Menafikan Riset, Membuang Penonton
A
|
da pernyataan menarik yang dikeluarkan
Manoj Punjabi—Presiden Direktur PT MD Entertaiment—tentang serial Tendangan si
Madun (TSM). Dia mengatakan “…Kehadiran TSM tanpa didahului survei, Itu hasil
insting saya. Saya kasih ide, lalu tim kreatif dan penulis tampung. Ibaratnya,
saya smash kemudian tim balas dengan smash lebih keras, sehingga kami lebih
bersemangat menggarapnya…”
Ini menarik
karena sadar atau tidak pernyataan itu menyiratkan dua hal—yang kebetulan merupakan
masalah pertelevisian Indonesia—pertama: kebanyakan film yang ada di televisi
tidak dibuat oleh filmmaker, tapi
oleh pedagang. Lalu yang kedua: pembuatan serial televisi Indonesia memang
sering sekali mengabaikan riset.
Pedagang-Film:
Penonton Urutan Kesekian
Kita bahas yang
pertama dulu, fenomena ini cukup jelas tergambar dalam serial TSM. Pada bulan September
2012, serial TSM sudah mencapai season
dua. Secara logika, sebuah serial yang mencapai season dua berarti memiliki banyak penggemar yang ingin cerita lebih,
atau penonton yang mencintai peran-peran di layar. Masalahnya, untuk kedua hal tersebut
rasanya sulit ditemukan dalam serial TSM baik season pertama dan kedua. Singkatnya, secara film TSM memiliki
kualitas rendah. Lalu mengapa serial ini berlanjut seolah memang banyak
penggemarnya?
Tidak lain
karena film ini dibuat oleh pedagang, dimana salah satu skill pedagang adalah: harus
mampu mempromosikan barang dagangannya hingga terlihat bagus dan banyak
pembeli. Memang berdasar pada rating, TSM cukup fenomenal. Mengacu pada rating
Nielsen periode 19-25 Februari 2012, TSM season
pertama menempati posisi 2 dengan nilai 5,6 dan share 19,8. Hebatnya, pada Maret 2012 TSM mampu menyodok di
peringkat satu dengan share di atas
20.
Namun tinggi
pada rating bukan jaminan tinggi pula pada kualitas film. Terlalu banyak trik
dalam dunia dagang untuk mempromosikan barang jelek agar terlihat bagus. Bila
sudah sampai hal ini maka persoalan semacam, akting jelek, dialog kaku, tata
kamera asal-asalan, chemistry tokoh
yang tidak ada, realisme yang mati, plot acak-acakan, dan komedi yang tidak
lucu, tentu akan langsung mentah. Sebab jika sebuah film dibuat oleh pedagang
maka yang akan dibahas bukan kualitas cerita, tapi jumlah iklan masuk, biaya
produksi, atau break even point.
Sekadar
informasi, untuk serial TSM season
pertama saja sudah keluar biaya 20 miliar, biaya itu untuk produksi 115 episode
dengan slot iklan 20 menit per episode. Maka tampak wajar sekali bila seorang
pedagang-film seperti Manoj ingin 20 miliar miliknya cepat kembali. Caranya
dengan promosi gencar, mengejar rating tinggi, lalu menarik iklan
sebanyak-banyaknya agar uang masuk ke kantung dia, sementara urusan cerita dan
penonton ada di urutan sekian, tidak sempat dipikirkan. Gampangnya: bila dengan
film kualitas rendah saja iklan banyak masuk, maka untuk apa membuat film
berkualitas tinggi?
Lalu siapa yang
jadi korban? Tentulah para penonton, bukan pedagang itu!
Mengapa
harus Riset?
Hal kedua adalah
soal riset. Kalau Manoj saja membuat lebih dari 100 episode hanya berdasar
insting—dan kita sudah tahu kualitasnya filmnya—maka bisa kita pukul rata saja,
berapa banyak riset yang sebenarnya sudah dilakukan pembuat serial-serial
televisi di Indonesia? Berlebihankan bila dikatakan nol persen? Silahkan
diperdebatkan saja. Padahal Lola Amaria (produser film Sanubari Jakarta) menekankan pentingnya riset data dan pentingnya
peran konsultan dalam pembuatan film. Untuk perbandingan masalah riset ini, marilah
kita ambil contoh dari sebuah serial anak-anak yang jelas-jelas sukses
mendunia: Sesame Street
Sejak dibuat
pertama pada akhir tahun 60-an, program ini terus mengalami pengembangan dan
riset panjang. Hingga pada tahun 2001 tercatat sudah lebih dari seribu kali
riset pengembangan yang berkaitan dengan efisiensi, isi pesan, efek Sesame
Street pada kultur budaya anak-anak Amerika, dan riset psikologis pada
anak-anak yang rutin menonton Sesame Street secara rutin dan yang tidak rutin.
Karena jumlah riset inilah seorang penulis bernama Michael Davis mengatakan “…is perhaps the most vigorously researched,
vetted, and fretted-over program…”, dan hal ini pun diaminkan oleh co-creator Sesame Street, Joan Ganz
Cooney yang berkata “Without research,
there would be no Sesame Street!”
Riset yang
paling mendasar adalah metode “the
distractor” dimana peneliti memutar sebuah episode Sesame Street
berbarengan dengan slide gambar-gambar
lucu yang berganti tiap tujuh detik, tepat di sebelah televisi. Dari sana
mereka bisa tahu pada adegan mana saja perhatian anak-anak teralih dari layar
televisi ke arah slide. Riset ini
memiliki standar tinggi. Jika sebuah episode bisa menarik minimal 80% perhatian
anak-anak maka episode itu akan tayang, sementara bila hanya mencapai 50% maka
akan disusun ulang, diganti, atau bahkan dihapus.
Dari riset-riset
itu, banyak hal yang didapat oleh pembuat Sesame Street, antara lain,
penghapusan segmen “A Man from Alphabet”
karena mendapat persentase yang rendah, atau untuk Sesame Street yang dijual di
Jamaika ternyata harus ada perubahan bentuk acara, karena setelah dilakukan
riset ternyata perhatian anak-anak Jamaika menurun drastis saat segmen The
Muppets—yang kemungkinan karena kesulitan terjemahan—sebaliknya perhatian
mereka tinggi saat segmen musik. Hasilnya setelah diedit lagi, program ini bisa
sukses di negara tersebut.
Jadi bila kita
memposisikan diri sebagai filmmaker yang
ingin menyajikan tontonan bagi masyarakat, riset adalah hal mutlak. Nantinya
merekalah yang akan menilai tayangan yang kita buat. Karena sebagai filmmaker kadang sulit menilai karya
sendiri, perlu orang lain untuk bereaksi dan mengatakan kelemahan maupun
kelebihan film kita. Bila kita tidak mampu atau tidak cukup waktu melakukan
riset yang berkaitan dengan kultur budaya, efisiensi, atau psikologi seperti
Sesame Street, maka minimal kita harus lakukan test screening sebelum film itu tayang.
Industri film
Amerika biasanya mengharuskan test
screening dihadiri 300 sampai 400 orang penonton yang dipilih dari berbagai
profesi dan umur. Setelah menonton film, mereka akan dimintai pendapat dan
kritiknya tentang judul, plot, karakter, musik, ending, trailer, bahkan
poster filmnya. Semua masukan dari mereka akan dijadikan bahan untuk final editing.
Tercatat
beberapa film mengalami perubahan signifikan setelah dilakukan test screening, misalnya: para tester film Fatal Attraction (Adrian Lyne, 1987) ternyata tidak suka
endingnya, maka studio rela mengeluarkan biaya 1,3 juta dollar untuk syuting
ulang ending baru. Hasilnya lumayan, film ini mendapat enam nominasi Academy
Awards. Sebaliknya, menafikkan hasil riset bisa berakibat fatal seperti yang
dialami film Gigli (Martin Brest, 2003).
Pada test screening, para tester tidak suka endingnya, tapi karena
satu dan lain hal tidak dilakukan perbaikan. Hasilnya Gigli mendapat sembilan
nominasi—dan mendapat enam gelar Razzies—di
Golden Raspberry Awards 2003 antara
lain untuk gambar terburuk, aktor terburuk, aktris terburuk, sutradara
terburuk, dan skenario terburuk. Padahal film ini sudah diisi aktor kelas dunia
macam Ben Affleck, Jennifer Lopez, dan Al Pacino.
Menghormati
Penonton
Lalu bagaimana
dengan serial-serial televisi Indonesia yang dibuat tanpa riset? Siapa yang
salah?
Sebenarnya tidak
ada yang salah bila kita menerima fakta bahwa serial-serial itu dibuat oleh
para pedagang. Contohnya kembali pada TSM, disana Manoj Punjabi benar-benar
menunjukkan kehebatannya sebagai seorang pedagang. Dengan instingnya dia
melempar sebuah produk ke pasar tanpa riset, dia lakukan berbagai trik dagang
agar pengiklan masuk, konsumen kenal produknya, dan rating produk dia melonjak
tinggi, hingga pada akhirnya dia mendapat untung dari produk itu.
Soal produknya
bagus atau tidak itu akan dipikirkan belakangan, karena sekali lagi skill
seorang filmmaker adalah membuat film
bagus, sementara skill seorang
pedagang adalah menjual sebuah produk dengan kualitas apapun hingga mendapat
untung yang besar. Kesimpulannya: Manoj Punjabi adalah pedagang, dan pada
serial TSM dia “hanya” melakukan pekerjaannya sebagai pedagang, tidak kurang
dan tidak lebih.
Tapi bukankah
lebih baik jika kita bisa membuat film yang laku di pasaran sekaligus bagus
dalam penceritaan? Memang betul, tapi melihat pasar televisi kita dikuasai oleh
para pedagang rasanya sedikit yang bisa memahami konsep itu. Sedihnya, kondisi
ini juga menunjukkan bahwa belum banyak film televisi di Indonesia yang menghormati
penonton.
Mengapa bisa
dibilang menghormati? Karena dalam film, ruang untuk keterlibatan penonton
harus disediakan, dan keterlibatan ini hanya bisa terjalin bila penonton bisa
menikmati film tersebut, Lola Amaria menjelaskan bila film dikemas dengan isi
kasus yang dirasakan penonton, maka mereka akan lebih ingin menonton.
Lewat pernyataan
Lola itu bisa kita simpulkan bahwa mencari penonton yang pas bagi film kita—sekaligus
menentukan waktu penayangan agar film tersebut tepat sasaran—memang penting
sekali. Karena sebuah film yang membuang penonton, tidak melibatkannya menjadi
bagian film, hanya bergerak sendiri di tataran imajinasi pembuatnya adalah jenis
film yang egois, dan siapa di antara kita yang suka pada sifat egois? Tentu
saja tidak ada.
Lewat riset,
sebuah film mendapat jaminan sukses jangka panjang, bukan hanya jadi ajang
mengumpulkan uang dalam sekejap. Namun masalahnya selain film televisi kita
dikuasai oleh pedagang, ternyata banyak juga filmmaker (terutama pemula) yang menganggap bahwa riset itu adalah
kegiatan yang rumit, karenanya mereka menghindari kegiatan ini. Padahal
sebenarnya banyak keuntungan yang bisa diambil bila kita mau sedikit meluangkan
waktu dan biaya untuk riset. Kecuali kalau kita memang bermental pedagang, maka
silahkan ikuti insting dan gunakan segala kosakata kaum pedagang seperti
untung, rugi, break even point, investor,
marketing, konsumen, atau pendapatan. Masalahnya penonton televisi
Indonesia tidak perlu pedagang, mereka perlu filmmaker yang benar-benar filmmaker.
Jadi sekarang
mari kita bekerjasama saja untuk hasil terbaik. Serahkanlah pembuatan
film—terutama film televisi yang memiliki basis penonton terbanyak—pada filmmaker agar tercipta film yang bagus.
Tapi nanti gunakan seorang pedagang pada fase distribusinya agar produk film
itu nanti bisa diperdagangkan dengan baik.
Bukankan ini sebuah
kombinasi yang bagus untuk penonton Indonesia?
Bandung, Januari 2013
Penulis adalah editor film, bergiat di Salman Films
Tidak ada komentar:
Posting Komentar