Sabtu, 05 Januari 2013

ESAI : Ria Ristiana Dewi



Budaya Sumut dalam Cerpen “Hari ini”
            

“Perkembangan sastra Sumatera Utara dari berbagai era ini terus saja hidup dan menjadikan Sumatera Utara sebagai salah satu ladang sastra yang paling diperhitungkan.”

Kebudayaan Sumut, Sejauh Mana?
          R. Linton dalam bukunya yang berjudul The Cultural background of personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari sebuah tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu (Habib Musthopo, 1983). Sementara itu, kebudayaan Sumaatera Utara (Sumut) dalam hal ini selain diartikan adat,  juga merupakan kebiasaan-kebiasaan yang tercermin di masyarakat Sumut.
Kebudayaan Sumut seperti kebudayaan Batak dan Melayu Deli adalah kebudayaan yang melekat erat. Namun, tidak menutup kemungkinan kebudayaan Sumut itu ada kaitannya dengan multikulturalisme budaya yang membangun Sumut itu sendiri. Yaitu, dengan adanya budaya pendatang seperti Jawa, Minang, Aceh, dan lainnya. Hal ini terkait tingginya tingkat penyebaran masyarakat di era Orde Baru hingga Reformasi.
Sejauh ini, multikulturalisme terus menjadi perbincangan dalam aspek kehidupan masyarakat perkotaan. Di Jakarta, multikulturalisme bahkan diperbincangkan secara global seperti yang terangkum dalam seminar Jakarta International Literary Festival-II tahun 2011 lalu.
Sementara itu di Sumatera Utara, khususnya kota Medan, multikulturalisme juga tercermin dalam aspek penulis dengan karya sastranya. Fenomena yang paling menonjol akhir-akhir ini tentu terangkum dalam cerpen-cerpen Hasan Al Banna, seorang penulis sastra yang memiliki latar belakang kelahiran suku Minang.
Kini, cerpen-cerpen: Rumah Amangboru, Gokma, Parompa Sadun Kiriman Ibu, Pasar Jongjong, Tiurmaida, Horja, Rabiah terantologi sebagai Buku “Kumpulan Cerpen Sampan Zulaiha” yang banyak diminati sampai ke tingkat nasional.

Budaya Sumut dalam Cerpen-Cerpen Pengarang Sumut “Hari Ini”
          Hari ini adalah kita dengan berbagai macam rencana dan revisi masa lalu. Hari ini adalah gerak yang nyata, perlu dijalani dengan sungguh-sungguh. Menarik, apabila kita “menyisir” kembali bagaimana budaya Sumut di masa lalu. Budaya di masa lalu dan hari ini memiliki analogi yang berbeda.
Budaya dahulu, seperti apa yang dikatakan Sujiwotejo dalam seminar international di Jakarta 2011 (Jilfest-II) adalah wujud cerminan adat istiadat yang memiliki keterikatan secara emosional, memakai bahasa daerah, dan dimaknai sebagai kekayaan “ciri khas” masyarakat dari daerahnya masing-masing yang, tidak dapat dicampuri unsur-unsur keindonesiaan.
Kisah atau cerita yang terangkum dalam bentuk-bentuk sastra lama: legenda, mitos, hikayat, dan fabel adalah contoh-contoh kebudayaan yang hidup di masa lalu.
           Seiring perkembangan zaman, kebudayaan dalam sastra “hari ini” dimaknai sebagai bentuk penyatuan “ciri khas” daerah itu dalam kebhinekaan Indonesia yang berlandaskan satu gerbang kebudayaan, yakni kebudayaan Indonesia.
Apabila di kemudian budaya dalam cerpen yang dimaksudkan adalah kebudayaan yang seperti ini, maka kita akan meninggalkan sejenak cerita-cerita budaya Sumut yang memakai bahasa Batak dan Melayu dalam mendokumentasikan naskahnya. Masyarakat kekinian diajak “menyebrangi” budaya sebagai dasar yang hanya perlu diketahui, bukan dikaji, lalu dikuasai.
            Bila kita hendak mengkaji sastra Sumut, dalam hal ini cerpen di masa lalu, rasanya akan sangat sulit untuk menemukan seluruh bahkan sebagian karya tersebut. Hitunglah ia sebagai budaya di era sebelum kemerdekaan sampai dengan era tahun 60-an. Namun, menelusuri problema ini sesungguhnya tidak begitu sulit.
Mari kita membahas saja cerpen-cerpen “hari ini” yang dalam kandungannya memiliki sebuah komitmen untuk mengembangkan budaya Sumut. Meski, sekali lagi, komitmen budaya Sumut yang bagaimana? 
        Cerpen “Margala” karya Sartika Sari memberikan satu dari banyak contoh cerpen yang memaknai kebudayaan Sumut “hari ini”.  Penggunaan bahasa yang kental dengan konotasi-konotasi baru juga kerap dipakai. Misalnya terlihat pada narasi cerpen Margala berikut ini:
Keduanya melahap malam dalam gigil di atas ranjang tua, di luar sana Opung Boru dan Opung Doli sudah berkawan dengan kepulan asap tungku dan asap tembakau. Ya, malam belum sudah. Dan pagi juga masih balita. Tetapi keduanya telah menjejak nafas pada lembaran waktu yang baru.
            “Opung Boru” dalam cuplikan cerpen “Margala” di atas sesungguhnya memiliki makna ganda opung sebutan untuk kakek dan Boru sebutan untuk perempuan atau nama opung  (kakek)?
Dalam adat Batak yang, apakah sengaja dituliskan atau justru sebaliknya. Namun, terlepas dari kesalahan tersebut cerpen “Margala” ini akhirnya memikat juri pada perlombaan cerpen mahasiswa se-Indonesia di Purwokerto yang sesungguhnya tengah diduduki untuk mewakili cerpen bertema lokalitas dari Sumatera Utara.
Sartika Sari yang memiliki latar belakang ras Jawa-Medan ini telah meminjam sedikitnya, persepsi bahwa konsep budaya yang dibawakannya hendak mewakili budaya Sumut. Inilah contoh bahwa budaya dalam konsep pengarang “hari ini” telah menarik ulur budaya Sumut dari budaya di masa lalu.
         Cerpen “Rumah Amangboru” karya Hasan Al-Banna juga memiliki nilai-nilai lokalitas budaya Sumut. Berikut ini adalah cuplikan cerpennya.
          Belakangan, tak mudah bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik kenangannya. Peristiwa-peristiwa itu tak ubahnya barang rongsokan. Semacam lempengan-lempengan besi tua yang menelungkup dan berkarat. Ya, usia begitu tangguh menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, termasuk melumpuhkan ingatan.
      Membaca cuplikan  tersebut, sepertinya harus diingat kembali bahwa, telah disebutkan dalam perdebatan bedah buku Hasan Al-Banna di kantin Taman Budaya Sumut oleh Yulhasni,  cerpen ini tampak berani dengan meletakkan budaya sebagai tumpuan utama. Padahal, seperti yang sudah diketahui, Hasan Al Banna merupakan penulis yang memiliki latar belakang suku Minang. Dan cerpen tersebut menunjukkan kegigihan Hasan mengangkat budaya Sumut dari sudut pandang suku Minang.
            Namun, sudahkah pula ditunjukkan komitmen budaya Sumut di dalamnya?
            Komitmen, dalam hal ini kesungguhan. Sementara itu, budaya Sumut  memiliki dasar-dasar nilai yang lebih dari sekadar menunjukkan adanya sebutan-sebutan bagi orang batak. Bagi Hasan Al Banna, budaya Sumut itu sendiri terlepas dari adat istiadat yang melekat erat seperti yang dikatakan Sujiwo Tejo.
Kebudayaan bisa saja diartikan sebagai kebiasaan orang Batak yang tercermin dengan cara-cara mereka mencari penghasilan, berkeluarga, memandang kehidupan. Namun, apabila kemudian kita telaah kembali cerpen “hari ini” memang senantiasa menjerumuskan budaya Sumut dalam kebiasaan-kebiasaan orang Sumut di masa sekarang dan harapan-harapan di masa yang akan datang.
         Garis merah yang bisa kita ambil dari komitmen budaya Sumut dalam cerpen “Hari ini” adalah terdapat dua konsep budaya yang berbeda. Budaya Sumut dahulu, di masa sebelum Sumpah Pemuda, diartikan adat istiadat yang kental dengan bahasa, cara berkesenian, cara ber-narasi dan ber-eksplorasi suku Batak dan Melayu asli.
Sementara itu, di zaman setelahnya, budaya Sumut diartikan kebiasaan orang-orang Sumut yang berusaha mengubah proses hidupnya dari yang primitif ke arah yang lebih modern. Sepertinya, begitulah “hari ini”. ***
Medan,  Desember  2012



Penulis, adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Saat ini menjabat Dewan Ahli Kompak dan Guru di SMP Al-Azhar Medan.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar