Minggu, 24 Maret 2013

ROIS YANG RESAH DAN YANG BERUBAH

Oleh: Dimas Arika Mihardja
(Sambungan Sabtu Lalu)


Pada sajak lainnya, “Senandung Bulan”, Rois memadupadankan syair lagu dalam sajaknya. Sajak-sajak jenis ini, yang terinspirasi dari lagu, berhasil mengungkapkan doa dan harapannya selaku kreator yang kreatif. Kita nikmati apa yang disenandungkan oleh Rois, yang alih-alih ingin kembali ke masa kanak-kanak menyanyikan lagu romantik:

SENANDUNG BULAN

Ambilkan bulan bu yang slalu bersinar di langit

sebelum parah. ambilkan untukku, bu
jika tak terlihat, sibak awan hitam itu
ia sembunyi di sana bersama bayibayi
yang didusta-hinakan kelahirannya
juga jiwajiwa yang terkungkung perang

Di langit bulan benderang Cahyanya sampai….

pun dongengmu ketika menjelang tidur
tentangbidadari pemintal cahaya putih
yangakan datang di setiap mimpi kecil
mengajakku petak-temu di dada bulan

tapi, bu. semenjak kota kehilangan ruhnya
anakanak tak lagi percaya pada dongengan
tentang bulan bintang bahkan kekunang
mereka lebih percaya pada adegan porno
pada goyang pinggul setengah telanjang
yang begitu mudah disajikan di ruang keluarga

ambilkan bulan bu untuk menerangi,tidurku .... 

aku lucu yah, bu? anakanak saja enggan
aku malah kelangenan membujukrayu
tapi bu. kemarin aku cukur kumis jenggot
juga seluruh jembut dan berdiri depan cermin
aku baru sadar, jika tanpa dekor kedewasaan
antara aku dan bocah umbelan itu tak ada beda

Cilegon-Banten, 2011

Puisi ini sengaja ditampilkan utuh-menyeluruh untuk memberikan aksentuasi bahwa kejujuran Rois selaku kreator sungguh mengharukan. Hal yang mengharukan (dan lucu juga tentunya) saat di bait terakhir ternyata antara ‘aku” yang mencukur habis segala atribut kedewasaan dan menemu kenyataan bahwa ‘aku” tiada bedanya dengan “bocah umbelan”.
Buku ini memuat puisi yang beragam tema dan manifestasinya. Sebagai penyair yang rajin belajar, Rois agaknya mulai mengenal puisi berkecenderungan lirik. Puisi-puisi Rois memang berkecenderungan lirik, mengungkapkan kesan-personal penyairnya mengenai berbagai hal yang dihayati, direnungi, dan diekspresikan melalui ciri-ciri puisi lirik. Teori-teori perpuisian dengan baik diaplikasikan oleh penyair ini. Misalnya terkait dengan konvensi puisi liris yang meliputi (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak dan deiksis. Puisi atau sajak itu tergolong karya rekaan,  maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, ada “jarak” antara situasi si aku penyair dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya. Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Sajak atau puisi sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks bertolak dari konfigurasi gagasan maupun bentuk ekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan puisi selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan bentuk ekspresinya. Dalam puisi yang termuat dalam buku ini, upaya menciptakan efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.
Kata adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada dasarnya adalah simbol.  Berbeda dengan gambaran penger-tian simbol sebagaimana dikemuka-kan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:

A symbol is a sign which refers to the object that is donotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object”.

Simbol diartikan sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya.
Lambang dalam wacana puisi Rois, se­cara kate­goris dapat dibedakan (1) lambang konstitutif, yakni lam­bang yang membentuk keper­cayaan-kepercayaan, (2) lambang kogni­tif, yakni lambang yang mem­bentuk pengeta­huan, (3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai moral, dan (4) lambang ekspresif, yakni lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik dapat ditambahkan untuk melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lam­bang estetik, penyair dapat mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan ima­jinasi, intuisi, dan ide-idenya.
Wujud lambang budaya dalam teks puisi, seperti puisi yang dimuat dalam buku ini, dibedakan dalam lima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneu­tika (the hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon;  (2) kode semantik (the code of  semantic or signi­fier), yakni kode yang berada pada kawasan penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya sendiri menawarkan makna konotasi; (3) kode simbolik (the symbolic code), yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan mele­burkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi sehingga menggiring ke­mungkinan makna ke kemungkinan yang lainnya dalam indetermi­nasi;  
(4) kode pro­raetik (the proraitic code), adalah kode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code), yakni kode yang mengatur dan mem­bentuk ‘suara-suara kolektif’ dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam.
Pengantar ini tentu saja tidak perlu membentangpanjangkan uraian atas sajak-sajak Rois. Uraian yang panjang dan lebar hanya akan terkesan “nyinyir” atau “cerewet”. Pengantar ini cukuplah jika sekadar menunjukkan ceruk-ceruk terpenting bahwa Rois dalam cipta puisi menunjukkan gejala positif, yakni berubah ke arah positif. Ya, Rois yang gelisah dan berubah! ***



Jambi, Februari 2013

Dimas Arika Mihardja, Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

1 komentar: