Sabtu, 02 Maret 2013

Esai : Rusmini



Cinta Kita tak Lekang Oleh Waktu

 
Sejatinya, aku takkan memintamu berkata-kata. Pandangan matamu cukup menyatakan apa yang tersimpan dalam hatimu. Aku dapat merasakan cinta dan kelembutan kasihmu. Aku tahu, dan aku yakin, cintamu tak pernah berubah sedikit juga. Luasnya dunia ini takkan kuasa menampung seluruh cintamu kepadaku, dan cintaku kepadamu...

C
inta mampu memberikan kekuatan untuk bertahan dikala seluruh tenaga dan pikiran telah habis. Dengan cinta, menawan keajaiban agar segera datang, memungkinkan yang tidak mungkin, menghadirkan ketakjuban tiada tara.
Larut malam telah tiba, Purnama bulat sempurna. Bintang-bintang bertaburan menghiasi angkasa. Malam itu padang pasir yang tandus menyibakkan semilir angin kehampaan. Tubuh wanita yang mulai ringkih itu masih setia menyirami mekar cinta yang bertandang di hatinya. Ujian boleh datang, tapi keteguhan hatinya percaya bahwa ada cinta dari kekasihnya.
Musim kemarau boleh saja menerpa perutnya yang kini terlilit menahan rasa lapar, lidahnya yang kering tiada air dan sorot matanya yang mulai layu. Namun dengan kecintaan dan keyakinan dalam, ia tetap berusaha menenangkan buah hati yang terus menangis kehausan.
Semakin kuat suara rintihan belahan hati, ia pun semakin kuat mendekap anak semata wayangnya itu. Dengan penuh cinta ia berkata “Sayang…, sabarlah nak... Allah pasti mengetahui kondisi kita sekarang”. Tapi sang bayi terus memekik dan memecahkan kesunyian malam, benarkah tangis itu karena kehausan, ataukah caranya  berkata pada ibunya “Ibu.., aku bangga pada ibu yang mengajarkan aku tentang pengorbanan cinta pada Rabb kita, Allah yang Maha Melihat segalanya”.
Pagi hari pun menyapa. Sinar sang surya membangunkan ibu seperanakan itu, mereka bukan karena kekenyangan hingga tertidur pulas, tapi  karena kelelahan menahan rasa lapar dan haus. Lagi-lagi sang anak menangis tatkala sang ibu belum juga menyuguhkan setetespun air. Itu kerana air susu ibu yang turut mengering seperti hamparan pasir yang juga mongering.
Kali ini perasaan ibu itu tak tertahanlan lagi. Selain bayangan kematian yang sangat dekat dengan kondisi dia dan anaknya sekarang. Dalam rintih ia berusaha membendung segala bisikan setan yang selalu mengajak kepada kedurhakaan pada suami dan Tuhannya.
Seiring alunan tangis bayi, Hajar terkenang akan suaminya Ibrahim.  Semburat wajar bening yang telah meninggalkannya berdua dengan putra kesayangan Ismail, di gurun pasir yang tandus. Tanpa tanda-tanda penghidupan. Teringat olehnya dialog terakhir sebelum sang suami pergi kembali menuju Palestina.
“Wahai suamiku…, apakah Allah yang memerintahkan kepadamu agar aku dan anak kita Ismail tinggal di sini? Itulah pertanyaan yang menunjukkan Hajar adalah wanita yang cerdas. Baginya, apapun perintah Allah pasti mengandung hikmah dan Dia tidak akan mendzalimi hamba Nya. Nabi Ibrahim menjawab tanpa keraguan sedikitpun “Na’am.” (Iya). Hajar pun menyahuti “Jadi kalau begitu, Allah tidak akan membiarkanku”. Jawaban suaminya tersebut yang sampai detik ini sebagai kekuatan dan kepercayaan akan adanya pertolongan Allah.
Kondisi Ismail semakin lemas, Buah cintanya itu bahkan menangis tak sekencang biasanya. Pertanda betapa tubuh bayi itu semakin tak berdaya. Ibu mana yang tidak tertekan melihat buah hatinya kesakitan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki Hajar, ia berlari-lari kecil dari bukit Safa ke Marwa. Mencari adakah di ujung bukit sana air yang dapat memberi harapan baru untuk kehidupan dirinya dan Ismail.
Tenaganya semakin terkuras, namun tak kunjung  menemukan air, Hajar kembali menemui anaknya dan berkata lirih “Maafkan bundamu Ismail, jika Allah menghendaki kematian kita disini, biarlah. Dia pasti akan mengambil kita ke sisi-Nya, dan melimpahi kita dengan kasih-Nya. Tapi bunda tak kan berputus asa. Tunggulah disini, bunda akan mendaki bukit itu lagi…
Demi anaknya tercinta, Hajar berharap ada keajaiban dan pertolongan Allah. Di tengah-tengah terik matahari yang semakin menyengat, kakinya yang bertambah luka atas gesekan pasir saat berlari-lari. Allah lah satu-satunya tempat berharap.  Tanpa disadari Hajar telah 7x berlari bolak-balik  yang jaraknya hingga 7 x 400 meter lebih. Naik turun bukit dengan kondisinya yang semakin melemah merupakan bukti kekuatan yang luar biasa yang Allah beri atas kesabaran Hajar.
Lagi-lagi Hajar kembali menjumpai sang anak. Ia merasakan begitu pilu melihat kondisi Ismail. Kalau saja ia mampu untuk mengambil kesakitan yang dirasakan anaknya dan menimpakan pada dirinya hingga anaknya tidak merasakan susah sedikitpun, niscaya ia akan melakukannya. Namun Allah berkehendak lain, Ismail sedari kecil dididik agar bermental pejuang. Rela kepayahan demi ketundukan kepada Zat yang Maha menciptakan alam.
Betapa takub Hajar ketika melihat Ismail. Di ujung tumit bayi yang sibuk menggerak-gerakkan kakinya itu, muncul air yang melimpah. Subhanallah…, sumber mata air yang jernih lagi suci. Hajar langsung tanggap mengorek-ngorek tanah dekat linangan air terbebut agar tertampung. Ia sambil berkata “Zumi-zumi !” (Berkumpullah !). Sembari air yang semakin deras berlinang, ia bergegas meminumkan air buat bayi mungilnya Ismail. Seketika, kondisi fisik mereka lebih baik dari semula. Allahu Akbar…, Maka nikmat Allah yang manakah yang patut kita dustakan. Sesunguhnya pertolongan Allah itu dekat.
Pertolongan Allah tidak sebatas mengalirkan air dengan ajaib, namun juga memerintahkan kepada air agar tidak pernah kering seberapapun jumlah yang telah diambil. Hingga pada akhirnya air tersebut kini disebut air zam-zam.
Zam-zam tidak hanya membuat Hajar dan Ismail bertahan hidup atas izin Allah, namun burung-burung juga berdatangan meramaikan kehidupan di gurun pasir sebagai tempat tinggal kedua Ibu anak tersebut. Hingga suatu ketika ada kafilah yang singgah di tempat tersebut saat melakukan perjalanan dan akhirnya tinggal menetap. Kini Hajar dan Ismail memiliki tetangga. Mereka tidak lagi hidup dalam keterasingan.
Skenario yang Allah buat lebih indah dari yang Hajar minta. Kesabarannya tidak hanya menawan Allah untuk tetap membuat mereka bisa bertahan hidup, lebih dari itu Allah menjadikan air zam-zam juga bermanfaat bagi orang lain. Aktivitas haji bahkan dikaitkan ketika berlari-lari kecil dari bukit Safa ke Marwa. Itu artinya, Hajar telah mengawali salah satu rangkaian haji dan menjadi amal jariyah baginya. Allahu Akbar…
Selama tujuh tahun Hajar membesarkan Ismail tanpa suami di sampingnya. Peran ayah juga Hajar ambil alih buat Ismail agar buah hatinya itu tidak merasa kesepian tanpa ayah. Dan Allah mengetahui isi hati Hajar. Kerinduan pada suaminya disambut dengan skenario perjumpaan yang telah Allah rencanakan atas hamba-Nya.
Betapa senang hati Hajar dapat kembali menatap wajah Ibrahim. Demikian senandung syair yang pas buat suasana hati Hajar saat bisa berjumpa dengan kekasihnya. “Sejatinya, aku takkan memintamu berkata-kata. Pandangan matamu cukup menyatakan apa yang tersimpan dalam hatimu. Aku dapat merasakan cinta dan kelembutan kasihmu. Aku tahu, dan aku yakin, cintamu tak pernah berubah sedikit juga. Luasnya dunia ini takkan kuasa menampung seluruh cintamu kepadaku, dan cintaku kepadamu..”.
Allah mengabulkan do’a Hajar. Ia dipertemukan dengan Ibrarim yang berkunjung menemui mereka. Di samping kenikmatan yang Allah berikan ternyata ada rahasia ujian yang semakin berat dan bertingkat. Kehadiran Ibrahim telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil itu.  Beberapa hari tinggal bersama dengan orang-orang yang dicintai merupakan kenikmatan yang tiada terkira.  
Namun Allah Maha Bijaksana, ia ingin menguji totalitas cinta hamba,  mencukupkan bagi Allah saja seutama-utama pengabdian.  Melalui mimpi yang berulang, akhirnya Ibrahim memantabkan diri bahwa instruksi penyembelihan Ismail murni kehendak Allah.
Ibu mana yang sanggup melihat anaknya disembelih oleh suaminya sendiri.  Perintah yang tidak rasional tersebut ternyata dikalahkan oleh ketidakrasionalan cinta Hajar, Ismail dan Ibrahim kepada Allah. Subhanallah…, itulah cinta, hadirnya merasionalkan yang tidak rasional. Memungkinkan yang tidak mungkin.
Biarpun berat dan besarnya perintah itu apabila iman yang bicara, tiada satupun yang terasa berat. Tiada perintah dan titah Allah yang dianggap berat untuk dilaksanakan, dan tiada satupun pengorbanan yang dituntut kecuali semuanya terasa ringan.
Walaupun keshalihan tidak bisa diwariskan, namun ia bisa diajarkan melalui ketauladanan dan akhlak mulia. Dan itulah kesuksesan besar Hajar yang telah mampu mendidik Ismail. Anak kebanggaannya itu kini berusia 7 tahun, namun keshalihannya dapat mengalahkan iman manusia normal yang hidup puluhan tahun.
Ibrahim menjumpai Ismail yang penuh ketundukan bersedia menjalankan perintah Allah. “Ayahanda lakukanlah titah Allah dan segerakanlah. Kencangkanlah ikatannya agar saya tidak meronta-ronta, singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena cipratan darah hingga mengurangi nilai pahala, apalagi terlihat oleh Ibu, betapa akan sedihnya, asah dahulu pisaunya hingga tajam sekali, segerakanlah dalam menyembelihnya agar tidak teralalu terasa sakitnya. Kalau bertemu Ibu sampaikanlah salamku, apabila Ayah akan menyerahkan baju ini serahkanlah mudah-mudahan jadi kenangan dan penghibur bagi Ibu”.
Jawaban Ismail semakin memantabkan hati Ibrahim. Keikhlasan Ibu, Ayah dan Anak tersebut nampak begitu tulus mengabdikan hidup hanya kepada Allah. Hajar tidak lantas menghalang-halangi Ibrahim agar menunda atau membatalkan dalam menjalankan perintah Allah.
Itulah Hajar, akhlaknya mampu meneguhkan hati suaminya dalam menjalankan misi dakwah. Ia menjadi tauladan bagi para perempuan dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang berhasil. Beliau totalitas dalam ketaatan, kelembutan, kasih sayang, kesabaran, dan perjuangan yang luar biasa dalam mencari keridhaan Allah dan suaminya. Hajar bersinar mencontohkan kebenaran, ia seutama-utama perempuan pada masanya.
Semoga kita mampu merepresentasikan ketauladanan yang dilakukan Hajar. Menjadi orang terdepan yang mengusung kebenaran dan tetap setia berjuang dalam dakwah seberapapun perihnya jalan ini. Hajar memahami betul bahwa kehidupan di dunia sebentar saja. Kehidupan akhirat lebih kekal dan selamanya. Bertindak sebagaimana kehendak Allah bukan karena dorongan nafsu semata. Lahaula walaquwwata illabilla… ***


Penulis adalah pegiat Kajian Perempuan
Pengurus KAMMI Medan dan UKMI Ar Rahman UNIMED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar