Minggu, 24 Maret 2013

Tujuh Kata Untuk Mereka



Cerpen : Ratna Sari Mandefa
(Sabtu, 16 Maret 2013)

B
ias matahari semakin meluas. Seperti segaris dengan ubun-ubun. Menyengat kulit serasa legam terbakar. Kutelusuri jalan menuju toko buku yang tak jauh dari rumah.
Apa wanita renta bungkuk itu orang tuanya? Dua kali sudah aku bertemu dengan lelaki ini. Dua kali juga ia bersama orang tua dan tongkatnya. Pertama, ia memapah ke pinggir jalan. Tangan dipegang erat. Kedua, ia menggendong si tua di punggungnya. Mereka mau kemana? Dan, selalu terlihat olehku di daerah sini saja. Tapi jika itu ibunya, kenapa ia membiarkan pakaian kumal kusam membalut tubuhnya?
Ia dudukkan si ibu di bawah pohon mangga. Hijau daun yang rimbun meneduhkan wanita itu. Sedangkan lelaki yang samar-samar berdiri sambil mengatur posisi sepeda motor yang berdiam di tempat. Dari pada bertanya-tanya dalam hati, lebih bagus aku tanyakan esok. Aku akan mencoba menyapa lelaki itu.
Keesokan harinya. Aku mengajak Nita, siang ini juga ke warung dekat lelaki dan ibu tua yang sering bertengger di situ.  Dengan mengendarai sepeda motor milik Nita.
“Yang aku ceritakan kemarin.”
“Untuk apa? Kok mendadak ?” tanya Nita.
“Sudahlah. Nanti kamu pasti tahu juga. Pentingnya, makan siang kali ini aku traktir.”
Nita, gadis berambut panjang kulit kuning langsat mata sipit dan glamoar. Sahabat dekatku.
***
Suapan nasi semakin lama semakin perlahan. Menyeruput segelas air mineral sambil melirik ke samping kananku. “Hah!” ternyata wanita tua yang biasa kulihat dari kejauhan. Ia makan bersama lelaki itu.
Sengaja kutuding tangan si ibu agar aku dapat perhatian dari lelaki ini. Serta dapat menyapanya. Ini yang ketiga kali aku melihat kejadian yang sama.
“Maaf, maaf. Ibumu?”
“Bukan.”
Aku semakin heran. “Lantas?”
“Ibu ini peminta di lampu merah sana. Jika siang tiba aku membawanya ke mari. Hatiku luka jika terik ia masih saja tetap di sana. Hatiku tersayat jika aku di sini makan. Ia di sana masih saja menengadahkan tangan dengan perut keroncongannya. Maka setiap hari aku terbiasa dengan hal ini. Bahkan tanpa aku lakukan seperti ini, aku merasa hasil jaga parkiran tidak berkah.
Memang, penghasilan yang aku dapat setiap hari tidak seberapa. Tapi memberi ibu ini makan dan membopongnya sudah sungguh berharga dan membahagiakan hidupku. Karena aku melihat ibu ini selalu mengingatkanku tentang ibu yang sudah lama meninggal dunia. Semoga saja ini amal jariyah untuk ibu di alam sana.
Aku tak punya apa-apa. Ayahku menikah lagi setelah kepergian ibu. Saudara-saudara tidak mau memungutku di rumah mereka. Ya sudah. Aku hidup di belantara kota dan bekerja seperti yang kamu lihat ini. Kenapa ini aku lakukakn pada ibu ini? Semenjak kecil almarhumah mengajarkan aku tentang sedekah. Lagian apalagi yang harus aku beri pada orang tuaku? Orang tua tidak mengharapkan kekayaan dari kita. Tapi doa dan amal kita di dunia ini.”
Aku terharu mendengar cerita yang terulas dari mulut lelaki ini. Aku menaruh apresiasiasi yang tinggi padanya. Aku dan Nita sempat menitikkan air mata. Usai perkenalan dan transaksi, Aku dan Nita beranjak pulang ke rumah.
 Selama perjalanan sesal menyesak dada. Lelaki itu saja bisa seperti itu. Aku juga harus bisa lebih baik. Ya Tuhan, selama ini aku hanya tahu meminta, merengek pada orang tua. Memberi sekali tidak pernah. Apalagi menuruti kata ayah dan ibu. Dan akhir-akhir ini aku sering merajuk karena kado ulang tahunku yang ke-17 sampai sekarang belum jua diberikan. Alasan, tunggu pengumuman kelulusan sudah diterima. Dan hasilnya harus lulus. Jika tak lulus hadiah  tidak bakalan diberi. Sekarang aku paham maksud tujuan ayah dan ibu. Maafkan aku, Ayah, Ibu.
***
Ayah yang masih di kebun. Ibu yang masih di sekolah menerima hasil kelulusan. Aku siap menunggu mereka. Kusiapkan masakan kesukaan mereka. Daun ubi tumbuk plus ikan teri sambel dan sambel uleg campur terasi.
Ibu…pelita hidupku permaisuri bagi Ayahanda. Bidadari untukku. Ibu, wanita pejuang selama-lamanya. Mulai dari sembilan bulan pun dua tahun. Aku masih banyak salah ibu. Lantunan maaf untukmu ibuku…kata ampun untuk Allah. Ibu, banyak mengajarkanku tentang hal. Marahmu kasih sayang jua pelajaran. Akan kuhapus bercak hitam yang ternoda di jiwa dengan putih. Demi perobahan diri menuju surgawi bukan duniawi. Oh, ibu…ajarkan aku kembali. Aku salah.
Ayah…tak pelak lagi, bergudang kesalahan masih tersimpan dan tak kusadari sebelumnya. Pada engkau sang pengayun cangkul. Pada engkau sang pendiam, pada engkau pemimpin sejati. Diammu selama ini, masih kusadari ada cinta di dalamnya. Engkau lebih banyak kucurkan keringat daripada umbar kata. Bahkan sangat irit kata, sang pendiam seribu bahasa. Terik dan air langit merintik tak alasan bagimu. Tapi hikmah dan syukur engkau ucap.
***
Makan malam sudah terhidang. Ayah dan ibuku sayang…ini bukan hari kasih sayang. Bukan juga perayaan hari kelahiran. Aku yakin kasih sayang ayah dan ibu selalu ada sepanjang masa. Ayah,ibu, apa sebenarnya cinta kasih sayang ? aku tak tahu. Kenapa ketiga kata ini selalu dekat. Walaupun begitu aku dapat merasakannya.
Ayah, ibu, tak terhingga pemberian yang di beri untukku. Aku yakin ayah dan ibu tak mengharap balasan. Seandainya aku memberi, itupun tak setimpal dengan apa yang ayah ibu beri. Tapi malam ini aku ingin memberi walau tak seberapa. Sebuah hadiah yang tak tampak. Bukan benda, bukan harta bukan juga jabatan. Tapi hanya tujuh kata untuk ayah dan ibu.
“Aku-cinta-ayah-dan-ibu-karena-Allah.”
Suasana malam ini haru dan rintik-rintik air dari mata membasahi pipiku serta ayah dan ibu. Kecupan kening dan pelukan kasih sayang mendekap tubuhku. Tiba-tiba suasana hening. “Amplop putih dan kotak dibaluti kertas kado?”
“Hah! Aku lulus, aku lulus…Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah…terima kasih,. Ayah, Ibu.” Perlahan-lahan aku buka kotak yang tak jauh-jauh dari pandanganku. “Kosong.” Ada kotak lagi. Al-Qur’anul Karim. Ayah…ibu…terima kasih. Ini sangat berharga bagiku. Dan mulai sekarang aku akan rajin mengaji. Aku tahu ini semua ayah dan ibu lakukan agar aku berubah lebih baik.
“Iya, Anakku. Jaga kado ini baik-baik. Jika kamu bisa menjaga ini dengan baik berarti kamu bisa jaga dirimu dengan baik,” kata Ibu. Ayah hanya senyum simpul saja.
***
Inilah hidup. Diciptakan makhluk hidup dengan berbagai karakteristik yang berbeda. Perbedaan itulah yang membuat unik kehidupan. Inilah hidup. Bervariasi makhluk di dalam bumi ini. Walaupun begitu, hidup terasa indah dan nikmat jika menciptakan rasa berbagi. Dan inilah perubahan. Perubahan yang berbeda, baik jadi buruk sebaliknya buruk jadi baik. Inilah perubahan. Bisa saja dari apa yang  dilihat, dirasa, dan dinikmati. Perubahan bukan hanya dari diri sendiri. Perubahan juga ada pada lingkungan. Perubahan ada pada motivasi orangtua. Ya, inilah hidup. Maka, sekecil apapun yang kita lihat janganlah di remehkan. Tapi jadikan sebagai pelajaran yang sangat bermakna yang dapat membangun hidup.  ***


Ranah Kompak, 22 Juni 2012






Ratna Sari Mandefa, gadis kelahiran 15 September 1992 di desa Gunung Baringin Kec. Sosa Kab.Padang Lawas. Saat ini menjalani perkuliahan di UMSU FKIP jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejumlah  karyanya terbit di media massa Medan dan beberapa antologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar