Sabtu, 11 Mei 2013

ESAI : Wiji Thukul : Yang Hidup Sebagai Peluru, yang Hidup di Antara Kekuasaan


Oleh:  Irfan M. Nugroho


A
brams mengatakan bahwa ada empat orientasi dalam menafsirkan sebuah karya sastra, yaitu Mimetik, Pragmatik, Ekspresif, dan Objektif. Mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan dan cerminan alam maupun kehidupan. Kriteria yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran representasi objek-objek yang digambarkan atau pun yag hendaknya digambarkan (Pradopo, 2009:94).
Wiji Thukul penyair kelahiran Solo dari keluarga tukang becak, banyak menulis puisi yang digunakan sebagai media kritik terhadap pemerintah. Jika Chairil Anwar mengatakan dirinya sebagai binatang jalang, lain halnya dengan Wiji Thukul. Dia menggambarkan dirinya sebagai peluru.
Puisi adalah peluru bagi Wiji Thukul yang digunakan sebagai media untuk melawan kesewenang-wenangan masa Orde Baru. Ketika itu ruang gerak masyarakat memang sangat dibatasi. Pada zaman itu, demokrasi sama berfungsi dan tidak dilaksanakan sama sekali. Sehingga, banyak menimbulkan permasalahan politik.
Pada masa itu masyarakat beranggapan bahwa tekanan yang diberikan pemerintah sangat kuat. Terutama, terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang dan memberi kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan pemerintah. Hal ini seperti yang ditulis Wiji Thukul di dalam puisinya yang berjudul “Tujuan Kita Satu Ibu”, berikut kutipan puisinya:
Kutundukkan kepalaku
Kepadamu kawan yang dijebloskan
Ke penjara Negara
Hormatku untuk kalian
Sangat dalam
Karena kalian lolos dan lulus ujian
Ujian pertama yang mengguncangkan

Puisi tersebut menggambarkan kesewenangan yang diberikan pemerintah Orde Baru terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Kelompok tersebut bukanlah kelompok kosong yang didirikan tanpa alasan.Tetapi, kelompok  yang menyuarakan  aspirasi rakyat terhadap pemerintah. Sedangkan pemerintah Orde Baru yang anti-kritik menganggap itu sebagai pemberontakan terhadap pemerintah.
Puisi berjudul “Tujuan Kita Satu Ibu”, ditulis oleh Wiji Thukul pada tahun 1997. Puisi yang membawa kita untuk menyelami krisis politik yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Berikut puisi Puisi Wiji Thukul tersebut yang dikutip secara utuh:

TUJUAN KITA SATU IBU

kutundukkan kepalaku,
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu,
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
"a luta continua."

kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncangkan

kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-bu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu

tapi bukan hanya anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu

kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:pembebasan!

kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk

kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak

4 Juli 1997

Secara keseluruhan puisi tersebut berbicara tentang pembebasan. Penggambaran Wiji Thukul pada puisi ini, mampu merangkum ketakutan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tanpa harus melukiskannya melalui simbol-simbol. Pilihan-pilihan kata yang sederhana dan berani inilah yang justru mampu menggambarkan realitas betapa para penguasa begitu kejam menekan rakyatnya sendiri.
Di sinilah terlihat keberanian seorang Wiji Thukul untuk memberontak pada perilaku penguasa  yang dianggapnya tidak adil atau tidak berpihak terhadap rakyat kecil. Dia telah melepaskan peluru kritik dengan dada yang terbuka kepada pemerintah.
Seandainya Wiji Thukul masih bergerak pada proses kepenyairannya, mungkin sampai saat ini dia tetap menulis puisi sebagai peluru untuk menggempur pemerintah. Mengingat, hingga saat ini ketimpangan sosial di negara ini masih terjadi. Sebagai akibat dari kejahatan korupsi yang telah menjadi budaya di kalangan pejabat pemerintahan. Sayangnya, pada tahun  2000 Wiji Thukul dinyatakan hilang. Hingga kini tak ada kabar nasibnya, entah masih hidup atau sudah tiada. ***





Irfan M. Nugroho, lahir di Purwokerto, 16 Agustus 1992. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bergiat di Diskusi Angkringan Malam Senin dan Komunitas Penyair Institute. Aktif di Himpunan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar