KURUS
KERITING DI AEK INTAN
D
|
erak
bus mini yang seperti kendaraan pribadi itu masih berdentang dan sesekali
menjerit karena harus berperang dengan jalanan dari tanah kuning yang berbatu dan
berkelok. Sepicing pun aku tidak bisa memejamkan mataku, kepalaku sesak
meskipun oksigen segar disemburkan oleh pohon-pohon yang tumbuh rimbun di
sepanjang bibir jalan.
Ada
begitu banyak tempat di Negara ini tapi mengapa harus tempat ini. Tempat di mana
orang-orang tidak bisa berbelanja kapanpun ia mau, tempat di mana tidak ada
lampu warna-warni di malam hari, tempat dimana tidak ada es krim, tempat di mana
angkutan umum tidak selalu tersedia mengantar kemana pun kita akan pergi.
Baru
setengah perjalanan tapi rindu seperti menusuk di ulu hatiku. Aku rindu
rumahku, aku rindu rumah nenek, aku rindu boneka beruang yang tertinggal di
rumah, aku rindu rantang kecil tempat makananku yang tertinggal di rumah nenek,
aku rindu sepeda kecilku, aku rindu pondok kain di belakang rumah nenek tempat
aku bermain, aku rindu teman-temanku, aku rindu sekolahku, aku rindu Pak Ilan
penjual es krim, aku rindu semua yang ada di kampung halamanku.
Rinduku ditambah aroma lengket yang
berasal dari latek* bersatu
menjadi gumpalan besar di perutku yang tak hentinya meloncat berusaha keluar
melewati kerongkonganku. Mengapa
harus tempat ini? Tempat yang hanya dihuni oleh barisan pohon-pohon karet, dan
setiap 100 km baru akan ditemukan tumpukan rumah penduduk (pondok) yang berderet dengan bentuk dan warna yang sama
yang diapit oleh rimbun pohon karet.
Kompleks
SD terpencil, itu tujuan kami, aku, ayah, dan aba**ku. Kami menghabiskan seharian penuh untuk mencapai
tempat itu. Kami sampai di pemberhentian bus paling akhir di pondok paling
akhir, mungkin itu yang disebut ujung jalan dunia karena setelah tempat itu
tidak ada jalan ke tempat lain.
Awalnya,
aku sedikit lega setidaknya kami akan tinggal di tempat yang sedikit ramai
penghuninya, tapi tunggu ini bukan tujuan kami. Tujuan kami masih ada di seberang
sungai. Kami harus menuruni pinggiran bukit kemudian melewati jembatan menyeberangi
sungai kembali mendaki dinding bukit.
Di
sana, di salah-satu rumah susun untuk guru yang berada berhadapan dengan
sekolah, Omak*** sedang
menunggu kami. Satu tahun yang lalu Omak ditempatkan
di tempat ini setelah ia dinyatakan lulus ujian PNS. Ayah di sini menemani Omak, sedangkan aku dan abaku tinggal di rumah nenek.
Tapi
setelah satu tahun ayah merasa tidak bisa bekerja sebagai buruh perkebunan,
ayah memutuskan untuk kembali ke kampung dan sebagai gantinya aku dan abaku yang tinggal di sini menemani Omak. Aku sangat merindukan Omak, meskipun setiap sebulan sekali ia
datang mengunjungi kami.
Di
tempat yang diselubungi rimbunan pohon karet itu hanya ada lima rumah guru,
satu kantor dan empat ruang kelas, meskipun yang satu berbentuk seperti rumah
yang disulap menjadi sebuah kelas. Untuk menyiasati kekurangan kelas, siswa
kelas 1,2 dan 5,6 masuk pagi sementara siswa kelas 3 dan 4 masuk siang.
Setidaknya
aku dan abaku beruntung kami pindah ke sekolah ini saat kelas 3. Karena
meskipun kompleks SD terpencil, sekolah ini adalah sekolah dengan disiplin yang
sangat tinggi yang pernah aku dapati. 06.30 siswa-siswa sudah berdatangan dan
tanpa dikomando mereka serentak langsung mengambil sapu lidi yang ada di kelas
masing-masing membersihkan serakan daun-daun karet yang kering di halaman
sekolah.
Tidak
ada sedikitpun celah yang tertinggal, semua dibersihkan. Itu pagi pertama kami
di tempat itu. Tubuhku menggulung di dalam selimut, rasanya tidak ingin
beranjak sedikitpun tapi itu hari pertama kami di sekolah baru, tepatnya itu
hari Senin dan kami harus bergegas mengikuti upacara bendera meskipun kami
masuk siang.
Tidak
ada kamar mandi di rumah, kami harus menuruni dinding bukit menuju ke pancuran, mata air yang di bendung
kemudian dipasang batu besar berdiameter 10cm yang berbentuk seperti pipa. Di manapun
aku belum pernah melihat air sebening itu, yang tanpa ragu bisa langsung
meminumnya, yang tidak pernah kering meski musim kemarau panjang.
Tempat
itu, tidak heran orang-orang di sana menyebutnya ‘aek Intan’, aek berarti air
sedangkan Intan berarti permata yang berwarna putih bersih seperti kristal. Aku
yang terbiasa tinggal di daerah pantai dengan suhu rata-rata 34˚C ini seketika
menggigil saat guyuran kristal cair ini menyentuh tubuhku. Kristal-kristal itu
berubah menjadi jarum-jarum kecil yang menusuk kulit hingga sum-sumku.
Hari
pertama aku dan abaku seperti tamu
istimewa berbaris di podium tersendiri, sigap menantang ke arah matahari. Itu bukan
penghargaan melainkan hukuman karena kami datang terlambat. Terlambat datang ke
sekolah pada hari Senin adalah pelanggaran peraturan yang sangat fatal.
Dari
sekian banyak pelanggaran, ‘terlambat’ adalah hal yang paling besar. Sebut saja
saat upacara siswa tidak memakai topi, maka siap-siap mendapatkan benjolan
besar di kepala dari lesat gumpalan tangan pemimpin upacara. Meningkat sedikit
pembaca UUD 45 atau Janji Siswa terbata-bata saat membaca, ini akan ditangani
langsung oleh pembina upacara, dan bisa dibayangkan berapa besar tingkatan
hukumannya.
Tidak
ada toleransi, meski kami murid baru di sekolah ini, terlambat berarti
melanggar peraturan dan kami harus menerima konsekuensinya. Meski kami anak
dari salah satu guru di sekolah ini, peraturan tetap peraturan. Tidak memandang
siapapun.
Hari
pertama tanpa memperkenalkan diri kami langsung terkenal karena ulah guru piket
yang secara masal memperkenalkan kami di depan seluruh guru dan siswa, tapi
setidaknya kami tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri. Catatan di hari
pertama, hari Senin adalah hari yang sangat menegangkan di Aek Intan.
Aku
dan abaku bukan tipe yang gampang bergaul dengan orang lain, hampir seminggu
kami hanya bermain berdua karena hari pertama itu kami merasa tidak punya
kepercayaan diri untuk berteman dengan teman-teman baru kami. Aku bahkan tidak
berani menatap mata mereka. Sampai seorang anak laki-laki berparas lembut -- dengan
rambut keriting dan bertubuh sangat kurus -- datang menghampiri kami. Aku
langsung tahu kalau dia juga bukan berasal dari tempat ini karena saat ia
berbicara terdengar medok khas Jawa.
Aku
masih ingat waktu itu, aku dan abaku sedang bermain kelereng, di kampungku. Bermain
kelereng hanya dengan menembak kelereng lawan. Jika kelereng lawan kena
tembakan, kelereng itu akan jadi milik kita. Tapi dia datang dan langsung
mengajak kami bermain kelereng dengan versi yang lain, serimbang. Memungut kelereng dengan melemparnya ke atas dan
menangkapnya kembali satu persatu dari tumpukan pasir dengan satu tangan sampai
semua kelereng terkumpul.
Sejak
hari itu kami berteman dan seiring waktu kami hampir berteman dengan semua teman
yang sekelas dengan kami, tidak hanya bermain bersama kami bahkan sering
dihukum bersama. Waktu itu pelajaran Matematika guru kelas kami Pak Sirait
terkenal sangat keras saat mengajar, satu persatu kami dipinta mengerjakan soal
di papan tulis.
Aku
tidak ingat persis soal apa yang diberikan, tapi yang jelas dari empat puluh
siswa hanya satu orang yang bisa mengerjakannya. Selebihnya kami semua dihukum
berlari dari sekolah ke simpang jalan menuju sekolah yang jauhnya kira-kira 1 km
sebanyak sepuluh kali. Alhasil temanku si kurus keriting harus dilarikan ke
kantor guru karena sesak napas.
Sekolah kami sangat jauh dari segala hal, jika
terjadi sesuatu pertolongan pertama hanya dilakukan oleh guru-guru dengan
mengambil pasokan obat di rumah masing-masing. Untunglah obat berwarna pink itu
sangat manjur membantu temanku si kurus keriting mengumpulkan napasnya yang
terpenggal-penggal.
Berbicara
mengenai temanku si kurus keriting. Dia dan adiknya pindah ke tempat ini satu
minggu sebelum kami. Mereka pindah dari pulau jawa karena ibu mereka meninggal
dan mereka harus tinggal di sini bersama ayah dan ibu tiri mereka. Tinggal
berdesakan bersama empat saudara tiri mereka. Setiap hari mereka adalah
penghuni pertama yang hadir di sekolah, mereka selalu datang lebih awal, bahkan
ketika aku baru bangun tidur mereka sudah bermain dengan tumpukan pasir di
halaman sekolah.
Meskipun
kami masuk siang, tapi dia selalu datang lebih cepat dari yang masuk di kelas
pagi, karena ia harus menemani adiknya yang masih duduk di kelas 1.
Kakak-beradik itu tidak terbayang berapa jauh mereka berjalan menuju sekolah.
Lusuh sepatu-sepatu mereka sudah menceritakan apa saja yang mereka lewati.
Peluh
yang melekat di baju mereka menjelaskan seberapa jauh jalan yang mereka tapaki.
Tapi, senyum mereka tidak pernah mengisyaratkan tentang lelah. Jangan tanyakan
tentang jajan di sekolah, karena sepengetahuanku mereka tidak pernah terlihat
membeli makanan apapun, bekal makanan juga tidak ada. Hanya air putih di dalam
sebuah botol minuman mineral yang terlihat kumal karena entah berapa kali di
isi ulang.
Walaupun
begitu si kurus keriting tetap si kurus keriting. Dia akan tetap tersenyum
meskipun yang sejengkal keroncongan. Hanya dengan bermain, setidaknya yang
sejengkal sedikit terlupakan. Tidak terhitung berapa banyak permainan yang ia
perkenalkan padaku. Mulai dari serimbang, se-ma-ma-se
melompati akar rumput perkebunan karet seperti lompat tali. Membuat cincin
dari biji salak. Menangkap udang di pancuran dan hanya dengan menepuk udang
hingga merah kita langsung bisa memakannya. Mengutip biji sawit dan memakan
isinya.
Terakhir
permainan “patung”, tidak sulit
melakukan permainan ini, hanya sebuah perjanjian. Dua orang yang berjanji
kapanpun dan di manapun mereka bertemu dan siapapun yang lebih dulu mengatakan patung, maka yang satunya harus menjadi
patung sampai lawan mengatakan selesai. Terakhir, dan tak pernah lagi.
***
Aek
Intan masih dengan pendiriannya, tetap bening seperti kristal dan selalu setia
menusuk kulit hingga sum-sumku. Masih dengan pagi yang seraki daun-daun karet
yang mengering, masih dengan anak-anak sekolah yang berduyun menyapu halaman
sekolah, masih dengan upacara hari senin yang menegangkan, masih dengan
disiplin peraturan, masih dengan hukuman bagi yang kurang dalam pelajaran,
masih dengan seribu permainan, meski tanpa si kurus keriting.
Hampir
satu bulan si kurus keriting tidak hadir ke sekolah begitu juga dengan adiknya.
Saat itu kami akan menghadapi ujian kenaikan ke kelas empat. Kudengar dia dan
adiknya diangkat oleh orang tua asuh dan mereka di bawa pergi.
Hey!!
Kurus keriting. Teman seperti apa kau? Meninggalkan Aek Intan, meninggalkan
kami, hanya bilang “patung”?
***
Aek
Intan masih dengan pendiriannya tetap bening seperti kristal dan selalu setia
menusuk kulit hingga sum-sumku. Masih dengan pagi yang seraki daun-daun karet
yang mengering, masih dengan anak-anak sekolah yang berduyun menyapu halaman
sekolah, masih dengan upacara hari senin yang menegangkan, masih dengan
disiplin peraturan, masih dengan hukuman bagi yang kurang dalam pelajaran,
masih dengan seribu permainan, dan aku masih merindukan si kurus keriting di
Aek Intan.
==***==
*untuk sahabat kecilku. Apa kabar
teman?
Medan, 10
Maret 2012
*Latek,
tempat penyimpanan getah karet
** Aba, Abang
***Omak, Ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar