ETNISITAS
PEMILUKADA
W
|
ARGA Sumatera Utara pada 7 Maret 2013 menorehkan pilihannya terhadap calon
Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013-2018. Lima pasang calon gubernur
sudah sama kita ketahui. Siapakah yang bakal menjadi orang nomor satu di
provinsi berpenduduk lebih 12 juta jiwa ini?
Perang urat syaraf pun
dilakukan antarkontestan. Ada yang terbuka, ada pula yang diam-diam. Perang
wacana idiologi politik lumrah terjadi. Sebab, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada)
merupakan agenda politik transnasional negeri ini. Namun, bagaimana dengan
sentimen etnis yang muncul di permukaan?
Menurut Parsudi Suparlan
(2003), etnisitas (suku bangsa) adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai
jati diri yang akskriptif ketika anggota suku bangsa mengaku sebagai anggota
suatu suku bangsa tertentu karena dilahirkan dan berasal dari suatu daerah
tertentu.
Jati diri suku bangsa atau
kesukubangsaan tidak dapat dibuang dalam berbagai struktur sosial,
kesukubangsaan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Meskipun jati diri suku bangsanya tidak
digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Dalam masyarakat majemuk
seperti Sumatera Utara, setiap orang dikenal dan saling mengenal kesukubangsaannya
melalui ciri-ciri fisik tubuhnya, dan ungkapan-ungkapan budayanya yang menjadi
atribut dari jati diri kesukubangsaan. Dalam hubungan antarsuku-bangsa, atribut kesukubangsaan adalah ciri-ciri
fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan
kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan.
Sadar atau tidak,
seseorang akan hidup dengan berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya. Proses
pembelajarannya berlangsung dalam pendidikan informal masa kanak-kanak sampai
dewasa.
Hm, begitulah. Dan, saya terkejut mengetahui ada
tokoh Melayu menyatakan dukungannya secara terang-terangan kepada pasangan
Effendi Muara Sakti Simbolon-Djumiran Abdi. Bukankah Tengku Erry Nuradi
satu-satunya orang Melayu yang maju di pentas pemilukada – meski cuma jadi
calon wakil gubernur?
Lalu, bagaimana dengan
orang Batak yang menyebar kepada Amri Tambunan, Rustam Effendy Nainggolan,
Effendi Simbolon, Chairuman Harahap, Fadly Nurzal, dan Gus Irawan Pasaribu?
Begitu juga orang Jawa yang tentu menyebar pula pada Djumiran Abdi, Soekirman,
dan Gatot Pujo Nugroho?
Sebagai orang Jawa, saya
gembira memiliki wakil beberapa calon. Setidaknya, hal ini menolak klaim kubu Soekirman yang dalam
acara di Pematangsiantar dan Langkat menyebut orang Jawa berkiblat ke
Soekirman. Atau, kubu Gatot Pujo Nugroho yang mengklaim didukung mayoritas
orang Jawa. Apakah mereka menafikan kiprah Djumiran Abdi yang lama berlabuh
pada Paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma)?
Gatot Pujo Nugroho boleh
jadi percaya dirinya didukung orang Jawa. Namun, itu bukan karena dirinya
sendiri, melainkan karena jabatannya sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera
Utara. Tak heran, ke sana-ke mari gratisan menyambangi calon pemilihnya dengan
dalih tugas dinas.
Kemenangan Gatot pada
pemilukada 2008 tak bisa dimungkiri karena didongkrak popularitas Syamsul
Arifin, tokoh Melayu yang menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Masyarakat Adat dan
Budaya Melayu Indonesia (MABMI). Peran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
menopang Gatot hanya jadi pelengkap Syampurno.
Akankah itu kembali
direngkuh Gatot? Apalagi, pasangannya juga orang Melayu, sama seperti Syamsul
Arifin. Hanya saja, ketokohan Tengku Erry
tidak bisa mengalahkan ataupun mengimbangi Syamsul Arifin. Lihatlah,
belum apa-apa tokoh MABMI malah menaruh harapan pada Djumiran Abdi selaku
pendamping Effendi Simbolon.
Dukungan segi tiga
Melayu-Jawa-Batak tampaknya mencerminkan populasi terbesar warga Sumatera
Utara. Melayu dan Batak adalah dua etnis asli terbesar. Apalagi, etnis Jawa
yang mendominasi jumlah penduduk di Sumatera Utara, yaitu sekitar 46% dari 12
juta jiwa berdasar sensus penduduk 2007.
Karena itu, besar
kemungkinan pasangan “kuda hitam” Effendi-Djumiran dengan diperkuat tokoh-tokoh Melayu bakal menggusur perkiraan semua
orang untuk meringsek naik ke permukaan. Mengenai
ini saya teringat pendapat antropolog Fredrik Barth.
Dalam penelitiannya, Barth
menemukan dua hal. Pertama,
batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur.
Dengan kata lain perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh terjadinya
pembauran, kontak dan pertukaran informasi namun lebih disebabkan oleh adanya
proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan.
Kedua,
dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting
antara dua kelompok etnik yang berbeda, karena adanya status etnik yang
terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri masing-masing kelompok etnik
yang berbeda-beda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan
sosial, tetapi didasari oleh terbentuknya sistem sosial tertentu. Nah! ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar