J
|
UMAT (03/05/2013) saya diminta
menjadi pemakalah seminar sejarah perkembangan pers Mimbar Umum di Sumatera Utara oleh mahasiswa jurusan Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Medan di kampus tersebut.
Ketika mengorek-ngorek sejarah Mimbar
Umum ini, saya menemukan serpihan sejarah keperjuangan wartawan ketika
menghadapi tekanan penguasa.
Ya, sejarah
pers di Sumatera Utara tidak berbeda dengan yang terjadi di belahan lain wilayah
Indonesia. Terutama jika dikaitkan dengan peran kesejarahan wartawan, yang
dalam kurun waktu dan ruang yang sama, tengah menghadapi berbagai tantangan.
Suatu kurun waktu yang ditandai menggeloranya energi kebanyakan “kaoem boemi
poetra” yang tengah berusaha melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan
kolonialisme Belanda pada awal abad ke-19.
Sudah banyak
studi yang mengulas tentang sejarah pers di Indonesia maupun Sumatera Utara,
baik yang ditulis para sarjana asing maupun sarjana dalam negeri. Umumnya para
sejarawan selalu memberikan ruang untuk mengonstruksi sebuah episode tentang
sepak terjang wartawan melawan kekejaman kolonialisme. Lewat tulisan-tulisan
bernada agitatif yang dimuat di sejumlah surat kabar, wartawan menggelorakan
semangat untuk menentang kesewenangan para pejabat kolonial Hindia Belanda yang
kerap diistilahkan sebagai “kaoem penghisap boemiputra”.
Sebagai
golongan terdidik, wartawan mewakili apa yang disebut sebagai “cendekiawan
bebas”. Mereka umumnya mengenyam pendidikan tinggi, mengemban tanggung jawab
kemasyarakatan, serta bersikap radikal dan bebas dalam memandang kondisi
masyarakat dan negara tempat mereka hidup. Sebagian besar mereka berasal dari
kelas menengah pribumi yang merupakan produk dari sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda. Fungsi awal dari sekolah-sekolah Belanda
tersebut sebenarnya untuk menghasilkan tenaga-tenaga ambteenar pribumi
untuk mengisi mesin birokrasi kolonial.
Hal tersebut
tidak terpisah dari kebijakan Politik Etis yang diperkenalkan pemerintah
Kolonial Belanda sejak tahun 1901. Sebagaimana diketahui, Politik Etis
menitikberatkan pada tiga bidang utama, yaitu pendidikan (educatie),
pemindahan penduduk (emigratie), dan pengairan (irriegatie).
Salah satu hasil dari politik etis, terutama dalam bidang pendidikan yaitu
terbentuknya kelompok-kelompok sosial yang dikenal dengan sebutan golongan elitee
modern atau golongan Priyayi Baru (Neo Priyayi). Golongan elite modern
yang terdidik ini kemudian menjadi agen pembaru dan pelopor pergerakan nasional
di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam memperjuangkan cita-cita nasionalnya
itu, yaitu memajukan dan menyejahterakan masyarakat, mereka menggunakan modus
operandi baru dengan cara membentuk organisasi modern dan pers sebagai salah
satu sarana komunikasinya.
Tidak sedikit
kalangan kelas menengah terdidik tersebut memilih berkarier di bidang
jurnalistik dan mendirikan organisasi-organisasi pergerakan yang kegiatannya
justru untuk menentang kaum yang telah mendidik mereka tersebut. Dalam
perspektif kolonial, mungkin golongan ini mewakili pepatah “pagar makan
tanaman”. Namun dalam perspektif “kaum terperentah”, jelas mereka adalah
pahlawan. Golongan priyayi baru yang telah berkenalan dengan gagasan-gagasan
besar tentang demokrasi, liberalisme, nasionalisme sampai persamaan derajat
manusia di muka bumi tersebut, menjadikan pengetahuan tersebut sebagai
“senjata” untuk melawan nilai-nilai anti barat yang justru secara paradoksal
dipraktikkan kaum yang “menggurui” tersebut.
Di Sumatera
Timur (baca Sumatera Utara), beberapa wartawan yang kerap mengkritik pemerintah
kolonial Hindia Belanda mendapat hukuman yang keras dari pemerintahan kolonial
Belanda. Sejak tahun 1910, sebagai buah dari politik etis, situasi di berbagai
wilayah jajahan pemerintah Belanda berkembang ke arah “yang tidak diinginkan”.
Munculnya kesadaran sebagai rakyat terjajah, menimbulkan berbagai perlawanan
dari golongan elite modern yang terdidik. Surat kabar memegang peranan penting
dalam periode ini. Berbagai tulisan yang bernada agitatif muncul di sejumlah
surat kabar, yang isinya menyerukan perlawanan terhadap pejabat pemerintah.
Namun, tahun 1931 pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie.
Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa Gubernur Jendral diberi hak untuk melarang
terbit penerbitan tertentu yang dinilainya bisa “mengganggu ketertiban umum.”
Selain lembapun yang menyebarkan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia
Belanda (Pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok
penduduk di Hindia Belanda (Pasal 156 dan 157). Beberapa wartawan di Sumatera
Timur, segera menjadi korban akibat peraturan tersebut, di antaranya Chalid
Salim (Pewarta Deli), Mohammad
Joenoes (Benih Merdeka), Parada Harahap (Sinar Merdeka),
Mangaraja Hezkiel Manullang (Soeara Batak), Kemis Mangoen Atmodjo (Djawa
Bergerak).
Itulah dulu secuil
rekam jejak kejuangan wartawan kita pada era kolonial. Hal sama terjadi ketika
wartawan menghadapi pemerintahan Jepang, NICA, hingga penguasa dalam negeri
sendiri. Pembredeilan media dan
pemenjaraan wartawan kerap terjadi melawan penguasa. Nah! **ga
persbreidel, pemerintah juga menerapkan haatzaai artikelen, yang
memberikan ancaman hukuman terhadap siapa *
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar