Sabtu, 26 Januari 2013

ESAI : Hendra Purnama



Menafikan Riset, Membuang Penonton

 

A
da pernyataan menarik yang dikeluarkan Manoj Punjabi—Presiden Direktur PT MD Entertaiment—tentang serial Tendangan si Madun (TSM). Dia mengatakan “…Kehadiran TSM tanpa didahului survei, Itu hasil insting saya. Saya kasih ide, lalu tim kreatif dan penulis tampung. Ibaratnya, saya smash kemudian tim balas dengan smash lebih keras, sehingga kami lebih bersemangat menggarapnya…”
Ini menarik karena sadar atau tidak pernyataan itu menyiratkan dua hal—yang kebetulan merupakan masalah pertelevisian Indonesia—pertama: kebanyakan film yang ada di televisi tidak dibuat oleh filmmaker, tapi oleh pedagang. Lalu yang kedua: pembuatan serial televisi Indonesia memang sering sekali mengabaikan riset.

Pedagang-Film: Penonton Urutan Kesekian
Kita bahas yang pertama dulu, fenomena ini cukup jelas tergambar dalam serial TSM. Pada bulan September 2012, serial TSM sudah mencapai season dua. Secara logika, sebuah serial yang mencapai season dua berarti memiliki banyak penggemar yang ingin cerita lebih, atau penonton yang mencintai peran-peran di layar. Masalahnya, untuk kedua hal tersebut rasanya sulit ditemukan dalam serial TSM baik season pertama dan kedua. Singkatnya, secara film TSM memiliki kualitas rendah. Lalu mengapa serial ini berlanjut seolah memang banyak penggemarnya?
Tidak lain karena film ini dibuat oleh pedagang, dimana salah satu skill pedagang adalah: harus mampu mempromosikan barang dagangannya hingga terlihat bagus dan banyak pembeli. Memang berdasar pada rating, TSM cukup fenomenal. Mengacu pada rating Nielsen periode 19-25 Februari 2012, TSM season pertama menempati posisi 2 dengan nilai 5,6 dan share 19,8. Hebatnya, pada Maret 2012 TSM mampu menyodok di peringkat satu dengan share di atas 20.
Namun tinggi pada rating bukan jaminan tinggi pula pada kualitas film. Terlalu banyak trik dalam dunia dagang untuk mempromosikan barang jelek agar terlihat bagus. Bila sudah sampai hal ini maka persoalan semacam, akting jelek, dialog kaku, tata kamera asal-asalan, chemistry tokoh yang tidak ada, realisme yang mati, plot acak-acakan, dan komedi yang tidak lucu, tentu akan langsung mentah. Sebab jika sebuah film dibuat oleh pedagang maka yang akan dibahas bukan kualitas cerita, tapi jumlah iklan masuk, biaya produksi, atau break even point.
Sekadar informasi, untuk serial TSM season pertama saja sudah keluar biaya 20 miliar, biaya itu untuk produksi 115 episode dengan slot iklan 20 menit per episode. Maka tampak wajar sekali bila seorang pedagang-film seperti Manoj ingin 20 miliar miliknya cepat kembali. Caranya dengan promosi gencar, mengejar rating tinggi, lalu menarik iklan sebanyak-banyaknya agar uang masuk ke kantung dia, sementara urusan cerita dan penonton ada di urutan sekian, tidak sempat dipikirkan. Gampangnya: bila dengan film kualitas rendah saja iklan banyak masuk, maka untuk apa membuat film berkualitas tinggi?
Lalu siapa yang jadi korban? Tentulah para penonton, bukan pedagang itu!

Mengapa harus Riset?
Hal kedua adalah soal riset. Kalau Manoj saja membuat lebih dari 100 episode hanya berdasar insting—dan kita sudah tahu kualitasnya filmnya—maka bisa kita pukul rata saja, berapa banyak riset yang sebenarnya sudah dilakukan pembuat serial-serial televisi di Indonesia? Berlebihankan bila dikatakan nol persen? Silahkan diperdebatkan saja. Padahal Lola Amaria (produser film Sanubari Jakarta) menekankan pentingnya riset data dan pentingnya peran konsultan dalam pembuatan film. Untuk perbandingan masalah riset ini, marilah kita ambil contoh dari sebuah serial anak-anak yang jelas-jelas sukses mendunia: Sesame Street
Sejak dibuat pertama pada akhir tahun 60-an, program ini terus mengalami pengembangan dan riset panjang. Hingga pada tahun 2001 tercatat sudah lebih dari seribu kali riset pengembangan yang berkaitan dengan efisiensi, isi pesan, efek Sesame Street pada kultur budaya anak-anak Amerika, dan riset psikologis pada anak-anak yang rutin menonton Sesame Street secara rutin dan yang tidak rutin. Karena jumlah riset inilah seorang penulis bernama Michael Davis mengatakan “…is perhaps the most vigorously researched, vetted, and fretted-over program…”, dan hal ini pun diaminkan oleh co-creator Sesame Street, Joan Ganz Cooney yang berkata “Without research, there would be no Sesame Street!
Riset yang paling mendasar adalah metode “the distractor” dimana peneliti memutar sebuah episode Sesame Street berbarengan dengan slide gambar-gambar lucu yang berganti tiap tujuh detik, tepat di sebelah televisi. Dari sana mereka bisa tahu pada adegan mana saja perhatian anak-anak teralih dari layar televisi ke arah slide. Riset ini memiliki standar tinggi. Jika sebuah episode bisa menarik minimal 80% perhatian anak-anak maka episode itu akan tayang, sementara bila hanya mencapai 50% maka akan disusun ulang, diganti, atau bahkan dihapus.
Dari riset-riset itu, banyak hal yang didapat oleh pembuat Sesame Street, antara lain, penghapusan segmen “A Man from Alphabet” karena mendapat persentase yang rendah, atau untuk Sesame Street yang dijual di Jamaika ternyata harus ada perubahan bentuk acara, karena setelah dilakukan riset ternyata perhatian anak-anak Jamaika menurun drastis saat segmen The Muppets—yang kemungkinan karena kesulitan terjemahan—sebaliknya perhatian mereka tinggi saat segmen musik. Hasilnya setelah diedit lagi, program ini bisa sukses di negara tersebut.
Jadi bila kita memposisikan diri sebagai filmmaker yang ingin menyajikan tontonan bagi masyarakat, riset adalah hal mutlak. Nantinya merekalah yang akan menilai tayangan yang kita buat. Karena sebagai filmmaker kadang sulit menilai karya sendiri, perlu orang lain untuk bereaksi dan mengatakan kelemahan maupun kelebihan film kita. Bila kita tidak mampu atau tidak cukup waktu melakukan riset yang berkaitan dengan kultur budaya, efisiensi, atau psikologi seperti Sesame Street, maka minimal kita harus lakukan test screening sebelum film itu tayang.
Industri film Amerika biasanya mengharuskan test screening dihadiri 300 sampai 400 orang penonton yang dipilih dari berbagai profesi dan umur. Setelah menonton film, mereka akan dimintai pendapat dan kritiknya tentang judul, plot, karakter, musik, ending, trailer, bahkan poster filmnya. Semua masukan dari mereka akan dijadikan bahan untuk final editing.
Tercatat beberapa film mengalami perubahan signifikan setelah dilakukan test screening, misalnya: para tester film Fatal Attraction (Adrian Lyne, 1987) ternyata tidak suka endingnya, maka studio rela mengeluarkan biaya 1,3 juta dollar untuk syuting ulang ending baru. Hasilnya lumayan, film ini mendapat enam nominasi Academy Awards. Sebaliknya, menafikkan hasil riset bisa berakibat fatal seperti yang dialami film Gigli (Martin Brest, 2003). Pada test screening, para tester tidak suka endingnya, tapi karena satu dan lain hal tidak dilakukan perbaikan. Hasilnya Gigli mendapat sembilan nominasi—dan mendapat enam gelar Razzies—di Golden Raspberry Awards 2003 antara lain untuk gambar terburuk, aktor terburuk, aktris terburuk, sutradara terburuk, dan skenario terburuk. Padahal film ini sudah diisi aktor kelas dunia macam Ben Affleck, Jennifer Lopez, dan Al Pacino.

Menghormati Penonton
Lalu bagaimana dengan serial-serial televisi Indonesia yang dibuat tanpa riset? Siapa yang salah?
Sebenarnya tidak ada yang salah bila kita menerima fakta bahwa serial-serial itu dibuat oleh para pedagang. Contohnya kembali pada TSM, disana Manoj Punjabi benar-benar menunjukkan kehebatannya sebagai seorang pedagang. Dengan instingnya dia melempar sebuah produk ke pasar tanpa riset, dia lakukan berbagai trik dagang agar pengiklan masuk, konsumen kenal produknya, dan rating produk dia melonjak tinggi, hingga pada akhirnya dia mendapat untung dari produk itu.
Soal produknya bagus atau tidak itu akan dipikirkan belakangan, karena sekali lagi skill seorang filmmaker adalah membuat film bagus, sementara skill seorang pedagang adalah menjual sebuah produk dengan kualitas apapun hingga mendapat untung yang besar. Kesimpulannya: Manoj Punjabi adalah pedagang, dan pada serial TSM dia “hanya” melakukan pekerjaannya sebagai pedagang, tidak kurang dan tidak lebih.
Tapi bukankah lebih baik jika kita bisa membuat film yang laku di pasaran sekaligus bagus dalam penceritaan? Memang betul, tapi melihat pasar televisi kita dikuasai oleh para pedagang rasanya sedikit yang bisa memahami konsep itu. Sedihnya, kondisi ini juga menunjukkan bahwa belum banyak film televisi di Indonesia yang menghormati penonton.
Mengapa bisa dibilang menghormati? Karena dalam film, ruang untuk keterlibatan penonton harus disediakan, dan keterlibatan ini hanya bisa terjalin bila penonton bisa menikmati film tersebut, Lola Amaria menjelaskan bila film dikemas dengan isi kasus yang dirasakan penonton, maka mereka akan lebih ingin menonton.
Lewat pernyataan Lola itu bisa kita simpulkan bahwa mencari penonton yang pas bagi film kita—sekaligus menentukan waktu penayangan agar film tersebut tepat sasaran—memang penting sekali. Karena sebuah film yang membuang penonton, tidak melibatkannya menjadi bagian film, hanya bergerak sendiri di tataran imajinasi pembuatnya adalah jenis film yang egois, dan siapa di antara kita yang suka pada sifat egois? Tentu saja tidak ada.
Lewat riset, sebuah film mendapat jaminan sukses jangka panjang, bukan hanya jadi ajang mengumpulkan uang dalam sekejap. Namun masalahnya selain film televisi kita dikuasai oleh pedagang, ternyata banyak juga filmmaker (terutama pemula) yang menganggap bahwa riset itu adalah kegiatan yang rumit, karenanya mereka menghindari kegiatan ini. Padahal sebenarnya banyak keuntungan yang bisa diambil bila kita mau sedikit meluangkan waktu dan biaya untuk riset. Kecuali kalau kita memang bermental pedagang, maka silahkan ikuti insting dan gunakan segala kosakata kaum pedagang seperti untung, rugi, break even point, investor, marketing, konsumen, atau pendapatan. Masalahnya penonton televisi Indonesia tidak perlu pedagang, mereka perlu filmmaker yang benar-benar filmmaker.
Jadi sekarang mari kita bekerjasama saja untuk hasil terbaik. Serahkanlah pembuatan film—terutama film televisi yang memiliki basis penonton terbanyak—pada filmmaker agar tercipta film yang bagus. Tapi nanti gunakan seorang pedagang pada fase distribusinya agar produk film itu nanti bisa diperdagangkan dengan baik.
Bukankan ini sebuah kombinasi yang bagus untuk penonton Indonesia?




Bandung, Januari 2013
Penulis adalah editor film, bergiat di Salman Films

Tidak ada komentar:

Posting Komentar