Oleh: Dimas Arika Mihardja
(Sambungan Sabtu Lalu)
Pada sajak lainnya, “Senandung
Bulan”, Rois memadupadankan syair lagu dalam sajaknya. Sajak-sajak jenis ini,
yang terinspirasi dari lagu, berhasil mengungkapkan doa dan harapannya selaku
kreator yang kreatif. Kita nikmati apa yang disenandungkan oleh Rois, yang
alih-alih ingin kembali ke masa kanak-kanak menyanyikan lagu romantik:
SENANDUNG BULAN
Ambilkan bulan bu yang slalu
bersinar di langit
sebelum parah. ambilkan untukku, bu
jika tak terlihat, sibak awan hitam
itu
ia sembunyi di sana bersama
bayibayi
yang didusta-hinakan kelahirannya
juga jiwajiwa yang terkungkung
perang
Di langit bulan benderang
Cahyanya sampai….
pun dongengmu ketika menjelang
tidur
tentangbidadari pemintal cahaya
putih
yangakan datang di setiap mimpi
kecil
mengajakku petak-temu di dada bulan
tapi, bu. semenjak kota kehilangan
ruhnya
anakanak tak lagi percaya pada
dongengan
tentang bulan bintang bahkan
kekunang
mereka lebih percaya pada adegan
porno
pada goyang pinggul setengah
telanjang
yang begitu mudah disajikan di
ruang keluarga
ambilkan bulan bu untuk
menerangi,tidurku ....
aku lucu yah, bu? anakanak saja
enggan
aku malah kelangenan membujukrayu
tapi bu. kemarin aku cukur kumis
jenggot
juga seluruh jembut dan berdiri
depan cermin
aku baru sadar, jika tanpa dekor
kedewasaan
antara aku dan bocah umbelan itu
tak ada beda
Cilegon-Banten, 2011
Puisi ini
sengaja ditampilkan utuh-menyeluruh untuk memberikan aksentuasi bahwa kejujuran
Rois selaku kreator sungguh mengharukan. Hal yang mengharukan (dan lucu juga
tentunya) saat di bait terakhir ternyata antara ‘aku” yang mencukur habis
segala atribut kedewasaan dan menemu kenyataan bahwa ‘aku” tiada bedanya dengan
“bocah umbelan”.
Buku ini memuat
puisi yang beragam tema dan manifestasinya. Sebagai penyair yang rajin belajar,
Rois agaknya mulai mengenal puisi berkecenderungan lirik. Puisi-puisi Rois
memang berkecenderungan lirik, mengungkapkan kesan-personal penyairnya mengenai
berbagai hal yang dihayati, direnungi, dan diekspresikan melalui ciri-ciri
puisi lirik. Teori-teori perpuisian dengan baik diaplikasikan oleh penyair ini.
Misalnya terkait dengan konvensi puisi liris yang meliputi (1) jarak dan
deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak
dan deiksis. Puisi atau sajak itu tergolong karya rekaan, maka kata-kata
yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu,
melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, ada “jarak”
antara situasi si aku penyair dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata
deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik keruangan (di sini, di situ, di
sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya),
dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu,
pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua,
keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang
organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh
karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan
antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam
puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun,
karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya
sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan
perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance),
konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit
yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari
hubungan-hubungannya. Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau
diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai
yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Sajak atau puisi
sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana
ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks bertolak dari konfigurasi
gagasan maupun bentuk ekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan
puisi selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan
bentuk ekspresinya. Dalam puisi yang termuat dalam buku ini, upaya menciptakan
efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat
mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.
Kata adalah
satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata
sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada
dasarnya adalah simbol. Berbeda dengan gambaran penger-tian simbol
sebagaimana dikemuka-kan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:
“A symbol is a
sign which refers to the object that is donotes by virtue of a law, usually an
association of general ideas, which operates to cause the symbol to be
interpreted as referring to that object”.
Simbol diartikan
sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri.
Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan
sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya
menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuk
simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah
kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkan
konvensi masyarakat pemakainya.
Lambang dalam
wacana puisi Rois, secara kategoris dapat dibedakan (1) lambang
konstitutif, yakni lambang yang membentuk kepercayaan-kepercayaan,
(2) lambang kognitif, yakni lambang yang membentuk pengetahuan,
(3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai
moral, dan (4) lambang ekspresif, yakni
lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik dapat ditambahkan untuk
melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lambang estetik, penyair dapat
mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan imajinasi, intuisi, dan ide-idenya.
Wujud lambang
budaya dalam teks puisi, seperti puisi yang dimuat dalam buku ini, dibedakan
dalam lima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneutika (the
hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang
secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara
dialektik pertanyaan-respon; (2) kode semantik (the code of
semantic or signifier), yakni kode yang berada pada kawasan
penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya
sendiri menawarkan makna konotasi; (3) kode simbolik (the symbolic code),
yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu
ungkapan meleburkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda
dan referensi sehingga menggiring kemungkinan makna ke kemungkinan yang
lainnya dalam indeterminasi;
(4) kode proraetik (the proraitic
code), adalah kode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia
disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code),
yakni kode yang mengatur dan membentuk ‘suara-suara kolektif’ dan anonim dari
pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka
ragam.
Pengantar ini
tentu saja tidak perlu membentangpanjangkan uraian atas sajak-sajak Rois.
Uraian yang panjang dan lebar hanya akan terkesan “nyinyir” atau “cerewet”.
Pengantar ini cukuplah jika sekadar menunjukkan ceruk-ceruk terpenting bahwa
Rois dalam cipta puisi menunjukkan gejala positif, yakni berubah ke arah
positif. Ya, Rois yang gelisah dan berubah! ***
Jambi, Februari 2013
Dimas Arika Mihardja, Direktur
Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
Tahniah sdr Rois...
BalasHapus