Sabtu, 04 Mei 2013

Cerpen : GERUTUKU PADA KAU DAN HUJAN


Oleh : Indriani

           
“P
ergilah!”
Kau sangat ingin mendengar aku mengatakan itu kan. Kau akan berhamburan keluar menemuinya. Kau tidak mau terlambat karena ia belum tentu menginap. Kau takut dia hanya sekedar melintas saja, dan kau tidak sempat bercumbu dengannya.

 “Pergi!”
Kau sama sekali tidak bisa dipercaya. Terkadang kau menjelma seperti Tuhan yang berikan kehidupan, tapi dalam sekejap kau menghancurkannya. Apa kau tahu dia sangat menyukaimu. Dia selalu merengek padaku jika aku melarangnya menemuimu, bahkan repetanku kalah saing dengan rengekannya.
“Pergi!”
***
Hujan lebat menyirami halaman rumah kita, aspal jalanan mengibaskan gerahnya, katak, rumput, ranting bersatu padu membentuk sebuah band orchestra, dan kau? Kau sangat suka saat itu. Kau bisa menari-nari bersama hujan layaknya bintang bolywood, meski hanya dengan pakaian dalam kau tidak terlihat intim tapi lucu bagiku. Terkadang aku iri melihatmu menari bersama hujan. Mengapa kau tidak punya basa-basi setiap kali hujan mengajakmu berdansa, dan tanpa pikir panjang kau selalu mengiyakan. Sedangkan aku, aku punya gengsi yang harus kujaga. Aku tidak bisa menerima begitu saja saat hujan membujukku untuk menemaninya menari. Karena aku iri, kularang saja kau menemani hujan menari, tapi kau selalu merengek padaku membuat gendang telingaku risih, dan bibir manjamu memaksaku untuk memenuhi tiap rengekanmu.
            Aku heran! mengapa kau tidak marah ketika hujan menyentuh seluruh tubuhmu, mengecup mata, hidung, telinga, dan bibirmu, membelai tiap helaian rambutmu. Sedangkan aku, kau hanya mengizinkanku sebulan sekali memegang rambutmu. Itu pun ketika poni rambut hitammu yang lurus dan lebat itu, panjang. Dan kau akan memintaku memotong ponimu. Poni dora katamu, poni selamat datang kataku.
            Dibandingkan aku, kau lebih mementingkan hujan dan dirimu sendiri, egois menurutku. Berbicara seenak perutmu, bertingkah sesuka hatimu, kalau tidak suka, “Mana open awaq! Awaq MABOK, ambil bantal bobok” begitu katamu. Menyebalkan! Tapi, tahukah kau? Setiap egomu, setiap bicaramu, setiap tingkahmu, menjadi bingkisan dalam ingatanku. Saat aku sendiri selalu terbuka dan membuatku menjeringai seperti kuda Brastagi.
            Ingin rasanya aku membencimu dan hujan. Tapi hujan adalah kau, dan kau adalah hujan. Yang selalu beriku ketenangan saat kelembutanmu menyentuhku melebihi angin di bibir pantai, saat rintikanmu bernyanyi melebihi merdunya nada fur ellise dari Beethoven. Ingin rasanya aku membencimu dan hujan. Tapi kisah cintamu dan hujan begitu menyentuh, melebihi kisah cinta jarak jauh antara Candy dan Terry, atau kisah cinta Inuyasha manusia setengah siluman dengan seorang gadis cantik bernama Kagome, kartun-kartun kesayanganmu. Ingin rasanya aku membencimu dan hujan. Tapi tawamu dan hujan seperti rinai yang menyirami padang gersang. Ingin rasanya aku membencimu dan hujan. Tapi gerutuku pada kau dan hujan tidak akan mengubah cerita antara kalian. Meski hujan berubah menjadi zat asam cair yang dapat menyayat kulitmu.
            Kumohon berhentilah!
            Kau masih menari bersama hujan, kali ini bergaya holywood. Kau berlagak seperti Rambo dengan pisau-pisaunya, seperti Arnold dengan granatnya, seperti Vandome  dengan senjata dan mobil ekstrimnya, seperti Harry Potter dengan sapu terbangnya. Sementara aku hanya bisa menelan air liur ketika melihatmu.
Sekali saja. Bisakah kau dengarkan aku. Jangan menemuinya! Dia tidak selalu baik padamu. Apa lagi sekarang dia seperti puntung api dalam sekam yang diam-diam menggerogotimu, karena dia sudah terinfeksi zat beracun dari bumi. Tapi kau adalah kau, jika kau mendengarkan apa yang kukatakan maka kau bukanlah kau.
Mengapa kau begitu betah bercengkrama dengan hujan, padahal tidak jarang dia jahat padamu. Ingatkah kau dia pernah menumbangkan pohon mangga kita, sejarah kecil kita. Waktu itu kita bersusah payah menggali tanah dan menanam bibitnya bahkan kau harus bergelumang tanah karena terus merangkak mengikutiku, dia juga pernah menenggelamkan rumah beserta orang tua kita. Katakan padaku mengapa kau begitu menyukainya, padahal ketika malam saat kau tertidur dia selalu membangunkanmu dengan raungannya membuatmu meringkuk di dalam selimut dan bersembunyi di celah ketiakku. Katakan padaku mengapa kau begitu menyukainya, padahal dia tidak selalu setia padamu, dia tidak selalu bisa menemanimu, bahkan saat kau membutuhkannya kau tidak bisa memintanya datang kapanpun kau inginkan dan sebaliknya saat kita panik harus menampung semua ulahnya, dia malah menari sesuka hatinya dan tak kan pergi meski berulang kali aku mengusirnya. Bukankah dia sangat menyebalkan. Aku mohon katakanlah! Karena aku tidak suka melihatmu mengembangkan lobang hidung ketika aku melarangmu bermain bersama hujan.
Sudahlah! Aku lelah meleraimu dengan hujan, karena gerutuku pun tak akan kau gubris. Toh, pada akhirnya hujan akan lelah menemanimu bermain. Karena ia punya jadwal yang padat untuk menari dengan penggemarnya yang lain, ia hanya sesekali datang saat pesawatnya mendarat di atap rumah kita. Tidak seperti aku yang senantiasa ada di dekatmu. Aku memang tidak pandai menari seperti hujan, tapi aku bisa menemanimu bermain ludo. Saat kau mau tidur akan kuceritakan kisah cinta yang lebih menyentuh dibandingkan kisahmu dengan hujan. Melindungimu dari tusukan dingin angin di malam hari. Menghapus air matamu saat kau menangis, membelikan es cream coklat kesukaanmu, mengantarmu ke sekolah. Tanyakan pada hujan apa dia bisa melakukannya.
            Hujan beranjak pergi, tapi kau masih ingin menari. Kau membujuknya, merayunya dengan bernyanyi. Lagu yang sering dilantunkan oleh orang-orang sepertimu yang sangat menginginkan hujan. Aku sering mendengar lagu itu, tapi aku tidak tahu dari mana asalnya dan siapa biang keladi yang kurang kerjaan menciptakan lagu itu.
            Kau bersiap-siap memancungkan bibirmu mengambil nada dasar menyanyikan lagu kesukaan hujan, tapi hujan tetap ingin pergi. Kau masih membujuknya kembali bernyanyi dengan nada yang lebih tinggi hampir mendekati sopran meski terdengar fals, dan sepertinya kali ini hujan sedang tak ingin mendengar kau bernyanyi.
Hujan sudah pergi, kau masuk ke rumah. “Kenapa berhenti?” tanyaku. “Sukak ati akulah, angek ati kau!” katamu. ***



Penulis, adalah alumni Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan dan kini mengajar di Provinsi Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar