Sabtu, 26 Januari 2013

Cerpen : Indri



KURUS KERITING DI AEK INTAN

 

D
erak bus mini yang seperti kendaraan pribadi itu masih berdentang dan sesekali menjerit karena harus berperang dengan jalanan dari tanah kuning yang berbatu dan berkelok. Sepicing pun aku tidak bisa memejamkan mataku, kepalaku sesak meskipun oksigen segar disemburkan oleh pohon-pohon yang tumbuh rimbun di sepanjang bibir jalan.
Ada begitu banyak tempat di Negara ini tapi mengapa harus tempat ini. Tempat di mana orang-orang tidak bisa berbelanja kapanpun ia mau, tempat di mana tidak ada lampu warna-warni di malam hari, tempat dimana tidak ada es krim, tempat di mana angkutan umum tidak selalu tersedia mengantar kemana pun kita akan pergi.
Baru setengah perjalanan tapi rindu seperti menusuk di ulu hatiku. Aku rindu rumahku, aku rindu rumah nenek, aku rindu boneka beruang yang tertinggal di rumah, aku rindu rantang kecil tempat makananku yang tertinggal di rumah nenek, aku rindu sepeda kecilku, aku rindu pondok kain di belakang rumah nenek tempat aku bermain, aku rindu teman-temanku, aku rindu sekolahku, aku rindu Pak Ilan penjual es krim, aku rindu semua yang ada di kampung halamanku.
           Rinduku ditambah aroma lengket yang berasal dari latek* bersatu menjadi gumpalan besar di perutku yang tak hentinya meloncat berusaha keluar melewati kerongkonganku. Mengapa harus tempat ini? Tempat yang hanya dihuni oleh barisan pohon-pohon karet, dan setiap 100 km baru akan ditemukan tumpukan rumah penduduk (pondok) yang  berderet dengan bentuk dan warna yang sama yang diapit oleh rimbun pohon karet.
Kompleks SD terpencil, itu tujuan kami, aku, ayah, dan aba**ku. Kami menghabiskan seharian penuh untuk mencapai tempat itu. Kami sampai di pemberhentian bus paling akhir di pondok paling akhir, mungkin itu yang disebut ujung jalan dunia karena setelah tempat itu tidak ada jalan ke tempat lain.
Awalnya, aku sedikit lega setidaknya kami akan tinggal di tempat yang sedikit ramai penghuninya, tapi tunggu ini bukan tujuan kami. Tujuan kami masih ada di seberang sungai. Kami harus menuruni pinggiran bukit kemudian melewati jembatan menyeberangi sungai kembali mendaki dinding bukit.
Di sana, di salah-satu rumah susun untuk guru yang berada berhadapan dengan sekolah, Omak*** sedang menunggu kami. Satu tahun yang lalu Omak ditempatkan di tempat ini setelah ia dinyatakan lulus ujian PNS. Ayah di sini menemani Omak, sedangkan aku dan abaku tinggal di rumah nenek.
Tapi setelah satu tahun ayah merasa tidak bisa bekerja sebagai buruh perkebunan, ayah memutuskan untuk kembali ke kampung dan sebagai gantinya aku dan abaku yang tinggal di sini menemani Omak. Aku sangat merindukan Omak, meskipun setiap sebulan sekali ia datang mengunjungi kami.
Di tempat yang diselubungi rimbunan pohon karet itu hanya ada lima rumah guru, satu kantor dan empat ruang kelas, meskipun yang satu berbentuk seperti rumah yang disulap menjadi sebuah kelas. Untuk menyiasati kekurangan kelas, siswa kelas 1,2 dan 5,6 masuk pagi sementara siswa kelas 3 dan 4 masuk siang.
Setidaknya aku dan abaku beruntung kami pindah ke sekolah ini saat kelas 3. Karena meskipun kompleks SD terpencil, sekolah ini adalah sekolah dengan disiplin yang sangat tinggi yang pernah aku dapati. 06.30 siswa-siswa sudah berdatangan dan tanpa dikomando mereka serentak langsung mengambil sapu lidi yang ada di kelas masing-masing membersihkan serakan daun-daun karet yang kering di halaman sekolah.
Tidak ada sedikitpun celah yang tertinggal, semua dibersihkan. Itu pagi pertama kami di tempat itu. Tubuhku menggulung di dalam selimut, rasanya tidak ingin beranjak sedikitpun tapi itu hari pertama kami di sekolah baru, tepatnya itu hari Senin dan kami harus bergegas mengikuti upacara bendera meskipun kami masuk siang.
Tidak ada kamar mandi di rumah, kami harus menuruni dinding bukit menuju ke pancuran, mata air yang di bendung kemudian dipasang batu besar berdiameter 10cm yang berbentuk seperti pipa. Di manapun aku belum pernah melihat air sebening itu, yang tanpa ragu bisa langsung meminumnya, yang tidak pernah kering meski musim kemarau panjang.
Tempat itu, tidak heran orang-orang di sana menyebutnya ‘aek Intan’, aek berarti air sedangkan Intan berarti permata yang berwarna putih bersih seperti kristal. Aku yang terbiasa tinggal di daerah pantai dengan suhu rata-rata 34˚C ini seketika menggigil saat guyuran kristal cair ini menyentuh tubuhku. Kristal-kristal itu berubah menjadi jarum-jarum kecil yang menusuk kulit hingga sum-sumku.
Hari pertama aku dan abaku seperti tamu istimewa berbaris di podium tersendiri, sigap menantang ke arah matahari. Itu bukan penghargaan melainkan hukuman karena kami datang terlambat. Terlambat datang ke sekolah pada hari Senin adalah pelanggaran peraturan yang sangat fatal.
Dari sekian banyak pelanggaran, ‘terlambat’ adalah hal yang paling besar. Sebut saja saat upacara siswa tidak memakai topi, maka siap-siap mendapatkan benjolan besar di kepala dari lesat gumpalan tangan pemimpin upacara. Meningkat sedikit pembaca UUD 45 atau Janji Siswa terbata-bata saat membaca, ini akan ditangani langsung oleh pembina upacara, dan bisa dibayangkan berapa besar tingkatan hukumannya.
Tidak ada toleransi, meski kami murid baru di sekolah ini, terlambat berarti melanggar peraturan dan kami harus menerima konsekuensinya. Meski kami anak dari salah satu guru di sekolah ini, peraturan tetap peraturan. Tidak memandang siapapun.
Hari pertama tanpa memperkenalkan diri kami langsung terkenal karena ulah guru piket yang secara masal memperkenalkan kami di depan seluruh guru dan siswa, tapi setidaknya kami tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri. Catatan di hari pertama, hari Senin adalah hari yang sangat menegangkan di Aek Intan.
Aku dan abaku bukan tipe yang gampang bergaul dengan orang lain, hampir seminggu kami hanya bermain berdua karena hari pertama itu kami merasa tidak punya kepercayaan diri untuk berteman dengan teman-teman baru kami. Aku bahkan tidak berani menatap mata mereka. Sampai seorang anak laki-laki berparas lembut -- dengan rambut keriting dan bertubuh sangat kurus -- datang menghampiri kami. Aku langsung tahu kalau dia juga bukan berasal dari tempat ini karena saat ia berbicara terdengar medok khas Jawa. 
Aku masih ingat waktu itu, aku dan abaku sedang bermain kelereng, di kampungku. Bermain kelereng hanya dengan menembak kelereng lawan. Jika kelereng lawan kena tembakan, kelereng itu akan jadi milik kita. Tapi dia datang dan langsung mengajak kami bermain kelereng dengan versi yang lain, serimbang. Memungut kelereng dengan melemparnya ke atas dan menangkapnya kembali satu persatu dari tumpukan pasir dengan satu tangan sampai semua kelereng terkumpul.
Sejak hari itu kami berteman dan seiring waktu kami hampir berteman dengan semua teman yang sekelas dengan kami, tidak hanya bermain bersama kami bahkan sering dihukum bersama. Waktu itu pelajaran Matematika guru kelas kami Pak Sirait terkenal sangat keras saat mengajar, satu persatu kami dipinta mengerjakan soal di papan tulis.
Aku tidak ingat persis soal apa yang diberikan, tapi yang jelas dari empat puluh siswa hanya satu orang yang bisa mengerjakannya. Selebihnya kami semua dihukum berlari dari sekolah ke simpang jalan menuju sekolah yang jauhnya kira-kira 1 km sebanyak sepuluh kali. Alhasil temanku si kurus keriting harus dilarikan ke kantor guru karena sesak napas.
 Sekolah kami sangat jauh dari segala hal, jika terjadi sesuatu pertolongan pertama hanya dilakukan oleh guru-guru dengan mengambil pasokan obat di rumah masing-masing. Untunglah obat berwarna pink itu sangat manjur membantu temanku si kurus keriting mengumpulkan napasnya yang terpenggal-penggal.
Berbicara mengenai temanku si kurus keriting. Dia dan adiknya pindah ke tempat ini satu minggu sebelum kami. Mereka pindah dari pulau jawa karena ibu mereka meninggal dan mereka harus tinggal di sini bersama ayah dan ibu tiri mereka. Tinggal berdesakan bersama empat saudara tiri mereka. Setiap hari mereka adalah penghuni pertama yang hadir di sekolah, mereka selalu datang lebih awal, bahkan ketika aku baru bangun tidur mereka sudah bermain dengan tumpukan pasir di halaman sekolah.
Meskipun kami masuk siang, tapi dia selalu datang lebih cepat dari yang masuk di kelas pagi, karena ia harus menemani adiknya yang masih duduk di kelas 1. Kakak-beradik itu tidak terbayang berapa jauh mereka berjalan menuju sekolah. Lusuh sepatu-sepatu mereka sudah menceritakan apa saja yang mereka lewati.
Peluh yang melekat di baju mereka menjelaskan seberapa jauh jalan yang mereka tapaki. Tapi, senyum mereka tidak pernah mengisyaratkan tentang lelah. Jangan tanyakan tentang jajan di sekolah, karena sepengetahuanku mereka tidak pernah terlihat membeli makanan apapun, bekal makanan juga tidak ada. Hanya air putih di dalam sebuah botol minuman mineral yang terlihat kumal karena entah berapa kali di isi ulang.
Walaupun begitu si kurus keriting tetap si kurus keriting. Dia akan tetap tersenyum meskipun yang sejengkal keroncongan. Hanya dengan bermain, setidaknya yang sejengkal sedikit terlupakan. Tidak terhitung berapa banyak permainan yang ia perkenalkan padaku. Mulai dari serimbang, se-ma-ma-se melompati akar rumput perkebunan karet seperti lompat tali. Membuat cincin dari biji salak. Menangkap udang di pancuran dan hanya dengan menepuk udang hingga merah kita langsung bisa memakannya. Mengutip biji sawit dan memakan isinya.
Terakhir permainan “patung”, tidak sulit melakukan permainan ini, hanya sebuah perjanjian. Dua orang yang berjanji kapanpun dan di manapun mereka bertemu dan siapapun yang lebih dulu mengatakan patung, maka yang satunya harus menjadi patung sampai lawan mengatakan selesai. Terakhir, dan tak pernah lagi.
                                                            ***     
Aek Intan masih dengan pendiriannya, tetap bening seperti kristal dan selalu setia menusuk kulit hingga sum-sumku. Masih dengan pagi yang seraki daun-daun karet yang mengering, masih dengan anak-anak sekolah yang berduyun menyapu halaman sekolah, masih dengan upacara hari senin yang menegangkan, masih dengan disiplin peraturan, masih dengan hukuman bagi yang kurang dalam pelajaran, masih dengan seribu permainan, meski tanpa si kurus keriting.
Hampir satu bulan si kurus keriting tidak hadir ke sekolah begitu juga dengan adiknya. Saat itu kami akan menghadapi ujian kenaikan ke kelas empat. Kudengar dia dan adiknya diangkat oleh orang tua asuh dan mereka di bawa pergi.
Hey!! Kurus keriting. Teman seperti apa kau? Meninggalkan Aek Intan, meninggalkan kami, hanya bilang “patung”?
                                                            ***
Aek Intan masih dengan pendiriannya tetap bening seperti kristal dan selalu setia menusuk kulit hingga sum-sumku. Masih dengan pagi yang seraki daun-daun karet yang mengering, masih dengan anak-anak sekolah yang berduyun menyapu halaman sekolah, masih dengan upacara hari senin yang menegangkan, masih dengan disiplin peraturan, masih dengan hukuman bagi yang kurang dalam pelajaran, masih dengan seribu permainan, dan aku masih merindukan si kurus keriting di Aek Intan.
                                               
                                                            ==***==
                                                               *untuk sahabat kecilku. Apa kabar teman?

                                                                                    Medan, 10 Maret 2012
                                                                                                                                         
*Latek, tempat penyimpanan getah karet
** Aba, Abang
***Omak, Ibu
                                                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar