkan cita-cita dan impian-impian saya.
Pukul dua sampai pukul lima dini pagi saya bekerja di Pasar Sambu sebagai buruh,
menurunkan sayur dari truk serta mengantarkan sayur-sayur tersebut kepada
penjual.
Sepulang
dari bekerja saya sempatkan tidur
sejenak untuk memulihkan tenaga. Pukul
tujuh tiga puluh saya sudah harus ke
kampus. Tak jarang saya harus tergesa-gesa dan berpenampilan apa adanya. Sore
hari setelah pulang kuliah saya sempatkan untuk menarik becak dayung sebentar,
buat tambah-tambahan kebutuhan sehari-hari. Sampai akhirnya saya tak fokus lagi
terhadap pelajaran.
Untungnya
ada wanita yang menjadi sahabat saya itu, yang mau membantu saya baik di kala
suka maupun duka. Dialah yang mengerjakan semua tugas-tugas kuliah saya. Semakin
hari rasa cinta itu semakin bergejolak dalam hati, saya begitu sangat
mencintainya. Toh, saya tak berani untuk mengungkapkannya. Yang saya takutkan
adalah jika saya mengungkapkannya tetapi dia tidak mencintai saya, maka
hancurlah harapan dan cita-cita saya, karena selama ini dialah yang mengerjakan
tugas-tugas kuliah saya. Saya hanya membahas tugas-tugas itu ketika sudah
diselesaikannya.
Sewindu
berlalu, hati kian beradu. Cinta itu semakin mengusik hati saya. Saya tak tahu
cinta itu apakah juga dimilikinya. Tak berapa lama, ada pria yang mencintainya.
Pria itu selalu menitipkan salam untuknya,tapi saya tak pernah menyampaikannya.
Hingga pria itu menitipkan surat cinta pada saya untuknya. Saya bimbang untuk
memberikan.
Sudah
lima hari surat itu di tangan saya, tapi belum juga saya berikan. Siang malam
saya berpikir keras. Jika dia pacaran dengan pria lain bagaimana dengan nasib
saya yang amat mencintainya? Bagaimana dengan hati dan perasaan saya? Bagaimana
pula dengan tugas-tugas saya yang selama ini dikerjakannya? Haruskah saya
mengorbankan semuanya? Ah, entahlah ketika itu hati dan pikiran saya
bertempur.
Hingga
akhirnya saya lebih mendengarkan hati kecil yang lebih memilih untuk
menyampaikan amanah orang lain. Dengan membaca Bismillah saya menguatkan hati
memberikan surat itu padanya. Meski resikonya menyayat hati saya. Sebelum memberikan
surat itu, saya mengajaknya untuk duduk di bawah pohon ini, kemudian dengan
bimbang dan berat hati saya mengeluarkan amplop merah jambu dan memberikan
kepadanya.
“Dari
siapa?” tanyanya sambil menatap mata saya dengan begitu serius.
Saya
tak menjawabnya, karena saya tahu si pengirim surat pasti mencantumkan namanya.
Dengan
perlahan dibukanya amplop tersebut. Kemudian dibacanya. Saya hanya menundukkan
kepala. Saya terkejut ketika melihatnya merobek-robek surat itu. Apakah isi
surat itu ada yang membuatnya sakit hati? Ditatapnya mata saya begitu dalam,
seolah-olah dia akan memancarkan sinar cinta. Jantung saya berdetak kencang.
Kemudian saya lihat matanya mulai berkaca dan akhirnya mengeluarkan bola-bola
mutiara yang jatuh di pipi. Dipeluknya saya dengan erat, air matanya pun
membasahi pundak saya.
“Kau
jahat,” ucapnya di telinga saya. “Apakah kau tak tahu selama ini aku
mencintaimu?”
Darah
saya yang tak berjalan dengan lancar , mulai stabil ketika mendengar ucapannya. Saya hapus air matanya.
Dia pun terdiam.
“Selama
ini aku juga mencintaimu, tapi yang kutakutkan jika kau tak membalas cintaku
maka semua itu akan merusak persahabatan kita.”
Pohon cinta inilah yang menyaksikan
kisah cinta kami dan pohon cinta ini pula yang menjadi saksi di mana kami
mengukir cinta dan persahabatan. Lama kami merajut cinta dan persahabatan. Semua
berjalan dengan baik, sampai akhirnya kami tamat meraih gelar S1.
Setelah itu saya jarang berjumpa dengannya.
Karena sibuk seharian mendayung becak. Pekerjaan menjadi buruh di Pasar Sambu
pun terpaksa saya hentikan, mengingat kesehatan tubuh yang mulai menurun akibat
pengaruh angin malam.
Suatu
saat saya memutuskan untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. Kedatangan saya
disambut baik oleh Ibunya. Saya dipersilahkan duduk dan dihidangkan secangkir teh
hangat. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki berbadan tegap membawa mobil
sedan berwarna hitam. Tanpa salam laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Dia
adalah orang tua pacar saya.
“Sepeda
siapa di depan?”
“Sepeda
teman saya, Pa, ini orangnya. Namanya Ahmad.”
Saya
pun megulurkan tangan dan menyetel wajah dengan senyuman.
“Sejak
kapan kamu berteman dengan orang pinggiran?” ketus papanya tanpa menghiraukan
perasaan saya. Kemudian papanya masuk ke dalam kamar. Hati ini bagai tersayat
belati ketika mendengarnya.
Waktu
telah berlalu, lamaran pekerjaan saya pun diterima di beberapa sekolah. Tapi
saya masih tetap menarik becak buat tambahan biaya sekolah keenam adik
saya. Dua kali saya mengirim surat
padanya sama sekali tak ada balasan. Ketika saya mangkal becak di pajak Petisah,
orang tua pacar saya menemui saya. Dia mencampakkan sebuah surat ke wajah saya.
Surat itu adalah surat yang saya kirim dua hari yang lalu untuk pacar saya.
“Jangan
bermimpi kamu akan mendapatkan anak saya, jauhi dia. Dasar orang pinggiran tak
tahu diri.”
Satu
hari setelah kejadian itu pacar saya mengirim surat bahwa papanya telah
mengetahui hubungan kami berdua. Papanya sangat marah ketika mengetahuinya. Di
dalam surat itu, dia meminta untuk menemui saya di suatu tempat.
“Dalam
minggu ini aku akan bertunangan dengan laki-laki lain, maafkan aku.”
Saya
sangat terkejut mendengarkan kata-katanya, mulut saya kaku, tubuh saya bergetar
dan lemas sepertinya saya akan roboh. Segampang itu dia mengakhiri cinta ini.
“Mengapa
kau lakukan ini semua padaku?”
“Maafkan
aku, yang pasti semua ini bukanlah pilihan hatiku.”
“Lantas?”
“Aku
tak ingin melihatmu tersakiti.”
“Apa
maksudmu, bukankah sekarang kau menyakitiku.”
Dia
hanya terdiam dan meneteskan air mata.
“Kau
tahu, Papa tak merestui hubungan kita berdua. Papa nekad menyuruh orang untuk
membunuhmu jika aku tak menerima lamaran dari anak sahabat Papaku. Aku tak ingin kau mati.” Isak tangisnya meledak.
Didekapnya saya. “Maafkan aku, ketahuilah aku sangat mencintaimu.”
**
Itulah, Nak, segelintir kisah cinta amat
pahit yang pernah saya alami. Kalimat dan pesan terakhir yang terucap dari
mulutnya, “Tolong jangan lupakan kisah
cinta kita di bawah pohon cinta. Karena di bawah pohon cinta itulah kita
merajut sebuah cinta dan persahabatan, meskipun cinta kita terputus tapi kuharap
kau takkan memutuskan tali persahabatan kita. Dan jika Tuhan memang mengizinkan
di pohon cinta itu pulalah kita akan bertemu nantinya.” Tapi sampai sekarang saya belum pernah
bertemu dengannya. Kabar terakhir yang saya dapat dari teman saya dia ada di
Riau karena suaminya ditugaskan di sana.
“Riau?”
Saya terkejut ketika Pak Ahmad
menyebutkan kampung halaman saya. Sekilas teringat kembali di memoriku,
bukankah sebelumnya aku pernah mendengar cerita ini juga dari ibu? Jangan
jangan….
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.
“Kalau boleh saya tahu, siapa nama
wanita yang menjadi pacar Bapak?”
“Raitina,” ucapnya dengan nada pelan.
Seketika jantungku berdetak kencang,
tanganku bergetar. Ibu… ***
Ummi Wipi adalah
nama pena dari Ummi Habibah Damanik. Mahasiswa FKIP UMSU semester VII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar