Sabtu, 23 Maret 2013

MENANTI SANG FAJAR

(Sabtu 9 Maret 2013)
Cerpen : Novriani


T
idak tahu apa yang harus dituliskan, ide hilang dalam sekejap. Berusaha kuat menemukan ide kembali tapi nyatanya juga tidak ada. Sudah berulang kali kucoba untuk menulis apapun di lembar putih dan berakhir dengan cerita kosong. Entah masalah apa yang merasukiku hingga berpikir pun terasa sangat sulit. Banyak hal yang ada di benakku sampai aku sendiri tidak memahaminya. Beberapa ide yang akan dituangkan namun untuk memulai menulis itulah yang sulit sampai akhirnya aku menghapus dan memilih tidak menulisnya.
Terus kucoba mengisi lembaran demi lembaran kertas putih di hadapanku, namun tetap kosong tiada bertinta. Aku termasuk orang yang lumayan sering untuk menuliskan bermacam hal di kertas. Segala kejadian dalam keseharian sampai hal-hal dalam imajiku sendiri. Memang, semua hanya untuk koleksiku sendiri dan yang membaca hanya teman dan keluarga saja.
Hampir pukul 02.00 pagi kertas yang sudah kupersiapkan tidak juga berisi apa-apa. “Ya Allah, sampai detik ini aku juga tak menulis apapun,” ucapku menyesalin semua.
Subuh beberapa jam lagi akan tiba dan aku memilih tidak melanjutkan menulis. Kuhempaskan tubuh dalam pantulan tempat tidur. Nyaman kini yang terasa setelah hampir semalaman aku bergelut dengan kertas dan terus bersandar di bagian belakang kursi. Ku rasakan perih pada bagian mata bahkan terlihat merah dan kupejamkan mata untuk menghilangkan perih. Saat beberapa menit terpejam, tidak juga mata ingin terlelap. Pikiran sadar masih menghantui, terus melalang dalam kesunyian subuh. Ada apa dengan aku? Pertanyaan aneh yang ditujukan untuk diriku sendiri. Bagaimana tidak, dari pertanyaan itu terlihat bahwa aku tidak paham akan diriku sendiri. Sulit untuk menjelaskan semua.
Pantulan cahaya putih dari lampu kamar ditambah dengan warna dinding yang putih memberikan efek terang hingga aku tidak merasa khawatir berada dalam kesunyian. Adakah orang berani sendirian di tengah kesunyian? Sedangkan orang lain sedang asyik bergelut dengan mimpi mereka. Semua orang di rumahku sudah terlelap bahkan sebentar lagi Emakku akan terbangun. 
Pikiranku kembali ke kertas. Ada rasa tidak puas dalam diriku karena tidak dapat menulis apa-apa. Sebenarnya dalam menulis cerita kalau dalam keadaan terpaksa itu tidak akan menghasilkan apapun. Namun ada juga orang berpendapat cobalah untuk menulis apapun secara rutin setiap harinya, kalau sudah buntuh jangan paksa dan lanjutkan besok lagi. Selama ini cara yang kupakai salah, aku selalu menulis kalau dalam keadaan ingin saja, kalau tidak ada niat tidak akan menulis. Aku mencoba cara baru itu dan akhirnya aku tidak bisa menulis apapun. Aku berpikir kembali dengan banyak pendapat, tidak ada satu pun yang menolong. Apa yang harus ku perbuat?
Pendapat lain yang kudapat mengatakan bahwa kalau menulis sudah dimulai harus diselesaikan saat itu juga, jangan menunggu besok dilanjutkan. Kalau dilanjut esok hari maka ide itu akan hilang dan akan berganti dengan ide yang lain. Sebaiknya menulis terus sampai selesai, apapun yang kita tulis jangan dihapus, biarkan apa adanya. Simpanlah tulisan itu, sampai beberapa hari kemudian baca kembali dan mulai diedit. Pendapat dari berbagai sumber tentang menulis sering sekali ku dengar. Aku suka mendengar pendapat yang dapat membangun karakter seseorang. Pada dasarnya anak yang masih dibilang labil masih membutuhkan pengalaman orang lain untuk membangun karakter dirinya sendiri.
Menulis mungkin hanya sekadar kegemaran atau kepuasan tersendiri bagiku karena sudah memberi makanan ringan buat orang yang terlalu serius. Cerita dalam imaji seseorang pun dapat membangkitkan semangat bagi orang lain. Seperti teman satu kelasku sewaktu SMA, Ia mengalami patah hati dan tidak bisa menerima apapun. Dalam sekejap kehidupannya berubah total. Aku iseng memberi Ia cerita yang hampir sama dengan apa yang Ia alami. Di akhir cerita pengarang memberi unsur semangat pada tokohnya, jelas saja Ia kembali semangat. Terkadang seorang penulis yang berpikir bahwa tulisannya hanya sebagai imaji sendiri, namun tak terhindarkan orang lain juga mengalaminnya. Akhir cerita yang dihasilkan bahkan dapat berpengaruh juga dengan orang yang membacanya.
Sejak masih duduk di bangku SMP, aku mulai menyukai hal yang berbau tulis menulis. Berawal dari suka membaca novel remaja, melihat FTV, kisah-kisah remaja yang seru, hoby itu muncul. Aku juga suka mengkhayal dan membuat cerita sendiri di pikiranku. Masalah yang terbesar dalam diriku adalah malas untuk menuliskannya. Ide cerita itu hanya menumpuk dalam pikiranku. Ku sadari banyak hal yang tidak ku ketahui tentang proses menulis. Sampai akhirnya kegiatan menulis ku hentikan. Sekarang aku baru memahami betapa serunya membuat cerita yang dapat memberi kebahagiaan bahkan inspirasi pada orang banyak. Menghasilkan cerita sendiri memberi kepuasan pada diri.
Ada beberapa cerita yang sempat aku tuliskan, awalnya aku ingin membuat novel dan yang pasti akan diterbitkan seperti novel-novel remaja yang sekarang sudah banyak beredar. Namun karena usaha yang tidak terlalu maksimal, juga perasaan bosan yang terlalu cepat ku alami, akhirnya cerita yang ku buat hanya setengah dan tiada kelanjutannya lagi. Perlahan-lahan aku sadar kesalahan dan setiap halangan yang kualami selama dalam proses menulis. Kini, aku sudah berada dalam dunia yang berbau sastra. Ya, aku menduduki bangku kuliah dan berada dalam dunia sastra. Menulis dan terus menulis, itulah yang tengah kutekunkan.
Ketiga jarum jam dinding masih asik berotasi menunjukkan sudah pukul 02.45 dan 15 menit lagi sudah pukul 03.00. Aku masih berusaha untuk terus menuliskan sesuatu di kertas layar monitor. Mencari ide cerita yang mungkin dapat menjadi inspirasi untuk orang lain. Subuh akan datang sebentar lagi dan Emak akan bangun untuk sholat. Tidak ada alasanku untuk bilang pada Emak aku tidak tertidur. Emak pasti akan marah.
“Kenapa belum tidur kau Vita?” suara Emak mengejutkanku. Sambil melangkah mendekatiku Emak masih menunggu jawabanku.
“Tak apa-apa, Mak, hanya mataku tak dapat terlelap. Aku juga mau menulis, tapi idenya nggak ada,” jawabku.
“Tapi ini sudah hampir jam tiga, kalau tak bisa menulis ya jangan kau paksa,” nasihat Emak.
“Aku sudah coba Mak tapi tak bisa. Emak kenapa sudah bangun?” tanyaku mengubah arah pembicaraan.
“Emak lihat lampu kamarmu masih terang, tadi Mak mau ke kamar mandi. Ya sudah tidurlah kau.
            Emak beranjak dari kamarku. Kupikir tidak bisa lagi aku untuk melanjutkan pencarian ide untuk menulis. Mungkin akan aku dapatkan ketika pikiranku sudah tenang. Kalau pun tidur akan tanggung karena sebentar lagi subuh akan datang.
“Tidurlah Vit, nanti kau sakit tak tidur satu malam ini.
“Tak apa, Mak, kalau pun tidur subuh sudah akan datang, tidur juga tak akan nyenyak.
“Benar kau tak apa-apa?” Emak sepertinya cemas dengan sikapku saat ini.
“Iya, Mak, aku baik-baik saja.” Mendengar keyakinanku, Emak merasa tenang dan kembali ke kamar.
            Kuputuskan untuk membaca novel ataupun cerita yang ada di kamar. Mana tahu dengan membaca inspirasi atau ide yang akan ku tulis dapat keluar, karena pada dasarnya menjadi seorang penulis juga harus rajin membaca, juga membaca karya orang lain. Selain menambah wawasan juga bermanfaat untuk menunjang dalam menulis. Aku percaya hal itu, dengan membaca juga mengasah pikiran yang tidak lagi tajam, bahkan yang tumpul sekalipun.  Baca buku juga menyenangkan, kalau hal itu dinikmati. Bisa juga lupa dengan waktu, hal itu ku alami sendiri. Karena keasyikan membaca novel azan Subuh sudah berkumandang di mesjid. Ku tutup buku dan segera beranjak ke kamar kecil untuk membersihkan wajahku dan berwudhu. Ku laksanakan sholat sembari waktu terus berjalan. ***

Sketsa Kontan, Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar