Minggu, 24 Maret 2013

GELANGGANG SAJAK



David Tandri :
Di Lau Kawar Dua Kisah Masih Menghampar
tidak sekarang tentu…

kau cukup kukenang
lewat lintang danau yang pukang
dan anggrek rawa yang kuterawang

kuserap kelopak letih, sisi poros putik yang pasi
serta setangkup atap lapak tenda pengungsi
yang paling mengerti kerucut jeri seorang lelaki

ruam malam masih mengincar suar bulan yang sepadan
meski bulatnya setengah cacat, tercebur arakan awan
pertanda kerawanan diri, dirundung ruh yang seliweran

mengapa sungguh jauh lau kawar
dari kesiur detar seremoni kisah yang menghampar?

sepasang senda-tawa bebas
melintas dengan eros yang deras
menggetas erosi hati yang kandas
ini bias segara yang walau beranjak tua
tapi tak jua-jua berasa
pupur kabut mengucur kian maya, semakin tanpa tanda

lebih baik kusaji saja doa, merapal kapal tiba
sebelum fajar yang bengal, gagal menggubah gairah jadi geriap pesona
menuju cinta yang mendunia

jika nanti—di hisapan hening—dapat kau sadap suara belingsatan lengking
ceraplah, itu celetuk jantungku, sedang menggarap kicau pancing
agar kau, kujemput dalam pukau
kuberai serupa musa di teberau
menjelma tubuh baru
lebam lama pun berlalu

tidak sekarang tentu…

Lau Kawar, 24 Maret 2012

Pertapaan Rahim

cahaya lalu sulut dari suam demam, dari dara yang pertama kali
meratap diam-diam

jam di dindingnya
yang pernah dia sandingkan dengan kekasihnya saat santap bersama
menetes seperti air dari tubir meja
tanpa dia tahu, diarinya yang diam di lemari, belum terisi
bukan karena sangsi, tapi sangkutan hati yang entah kenapa
tak juga usai ditangisi

apakah detak itu, adalah sesuatu yang pada akhirnya
dia sebut waktu?

dia telah terbiasa bila mesti merawat rasa
sebab ketika ketubannya tiba
tiada lagi bara iba yang lebih bahagia, lebih mulia
kembali ke asal mula:
                daging dan darahnya yang merah
                tulang dan terangnya yang cerah

tapi, kisah yang seteduh itu, tidak selamanya mutlak ada
lebih sering baginya, diasingkan tanpa mau dia saring lagi sarinya
menjelma pertapa yang rela mengirit kelakuan
dalam diam

sekali lagi, benar-benar diam!

cahaya yang datang kemudian, sekalipun pelan
enggan dia tangkap, konon lagi dia sekap dan dia ikat kayak tahanan kelas kakap
karena rentan bagi kaki selalu genap pijakan
karena rawan bagi hati terlalu lengkap harapan
hidup jadi karapan musim yang di rahimnya diserap sampai karatan
dan lalu, dan lalu aku bilang
dia pun terdiam. terdiam.
akhirnya.
terakhir.

Medan, 09 Maret 2012

Batu Kodok
sebuah sketsa dari sei bah bolon

di simpang itu, persis di belokan, di situ dudukan elokmu bertahan
ada remah bebatuan juga di sekitarmu, berkawanan di tepian
alam riang, sungai tenang-benderang, kerak-kerak di tapaknya tampak berkilatan
tapi kau lebih memilih diam, irama tubuhmu lembam
jauh dari seronok kocokan busa yang berdebam di siraman jeram

lalu seperti minggu-minggu kemarin
orang-orang lewat ingin mengajakmu bermain
di tengah rambat-arungan ban karet
dayung diseret-seret, sambil bersorak norak layaknya penyanyi kabaret
mungkin mereka adalah tamu baru, yang rumahnya jemu, darahnya kelu
kadang datang, kadang hilang, kadang bahkan mereka tak tahu apa yang mereka lakukan
sehingga keramaian sungai ini adalah semata-mata kebetulan
tak mungkin kau kenal wajah-wajah yang singgah, yang suka mangkal lalu berfoto massal
sementara sekujuran tubuhmu mulai kegatalan, kau jengkal mereka dalam kesal

pantas kalau kau jadi sok
sambil berjongkok, moncongmu berondok ke kelok berlawanan
ke pesisir kecil yang terkucil dari pukul-pantul bayangan
tatapmu lesap dalam sikap yang pengap
lenyap tanda tak mau tanggap

di balik itu, kau sebetulnya malu
takut diolok-olok karena kapurmu mulai rontok
terik yang mencekik, memang bikin burik-sisikmu jadi tambah jorok memborok

“ini adalah pelosok yang angkuh,” singkapmu rapuh, pengaruh tubuh yang rungkuh
jika bukan karena sungai yang mengalir, dan angin membantu dari pinggir
batuan mana dapat diingat, dianggap bakat oleh jemu tamu yang mampir
hanya kata-kata sekadar, liar di nalar penyair
puisi jadi penawar getir segelintir agar hati tak buru-buru mangkir

itulah sebabnya kau paham
di samping jengking-tebing yang curam
kau juga salah satu batuan yang bermuram
entah salah pengertian, atau terlampau dendam
jeram itu, meski tak bergaram, kau pendam dalam-dalam, supaya tambah geram, gerah menikam

siapakah, siapa coba selain dari pelosok yang angkuh itu sendiri
ada sosok yang mencatat seonggok saja kenangan tentangmu yang mencolok?

begitulah jika sungai tak lagi mengalir
dan angin mangkir dari para penyair
kau tak tahu lagi apa yang kau lakukan
pelosok angkuh itu semakin terperosok
dudukan elokmu pun hilang kedok

terpojok!

Medan, 14 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar