Oleh : Indriani
“P
|
ergilah!”
Kau sangat ingin
mendengar aku mengatakan itu kan. Kau akan berhamburan keluar menemuinya. Kau
tidak mau terlambat karena ia belum tentu menginap. Kau takut dia hanya sekedar
melintas saja, dan kau tidak sempat bercumbu dengannya.
“Pergi!”
Kau sama sekali
tidak bisa dipercaya. Terkadang kau menjelma seperti Tuhan yang berikan
kehidupan, tapi dalam sekejap kau menghancurkannya. Apa kau tahu dia sangat
menyukaimu. Dia selalu merengek padaku jika aku melarangnya menemuimu, bahkan
repetanku kalah saing dengan rengekannya.
“Pergi!”
***
Hujan lebat
menyirami halaman rumah kita, aspal jalanan mengibaskan gerahnya, katak,
rumput, ranting bersatu padu membentuk sebuah band orchestra, dan kau? Kau sangat suka saat itu. Kau bisa menari-nari
bersama hujan layaknya bintang bolywood,
meski hanya dengan pakaian dalam kau tidak terlihat intim tapi lucu bagiku. Terkadang
aku iri melihatmu menari bersama hujan. Mengapa kau tidak punya basa-basi
setiap kali hujan mengajakmu berdansa, dan tanpa pikir panjang kau selalu
mengiyakan. Sedangkan aku, aku punya gengsi yang harus kujaga. Aku tidak bisa
menerima begitu saja saat hujan membujukku untuk menemaninya menari. Karena aku
iri, kularang saja kau menemani hujan menari, tapi kau selalu merengek padaku
membuat gendang telingaku risih, dan bibir manjamu memaksaku untuk memenuhi
tiap rengekanmu.
Aku heran! mengapa kau tidak marah
ketika hujan menyentuh seluruh tubuhmu, mengecup mata, hidung, telinga, dan
bibirmu, membelai tiap helaian rambutmu. Sedangkan aku, kau hanya mengizinkanku
sebulan sekali memegang rambutmu. Itu pun ketika poni rambut hitammu yang lurus
dan lebat itu, panjang. Dan kau akan memintaku memotong ponimu. Poni dora
katamu, poni selamat datang kataku.
Dibandingkan aku, kau lebih
mementingkan hujan dan dirimu sendiri, egois menurutku. Berbicara seenak
perutmu, bertingkah sesuka hatimu, kalau tidak suka, “Mana open awaq! Awaq MABOK,
ambil bantal bobok” begitu katamu. Menyebalkan! Tapi, tahukah kau? Setiap
egomu, setiap bicaramu, setiap tingkahmu, menjadi bingkisan dalam ingatanku.
Saat aku sendiri selalu terbuka dan membuatku menjeringai seperti kuda
Brastagi.
Ingin rasanya aku membencimu dan
hujan. Tapi hujan adalah kau, dan kau adalah hujan. Yang selalu beriku
ketenangan saat kelembutanmu menyentuhku melebihi angin di bibir pantai, saat
rintikanmu bernyanyi melebihi merdunya nada fur
ellise dari Beethoven. Ingin rasanya aku membencimu dan hujan. Tapi kisah
cintamu dan hujan begitu menyentuh, melebihi kisah cinta jarak jauh antara
Candy dan Terry, atau kisah cinta Inuyasha manusia setengah siluman dengan seorang
gadis cantik bernama Kagome, kartun-kartun kesayanganmu. Ingin rasanya aku
membencimu dan hujan. Tapi tawamu dan hujan seperti rinai yang menyirami padang
gersang. Ingin rasanya aku membencimu dan hujan. Tapi gerutuku pada kau dan
hujan tidak akan mengubah cerita antara kalian. Meski hujan berubah menjadi zat
asam cair yang dapat menyayat kulitmu.
Kumohon berhentilah!
Kau masih menari bersama hujan, kali
ini bergaya holywood. Kau berlagak
seperti Rambo dengan pisau-pisaunya, seperti Arnold dengan granatnya, seperti Vandome
dengan senjata dan mobil ekstrimnya,
seperti Harry Potter dengan sapu terbangnya. Sementara aku hanya bisa menelan
air liur ketika melihatmu.
Sekali saja.
Bisakah kau dengarkan aku. Jangan menemuinya! Dia tidak selalu baik padamu. Apa
lagi sekarang dia seperti puntung api dalam sekam yang diam-diam
menggerogotimu, karena dia sudah terinfeksi zat beracun dari bumi. Tapi kau adalah
kau, jika kau mendengarkan apa yang kukatakan maka kau bukanlah kau.
Mengapa kau begitu
betah bercengkrama dengan hujan, padahal tidak jarang dia jahat padamu.
Ingatkah kau dia pernah menumbangkan pohon mangga kita, sejarah kecil kita.
Waktu itu kita bersusah payah menggali tanah dan menanam bibitnya bahkan kau
harus bergelumang tanah karena terus merangkak mengikutiku, dia juga pernah
menenggelamkan rumah beserta orang tua kita. Katakan padaku mengapa kau begitu
menyukainya, padahal ketika malam saat kau tertidur dia selalu membangunkanmu
dengan raungannya membuatmu meringkuk di dalam selimut dan bersembunyi di celah
ketiakku. Katakan padaku mengapa kau begitu menyukainya, padahal dia tidak
selalu setia padamu, dia tidak selalu bisa menemanimu, bahkan saat kau
membutuhkannya kau tidak bisa memintanya datang kapanpun kau inginkan dan
sebaliknya saat kita panik harus menampung semua ulahnya, dia malah menari
sesuka hatinya dan tak kan pergi meski berulang kali aku mengusirnya. Bukankah
dia sangat menyebalkan. Aku mohon katakanlah! Karena aku tidak suka melihatmu
mengembangkan lobang hidung ketika aku melarangmu bermain bersama hujan.
Sudahlah! Aku
lelah meleraimu dengan hujan, karena gerutuku pun tak akan kau gubris. Toh,
pada akhirnya hujan akan lelah menemanimu bermain. Karena ia punya jadwal yang
padat untuk menari dengan penggemarnya yang lain, ia hanya sesekali datang saat
pesawatnya mendarat di atap rumah kita. Tidak seperti aku yang senantiasa ada
di dekatmu. Aku memang tidak pandai menari seperti hujan, tapi aku bisa
menemanimu bermain ludo. Saat kau mau tidur akan kuceritakan kisah cinta yang
lebih menyentuh dibandingkan kisahmu dengan hujan. Melindungimu dari tusukan
dingin angin di malam hari. Menghapus air matamu saat kau menangis, membelikan
es cream coklat kesukaanmu, mengantarmu ke sekolah. Tanyakan pada hujan apa dia
bisa melakukannya.
Hujan beranjak pergi, tapi kau masih
ingin menari. Kau membujuknya, merayunya dengan bernyanyi. Lagu yang sering
dilantunkan oleh orang-orang sepertimu yang sangat menginginkan hujan. Aku
sering mendengar lagu itu, tapi aku tidak tahu dari mana asalnya dan siapa
biang keladi yang kurang kerjaan menciptakan lagu itu.
Kau bersiap-siap memancungkan
bibirmu mengambil nada dasar menyanyikan lagu kesukaan hujan, tapi hujan tetap
ingin pergi. Kau masih membujuknya kembali bernyanyi dengan nada yang lebih
tinggi hampir mendekati sopran meski
terdengar fals, dan sepertinya kali
ini hujan sedang tak ingin mendengar kau bernyanyi.
Hujan sudah
pergi, kau masuk ke rumah. “Kenapa berhenti?” tanyaku. “Sukak ati akulah, angek
ati kau!” katamu. ***
Penulis,
adalah alumni Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Medan dan kini mengajar di Provinsi Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar