Sabtu, 11 Mei 2013

Cerpen : CERMIN SERPIHAN WAKTU

Oleh : Muftirom Fauzi Aruan


D
i rumah kami terdapat cermin. Tapi tidak cermin biasa yang dipakai untuk melihat diri sendiri saat merapikan diri. Bukan. Cermin ini berbeda! Cermin ini tidak untuk diperjualbelikan. Begitu kata seorang nenek, yang entah siapa dia, entah dari mana datangnya.
Entah! Saat sore hari nenek itu tiba-tiba datang ke rumah kami, saat itu ibu dan aku berada di beranda rumah. Nenek itu jalannya membungkuk. Dengan pakaian lusuh, compang-camping dan rambutnya yang beruban tak tertutup sempurna oleh songkoknya. Rambutnya menyembul tak terapikan. Nenek itu menawarkan sebuah cermin, lebih tepatnya memberi cermin.
“Tidak, Nek. Ambillah uang ini, dan bawalah kembali cermin itu pulang,kata ibu
Ibu mengira nenek itu memberikan cermin hanya untuk dijadikan alasan mengemis. Tidak, ternyata tidak.
Dengan wajah yang selalu tersenyum, nenek itu pun menjulurkan cermin itu ke tangan ibu. Ibu menerimanya dengan rasa heran dan kikuk, karena salah menerka sifat nenek.
“Jaga baik-baik cermin ini. Jangan sampai pecah. Jangan sampai petir menyambar cermin ini. Bila hujan, tutupilah cermin ini dengan kain,begitu pesan nenek, dengan suara getaran khas seorang yang sudah lanjut usia.
“Keluarga kamu pantas menerima cermin itu! Cermin itu tercipta dari serpihan waktu.” Nenek itu membalikkan punggungnya. Pergi. Menelusuri jalanan yang sepi, perkebunan kelapa sawit.
Aku dan ibu terdiam. Saling pandang. Heran. Siapakah nenek itu? Kami tak pernah tahu.
***
Sejak hujan mengguyur listrik menjadi padam, telah menjadi kebiasaan di kampungku seperti ini, terkadang pun bila hujan tak turun, listrik juga dengan semaunya padam. Mungkin karena kampungku yang terlalu pelosok, menjadi penyebab listrik padam tanpa sebab. Aku pun tak tahu pada siapa harus mengadu tentang padamnya listrik, tak ada pegawai listrik di kampungku. Umumnya di kampungku warganya berprofesi sebagai pemanen buah kelapa sawit milik orang-orang kaya dari kota. Menjadi penjaga kebun kelapa sawit adalah pekerjaan ayahku.
Rumahku, rumah sebuah. Tak ada rumah di kanan-kiri dan depan-belakang. Di sekeliling rumahku hanya ada pohon-pohon sawit yang ditanam di kebun seluas 10 hektar. Di belakang rumahku ada parit buatan yang sengaja dibuat untuk menyuburkan pohon-pohon kelapa sawit seluas 10 hektar itu. Bila hujan deras seperti ini, bisa dipastikan air paritnya itu mengalir deras, lumpur-lumpur yang mengendap di dasarnya terbawa arus, airnya pun menjadi hitam pekat. Di siang hari sering kulihat fenomena alam seperti itu. Di malam hari seperti ini tak mungkin aku melihatnya, aku takut. Sungguh takut.
Dalam waktu 2 kali sebulan, kebun kelapa sawit 10 hektar ini dipanen. Setelah dipanen dan dijual barulah ayah mendapat upah dari menjaga kebun kelapa sawit ini.  
Sorenya, ayah dan ibuku pergi ke kecamatan untuk berbelanja kebutuhan dapur. Sudah pasti kecamatan itu jauh dari kampungku, aku pun tak mau ikut ke kecamatan- aku ingin ikut tapi ayah melarangku. Pernah aku menangis sejadinya untuk bisa ikut berbelanja di kecamatan, tapi kata ayah kendaraannya tak muat untuk dinaiki 3 orang setelah disemaki barang-barang belanjaan seperti beras 10 Kg, jagung pakan ternak dan lain sebagainya.
Malam ini ayah dan ibuku belum juga pulang ke rumah, mungkin karena hujan, dikhawatirkan belanjaan yang dibeli basah.
Aku sendirian di rumah, tak ada siapa-siapa. Aku bisa mendengar jelas derasnya suara air yang mengalir di parit belakang rumahku. Bau lumpurnya pun menyeruak sampai hidungku. Dedaunan kelapa sawit bekisur dihembus angin sayup-sayup kudengar. Salakan si Jumbo anjing yang sering menemani ayahku untuk mengitari kebun kelapa sawit di malam hari pun membuat bulu kudukku berdiri. Angin yang berhembus masuk ke dalam rumah melewati ventilasi meniup sebuah lilin yang kunyalakan. Seolah angin ingin mematikan lilin yang kupandangi sedari tadi, mematikan pandanganku, mematikan khayalan yang berkelebat di pikiranku.
Duuuerrrrrrr!!! Suara petir menyambar deras sampai ke telingaku. Aku pun terhenyak dari khayalanku. Aku teringat sesuatu. Kuedarkan pandangan, meraba-raba di mana letak cermin berada. Bila hujan lalu petir menyambar, cermin harus ditutup dengan kain selendang jangan sampai terbuka seperti memandang dan melawan petir. Bisa-bisa petir menyambar cermin itu, lalu pecah berkeping-keping. Seperti pesan nenek itu. Cermin tidak boleh pecah.
Kupegang tempurung kelapa yang di atasnya terdapat lilin yang menyala, tangan kiriku menggenggam kain selendang. Aku berjalan mengarah pada cermin yang masih terbuka untuk segera kututup kaca itu dengan kain selendang panjang.  
            Sesampainya di depan cermin yang dipajang di dinding, aku segera menutupi cermin dengan kain selendang. Tampak di cermin itu lelaki berkulit hitam legam, kumis tipis di atas bibirnya yang tebal. Mataku menatap tajam mata lelaki yang beranjak dewasa itu, jauh kumenerawang ke dalam matanya. Mata yang besar semakin membesar dan saling beradu. Lilin itu kudekatkan ke mataku, kira-kira jaraknya 5 cm untuk meyakinkan bahwa lelaki di dalam cermin itu adalah aku. Kuperhatikan bola mata yang hitam jauh kuterawang sampai dalam, dalam, lebih dalam, kulihat seperti ada sebuah gua yang menghubungkan masa sekarang dengan masa lalu, menghubungkan masa sekarang dengan masa depan. Uhh. Bau hangus. Bulu mataku terbakar lilin.
            Suara sepeda motor ayah terdengar jelas. Perlahan-lahan aku berjalan ke arah pintu agar lilin tak mati. Lalu membuka pintu.
            “Masih hujan, Yah! Tapi kenapa ayah pulang?”
            Kulihat ayah pulang sendirian tanpa ibu, tanpa barang belanjaan.
            “Ibu di mana, Yah?”
            Ayah tak menjawab. Ayah basah kuyup. Bibirnya bergetar dan membiru. Nyelonong masuk ke dalam rumah lalu ke dapur. Kuikuti ayah dari belakang. Ayah mengambil sebilah samurai dari lemari perkakas.
            “Ada apa, Yah?”
Pikiranku aneh. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ayah kembali ke luar rumah, melepaskan ikatan si Jumbo dari sebuah tiang. Lalu ayah memegang tali ikatan si Jumbo, berjalan ke belakang rumah. Ayah berjalan melewati titi di bawahnya parit yang airnya mengalir deras.
“Tunggu, Yah. Tunggu.”
Aku berlari mengejar ayah. Masuk jauh lebih dalam, ke dalam kebun kelapa sawit 10 hektar. Gelap. Tapi mata masih bisa menerawang. Kerlipan cahaya samurai ayah yang terlihat sempurna. Aku berjalan mengikuti ayah, entah sampai di mana kami ini. Aku tak tahu.
Bajuku kini talah basah kuyup. Badanku menggigil. Tapi langkahku tak surut untuk mengikuti ayah. Salakan si Jumbo menderu panjang, seperti melihat iblis bermuka seribu. Di depan kami sebuah rumah tua peninggalan Belanda. Di depan pintu rumah itu bediri dua orang yang memakai mantel hujan, seperti pengawal. Salakan si Jumbo, mengalihkan perhatian  mereka, lalu memandang ke arah kami. Mereka berlari sekencangnya ke arah kami sambil menggenggam pisau. Terjadi perkelahian antara ayah dan 2 orang bemantel hujan itu. Dengan pasti ayah memenggal kedua kepala bermantel itu dengan samurai. Darah bercucuran. Jumbo mencium, mengendus dua kepala bermantel hujan yang telah terpisah dari tubuhnya.
Aku takut sekali melihat kejadian itu. Aku tak yakin kalau ayah senekad itu memenggal kepala sampai terpisah dari tubuhnya.
Ayah mendobrak pintu. Terbuka. Lalu masuk. Ada hampir 10 orang  bermantel hujan di dalam rumah itu. Perkelahian pun tak terelakkan, aku memerhatikan dari balik meja panjang. Secara membabi buta ayah memenggal 10 kepala orang-orang bermantel hujan itu dengan samurai yang masih melekat darah. Si Jumbo kembali menyalak panjang, menyekam gelapnya malam, gelapnya rumah yang hanya diterangi beberapa obor.
 Ayah membuka pintu sebuah kamar. Aku berlari mengikuti ayah masuk ke dalam kamar. Kulihat ayah membuka tali temali yang melilit tubuh ibu yang duduk di atas sebuah kursi. Pasti orang-orang bermantel hujan itu yang telah menyekap ibu. Ayah memeluk ibu. Berjalan ke luar kamar, lalu ke luar dari rumah tua itu. Salakan si Jumbo kembali memecah gelapnya malam.
Hujan telah reda. Kami berjalan dengan jalan yang sama saat kami ke rumah tua tadi. Kami berjalan menuju rumah. Jalanan ini menjadi becek. Kakiku yang lengket di tanah liat, memerlambat jalanku. Dari belakang punggung ayah dan ibu, kulihat ayah memeluk ibu sepanjang jalan, dan si Jumbo mengekor dari belakang mereka.
Sepanjang jalan itu pula aku berpikir keras, tentang peristiwa tadi. Aku tak pernah dengar dari mulut ayah atau ibu, kalau keluarga kecil kami memiliki musuh. Kami juga tak memiliki harta yang melimpah untuk diperebutkan oleh penjahat. Mungkin juga ayah dan ibu merahasiakan hal ini padaku, karena aku tak perlu tahu tentang hal ini. Mungkin.
Sesampainya di depan rumah ayah membuka pintu. Masuk, kembali keluar dan mengikat si Jumbo di sebuah tiang. Langkah kakiku pun kupercepat untuk sampai ke rumah. Braaak! Ayah menutup pintu. Aku mengetuk-ngetuk pintu. Mendorong pintu sekuat tenaga, tapi ayah tetap tak membukakan pintu untukku. Sejadinya si Jumbo menyalak berulang-ulang kali dan memandangku tajam.    
            Malam telah larut. Aku duduk di depan pintu yang terkunci, aku pasrah. Niatku, malam ini aku tidur di beranda rumah.
            Cahaya lampu sepeda motor menyilaukan mataku. Sepertinya yang kulihat adalah ayah dan ibuku. Lalu di dalam rumah?  batinku. Pintu rumah terbuka. Ada apa ini sebenarnya. Aku membuka pintu-seseorang yang menyerupaiku membuka pintu. Aku melihat “aku” yang membantu ayah dan ibu mengangkat barang belanjaan ke dalam rumah. Mereka berlalu lalang di depanku, tapi tak ada yang mau peduli padaku. Tak ada yang melihatku. Hanya si Jumbo yang menatapku tajam sedari tadi.
            Aku masuk ke dalam rumah, berlari mengarah pada sebuah cermin. Kudekatkan lilin yang menyala itu ke mataku, kira-kira jaraknya 5 cm. Kupandangi mataku sampai jauh ke dalam, sampai aku merasa masuk ke dalam sebuah gua. Hampa.
Tin, tin, tin, tin! Suara klakson sepeda motor ayah menderu di luar rumah. Aku tersentak. Lilin di tangan kananku, kain selendang di tangan kiriku. Berlari aku membuka pintu. Ayah dan ibu baru pulang dari belanja. Si Jumbo mengibaskan bulunya dengan leher diikat tali yang menghubungkan ke sebuah tiang. Gerimis reda. Hanya angin yang meniup sesekali.
“Ayah, kenapa lama sekali?”
“Maafkan ayah, Nak. Dalam perjalanan pulang tadi ada rampok. Ayah telah bereskan rampok itu.”
“Aneh!” kataku sambil menutup pintu. ***
 
Medan, November-Desember 2012


Muftirom Fauzi Aruan adalah anggota FLP. Lahir di Labuhanhaji, 15 Januari 1991. Alumni Fakultas Tarbiyah IAIN-SU.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar