Cinta Kita tak
Lekang Oleh Waktu
Sejatinya, aku
takkan memintamu berkata-kata. Pandangan matamu cukup menyatakan apa yang
tersimpan dalam hatimu. Aku dapat merasakan cinta dan kelembutan kasihmu. Aku
tahu, dan aku yakin, cintamu tak pernah berubah sedikit juga. Luasnya dunia ini
takkan kuasa menampung seluruh cintamu kepadaku, dan cintaku kepadamu...
C
|
inta
mampu memberikan kekuatan untuk bertahan dikala seluruh tenaga dan pikiran
telah habis. Dengan cinta, menawan keajaiban agar segera datang, memungkinkan
yang tidak mungkin, menghadirkan ketakjuban tiada tara.
Larut malam telah tiba, Purnama bulat
sempurna. Bintang-bintang bertaburan menghiasi angkasa. Malam itu padang pasir
yang tandus menyibakkan semilir angin kehampaan. Tubuh wanita yang mulai
ringkih itu masih setia menyirami mekar cinta yang bertandang di hatinya. Ujian
boleh datang, tapi keteguhan hatinya percaya bahwa ada cinta dari kekasihnya.
Musim kemarau boleh saja menerpa
perutnya yang kini terlilit menahan rasa lapar, lidahnya yang kering tiada air
dan sorot matanya yang mulai layu. Namun dengan kecintaan dan keyakinan dalam,
ia tetap berusaha menenangkan buah hati yang terus menangis kehausan.
Semakin kuat suara rintihan belahan hati,
ia pun semakin kuat mendekap anak semata wayangnya itu. Dengan penuh cinta ia
berkata “Sayang…, sabarlah nak... Allah pasti mengetahui kondisi kita
sekarang”. Tapi sang bayi terus memekik dan memecahkan kesunyian malam,
benarkah tangis itu karena kehausan, ataukah caranya berkata pada ibunya “Ibu.., aku bangga pada ibu yang mengajarkan aku tentang pengorbanan
cinta pada Rabb kita, Allah yang Maha Melihat segalanya”.
Pagi hari pun menyapa. Sinar sang surya
membangunkan ibu seperanakan itu, mereka bukan karena kekenyangan hingga
tertidur pulas, tapi karena kelelahan
menahan rasa lapar dan haus. Lagi-lagi sang anak menangis tatkala sang ibu
belum juga menyuguhkan setetespun air. Itu kerana air susu ibu yang turut
mengering seperti hamparan pasir yang juga mongering.
Kali ini perasaan ibu itu tak tertahanlan
lagi. Selain bayangan kematian yang sangat dekat dengan kondisi dia dan anaknya
sekarang. Dalam rintih ia berusaha membendung segala bisikan setan yang selalu
mengajak kepada kedurhakaan pada suami dan Tuhannya.
Seiring alunan tangis bayi, Hajar terkenang
akan suaminya Ibrahim. Semburat wajar
bening yang telah meninggalkannya berdua dengan putra kesayangan Ismail, di
gurun pasir yang tandus. Tanpa tanda-tanda penghidupan. Teringat olehnya dialog
terakhir sebelum sang suami pergi kembali menuju Palestina.
“Wahai suamiku…, apakah Allah yang
memerintahkan kepadamu agar aku dan anak kita Ismail tinggal di sini? Itulah
pertanyaan yang menunjukkan Hajar adalah wanita yang cerdas. Baginya, apapun
perintah Allah pasti mengandung hikmah dan Dia tidak akan mendzalimi hamba Nya.
Nabi Ibrahim menjawab tanpa keraguan sedikitpun “Na’am.” (Iya). Hajar pun
menyahuti “Jadi kalau begitu, Allah tidak akan membiarkanku”. Jawaban suaminya
tersebut yang sampai detik ini sebagai kekuatan dan kepercayaan akan adanya
pertolongan Allah.
Kondisi
Ismail semakin lemas, Buah cintanya itu bahkan menangis tak sekencang biasanya.
Pertanda betapa tubuh bayi itu semakin tak berdaya. Ibu mana yang tidak
tertekan melihat buah hatinya kesakitan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki
Hajar, ia berlari-lari kecil dari bukit Safa ke Marwa. Mencari adakah di ujung
bukit sana air yang dapat memberi harapan baru untuk kehidupan dirinya dan
Ismail.
Tenaganya
semakin terkuras, namun tak kunjung menemukan air, Hajar kembali menemui anaknya
dan berkata lirih “Maafkan bundamu Ismail, jika Allah menghendaki kematian
kita disini, biarlah. Dia pasti akan mengambil kita ke sisi-Nya, dan melimpahi
kita dengan kasih-Nya. Tapi bunda tak kan berputus asa. Tunggulah disini, bunda
akan mendaki bukit itu lagi…
Demi anaknya tercinta, Hajar berharap ada keajaiban
dan pertolongan Allah. Di tengah-tengah terik matahari yang semakin menyengat,
kakinya yang bertambah luka atas gesekan pasir saat berlari-lari. Allah lah
satu-satunya tempat berharap. Tanpa disadari Hajar telah 7x berlari bolak-balik yang jaraknya hingga 7 x 400 meter lebih.
Naik turun bukit dengan kondisinya yang semakin melemah merupakan bukti
kekuatan yang luar biasa yang Allah beri atas kesabaran Hajar.
Lagi-lagi Hajar kembali menjumpai sang
anak. Ia merasakan begitu pilu melihat kondisi Ismail. Kalau saja ia mampu
untuk mengambil kesakitan yang dirasakan anaknya dan menimpakan pada dirinya
hingga anaknya tidak merasakan susah sedikitpun, niscaya ia akan melakukannya.
Namun Allah berkehendak lain, Ismail sedari kecil dididik agar bermental
pejuang. Rela kepayahan demi ketundukan kepada Zat yang Maha menciptakan alam.
Betapa takub Hajar ketika melihat
Ismail. Di ujung tumit bayi yang sibuk menggerak-gerakkan kakinya itu, muncul
air yang melimpah. Subhanallah…, sumber mata air yang jernih lagi suci. Hajar
langsung tanggap mengorek-ngorek tanah dekat linangan air terbebut agar
tertampung. Ia sambil berkata “Zumi-zumi
!” (Berkumpullah !). Sembari air yang semakin deras berlinang, ia bergegas
meminumkan air buat bayi mungilnya Ismail. Seketika, kondisi fisik mereka lebih
baik dari semula. Allahu Akbar…, Maka nikmat Allah yang manakah yang patut kita
dustakan. Sesunguhnya pertolongan Allah itu dekat.
Pertolongan
Allah tidak sebatas mengalirkan air dengan ajaib, namun juga memerintahkan
kepada air agar tidak pernah kering seberapapun jumlah yang telah diambil. Hingga
pada akhirnya air tersebut kini disebut air zam-zam.
Zam-zam
tidak hanya membuat Hajar dan Ismail bertahan hidup atas izin Allah, namun
burung-burung juga berdatangan meramaikan kehidupan di gurun pasir sebagai
tempat tinggal kedua Ibu anak tersebut. Hingga suatu ketika ada kafilah yang
singgah di tempat tersebut saat melakukan perjalanan dan akhirnya tinggal
menetap. Kini Hajar dan Ismail memiliki tetangga. Mereka tidak lagi hidup dalam
keterasingan.
Skenario
yang Allah buat lebih indah dari yang Hajar minta. Kesabarannya tidak hanya
menawan Allah untuk tetap membuat mereka bisa bertahan hidup, lebih dari itu
Allah menjadikan air zam-zam juga bermanfaat bagi orang lain. Aktivitas haji
bahkan dikaitkan ketika berlari-lari kecil dari bukit Safa ke Marwa. Itu
artinya, Hajar telah mengawali salah satu rangkaian haji dan menjadi amal
jariyah baginya. Allahu Akbar…
Selama
tujuh tahun Hajar membesarkan Ismail tanpa suami di sampingnya. Peran ayah juga
Hajar ambil alih buat Ismail agar buah hatinya itu tidak merasa kesepian tanpa
ayah. Dan Allah mengetahui isi hati Hajar. Kerinduan pada suaminya disambut
dengan skenario perjumpaan yang telah Allah rencanakan atas hamba-Nya.
Betapa
senang hati Hajar dapat kembali menatap wajah Ibrahim. Demikian senandung syair
yang pas buat suasana hati Hajar saat bisa berjumpa dengan kekasihnya. “Sejatinya, aku takkan memintamu
berkata-kata. Pandangan matamu cukup menyatakan apa yang tersimpan dalam
hatimu. Aku dapat merasakan cinta dan kelembutan kasihmu. Aku tahu, dan aku
yakin, cintamu tak pernah berubah sedikit juga. Luasnya dunia ini takkan kuasa
menampung seluruh cintamu kepadaku, dan cintaku kepadamu..”.
Allah mengabulkan do’a Hajar. Ia dipertemukan
dengan Ibrarim yang berkunjung menemui mereka. Di samping kenikmatan yang Allah
berikan ternyata ada rahasia ujian yang semakin berat dan bertingkat. Kehadiran
Ibrahim telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil itu. Beberapa hari tinggal bersama dengan
orang-orang yang dicintai merupakan kenikmatan yang tiada terkira.
Namun Allah Maha Bijaksana, ia ingin menguji
totalitas cinta hamba, mencukupkan bagi
Allah saja seutama-utama pengabdian. Melalui
mimpi yang berulang, akhirnya Ibrahim memantabkan diri bahwa instruksi
penyembelihan Ismail murni kehendak Allah.
Ibu mana yang sanggup melihat anaknya disembelih
oleh suaminya sendiri. Perintah yang tidak rasional tersebut
ternyata dikalahkan oleh ketidakrasionalan cinta Hajar, Ismail dan Ibrahim
kepada Allah. Subhanallah…, itulah cinta, hadirnya merasionalkan yang tidak
rasional. Memungkinkan yang tidak mungkin.
Biarpun berat dan besarnya perintah itu apabila iman
yang bicara, tiada satupun yang terasa berat. Tiada perintah dan titah Allah
yang dianggap berat untuk dilaksanakan, dan tiada satupun pengorbanan yang
dituntut kecuali semuanya terasa ringan.
Walaupun keshalihan tidak bisa
diwariskan, namun ia bisa diajarkan melalui ketauladanan dan akhlak mulia. Dan
itulah kesuksesan besar Hajar yang telah mampu mendidik Ismail. Anak
kebanggaannya itu kini berusia 7 tahun, namun keshalihannya dapat mengalahkan
iman manusia normal yang hidup puluhan tahun.
Ibrahim menjumpai Ismail yang penuh
ketundukan bersedia menjalankan perintah Allah. “Ayahanda lakukanlah titah Allah dan segerakanlah. Kencangkanlah
ikatannya agar saya tidak meronta-ronta, singsingkanlah lengan baju ayah agar
tidak terkena cipratan darah hingga mengurangi nilai pahala, apalagi terlihat
oleh Ibu, betapa akan sedihnya, asah dahulu pisaunya hingga tajam sekali,
segerakanlah dalam menyembelihnya agar tidak teralalu terasa sakitnya. Kalau bertemu
Ibu sampaikanlah salamku, apabila Ayah akan menyerahkan baju ini serahkanlah
mudah-mudahan jadi kenangan dan penghibur bagi Ibu”.
Jawaban Ismail semakin memantabkan hati
Ibrahim. Keikhlasan Ibu, Ayah dan Anak tersebut nampak begitu tulus mengabdikan
hidup hanya kepada Allah. Hajar tidak lantas menghalang-halangi Ibrahim agar
menunda atau membatalkan dalam menjalankan perintah Allah.
Itulah Hajar, akhlaknya mampu meneguhkan
hati suaminya dalam menjalankan misi dakwah. Ia menjadi tauladan bagi para perempuan
dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang berhasil. Beliau totalitas
dalam ketaatan, kelembutan, kasih sayang, kesabaran, dan perjuangan yang luar
biasa dalam mencari keridhaan Allah dan suaminya. Hajar bersinar mencontohkan
kebenaran, ia seutama-utama perempuan pada masanya.
Semoga kita mampu merepresentasikan
ketauladanan yang dilakukan Hajar. Menjadi orang terdepan yang mengusung
kebenaran dan tetap setia berjuang dalam dakwah seberapapun perihnya jalan ini.
Hajar memahami betul bahwa kehidupan di dunia sebentar saja. Kehidupan akhirat
lebih kekal dan selamanya. Bertindak sebagaimana kehendak Allah bukan karena dorongan
nafsu semata. Lahaula walaquwwata
illabilla… ***
Penulis adalah pegiat Kajian Perempuan
Pengurus
KAMMI Medan dan UKMI Ar Rahman UNIMED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar