Sabtu, 19 Januari 2013

CORONG : Suyadi San


  ETNISITAS PEMILUKADA


W
ARGA Sumatera Utara pada 7 Maret 2013 menorehkan pilihannya terhadap calon Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013-2018. Lima pasang calon gubernur sudah sama kita ketahui. Siapakah yang bakal menjadi orang nomor satu di provinsi berpenduduk lebih 12 juta jiwa ini?
            Perang urat syaraf pun dilakukan antarkontestan. Ada yang terbuka, ada pula yang diam-diam. Perang wacana idiologi politik lumrah terjadi. Sebab, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) merupakan agenda politik transnasional negeri ini. Namun, bagaimana dengan sentimen etnis yang muncul di permukaan?
            Menurut Parsudi Suparlan (2003), etnisitas (suku bangsa) adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jati diri yang akskriptif ketika anggota suku bangsa mengaku sebagai anggota suatu suku bangsa tertentu karena dilahirkan dan berasal dari suatu daerah tertentu. 
            Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang dalam berbagai struktur sosial, kesukubangsaan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya.  Meskipun jati diri suku bangsanya tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
            Dalam masyarakat majemuk seperti Sumatera Utara, setiap orang dikenal dan saling mengenal kesukubangsaannya melalui ciri-ciri fisik tubuhnya, dan ungkapan-ungkapan budayanya yang menjadi atribut dari jati diri kesukubangsaan. Dalam hubungan antarsuku-bangsa, atribut kesukubangsaan adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan.
            Sadar atau tidak, seseorang akan hidup dengan berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya. Proses pembelajarannya berlangsung dalam pendidikan informal masa kanak-kanak sampai dewasa.
            Hm, begitulah. Dan, saya terkejut mengetahui ada tokoh Melayu menyatakan dukungannya secara terang-terangan kepada pasangan Effendi Muara Sakti Simbolon-Djumiran Abdi. Bukankah Tengku Erry Nuradi satu-satunya orang Melayu yang maju di pentas pemilukada – meski cuma jadi calon wakil gubernur?
            Lalu, bagaimana dengan orang Batak yang menyebar kepada Amri Tambunan, Rustam Effendy Nainggolan, Effendi Simbolon, Chairuman Harahap, Fadly Nurzal, dan Gus Irawan Pasaribu? Begitu juga orang Jawa yang tentu menyebar pula pada Djumiran Abdi, Soekirman, dan Gatot Pujo Nugroho?
            Sebagai orang Jawa, saya gembira memiliki wakil beberapa calon. Setidaknya, hal ini   menolak klaim kubu Soekirman yang dalam acara di Pematangsiantar dan Langkat menyebut orang Jawa berkiblat ke Soekirman. Atau, kubu Gatot Pujo Nugroho yang mengklaim didukung mayoritas orang Jawa. Apakah mereka menafikan kiprah Djumiran Abdi yang lama berlabuh pada Paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma)?
            Gatot Pujo Nugroho boleh jadi percaya dirinya didukung orang Jawa. Namun, itu bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena jabatannya sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara. Tak heran, ke sana-ke mari gratisan menyambangi calon pemilihnya dengan dalih tugas dinas.
            Kemenangan Gatot pada pemilukada 2008 tak bisa dimungkiri karena didongkrak popularitas Syamsul Arifin, tokoh Melayu yang menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Masyarakat Adat dan Budaya Melayu Indonesia (MABMI). Peran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menopang Gatot hanya jadi pelengkap Syampurno.
            Akankah itu kembali direngkuh Gatot? Apalagi, pasangannya juga orang Melayu, sama seperti Syamsul Arifin. Hanya saja, ketokohan Tengku Erry  tidak bisa mengalahkan ataupun mengimbangi Syamsul Arifin. Lihatlah, belum apa-apa tokoh MABMI malah menaruh harapan pada Djumiran Abdi selaku pendamping Effendi Simbolon.
            Dukungan segi tiga Melayu-Jawa-Batak tampaknya mencerminkan populasi terbesar warga Sumatera Utara. Melayu dan Batak adalah dua etnis asli terbesar. Apalagi, etnis Jawa yang mendominasi jumlah penduduk di Sumatera Utara, yaitu sekitar 46% dari 12 juta jiwa berdasar sensus penduduk 2007.
            Karena itu, besar kemungkinan pasangan “kuda hitam” Effendi-Djumiran dengan diperkuat  tokoh-tokoh Melayu bakal menggusur perkiraan semua orang untuk meringsek naik ke permukaan.        Mengenai ini saya teringat pendapat antropolog Fredrik Barth.
            Dalam penelitiannya, Barth menemukan dua hal. Pertama, batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur. Dengan kata lain perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh terjadinya pembauran, kontak dan pertukaran informasi namun lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan.
Kedua,  dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting antara dua kelompok etnik yang berbeda, karena adanya status etnik yang terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri masing-masing kelompok etnik yang berbeda-beda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosial, tetapi didasari oleh terbentuknya sistem sosial tertentu. Nah! *** 


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar