Sabtu, 23 Maret 2013

Bingkai Budaya Poligami di Indonesia (Sabtu 9 Maret 2013)


Oleh    : Rusmini

A
turan dalam berpoligami secara legal sulit dilakukan oleh para laki-laki hidung belang. Berdasarkan  UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,  pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan terutama istri sebelumnya. Hanya saja, kesulitan poligami secara legal tidak diiringi dengan pemberian sangsi tegas bagi yang melakukan secara ilegal, wal hasil kasus nikah siri menjadi solusi.
Banyak kasus yang beredar tentang pernikahan siri yang dilakuakan penduduk Indonesia, terutama bagi para laki-laki yang berkelebihan harta. Kebutuhan meredam nafsu syahwat berubah menjadi keinginan yang tidak terkendali. Ternyata kehidupan glamour seks tidak hanya menjangkiti masyarakat primitif yang berpola pikir patriarki, yang menganggap perempuan hanya untuk memenuhi kebutuhan seks laki-laki. Namun sudah merambah bagi kaum intelektual, bahkan para tokoh masyarakat yang nota bene menjadi panutan.
Sebagaimana dulu pada masa zahiliyah kerajaan, seorang penguasa berhak memilih gadis manapun dari kalangan rakyatnya untuk dapat memuaskan nafsu sesaat. Mau tidak mau sang anak harus menurutinya. Kisah seperti itu ternyata bukan dongeng sebelum tidut, tapi itu nyata. Bahkan masih terjadi pada abad ke 21. Hanya saja kini eksploitasi perempuan dengan cara yang lebih halus, lebih elegan di mata penguasa.
Kasus nikah siri yang dilakukan Aceng HM Fikri kepada Fany Oktora patut menjadi kencaman pedas bagi setiap anak manusia yang masih terbuka hati dan pikirannya untuk membela kaum perempuan. Pelecehan kepada perempuan yang telah dilakukan Bupati Garut tersebut “double effect”. Pelanggaran yang dilakukan bertubi-tubi, namun sayangnya tak satupun peraturan yang dapat menjerat dirinya. Mengaku diri duda, padahal ada istri sah yang ia miliki dan masih hidup. 
Peraturan nikah siri saat ini masih berupa usulan  draf RUU, jadi tidak bisa menjerat Aceng HM Fikri, karena belum disahkan berupa undang-undang. Padahal kriminalitas yang ia lakukan selaku orang tersohor di Garut sangat jelas berupa tindakan amoral. Ia secara terang- terangan merusak masa depan Fany Oktora. Secara tersirat, Bupati Garut tersebut ingin berkata kepada masyarakat tentang keangkuhannya atas kedudukan, jabatan, harta dan wajah sok ganteng yang ia miliki.
Dengan lihai, hidung belang itu berkata kepada public bahwa merupakan bagian dari haknya menikahi atau menceraikan. Hal ini sangat bahaya karena ia adalah tokoh masyarakat. Bisa jadi para pemuja seksualitas yang lain akan mengikuti langkah biadab tersebut. Masalah Fany Oktora bukan masalah sepele. Karena, jika tidak ditindaklanjuti secara hukum, maka akan semakin bermunculan Fany-Fany yang lain.
Habis manis sepah dibuang, tidakkah sudah cukup ketidaktegasan pemerintah dalam meniadakan peraturan berzina di Indonesia? Sehingga dengan itu para laki-laki bejat dengan leluasa bermain mesum di tempat lokalisasi prostitusi. Tidakkah cukup bukti para perempuan ditindas di negeri sendiri ketika penguasa negeri ini tidak mau membuat Undang-Undang  pornoaksi agar ruang gerak artis dan PSK terbatas dan menyelamatkan anak negeri. Lalu kisah Fany, semakin menambah sayatan hati.
Luka itu kian parah, lagi-lagi perempuan dan anak yang menjadi korban. Nasib baik masih berpihak kepada Fany kalau ia tidak hamil, kalau hamil bagaimana? Sandang janda muda ternyata tidak lebih pahit ketika pada saat yang bersamaan juga harus mengasuh anak tanpa bapak, tanpa kejelasan hukum dan tidak diakui oleh Negara.
Lalu dimana para pembela kaum perempuan? Tidak cukup jika hanya sekedar ungkapan “perempuan harus pandai-pandai jaga diri” sebagaimana yang dikatakan Linda Agung Gumelar. Selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ia harus mendesak pemerintah dalam hal ini DPR untuk membuat peraturan perlindungan kepada perempuan. Yang diawali dengan membuat draf Undang-Undang yang akan ditawarkan.
Kalau saja Nafisa Mboy, Menteri Kesehatan bisa mempromosikan kondom bagi penduduk rentang HIV/ AIDS termasuk remaja, kenapa Menteri yang jelas- jelas membidangi perempuan tidak dapat berkoar-koar menuntut keadilan bagi kaum hawa. Bukankah sudah menjadi bagian dari tugasnya melindungi seluruh hak perempuan Indonesia.

Cara Instan Menghalalkan Prostitusi
Walaupun prostitusi diharamkan di Indonesia, tetapi banyak metode prostitusi halus yang bisa dilakukan. Termasuk yang dilakukan Bupati Garut tersebut. Karena secara esensi tidak ada perbedaan kegiatan prostitusi. Setelah puas, bayar lalu tinggalkan. Hanya saja sedikit tambahan lebel setelah halal di mata keluarga.
Namun belum tentu halal di mata Allah, karena pernikahan yang dilakukan dengan niat melukai perempuan hukumnya haram. Soal niat hanya Aceng HM Fikri yang tahu.  Dan Allah tidak bisa dibohongi, Ia Maha Tahu apa yang tersembunyi dalam hati. Dilema ini akan terus berkepanjangan selama ketegasan pemerintah tetap loyo dalam membuat peraturan. Buktinya bisnis asek-asek yang tersebar di Indnesia ada 650.000 tempat, dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 lokalisasi yang legal. Merupakan hal yang sangat memalukan saat prostitusi dapat menembus tempat pendidikan, apalagi berlebel keagamaan.
Pesantren Al Fadillah tempat Fany menuntut ilmu hanya salah satu pesantren yang mencuat namanya setelah kasus yang menimpa. Dengan hal ini, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) harus meninjau ulang ungkapan yang pernah ia lontarkan.  Arwani Faishal mengatakan  bahwa pernikahan adalah masalah perdata. Karena itu akan menjadi kezaliman pemerintah jika memenjarakan pelakunya. Dia kemudian membandingkan dengan pelaku kumpul kebo yang jelas-jelas bertentangan dengan agama mana pun, tapi tidak pernah dikenai sangsi pidana oleh negara.
Perlu digaris bawahi, RUU nikah siri yang sedang dibahas di DPR RI merupakan bentuk keberpihakan Negara kepada perempuan. Agar tidak ada lagi janda-janda yang dengan mudah dinikahi dan diceraikan tanpa alasan yang jelas. Agar terputus rantai yang membelenggu anak-anak agar dapat memiliki akta kehahiran yang disahkan Negara. Agar orang- orang sekelas Aceng Fikri dapat dengan cerdas mempertanggung jawabkan perilakunya dengan gentle men.
Oleh karena itu, baik perilaku kumpul kebo, pemerkosaan, kawin kontrak ataupun nikah siri, harus memiliki dasar hukum agar setiap laki-laki hidung belang jera dan tidak menganggap enteng kaum hawa. Hal inilah yang hendaknya diperjuangkan para aktivis perempuan, bukan malah menjerumuskan kaumnya para jurang kehinaan yang lebih dalam atas nama feminisme. Wallahu ‘alam. ***

Penulis adalah pegiat Kajian Perempuan
Pengurus KAMMI Medan dan UKMI Ar Rahman UNIMED

2 komentar:

  1. Anonymous said...

    Asslmkm…wrwb

    Berdasarkan sensus penduduk 2000 dan 2010 ternyata justru JUMLAH PRIA DI INDONESIA LEBIH BANYAK DARI WANITANYA.
    Begitu juga dengan data2 negara2 di dunia ternyata jumlah pria juga lebih banyak dari wanitanya (terutama untuk China, India, dan negara-negara di semenanjung Arab)
    Coba cek di:

    http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40&notab=1

    http://sp2010.bps.go.id/

    http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=211&limit=1&limitstart=2

    http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4

    http://www.census.gov/population/international/data/worldpop/tool_population.php

    http://health.detik.com/read/2011/10/28/164741/1755096/763/negara-yang-jumlah-prianya-lebih-banyak-bisa-berbahaya?l993306763

    http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/20585145/Siapa.Bilang.Wanita.Lebih.Banyak-8

    berdasarkan hasil sensus tersebut kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
    masih tetap POLIGAMI? bukannya itu malah akan semakin "merampas"
    kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah?

    Hasil Sensus Penduduk 2010 berdasar jenis kelamin perpropinsi
    Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
    (1), (2), (3), (4), (5),
    1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
    2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
    3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
    4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
    5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
    6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
    7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
    8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
    9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
    10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
    11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
    12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
    13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
    14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
    15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
    16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
    17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
    18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
    19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
    20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
    21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
    22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
    23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
    24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
    25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
    26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
    27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
    28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
    29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
    30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
    31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
    32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
    33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
    Indonesia, 119 630 913, 118 010 413, 237 641

    Terima Kasih...

    Wassalam

    BalasHapus