Sabtu, 11 Mei 2013

CORONG : T.K.W

kita akan rindu, tapi kapan-kapan
ada yang yang tak pernah selesai, memang
dari sebuah perjalanan
begitu juga semua yang kukerjakan
di dalam
(Dina Oktaviani, 2006 : 73)

S
AYA sengaja mengambil penggalan sajak milik Dina Oktaviani di atas untuk membahas tentang nasib Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita. Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2005 mengeluarkan fatwa, haram hukumnya bagi perempuan yang bekerja di luar negeri. Fatwa MUI ini serta-merta mengejutkan kita.
Betapa tidak? Selain fatwa itu baru dikeluarkan pada 2005 – sedangkan pengiriman tenaga kerja perempuan – trend disebutkan sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, bukankah masalah perempuan yang bekerja ini juga sudah lama diperdebatkan?
            Jumlah TKW yang bekerja di luar negeri sejak masa Orde Baru melampaui tenaga kerja pria. Prijono Tjiptoherijanto (1997) mencatat, pada 1983 jumlah TKW sebesar 11.995 orang atau 43,3% dari keseluruhan tenaga kerja Indonesia (TKI), sementara jumlah tenaga kerja pria 15.676 orang atau 56,7%.
Namun pada 1992, jumlah TKW jauh melampaui jumlah tenaga kerja pria, yaitu 107.142 orang untuk wanita dibandingkan dengan 51.608 orang pria. 
            Pelonjakan TKW itu sejalan pula dengan perkembangan ketenagakerjaan di dalam negeri. Partisipasi angkatan kerja perempuan  mengalami peningkatan yang cukup berarti dari 32,6% pada 1980 menjadi 39,6% (1985) dan selanjutnya menjadi 39,6% (1990).
Sementara itu, angkatan kerja pria pada periode sama meningkat dari 68,8% menjadi, 68,9% dan selanjutnya meningkat lagi menjadi 70,6% (ibid). Gambaran tersebut menunjukkan, angkatan kerja perempuan meningkat  jauh lebih tinggi daripada angkatan kerja pria dan kondisi ini diperkirakan akan tetap pada masa mendatang.
            Dalam konteks ini, apakah latar belakang perempuan harus bekerja dan meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga? Sejauh mana pula peranan kaum perempuan dalam ekonomi rumah tangga? Begitukah yang diharapkan Raden Ajeng Kartini ketika memerjuangkan emansipasi di negeri ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, lihatlah kutipan sajak di atas : “kita akan rindu, tapi kapan-kapan/…/”. Untuk itulah, saya pernah mengupas masalah ini melalui kajian Antropologi Ekonomi. Safri Sairin dkk (2002) mengatakan, Antropologi Ekonomi adalah salah satu bidang kajian antropologi sosial-budaya yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia. ***

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar