David Tandri :
Di Lau
Kawar Dua Kisah Masih Menghampar
tidak
sekarang tentu…
kau
cukup kukenang
lewat
lintang danau yang pukang
dan
anggrek rawa yang kuterawang
kuserap
kelopak letih, sisi poros putik yang pasi
serta
setangkup atap lapak tenda pengungsi
yang
paling mengerti kerucut jeri seorang lelaki
ruam
malam masih mengincar suar bulan yang sepadan
meski
bulatnya setengah cacat, tercebur arakan awan
pertanda
kerawanan diri, dirundung ruh yang seliweran
mengapa
sungguh jauh lau kawar
dari
kesiur detar seremoni kisah yang menghampar?
sepasang
senda-tawa bebas
melintas
dengan eros yang deras
menggetas
erosi hati yang kandas
ini
bias segara yang walau beranjak tua
tapi
tak jua-jua berasa
pupur
kabut mengucur kian maya, semakin tanpa tanda
lebih
baik kusaji saja doa, merapal kapal tiba
sebelum
fajar yang bengal, gagal menggubah gairah jadi geriap pesona
menuju
cinta yang mendunia
jika
nanti—di hisapan hening—dapat kau sadap suara belingsatan lengking
ceraplah,
itu celetuk jantungku, sedang menggarap kicau pancing
agar
kau, kujemput dalam pukau
kuberai
serupa musa di teberau
menjelma
tubuh baru
lebam
lama pun berlalu
tidak
sekarang tentu…
Lau Kawar, 24 Maret 2012
Pertapaan Rahim
cahaya
lalu sulut dari suam demam, dari dara yang pertama kali
meratap
diam-diam
jam
di dindingnya
yang
pernah dia sandingkan dengan kekasihnya saat santap bersama
menetes
seperti air dari tubir meja
tanpa
dia tahu, diarinya yang diam di lemari, belum terisi
bukan
karena sangsi, tapi sangkutan hati yang entah kenapa
tak
juga usai ditangisi
apakah
detak itu, adalah sesuatu yang pada akhirnya
dia
sebut waktu?
dia
telah terbiasa bila mesti merawat rasa
sebab
ketika ketubannya tiba
tiada
lagi bara iba yang lebih bahagia, lebih mulia
kembali
ke asal mula:
daging
dan darahnya yang merah
tulang
dan terangnya yang cerah
tapi,
kisah yang seteduh itu, tidak selamanya mutlak ada
lebih
sering baginya, diasingkan tanpa mau dia saring lagi sarinya
menjelma
pertapa yang rela mengirit kelakuan
dalam
diam
sekali
lagi, benar-benar diam!
cahaya
yang datang kemudian, sekalipun pelan
enggan
dia tangkap, konon lagi dia sekap dan dia ikat kayak tahanan kelas kakap
karena
rentan bagi kaki selalu genap pijakan
karena
rawan bagi hati terlalu lengkap harapan
hidup
jadi karapan musim yang di rahimnya diserap sampai karatan
dan
lalu, dan lalu aku bilang
dia
pun terdiam. terdiam.
akhirnya.
terakhir.
Medan, 09 Maret 2012
Batu Kodok
sebuah sketsa dari sei bah bolon
sebuah sketsa dari sei bah bolon
di
simpang itu, persis di belokan, di situ dudukan elokmu bertahan
ada
remah bebatuan juga di sekitarmu, berkawanan di tepian
alam
riang, sungai tenang-benderang, kerak-kerak di tapaknya tampak berkilatan
tapi
kau lebih memilih diam, irama tubuhmu lembam
jauh
dari seronok kocokan busa yang berdebam di siraman jeram
lalu
seperti minggu-minggu kemarin
orang-orang
lewat ingin mengajakmu bermain
di
tengah rambat-arungan ban karet
dayung
diseret-seret, sambil bersorak norak layaknya penyanyi kabaret
mungkin
mereka adalah tamu baru, yang rumahnya jemu, darahnya kelu
kadang
datang, kadang hilang, kadang bahkan mereka tak tahu apa yang mereka lakukan
sehingga
keramaian sungai ini adalah semata-mata kebetulan
tak
mungkin kau kenal wajah-wajah yang singgah, yang suka mangkal lalu berfoto
massal
sementara
sekujuran tubuhmu mulai kegatalan, kau jengkal mereka dalam kesal
pantas
kalau kau jadi sok
sambil
berjongkok, moncongmu berondok ke kelok berlawanan
ke
pesisir kecil yang terkucil dari pukul-pantul bayangan
tatapmu
lesap dalam sikap yang pengap
lenyap
tanda tak mau tanggap
di
balik itu, kau sebetulnya malu
takut
diolok-olok karena kapurmu mulai rontok
terik
yang mencekik, memang bikin burik-sisikmu jadi tambah jorok memborok
“ini
adalah pelosok yang angkuh,” singkapmu rapuh, pengaruh tubuh yang rungkuh
jika
bukan karena sungai yang mengalir, dan angin membantu dari pinggir
batuan
mana dapat diingat, dianggap bakat oleh jemu tamu yang mampir
hanya
kata-kata sekadar, liar di nalar penyair
puisi
jadi penawar getir segelintir agar hati tak buru-buru mangkir
itulah
sebabnya kau paham
di
samping jengking-tebing yang curam
kau
juga salah satu batuan yang bermuram
entah
salah pengertian, atau terlampau dendam
jeram
itu, meski tak bergaram, kau pendam dalam-dalam, supaya tambah geram, gerah
menikam
siapakah,
siapa coba selain dari pelosok yang angkuh itu sendiri
ada
sosok yang mencatat seonggok saja kenangan tentangmu yang mencolok?
begitulah
jika sungai tak lagi mengalir
dan
angin mangkir dari para penyair
kau
tak tahu lagi apa yang kau lakukan
pelosok
angkuh itu semakin terperosok
dudukan
elokmu pun hilang kedok
terpojok!
Medan, 14 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar