kita akan rindu, tapi kapan-kapan
ada yang yang tak pernah selesai, memang
dari sebuah perjalanan
begitu juga semua yang kukerjakan
di dalam
(Dina Oktaviani, 2006 : 73)
S
|
AYA sengaja mengambil penggalan sajak
milik Dina Oktaviani di atas untuk membahas tentang nasib Tenaga Kerja Wanita
(TKW) kita. Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2005
mengeluarkan fatwa, haram hukumnya bagi perempuan yang bekerja di luar negeri.
Fatwa MUI ini serta-merta mengejutkan kita.
Betapa tidak?
Selain fatwa itu baru dikeluarkan pada 2005 – sedangkan pengiriman tenaga kerja
perempuan – trend disebutkan sebagai
tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri sudah berlangsung sejak puluhan tahun
lalu, bukankah masalah perempuan yang bekerja ini juga sudah lama
diperdebatkan?
Jumlah
TKW yang bekerja di luar negeri sejak masa Orde Baru melampaui tenaga kerja
pria. Prijono Tjiptoherijanto (1997) mencatat, pada 1983 jumlah TKW sebesar
11.995 orang atau 43,3% dari keseluruhan tenaga kerja Indonesia (TKI),
sementara jumlah tenaga kerja pria 15.676 orang atau 56,7%.
Namun pada
1992, jumlah TKW jauh melampaui jumlah tenaga kerja pria, yaitu 107.142 orang
untuk wanita dibandingkan dengan 51.608 orang pria.
Pelonjakan
TKW itu sejalan pula dengan perkembangan ketenagakerjaan di dalam negeri.
Partisipasi angkatan kerja perempuan
mengalami peningkatan yang cukup berarti dari 32,6% pada 1980 menjadi
39,6% (1985) dan selanjutnya menjadi 39,6% (1990).
Sementara itu,
angkatan kerja pria pada periode sama meningkat dari 68,8% menjadi, 68,9% dan
selanjutnya meningkat lagi menjadi 70,6% (ibid).
Gambaran tersebut menunjukkan, angkatan kerja perempuan meningkat jauh lebih tinggi daripada angkatan kerja
pria dan kondisi ini diperkirakan akan tetap pada masa mendatang.
Dalam
konteks ini, apakah latar belakang perempuan harus bekerja dan meninggalkan
perannya sebagai ibu rumah tangga? Sejauh mana pula peranan kaum perempuan
dalam ekonomi rumah tangga? Begitukah yang diharapkan Raden Ajeng Kartini
ketika memerjuangkan emansipasi di
negeri ini?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, lihatlah kutipan sajak di atas : “kita akan rindu, tapi kapan-kapan/…/”. Untuk
itulah, saya pernah mengupas masalah
ini melalui kajian Antropologi Ekonomi. Safri Sairin dkk (2002) mengatakan,
Antropologi Ekonomi adalah salah satu bidang kajian antropologi sosial-budaya
yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar