M
|
ustika
Kiasan,
adalah sebuah buku yang berisikan Antologi Puisi Penyair Perempuan Sumatera
Bagian Utara. Menelisik lebih dalam, antologi ini adalah kumpulan puisi perempuan-perempuan
Sumatera Bagian Utara pada tahun 1919-1941, yang termuat di dalam koran-koran
Sumatera Bagian Utara pada masa itu.
Jika
keberadaan puisi-puisi tersebut telah ada sejak tahun 1919 di Sumatera Utara,
maka bagaimana dengan sejarah sastra Indonesia yang selama ini dikenal mulai lahir
pada tahun 1920-an. Disebutkan dengan periode Pujangga Baru. Satu kejutan dalam
sejarah sastra Indonesia, ternyata di Medan atau Sumatera Bagian Utara penyair
perempuan sudah ada sebelum zaman Pujangga Baru.
Menurut
Dr. Ichwan Azhari, sastra Indonesia lahir pada Pujangga Baru itu salah. “Karena
di Medan Sumatera Utara sastra sudah muncul sebelum tahun 1920,” katanya selaku
salah satu narasumber Peluncuran Buku Antologi Puisi Perempuan (1919-1945) di
UMN Al-Washliyah Medan, Kamis (21/11).
Pembuktian hal ini, tidak semata-mata tanpa
ada bukti yang jelas. Melalui “Mustika Kiasan”, Pidia Amelia telah menemukan
keberadaan puisi-puisi tersebut dan mengumpulkannya menjadi sebuah antologi.
Puisi-puisi itu dirangkum bersumber dari koran lama Medan atau Sumatera Bagian
Utara.
Di dalam
buku yang berjudul Mustika Kiasan tersebut, koran-koran lama yang tercantum di dalamnya
antara lain koran Perempoean Bergerak,
Soera Ibu, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin Karo,
Asahan, Moetiara, Ichtiar, Bintang Karo, dan masih banyak lainnya yang
diterbitkan di Medan atau Sumatera Bagian Utara pada masa itu.
Siti
Alima “Orgaan oentoek Perempoean Bergerak”, Oepik Amin “Adjakan”, Chadidja, dkk
“Tjoemboean”, Boenga Rebi-Rebi “1924-1925”, ALIM “Moestika Kiasan”, P. Boroe
Bangun “Doenia Isteri”, R. Moen’im “Pertji Permenungan”, Anggia Murni “Doa Ku”,
Noersima. K “Soerja” dan “Tepian Mandiku”, Boroe Marpaung “Termenoeng”, dan I’Mah
“Goetji Asmara” merupakan penyair-penyair wanita Sumatera Bagian Utara beserta judul
puisinya yang termuat dalam koran-koran lama tersebut.
Pidia
Amelia, mahasiswi Alumni Unimed Jurusan Pendidikan Sejarah, menyebutkan dalam
prolog Mustika Kiasan, antologi puisi ini tidak mendasarkan pada standar
mutu-mutu puisi tersebut, seperti yang dilakukan HB. Jassin, Ajib Rosidi,
Korrie Layun Rampan, dan Pamusuk Eneste. Hanya saja baginya yang penting adalah
mengumpulkan dan menerbitkan ulang sepenggal sejarah sastra yang pernah ada di
Sumatera Utara yang selama ini terlupakan.
Menurut
Damiri Mahmud dalam kata pengantarnya pada buku “Mustika Kiasan”, “Fenomena ini
sungguh luar biasa dan tak menduga bahwa tempo-doeloe Medan telah begitu maju
dan modern! Percaya diri ini dibangkitkan oleh hanya satu tumpukan koran bekas
yang dengan tekun ditumpukan oleh seorang Ichwan Azhari,”
Ichwan
Azhari, sebagai salah seorang sejarawan di Sumatera Utara, mengumpulkan
koran-koran lama itu yang sekarang berada di Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu-Ilmu
Sosial (PUSSIS) Unimed, selama ini juga telah menjadi rujukan mahasiswa
melakukan penelitian sejarah.
Sastra
adalah bagian dari sejarah Indonesia, sajak-sajak sebagai kontribusi yang besar
bagi kemerdekaan Indonesia. Tetapi sastra juga memiliki sejarah tersendiri
dalam perkembangannya. Priodenya tidak sekadar ditulis atau direka-reka untuk
menentukan awal kemunculan sastra Indonesia ini.
Saat
ini pemahaman sejarah sastra Indonesia, lebih pupoler dan sangat dikenal bahwa
Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebagai pelopor titik awal keberadaan sastra
Indonesia sejak tahun 1920 ke atas. Baik itu kalangan umum, guru bahasa dan
sastra, maupun dosen bahasa dan sastra telah mengajarkan kepada siswa atau
mahasiswanya mengenai sejarah sastra itu.
Apabila melihat keberadaan sastra di Medan
atau Sumatera Bagian Utara ini, termasuk didalamnya Sumatera Utara dan Aceh
karena pada awal kemerdekaan Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera
Utara, puisi-puisi perempuan itu telah ada sebelum tahun 1920-an. Dan Sumatera
Bagian Utara adalah bagian dari nusantara. Apakah sejarah sastra Indonesia
harus ditulis ulang?
“Jangan
ikuti ajaran sejarah sastra Indonesia yang sesat itu,” ungkap Ichwan Azhari
dengan tegas, kepada mahasiswa yang menghadiri acara peluncuran buku antologi
puisi perempuan (1919-1945) tersebut. Karena Mustika Kiasan telah
membuktikannya lewat bentuk yang nyata yaitu koran-koran lama yang dapat
dilihat di PUSSIS Unimed.
Acara peluncuran buku antologi puisi perempuan
(1919-1945) bertema “Mestika Kiasan”
Menyibak Peta Sastra Masa Lalu Indonesia, menampilkan narasumber sejarawan Sumatera
Utara Dr. Ichwan Azhari, Sastrawan Sumatera Utara Dr. Shafwan Hadi Umri dan
Damiri Mahmud. *** (Fela Felia
Batubara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar