Minggu, 05 Mei 2013

CORONG : WARTAWAN PEJUANG




J
UMAT (03/05/2013) saya diminta menjadi pemakalah seminar sejarah perkembangan pers Mimbar Umum di Sumatera Utara oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Medan di kampus tersebut. Ketika mengorek-ngorek sejarah Mimbar Umum ini, saya menemukan serpihan sejarah keperjuangan wartawan ketika menghadapi tekanan penguasa.
Ya, sejarah pers di Sumatera Utara tidak berbeda dengan yang terjadi di belahan lain wilayah Indonesia. Terutama jika dikaitkan dengan peran kesejarahan wartawan, yang dalam kurun waktu dan ruang yang sama, tengah menghadapi berbagai tantangan. Suatu kurun waktu yang ditandai menggeloranya energi kebanyakan “kaoem boemi poetra” yang tengah berusaha melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan kolonialisme Belanda pada awal abad ke-19.
Sudah banyak studi yang mengulas tentang sejarah pers di Indonesia maupun Sumatera Utara, baik yang ditulis para sarjana asing maupun sarjana dalam negeri. Umumnya para sejarawan selalu memberikan ruang untuk mengonstruksi sebuah episode tentang sepak terjang wartawan melawan kekejaman kolonialisme. Lewat tulisan-tulisan bernada agitatif yang dimuat di sejumlah surat kabar, wartawan menggelorakan semangat untuk menentang kesewenangan para pejabat kolonial Hindia Belanda yang kerap diistilahkan sebagai “kaoem penghisap boemiputra”.
Sebagai golongan terdidik, wartawan mewakili apa yang disebut sebagai “cendekiawan bebas”. Mereka umumnya mengenyam pendidikan tinggi, mengemban tanggung jawab kemasyarakatan, serta bersikap radikal dan bebas dalam memandang kondisi masyarakat dan negara tempat mereka hidup. Sebagian besar mereka berasal dari kelas menengah pribumi yang merupakan produk dari sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Fungsi awal dari sekolah-sekolah Belanda tersebut sebenarnya untuk menghasilkan tenaga-tenaga ambteenar pribumi untuk mengisi mesin birokrasi kolonial.
Hal tersebut tidak terpisah dari kebijakan Politik Etis yang diperkenalkan pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1901. Sebagaimana diketahui, Politik Etis menitikberatkan pada tiga bidang utama, yaitu pendidikan (educatie), pemindahan penduduk (emigratie), dan pengairan (irriegatie). Salah satu hasil dari politik etis, terutama dalam bidang pendidikan yaitu terbentuknya kelompok-kelompok sosial yang dikenal dengan sebutan golongan elitee modern atau golongan Priyayi Baru (Neo Priyayi). Golongan elite modern yang terdidik ini kemudian menjadi agen pembaru dan pelopor pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam memperjuangkan cita-cita nasionalnya itu, yaitu memajukan dan menyejahterakan masyarakat, mereka menggunakan modus operandi baru dengan cara membentuk organisasi modern dan pers sebagai salah satu sarana komunikasinya.
Tidak sedikit kalangan kelas menengah terdidik tersebut memilih berkarier di bidang jurnalistik dan mendirikan organisasi-organisasi pergerakan yang kegiatannya justru untuk menentang kaum yang telah mendidik mereka tersebut. Dalam perspektif kolonial, mungkin golongan ini mewakili pepatah “pagar makan tanaman”. Namun dalam perspektif “kaum terperentah”, jelas mereka adalah pahlawan. Golongan priyayi baru yang telah berkenalan dengan gagasan-gagasan besar tentang demokrasi, liberalisme, nasionalisme sampai persamaan derajat manusia di muka bumi tersebut, menjadikan pengetahuan tersebut sebagai “senjata” untuk melawan nilai-nilai anti barat yang justru secara paradoksal dipraktikkan kaum yang “menggurui” tersebut.   
Di Sumatera Timur (baca Sumatera Utara), beberapa wartawan yang kerap mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda mendapat hukuman yang keras dari pemerintahan kolonial Belanda. Sejak tahun 1910, sebagai buah dari politik etis, situasi di berbagai wilayah jajahan pemerintah Belanda berkembang ke arah “yang tidak diinginkan”. Munculnya kesadaran sebagai rakyat terjajah, menimbulkan berbagai perlawanan dari golongan elite modern yang terdidik. Surat kabar memegang peranan penting dalam periode ini. Berbagai tulisan yang bernada agitatif muncul di sejumlah surat kabar, yang isinya menyerukan perlawanan terhadap pejabat pemerintah. Namun, tahun 1931 pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa Gubernur Jendral diberi hak untuk melarang terbit penerbitan tertentu yang dinilainya bisa “mengganggu ketertiban umum.”
Selain lembapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda (Pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (Pasal 156 dan 157). Beberapa wartawan di Sumatera Timur, segera menjadi korban akibat peraturan tersebut, di antaranya Chalid Salim (Pewarta Deli), Mohammad Joenoes (Benih Merdeka), Parada Harahap (Sinar Merdeka), Mangaraja Hezkiel Manullang (Soeara Batak), Kemis Mangoen Atmodjo (Djawa Bergerak). Itulah dulu secuil rekam jejak kejuangan wartawan kita pada era kolonial. Hal sama terjadi ketika wartawan menghadapi pemerintahan Jepang, NICA, hingga penguasa dalam negeri sendiri. Pembredeilan media dan pemenjaraan wartawan kerap terjadi melawan penguasa. Nah! **ga persbreidel, pemerintah juga menerapkan haatzaai artikelen, yang memberikan ancaman hukuman terhadap siapa *


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar