Oleh: Irfan M. Nugroho
A
|
brams
mengatakan bahwa ada empat orientasi dalam menafsirkan sebuah karya sastra,
yaitu Mimetik, Pragmatik, Ekspresif, dan Objektif. Mimetik memandang karya
sastra sebagai tiruan dan cerminan alam maupun kehidupan. Kriteria yang
dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran representasi objek-objek yang
digambarkan atau pun yag hendaknya digambarkan (Pradopo, 2009:94).
Wiji Thukul penyair kelahiran Solo dari
keluarga tukang becak, banyak menulis puisi yang digunakan sebagai media kritik
terhadap pemerintah. Jika Chairil Anwar mengatakan dirinya sebagai binatang
jalang, lain halnya dengan Wiji Thukul. Dia menggambarkan dirinya sebagai
peluru.
Puisi adalah peluru bagi Wiji Thukul
yang digunakan sebagai media untuk melawan kesewenang-wenangan masa Orde Baru.
Ketika itu ruang gerak masyarakat memang sangat dibatasi. Pada zaman itu,
demokrasi sama berfungsi dan tidak dilaksanakan sama sekali. Sehingga, banyak
menimbulkan permasalahan politik.
Pada masa itu masyarakat beranggapan
bahwa tekanan yang diberikan pemerintah sangat kuat. Terutama, terlihat pada
perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang dan memberi kritik
terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan pemerintah. Hal ini
seperti yang ditulis Wiji Thukul di dalam puisinya yang berjudul “Tujuan Kita
Satu Ibu”, berikut kutipan puisinya:
…
Kutundukkan
kepalaku
Kepadamu
kawan yang dijebloskan
Ke
penjara Negara
Hormatku
untuk kalian
Sangat
dalam
Karena
kalian lolos dan lulus ujian
Ujian
pertama yang mengguncangkan
…
Puisi tersebut menggambarkan
kesewenangan yang diberikan pemerintah Orde Baru terhadap seseorang atau
kelompok tertentu. Kelompok tersebut bukanlah kelompok kosong yang didirikan
tanpa alasan.Tetapi, kelompok yang
menyuarakan aspirasi rakyat terhadap
pemerintah. Sedangkan pemerintah Orde Baru yang anti-kritik menganggap itu
sebagai pemberontakan terhadap pemerintah.
Puisi berjudul “Tujuan Kita Satu Ibu”,
ditulis oleh Wiji Thukul pada tahun 1997. Puisi yang membawa kita untuk
menyelami krisis politik yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Berikut puisi
Puisi Wiji Thukul tersebut yang dikutip secara utuh:
TUJUAN KITA SATU
IBU
kutundukkan kepalaku,
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu,
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
"a luta continua."
kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncangkan
kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-bu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu
tapi bukan hanya anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:pembebasan!
kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
4 Juli 1997
kutundukkan kepalaku,
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu,
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
"a luta continua."
kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncangkan
kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-bu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu
tapi bukan hanya anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:pembebasan!
kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
4 Juli 1997
Secara keseluruhan puisi tersebut
berbicara tentang pembebasan. Penggambaran Wiji Thukul pada puisi ini, mampu
merangkum ketakutan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tanpa harus
melukiskannya melalui simbol-simbol. Pilihan-pilihan kata yang sederhana dan
berani inilah yang justru mampu menggambarkan realitas betapa para penguasa begitu
kejam menekan rakyatnya sendiri.
Di sinilah terlihat keberanian seorang Wiji
Thukul untuk memberontak pada perilaku penguasa yang dianggapnya tidak adil atau tidak
berpihak terhadap rakyat kecil. Dia telah melepaskan peluru kritik dengan dada
yang terbuka kepada pemerintah.
Seandainya Wiji Thukul masih bergerak
pada proses kepenyairannya, mungkin sampai saat ini dia tetap menulis puisi
sebagai peluru untuk menggempur pemerintah. Mengingat, hingga saat ini
ketimpangan sosial di negara ini masih terjadi. Sebagai akibat dari kejahatan
korupsi yang telah menjadi budaya di kalangan pejabat pemerintahan. Sayangnya,
pada tahun 2000 Wiji Thukul dinyatakan
hilang. Hingga kini tak ada kabar nasibnya, entah masih hidup atau sudah tiada.
***
Irfan M. Nugroho, lahir di
Purwokerto, 16 Agustus 1992. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto
(UMP). Bergiat di Diskusi Angkringan
Malam Senin dan Komunitas Penyair
Institute. Aktif di Himpunan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar