Minggu, 24 Maret 2013

ROIS YANG RESAH DAN YANG BERUBAH


Oleh: Dimas Arika Mihardja
(Sabtu, 16 Maret 2013)

 
T
ERLEPAS. Begitu buku antologi puisi tunggal yang menghimpun karya-karya Mohammad Rois Rinaldi (selanjutnya disebut Rois). Rois secara maknawi mengandung arti “pemimpin”. Pemimpin yang baik ialah yang memiliki “mimpi”. Rois, sang Pemimpin diri sendiri, memiliki mimpi besar: melahirkan puisi yang memuisi dan memuasi dahaga baca para pembaca. Rois, yang kepala dan dadanya penuh dengan mimpi itu, kini “melepaskan anak kandungnya” (puisi-puisi) dan merumahkannya dalam buku antologi “Terlepas”.

Tentu saja, sebagai “pemimpin yang penuh mimpi”, Rois tak hendak melepaskan anak-anak kandungnya (puisi) tanpa self control yang baik. Begitu banyak puisi dilahirkan dari rahim perenungannya. Rois memang tergolong penyair yang produktif, kreatif, dan tentu saja selalu digelisahkan oleh momentum kreatif dalam penciptaan sajak.

Dapat dikatakan, tingkat produktivitas, kreativitas, dan kegelisahan kreatif penyair ini telah sampai pada “tingkat yang membahayakan”, sebab setiap saat pikirannya dipenuhi oleh puisi. Mungkin, saat tidur ia pun bermimpi tentang puisi. Rois, “parahnya” telah dijajah oleh puisi, hidup dan menghirup nafas puisi dan tiada berhenti memikirkan puisi.

Sebagai “pecandu puisi”, tentu saja Rois mengalami metamorfosa—berubah dari waktu ke waktu seiring perjalanan kreatifnya selaku kreator. Berubah, inilah takdir untuk sesuatu yang hidup; sesuatu yang tumbuh. Berkembang.  Jalan kreatif apa pun lalu ditempuhnya. Jalan kreatif itu tampak dari beragamnya corak (tipografi) puisi dalam buku ini. Kita tak perlu khawatir kehilangan irama (baca: musikalitas). Karena sebenarnyalah, sebebas apa pun puisi, selalu mensyaratkan nada di dasar-bangunnya. Tanpanya, puisi tak bisa tegak; tak bisa hidup. Ia seperti air bagi ikan, serupa udara bagi manusia. Bisa saja ia tak tampak di permukaan, tetapi mengalir di kedalaman. Kita baca sebuah puisi yang dimaksudkan sebagaai refleksi hari kelahiran (Rois lahir 8 Mei, 25 tahun yang lalu), menulis puisi seperti ini:

MENEMU MEI

mei, akankah kau bawa 25 waktu lalu di hadapanku ,
sedang kedewasaan belum sempat kumamah tanah?
ah mei... aku belum ingin lari lagi. Ingin tetap di sini,
di bibir pematang menyaksikan layanglayang terbang
juga kakikaki kecil berlari begitu riang tanpa mimpi

dan senja akan menjemput, pulang beriring doa
sepuluh malaikat berwajah bunda, mendentingkan 
senyap semesta,  hingga tertidur lelap tanpa tanya

Cilegon, 2013

Puisi ini lahir sebagai puisi bebas. Meski bebas, terasa benar orkestrasi bunyi sebagai musikalitas. Melalui puisi ini, langsung atau tidak langsung, Rois menembangkan kidung tentang kelahairaannya. Ada nada retoris: mei, akankah kau bawa 25 waktu lalu di hadapanku , /sedang kedewasaan belum sempat kumamah tanah? Kidung yang menembangkan tentang kelahiran ini hakikatnya serupa doa, dan doa tentu saja penuh dengan harapan. Ada harapan yang berkelindan menghadapi usia 25—sebab aku lirik merasa “belum dewasa”. Pertanyaan retoris itu, meski tak menghendaki jawaban, namun dengan tegas dinyatakan: Ingin tetap di sini, / di bibir pematang menyaksikan layanglayang terbang / juga kakikaki kecil berlari / begitu riang tanpa mimpi//.  

Rois, sang pemimpin diri sendiri itu telah punya mimpi, memiliki landasan berpijak bagi kehidupannya: ingin tetap di sini/ di bibir pematang menyaksikan layanglayang terbang. Aneka puisi yang ada di hadapi oleh Rois dipandang sebagai layang-layang terbang. Hakikat mimpi ialah sesuatu yang terbang melayang di awang-awang, menjemput sesuatu yang diimpikan. Nah, dalam konteks ini apa yang disebut ‘denial’ dipakai oleh Rois justru untuk menyampaikan maksud yang tersembunyi: ketika dinyatakan “aku ingin tetap di sini, di bibir pematang menyaksikan layang-layang terbang, juga (melihat) kaki-kaki kecil berlari begitu riang, tanpa mimpi”, maka secara ‘denial’ justru bermakna: aku memiliki mimpi seperti penyair lain yang riang gembira memandang aneka puisi yang terbang di angkasa. Ya, Rois menyatakan memiliki mimpi, dan mimpi itu barangkali ‘mimpi besar’ seperti saat Chairil Anwar—yang seusia Rois—ingin menjadi pewaris kebudayaan dunia.

Apakah yang menjadi “mimpi” Rois di hari ulang tahunnya? Impian itu tertuang dalam bait kedua puisi “Menemu Mei” seperti ini:

dan senja akan menjemput, pulang beriring doa
sepuluh malaikat berwajah bunda, mendentingkan 
senyap semesta,  hingga tertidur lelap tanpa tanya

Rois, sang pemimpin diri sendiri itu, memiliki mimpi mampu hidup dan menghirup nafas senja, dan pada masanya pulang (ke pangkuan Ilahi) beriring doa sepuluh malaikat berwajah bunda, mendentingkan senyap semesta, hingga tertidur lelap tanpa tanya. Sebuah impian yang indah tentunya. Ya, melalui puisi indah ini, Rois tak hanya menemu apa yang dicarinya selama ini, yang menggelisahkan batinnya, yang mengusik tidur-tidur malamnya. Secara eksistensial, melalui puisi penuh harapan dan doa ini, Rois telah menemukan muara yang hendak ditujunya: hidup dengan riang dan kelak kembali dengan tenang!

 Tidaklah mengherankan kalau buku ini lalu menghidangkan “Saat Matahari Tersuruk” dan “Kasidah Langit”. Memasuki usia 25 tahun, seperti Chairil Anwar juga, Rois terobsesi oleh kematian, jalan pulang di bawah rimbun kamboja. Saat kembali, berjalan pulang itu, sekali lagi ada kerinduan sosok ibu yang dibayangkan dapat membuat jiwanya tenteram: dalam diam detik berjalan melintasi aliran darah dan mendetak nadi menarik jarak pulang kian dekat dengan sampai: mengambang wajah perempuan tua berkerudung hujan di balik jendela tak bertirai, kuseru ia ibu sekujur rindu penimang duka dengan senyum kamboja (“Saat Matahari Tersuruk”). Lalu apakah yang dinyanyikan oleh Rois dalam “Kasidah Langit”?

Secara eksistensial, Rois antara lain ia menulis:  aku masih di sini melukis wajah langit yang tak pernah memiliki warna. burung-burung datang hanya untuk meminjam udara, terbang demi mimpinya sendiri. mentari pagi yang terlahir karena rindu wangi bumi, arakarakan awan saling sulam mengirim hujan dan langit tak pernah memiliki apaapa,terkecuali catatan panjang namanama yang datang dan pergi. Rois menempatkan aku lirik sebagai “burung terbang demi mimpinya sendiri”.
Aforisma “burung” ini mengingatkan pada sajak-sajak Rumi sebagai simbol religiusitas yang meretas batas-batas yang mungkin dilaluinya. Lebih lanjut ditegaskannya, aku tak lagi melukis, meletakkan semua sketsa di atas tanah: terdengar rintih melirih dari araharah yang entah: ternyata langit tengah berkaca pada samudera yang mengerang dalam cumbuan ombak. Diamdiam membingkai indah segala rupa dan diamdiam menelan sendiri pahitnya ditinggalkan. Eksistensialisme, lagi-lagi digelisahkan olehnya.

Pandangan eksistensialis itu, antara alain juga hadir dalam puisi “Netra”, “Ribuan Waktu yang Ditinggalkan”, dan “Kenduri Sepi”. Melalui “Kenduri Sepi”, tampaknya Rois juga digelisahkan mengenai alienasi diri, pengasingan, rasa terasing, yang sengaja untuk upaya “menemukan” entitas yang dicarinya selama ini, yakni berupa mimpi-mimpinya. Begitu banyak diksi mengenai “mimpi” dalam sajak-sajak Rois yang dalam konteks tertentu dapat dimaknai bahwa Rois memang memiliki mimpi yang besar. Mimpi apakah itu? Mimpi itu sedikit terkuak pada sajak “Ribuan Waktu yang Ditinggalkan”, antara lain seperti ini: kujejaki kembali jalan setapak perkampungan/bilikbilik masih samasebelum ditinggalkan/serak angin berbisik sunyi menepikan suara/pagar bambu beradu, hening pecah di kepalaku/semakin kumengerti: ini asal mula langkah itu/sebelum temanteman-setan—setansetan-teman/menyeretku meninggalkan rumahNya hingga jauh//

Rois sadar, ingin kembali ke jalan sunyi—seperti ayah bundanya yang rajin mengaji. Terlah lama Rois meninggalkan “jalan sunyi” itu, dan mata kesadarannya kembali terbuka saat menyaksikan ayah-bundanya mengaji di dalam rumah. Mimpi ini, kembali ke jalan sunyi, setidaknya telah tercapai secara tekstual. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar