GELANGGANG SAJAK
Ria Jelia Saragih :
MENUNGGU
Menunggu. Aku masih menunggu. Bosan pun
berserak. Aku tetap menunggu. Atas nama ambisi. Aku masih setia menunggu.
---
Saat penerang dunia dalam balutan
putih kebiruan memamerkan keindahan alam disambut penari tumbuhan yang anggun.
Terkadang marahnya seolah-olah membakar dunia. Namun itulah dia, rautan bulat
berlampu cemerlang dibalut ribuan kapas putih yang tertumpah tinta.
Sekiranya ini bukan impian, maka aku
tak akan pernah menunggu. Mungkin
kemarin atau lusa aku sudah menumpahkan isi dari penempatan tinta itu dalam
racikan sendiri.
Sekiranya ini bukan hobi, maka aku
tak akan pernah mencapainya tanpa nasihat-nasihat para pakar di sana. Dengan
sejuta impian menjadi seratus angan hingga menjadi sebuah harapan, maka
penungguanku berakhir dengan kebahagiaan yang menyebarkan semerbak angan yang
berwujud nyata.
---
Menunggu. Aku masih menunggu. Bosan pun
berserak. Aku tetap menunggu. Atas nama ambisi. Aku masih setia menunggu.
---
Dalam termangu, kucucurkan keringat
untuk menunggu dan berusaha. Dengan sepotong kertas suci, aku melatih jari
tanganku untuk menari di atasnya. Tiba-tiba saja penaku terjatuh. Tersorot
mataku terhadap lelaki sumbing itu. Dia menggenggam pena emas kepunyaan para
ahli. Aku mencoba mendekatinya. Namun,
dia terlalu sibuk dengan setumpuk kertas yang berserak. Aku pun mencari
informasi. Siapa lelaki sumbing itu? Mengapa dia bisa menggenggam itu? Hal apa
yang ialakukan sehingga sesibuk itu?
Hatiku terus menumpahkan pertanyaan.
Hingga akhirnya, aku temukan 1x1 m kayu terukir melati yang terlapisi kaca yang
menempel di dinding. Aku membaca sepenggal media yang merekat di dalamnya. Aku terkejut.
Parasnya ada di dalamnya. Ternyata lelaki sumbing itu salah satu mahasiswa
semester 8 yang kini telah berhasil menjadi sastrawan muda yang cukup terkenal.
Ribuan kata yang melekat, menguatkan aku untuk menunggu.
---
Menunggu. Aku masih saja menunggu. Bosan
pun tersirat. Aku tetap menunggu. Atas nama ambisi. Aku masih setia menunggu. Aku
yakin akan mendapatkanapa yang aku inginkan dengan limpahan-Nya melalui kesabaran.
Aku menunggu.
Rumah sakit pena. Ya, itulah aku menyebutnya.
Orang-orang yang mengidap penyakit takut menulis, tak percaya diri, mudah putus
asa, malu, dan masih banyak yang menyangkut kriteria sang penulis lainnya, yang
kini akan ditangani para ahli, yakni sastrawan
berpengalaman. Aku lebih yakin dan sangat yakin bahwa aku adalah salah satu pasien
yang gigih ingin sembuh yang membuahkan hasil.
Aku menumpahkan bakat yang tersirat dalam
rumah sakit pena. Aku juga ingin dikenal, kaya, memilikikarya yang begitu dinikmati
pembaca. Kaya akan imajinasi seperti yang dimiliki para sastrawan itu. Sehingga
orang-orang dapat menjuluki sebagai wanita kaya dipenuhi semangat pasti, dalam lika-liku
kehidupan.
---
Menunggu. Aku masih menunggu. Bosan pun
berserak. Aku tetap menunggu. Atas nama ambisi. Aku masih setia menunggu.
Ria Jelia Saragih atau sering
menulis namanya R.J. Sharzy adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Karyanya pernah termuat dalam antologi
“Rinai-rinai Imaji” yang diterbitkan
HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU.
Nanda RD
:
TENTANG
“R”
R, aku ingin terus bersamamu...
Atas izinNya, aku terus meminta
Agar Dia memberi jalan
Maka, yakinkan aku!!
Atas izinNya, aku terus meminta
Agar Dia memberi jalan
Maka, yakinkan aku!!
R, sudah lama tak kubaca syair-syair cinta
darimu...
Aku rindu
Aku rindu
R, aku terbangun di sepertiga malam ini
Aku basuh wudhu, dan menghadapNya
Aku doakan tentang kita di Tahajudku...
Aku basuh wudhu, dan menghadapNya
Aku doakan tentang kita di Tahajudku...
R, hujan malam ini mengingatkanku tentang hari
itu..
Ingatkah engkau?
Ingatkah engkau?
R, tahukah kau?
Aku dipandangi terus oleh langit pagi ini
Seakan tersenyum melihat tingkahku
Aku melukiskan sesuatu tentangmu..
Aku dipandangi terus oleh langit pagi ini
Seakan tersenyum melihat tingkahku
Aku melukiskan sesuatu tentangmu..
R, sampai bertemu di akhir pekan...
R, aku melihat Tuhan di dirimu...
Apakah itu berarti??
Apakah itu berarti??
R, kau tahu?
Di dinding kamarku terpajang mawar yang di tangkainya ada sebuah cincin
Kapan kau beri itu padaku?
Di dinding kamarku terpajang mawar yang di tangkainya ada sebuah cincin
Kapan kau beri itu padaku?
R, malam ini kembali lagi
Kita tak bertemu (lagi)
Kita tak bertemu (lagi)
Nanda
RD atau Nanda Rama
Danyati, lahir di
Saentis 7 Maret 1992, aktif di Teater
GENERASI Medan mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara. Karyanya pernah termuat dalam antologi “Rinai-rinai Imaji” yang diterbitkan HMJ
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU.
Siti Fatimah Sitepu :
HUJAN
Punggungmu
jarak kita
Dekat
menampung beban maha dahsyat
Seolah
istirahat hanya sesaat
Tetap
engkau yang terhebat
Bernama
Hujan
lebat.
Senyum senja, 2012
CAN…
Meminang
waktu untuk kau. Can
Bermesra
suka arungi sebelas jari
Pucuk
pena menukil, angka romawi
Melayang,
memutar di pinggul sebaris sajak
Selancarlah
engkau. Can
Senyum senja, 2012
DAMAI
Jurang
kisah menuai cerita
Manusia
berjubah abu-abu
Saling
siku, saling pukul
Sayang.
Kita
bangsa berpatriotis
Tegak
dan songsong diri
Prestasi
bukan anaskis
Senyum senja, 2012
JENDELA TUA
Di
bawah jendela tua
Kita
mengukir cerita, tentang asa dan cinta
Atau
segurat tawa saja.
Meski
engsel berkarat
Tak
mampu menopang
Jendela
tua
Kehidupan
cerita terurai
Kuat
menahan batang dan kulit
Berlapis
kanvas kesetiaan; kita
Senyum senja, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar