Budaya Sumut dalam Cerpen “Hari ini”
“Perkembangan sastra Sumatera Utara dari berbagai
era ini terus saja hidup dan menjadikan Sumatera Utara sebagai salah satu
ladang sastra yang paling diperhitungkan.”
Kebudayaan Sumut, Sejauh Mana?
R.
Linton dalam bukunya yang berjudul The Cultural
background of personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi
dari sebuah tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung
serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu (Habib Musthopo, 1983). Sementara
itu, kebudayaan Sumaatera Utara (Sumut)
dalam hal ini selain diartikan adat, juga merupakan kebiasaan-kebiasaan yang
tercermin di masyarakat Sumut.
Kebudayaan Sumut
seperti kebudayaan Batak dan Melayu Deli adalah kebudayaan yang
melekat erat. Namun, tidak menutup kemungkinan kebudayaan Sumut itu ada
kaitannya dengan multikulturalisme budaya yang membangun Sumut itu sendiri. Yaitu,
dengan adanya budaya pendatang seperti Jawa, Minang, Aceh, dan lainnya. Hal ini
terkait tingginya tingkat penyebaran masyarakat di era Orde
Baru hingga Reformasi.
Sejauh ini, multikulturalisme
terus menjadi perbincangan dalam aspek kehidupan masyarakat perkotaan. Di
Jakarta, multikulturalisme bahkan diperbincangkan secara global seperti yang
terangkum dalam seminar Jakarta International Literary Festival-II tahun 2011
lalu.
Sementara itu di Sumatera Utara,
khususnya kota Medan, multikulturalisme juga tercermin dalam aspek penulis
dengan karya sastranya. Fenomena yang paling menonjol akhir-akhir ini tentu
terangkum dalam cerpen-cerpen Hasan Al Banna, seorang penulis sastra yang memiliki
latar belakang kelahiran suku Minang.
Kini, cerpen-cerpen: Rumah
Amangboru, Gokma, Parompa Sadun Kiriman Ibu, Pasar Jongjong, Tiurmaida, Horja,
Rabiah terantologi sebagai Buku “Kumpulan Cerpen Sampan Zulaiha” yang banyak
diminati sampai ke tingkat nasional.
Budaya Sumut dalam Cerpen-Cerpen
Pengarang Sumut “Hari Ini”
Hari ini adalah kita dengan berbagai
macam rencana dan revisi masa lalu. Hari ini adalah gerak yang nyata, perlu
dijalani dengan sungguh-sungguh. Menarik, apabila kita “menyisir” kembali bagaimana
budaya Sumut di masa lalu. Budaya di masa lalu dan hari ini memiliki analogi
yang berbeda.
Budaya dahulu, seperti apa yang
dikatakan Sujiwotejo dalam seminar international di Jakarta 2011 (Jilfest-II)
adalah wujud cerminan adat istiadat yang memiliki keterikatan secara emosional,
memakai bahasa daerah, dan dimaknai sebagai kekayaan “ciri khas” masyarakat
dari daerahnya masing-masing yang, tidak dapat dicampuri unsur-unsur
keindonesiaan.
Kisah atau cerita yang terangkum
dalam bentuk-bentuk sastra lama: legenda, mitos, hikayat, dan fabel adalah
contoh-contoh kebudayaan yang hidup di masa lalu.
Seiring
perkembangan zaman, kebudayaan dalam sastra “hari ini” dimaknai sebagai bentuk
penyatuan “ciri khas” daerah itu dalam kebhinekaan Indonesia yang berlandaskan
satu gerbang kebudayaan, yakni kebudayaan Indonesia.
Apabila di kemudian budaya dalam
cerpen yang dimaksudkan adalah kebudayaan yang seperti ini, maka kita akan
meninggalkan sejenak cerita-cerita budaya Sumut yang memakai bahasa Batak dan Melayu
dalam mendokumentasikan naskahnya. Masyarakat kekinian diajak “menyebrangi” budaya
sebagai dasar yang hanya perlu diketahui, bukan dikaji, lalu dikuasai.
Bila
kita hendak mengkaji sastra Sumut, dalam hal ini cerpen di masa lalu, rasanya
akan sangat sulit untuk menemukan seluruh bahkan sebagian karya tersebut.
Hitunglah ia sebagai budaya di era sebelum kemerdekaan sampai dengan era tahun
60-an. Namun, menelusuri problema ini sesungguhnya tidak begitu sulit.
Mari kita membahas saja
cerpen-cerpen “hari ini” yang dalam kandungannya memiliki sebuah komitmen untuk
mengembangkan budaya Sumut. Meski, sekali lagi, komitmen budaya Sumut yang
bagaimana?
Cerpen
“Margala” karya Sartika Sari memberikan satu dari banyak contoh cerpen yang memaknai
kebudayaan Sumut “hari ini”. Penggunaan bahasa yang kental dengan
konotasi-konotasi baru juga kerap dipakai. Misalnya terlihat pada narasi cerpen
Margala berikut ini:
“Keduanya melahap malam dalam gigil
di atas ranjang tua, di luar sana Opung Boru dan Opung Doli sudah berkawan
dengan kepulan asap tungku dan asap tembakau. Ya, malam belum sudah. Dan pagi
juga masih balita. Tetapi keduanya telah menjejak nafas pada lembaran waktu
yang baru.”
“Opung Boru” dalam cuplikan cerpen “Margala”
di atas sesungguhnya memiliki makna ganda opung sebutan untuk kakek dan Boru
sebutan untuk perempuan atau nama opung (kakek)?
Dalam adat Batak yang, apakah
sengaja dituliskan atau justru sebaliknya. Namun, terlepas dari kesalahan
tersebut cerpen “Margala” ini akhirnya memikat
juri pada perlombaan cerpen mahasiswa se-Indonesia di Purwokerto yang sesungguhnya
tengah diduduki untuk mewakili cerpen bertema lokalitas dari Sumatera Utara.
Sartika Sari yang memiliki latar
belakang ras Jawa-Medan ini telah meminjam sedikitnya, persepsi bahwa konsep
budaya yang dibawakannya hendak mewakili budaya Sumut. Inilah contoh bahwa
budaya dalam konsep pengarang “hari ini” telah menarik ulur budaya Sumut dari
budaya di masa lalu.
Cerpen
“Rumah Amangboru” karya Hasan Al-Banna juga memiliki nilai-nilai lokalitas
budaya Sumut. Berikut ini adalah cuplikan cerpennya.
Belakangan,
tak mudah bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik
kenangannya. Peristiwa-peristiwa itu tak ubahnya barang rongsokan. Semacam
lempengan-lempengan besi tua yang menelungkup dan berkarat. Ya, usia begitu
tangguh menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, termasuk
melumpuhkan ingatan.
Membaca
cuplikan tersebut, sepertinya harus
diingat kembali bahwa, telah disebutkan dalam perdebatan bedah buku Hasan
Al-Banna di kantin Taman Budaya Sumut oleh Yulhasni, cerpen ini tampak berani dengan meletakkan
budaya sebagai tumpuan utama. Padahal, seperti yang sudah diketahui, Hasan Al Banna
merupakan penulis yang memiliki latar belakang suku Minang. Dan cerpen tersebut
menunjukkan kegigihan Hasan mengangkat budaya Sumut dari sudut pandang suku Minang.
Namun,
sudahkah pula ditunjukkan komitmen budaya Sumut di dalamnya?
Komitmen,
dalam hal ini kesungguhan. Sementara itu, budaya Sumut memiliki dasar-dasar nilai yang lebih dari
sekadar menunjukkan adanya sebutan-sebutan bagi orang batak. Bagi Hasan Al
Banna, budaya Sumut itu sendiri terlepas dari adat istiadat yang melekat erat
seperti yang dikatakan Sujiwo Tejo.
Kebudayaan bisa saja diartikan
sebagai kebiasaan orang Batak yang tercermin dengan cara-cara
mereka mencari penghasilan, berkeluarga, memandang kehidupan. Namun, apabila
kemudian kita telaah kembali cerpen “hari ini” memang senantiasa menjerumuskan
budaya Sumut dalam kebiasaan-kebiasaan orang Sumut di masa sekarang dan
harapan-harapan di masa yang akan datang.
Garis
merah yang bisa kita ambil dari komitmen budaya Sumut dalam cerpen “Hari ini”
adalah terdapat dua konsep budaya yang berbeda. Budaya Sumut dahulu, di masa
sebelum Sumpah Pemuda, diartikan
adat istiadat yang kental dengan bahasa, cara berkesenian, cara ber-narasi dan
ber-eksplorasi suku Batak dan Melayu asli.
Sementara itu, di zaman
setelahnya, budaya Sumut diartikan kebiasaan orang-orang Sumut yang berusaha
mengubah proses hidupnya dari yang primitif ke arah yang lebih modern. Sepertinya,
begitulah “hari ini”. ***
Medan,
Desember 2012
Penulis, adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Negeri Medan. Saat ini menjabat Dewan Ahli Kompak dan Guru di SMP Al-Azhar Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar