Cerpen : Ratna Sari Mandefa
(Sabtu, 16 Maret 2013)
B
|
ias
matahari semakin meluas. Seperti segaris dengan ubun-ubun. Menyengat kulit
serasa legam terbakar. Kutelusuri jalan menuju toko buku yang tak jauh dari
rumah.
Apa
wanita renta bungkuk itu orang tuanya? Dua kali sudah aku bertemu dengan lelaki
ini. Dua kali juga ia bersama orang tua dan tongkatnya. Pertama, ia memapah ke
pinggir jalan. Tangan dipegang erat. Kedua, ia menggendong si tua di
punggungnya. Mereka mau kemana? Dan, selalu terlihat olehku di daerah sini
saja. Tapi jika itu ibunya, kenapa ia membiarkan pakaian kumal kusam membalut
tubuhnya?
Ia
dudukkan si ibu di bawah pohon mangga. Hijau daun yang rimbun meneduhkan wanita
itu. Sedangkan lelaki yang samar-samar berdiri sambil mengatur posisi sepeda
motor yang berdiam di tempat. Dari pada bertanya-tanya dalam hati, lebih bagus
aku tanyakan esok. Aku akan mencoba menyapa lelaki itu.
Keesokan
harinya. Aku mengajak Nita, siang ini juga ke warung dekat lelaki dan ibu tua
yang sering bertengger di situ. Dengan
mengendarai sepeda motor milik Nita.
“Yang
aku ceritakan kemarin.”
“Untuk
apa? Kok mendadak ?” tanya Nita.
“Sudahlah.
Nanti kamu pasti tahu juga. Pentingnya, makan siang kali ini aku traktir.”
Nita,
gadis berambut panjang kulit kuning langsat mata sipit dan glamoar. Sahabat
dekatku.
***
Suapan
nasi semakin lama semakin perlahan. Menyeruput segelas air mineral sambil
melirik ke samping kananku. “Hah!” ternyata wanita tua yang biasa kulihat dari
kejauhan. Ia makan bersama lelaki itu.
Sengaja
kutuding tangan si ibu agar aku dapat perhatian dari lelaki ini. Serta dapat
menyapanya. Ini yang ketiga kali aku melihat kejadian yang sama.
“Maaf,
maaf. Ibumu?”
“Bukan.”
Aku
semakin heran. “Lantas?”
“Ibu
ini peminta di lampu merah sana. Jika siang tiba aku membawanya ke mari. Hatiku
luka jika terik ia masih saja tetap di sana. Hatiku tersayat jika aku di sini
makan. Ia di sana masih saja menengadahkan tangan dengan perut keroncongannya.
Maka setiap hari aku terbiasa dengan hal ini. Bahkan tanpa aku lakukan seperti
ini, aku merasa hasil jaga parkiran tidak berkah.
Memang,
penghasilan yang aku dapat setiap hari tidak seberapa. Tapi memberi ibu ini
makan dan membopongnya sudah sungguh berharga dan membahagiakan hidupku. Karena
aku melihat ibu ini selalu mengingatkanku tentang ibu yang sudah lama meninggal
dunia. Semoga saja ini amal jariyah untuk ibu di alam sana.
Aku
tak punya apa-apa. Ayahku menikah lagi setelah kepergian ibu. Saudara-saudara
tidak mau memungutku di rumah mereka. Ya sudah. Aku hidup di belantara kota dan
bekerja seperti yang kamu lihat ini. Kenapa ini aku lakukakn pada ibu ini? Semenjak
kecil almarhumah mengajarkan aku tentang sedekah. Lagian apalagi yang harus aku
beri pada orang tuaku? Orang tua tidak mengharapkan kekayaan dari kita. Tapi
doa dan amal kita di dunia ini.”
Aku
terharu mendengar cerita yang terulas dari mulut lelaki ini. Aku menaruh
apresiasiasi yang tinggi padanya. Aku dan Nita sempat menitikkan air mata. Usai
perkenalan dan transaksi, Aku dan Nita beranjak pulang ke rumah.
Selama perjalanan sesal menyesak dada. Lelaki
itu saja bisa seperti itu. Aku juga harus bisa lebih baik. Ya Tuhan, selama ini
aku hanya tahu meminta, merengek pada orang tua. Memberi sekali tidak pernah.
Apalagi menuruti kata ayah dan ibu. Dan akhir-akhir ini aku sering merajuk
karena kado ulang tahunku yang ke-17 sampai sekarang belum jua diberikan.
Alasan, tunggu pengumuman kelulusan sudah diterima. Dan hasilnya harus lulus.
Jika tak lulus hadiah tidak bakalan diberi.
Sekarang aku paham maksud tujuan ayah dan ibu. Maafkan aku, Ayah, Ibu.
***
Ayah
yang masih di kebun. Ibu yang masih di sekolah menerima hasil kelulusan. Aku
siap menunggu mereka. Kusiapkan masakan kesukaan mereka. Daun ubi tumbuk plus
ikan teri sambel dan sambel uleg campur terasi.
Ibu…pelita
hidupku permaisuri bagi Ayahanda. Bidadari untukku. Ibu, wanita pejuang
selama-lamanya. Mulai dari sembilan bulan pun dua tahun. Aku masih banyak salah
ibu. Lantunan maaf untukmu ibuku…kata ampun untuk Allah. Ibu, banyak
mengajarkanku tentang hal. Marahmu kasih sayang jua pelajaran. Akan kuhapus
bercak hitam yang ternoda di jiwa dengan putih. Demi perobahan diri menuju
surgawi bukan duniawi. Oh, ibu…ajarkan aku kembali. Aku salah.
Ayah…tak
pelak lagi, bergudang kesalahan masih tersimpan dan tak kusadari sebelumnya.
Pada engkau sang pengayun cangkul. Pada engkau sang pendiam, pada engkau
pemimpin sejati. Diammu selama ini, masih kusadari ada cinta di dalamnya.
Engkau lebih banyak kucurkan keringat daripada umbar kata. Bahkan sangat irit
kata, sang pendiam seribu bahasa. Terik dan air langit merintik tak alasan
bagimu. Tapi hikmah dan syukur engkau ucap.
***
Makan
malam sudah terhidang. Ayah dan ibuku sayang…ini bukan hari kasih sayang. Bukan
juga perayaan hari kelahiran. Aku yakin kasih sayang ayah dan ibu selalu ada
sepanjang masa. Ayah,ibu, apa sebenarnya cinta kasih sayang ? aku tak tahu.
Kenapa ketiga kata ini selalu dekat. Walaupun begitu aku dapat merasakannya.
Ayah,
ibu, tak terhingga pemberian yang di beri untukku. Aku yakin ayah dan ibu tak
mengharap balasan. Seandainya aku memberi, itupun tak setimpal dengan apa yang
ayah ibu beri. Tapi malam ini aku ingin memberi walau tak seberapa. Sebuah
hadiah yang tak tampak. Bukan benda, bukan harta bukan juga jabatan. Tapi hanya
tujuh kata untuk ayah dan ibu.
“Aku-cinta-ayah-dan-ibu-karena-Allah.”
Suasana
malam ini haru dan rintik-rintik air dari mata membasahi pipiku serta ayah dan
ibu. Kecupan kening dan pelukan kasih sayang mendekap tubuhku. Tiba-tiba
suasana hening. “Amplop putih dan kotak dibaluti kertas kado?”
“Hah!
Aku lulus, aku lulus…Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah…terima kasih,. Ayah,
Ibu.” Perlahan-lahan aku buka kotak yang tak jauh-jauh dari pandanganku.
“Kosong.” Ada kotak lagi. Al-Qur’anul Karim. Ayah…ibu…terima kasih. Ini sangat
berharga bagiku. Dan mulai sekarang aku akan rajin mengaji. Aku tahu ini semua
ayah dan ibu lakukan agar aku berubah lebih baik.
“Iya,
Anakku. Jaga kado ini baik-baik. Jika kamu bisa menjaga ini dengan baik berarti
kamu bisa jaga dirimu dengan baik,” kata Ibu. Ayah hanya senyum simpul saja.
***
Inilah
hidup. Diciptakan makhluk hidup dengan berbagai karakteristik yang berbeda.
Perbedaan itulah yang membuat unik kehidupan. Inilah hidup. Bervariasi makhluk di
dalam bumi ini. Walaupun begitu, hidup terasa indah dan nikmat jika menciptakan
rasa berbagi. Dan inilah perubahan. Perubahan yang berbeda, baik jadi buruk
sebaliknya buruk jadi baik. Inilah perubahan. Bisa saja dari apa yang dilihat, dirasa, dan dinikmati. Perubahan
bukan hanya dari diri sendiri. Perubahan juga ada pada lingkungan. Perubahan
ada pada motivasi orangtua. Ya, inilah hidup. Maka, sekecil apapun yang kita
lihat janganlah di remehkan. Tapi jadikan sebagai pelajaran yang sangat
bermakna yang dapat membangun hidup. ***
Ranah Kompak, 22
Juni 2012
Ratna
Sari Mandefa, gadis kelahiran 15 September 1992 di desa Gunung Baringin Kec. Sosa
Kab.Padang Lawas. Saat ini menjalani perkuliahan di UMSU FKIP jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Sejumlah karyanya
terbit di media massa Medan dan beberapa antologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar