Cerpen: Otang K.Baddy
M
|
alam-malam tanpa bulan, tanpa bintang. Dusun sunyi-senyap, zaman yang
kelam di masa lalu. Dimana anak-anak perawan dan bujang belum mengenal lipstick
dan gincu. Kendatipun begitu mereka tetap berlagu, kidung kasmaran parahyangan
yang merdu. Di rumah bilik yang diterangi pelita atau lentera. Jelita dan
rupawan di masanya, suka-cita dan ceria warga di zamannya.
Namun suasana yang kerap membuai di bulu rindu
itu tiba-tiba lenyap tatkala langit padam rembulan dan hilang bintang. Begitu pun lentera dan lampu kelapa, tak lagi
dinyalakan warga. Karena malam telah berubah mencekam, aroma mistis atau horor
kian berkembang dan kental di benak-benak mereka.
Tiba-tiba warga di Dusun Ogo menggeragap terbangun dari
tidur lelapnya tatkala mendengar suara gemuruh dari bukit itu. Bukit Kiarapayung.
Sebuah bukit tertinggi di dekat dusun itu, dimana di ponclotnya bercokol pohon
kiara yang tinggi kekar. Disebutlah kiara payung karena dahan dan rantingnya yang rindang memang memayungi pohon-pohon lain di bawah dan
sekitarnya. Koloni rotan alas dan rumpunan macam bambu, menunjukkan belantara
yang masih alot. Gemuruh itu suara batu terguling-guling. Mungkin sebesar
kerbau atau lebih. Membetur sesama batu yang terlindas dan melabrak rerumpunan
bambu. Guluduug…guludug…bletok..karabyaak…!
Begitulah. Bukan satu batu, tapi banyak batu. Setelah
batu itu sampai di lembah dan hampir menghantam rumah warga, kejadian serupa
kembali menyusul. Bahkan saat berikutnya petaka itu datang lagi.
“Ah,dia lagi,” ujar seorang
warga yang tak pernah tidur lelap, seolah mengeluh. Begitupun orang lainnya,
berpikiran nyaris sama yang ujungnya menyudutkan seseorang. Siapa lagi kalau
bukan Bah Ado. Lelaki bertubuh tambun itu selalu iseng mengganggu orang. Jika
malam ada pejalan kaki yang lewat jalan
berbatu di lembah sana, kalau tak melempar pasti menggulingkan batu-batu itu.
Ulah itu sering dilakukannya, terutama saat-saat mondok di saung huma dekat
kiara payung itu. Barangkali keisengannya menakuti orang, agar dia dianggap
demit bukit itu. Demit yang sebelumnya kerap menangis. Tangis lelaki terbunuh
korban konflik di masa lalu, arwah penasaran itu berujud amarah dengan
mengguling-gulingkan batu dari sebuah bukit. Mungkin terinspirasi dari itu Bah
Ado senang bertingkah, dan baginya
seakan menjadi hiburan tersendiri.
Beriseng boleh saja, begitu
menurut warga. Tapi dengan batu besar terguling-guling tengah malam dan
menimbulkan gemuruh keras itu bukan lagi di horor, melainkan sebuah teror
bencana yang dahsyat.
“Ini sangat terlalu!” desis warga lain di sekitar lembah itu. Dan
bukan satu dua orang yang mengutuk ulah Bah Ado saat itu. Namun mereka tak ada
yang berani mengambil tindakkan, karena kejadiannya selalu tengah malam. Rasa malas mereka semakin
menjadi, tatkala kantuk menyerang. Juga karena sebagian berpendapat itu bukan
wujud nyata suatu bencana. Kendati diacuhkan pun tak akan menjadi masalah. Bahkan
bagi sebagian orang mengatasi petaka itu cukup dengan do’a atau keyakinan yang
mantap. Sebab, manuver itu hanyalah ilusi belaka. Suatu ulah yang tercipta
untuk menggoyah hati yang mendengarnya. Buktinya, di waktu siang jejak-jejak
itu tak ada. Tak sedikit pun ada bongkahan batu, tak juga tampak bekas benturan
atau rerumpunan bambu yang rebah. Tak ada sama sekali. Tak ada.
Yang ada cuma kisah masa
lalu. Di jalan desa penghubung dusun Ogo dan dusun lainnya. Para anak bujang
tiap menjelang larut malam selalu lewat baladan, sekitar lima atau kadang
sepuluh orang. Bernyanyi riang penuh guyonan, baik hendak atau pulang dari
dusun tetangga tatkala menoongi bilik-bilik di pondok perawan. Mereka bukan
sekali dua kali mendapat perlakuan iseng Bah Ado, yang tengah tunggu kebun di
bagian atas bukit itu. Sering ada lemparan,yang lemparan itu tak dikenakan tentunya. Namanya juga iseng.
Benda yang dilempar itu tak cuma batu, kadang ubi, jagung bakar, kedodong atau
degan. Memang saat pertama rasa takut, tapi kejadian berikutnya kalau tak digubris
kadang pula senang jika lemparan itu berupa makanan.
“Hahah…! Hahaha…hahahah..!” BahAdo kerap
tertawa manakala usai melakukan isengnya. Suaranya begitu besar dan agak
menggeram. Mungkin dibuat sengaja agar disangka demit Kiarapayung, yang menurut
dongeng sepuh terkesan angker, terutama setelah dulu terjadi baku tembak antara
penguasa dan pemberontak. Banyak nyawa melayang yang tak diurus sebagaimana
mestinya. Namun ternyata itu cuma resep
meredam anak agar tak cengeng. Juga upaya melestarikan alam agar sumber mata
air tak kering, dan tak dijamah oleh tangan-tangan jahil yang kerap berdalih untuk kepentingan umum. Namun tak menutup
kemungkinan, yang namanya makluk halus itu ada. Begitulah, barangkali Bah Ado
merasa terinspirasi sebagai demit bukit Kiarapayung.
Bah Ado suka iseng, telah dilihat sendiri oleh
Ajid. Seorang cucu Bah Ado yang pernah ikut mondok di kebun Bah Ado pada musim
panen jagung. Benar, ladang jagung itu tak jauh dari rimba kiara itu. Di tempat
itu banyak lutung, monyet, dan juga babi hutan. Pada musim itu pasti Bah Ado
kewalahan. Selain bantu menjaga serangan
binatang itu, juga hitung-hitung menikmati bakar jagung dadakan Ajid diajaknya.
Malam itu cahya bulan benderang, anak-anak bujang terdengar riang di jalan desa
di lembah sana.
“Nanti saat pulangnya..” Bah
Ado terkekeh menahan kegelian niatnya. Ia menunjuk sebuah batu besar,
diperlihatkan pada cucunya yang berusia tujuh tahun itu. Anak itu pun
ikut-ikutan menahan geli, dan tak sabar ingin menyaksikan bagaimana kisah seru
yang dilakukan kakeknya. Dan tak begitu lama, saat yang dinanti itu datang
lebih awal dari biasanya. Heran juga di benaknya,
Anak-anak bujang kok sudah pulang. Tapi mungkin saja ada gangguan,
misalnya para perawan itu tak berangkat ke pondok karena sorenya terjadi hujan.
“Mari..De, bantu,” lelaki itu
menyeret cucunya. Mengambil linggis, mendongkelnya. Begitu berat, namun
berusaha sekuat tenaga hingga otot-otot tampak mengencang. Dan batu besar itu
mulai terguling…gorobass…gorobass…dak..duk..brak..brek…prak…! Menggelinding ke
lembah, ke jalan itu,, ke para bujang itu.
Namun aneh, ada keganjilan
di sana. Biasanya jika aksi itu rampung bakal terdengar suara langkah atau
sorak-serai para bujang. Entah suara takut atau suara pura-pura takut, yang
biasanya saling mempercepat langkahnya. Sebab, mereka sudah tahu yang
menggulingkan batu itu bukan dedemit bukit Kiarapayung, tapi Bah Ado. Tapi saat
ini si pelaku merasa aneh, ia tak mendengar suara lompatan atau sorak-serai di
jalanan. Kenapa ya? Apakah yang baladan tadi itu bukan aslinya para bujang?
Lantas siapa ya?, begitulah keduanya sempat heran.
Bah Ado, demit kiarapayung,
atau ilusi yang tak bertanggung-jawab, entah siapa sebenarnya yang
menggulingkan batu malam-malam saat orang lelap. Malam-malam berikutnya menjadi tak jelas,
simpang-siur. Mungkin karena kesiur angin, atau karena warga Ogo terlalu segan
dengan pohon kiara payung yang kerap menunjukkan keperkasaan di benaknya.
Bahkan, mungkin penguasa saat itu pun terinspirasi
untuk menjadikan kiarapayung sebagai lambang partainya. Dengan koloni rotan
alas dan bambu, bermacam kedaka, binatang buas seperti ular cobra dan macan
belang atau tutul. Keluarga monyet atau lutung , para bajing, juga bermacam burung
seperti elang, gagak, kangkareng, ciung,
ketilang, jalak, dsb, termasuk pipit pun lengkap di situ. Kiara payung laksana
sebuah kerajaan rimba yang perkasa. Sosoknya yang menjulang menggapai langit itu kerap
dijadikan barometer para nelayan pencari ikan, apakah pelayarannya tak terlalu jauh menyasar atau tidak. Jika pohon
itu masih terlihat, berarti perambahan laut masih dalam status wajar.
Barangkali dari kepercayaan yang diakui warga itulah, kiarapayung tetap menebar
manuvernya. Yang jadi korban, tentu dusun terdekatlah, yakni Dusun Ogo. Dengan
menuduh Bah Ado sebagai kambing hitamnya?
Bagaimana tidak. Batu-batu
terguling, kadang disusul tawa terbahak. Kadang terdengar alunan seruling
kidung kasmaran. Juga suara-suara wanita cekikikan, yang sebelumnya lolongan
anjing sebagai penghantar suasana seram mencekam. Namun berita itu kadang tak
jelas, kadang simpang siur. Sebab, saat
terjadi batu terguling --atau
lemparan-lemparan iseng -- seperti
batu-kerikil, ubi jalar, singkong, pisang, papaya, jagung, kedongdong atau
daugan, kadangkala di ladang itu Bah Ado tak mondok.
**
Selama hamir 40 hari setelah kematian tragis itu, warga
dusun Ogo tak ada yang berani keluar rumah. Terutama jika hari berganti malam,
begitu magrib datang, tua-muda semua masuk ke biliknya. Karena rasa takut yang
menyungkup di benak-benak mereka, untuk sekedar buang hajat atau kencing pun
tak merasa sungkan walau cuma ditadah di ember. Biarlah, besok saja air dan
hajat itu dibuang, begitu pikir mereka. Begitu pun langgar-langgar mendadak
sepi, tak ada shalat berjamaah, tak ada bacaan shalawat nabi dan pepujian
anak-anak mengaji. Aktivitas itu seakan berhenti tiba-tiba. Anehnya tak ada
wejangan atau penyuluhan dari tokoh agama atau umaroh, semua seolah ikut
terhipnotis dengan keadaan. Lampu
lentera atau cempor tak ada satu pun yang dinyalakan. Dusun Ogo sepi mencekam.
Malam mati bagai kuburan.
Bayangan horor itu memang
terus menyergap pikiran mereka. Terutama setelah melihat kematian Bah Ado yang
mengenaskan. Lelaki itu memang telah mati terbunuh. Namun entah siapa pembunuh
itu, sungguh sangat misterius. Sepertinya pembunuh itu bukan manusia, sebab
luka di bagian belakang kepala itu bukan bekas senjata tajam seperti golok atau
sejenisnya. Luka itu bekas tancapan kuku tajam yang meruncing. Orang menduga,
karena lukanya bekas kuku harimau, yang membunuhnya itu pasti harimau atau
siluman harimau. Namun entahlah.
Yang jelas di pagi buta
geger. Istri mendiang tak tahan dengan keadaan, tangisnya meledak meraung-raung
seraya mendekap suaminya yang tak berdaya. Darah segar tercecer di dekat pintu
masuk dan sampai ke tengah rumah. Bahkan tak sedikit yang muncrat ke dinding.
Entah kenapa polisi pun saat itu tak serius, percaya begitu saja atas
keterangan keluarga yang mengatakan luka lelaki itu bukan pembunuhan mutlak,
tetapi karena terkena paku di pintu
masuk. Alasan itu sengaja dibuat untuk sekedar meredam isyu yang tak
jelas. Polisi pun segera berlalu begitu saja, seolah tak berdaya untuk mengusut
lebih lanjut.
Tersiar kabar yang membunuh
lelaki itu adalah seorang wanita. Tanda-tanda yang mengarah ke situ memang ada.
Beberapa saat sebelum kejadian satu-dua orang warga yang terlintasi jalan
setapak di depan rumahnya mendengar suara wanita seperti tengah cekcok dengan
Bah Ado. Bahkan seseorang bercerita, ketika malamnya lelaki itu nganjang ke
rumahnya. Entah kenapa sang korban seperti gelisah. Apalagi setelah di luar ada
suara seorang wanita seakan memanggil-manggil dirinya.
“Tunggu sebentar,” kata Bah
Ado. Walau tampak sungkan lelaki itu segera permisi ke pribumi hendak memenuhi
panggilan itu, yang diduga tuan rumah adalah istrinya Bah Ado.
Sejenak di luar terdengar
percakapan oleh tuan rumah. Selanjutnya tak tahu karena keduanya semakin
menjauh. Ya, mungkin itu tadi, para tetangga yang jalannya terlewati. Bah Ado
seperti cekcok dengan seorang wanita. Namun percekcokkan itu berubah menjadi
teriak kesakitan seorang lelaki yang disusul suara tawa meringkik seorang
perempuan. Warga menduga Bah Ado jadi tumbal keisengannya dari bukit itu.***
Otang K.Baddy,
penulis cerpen kambuhan, tinggal di Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar