Rabu, 11 Desember 2013

SEPENGGAL SEJARAH SASTRA DALAM “MUSTIKA KIASAN” (Sabtu 30 November 2013)






M
ustika Kiasan, adalah sebuah buku yang berisikan Antologi Puisi Penyair Perempuan Sumatera Bagian Utara. Menelisik lebih dalam, antologi ini adalah kumpulan puisi perempuan-perempuan Sumatera Bagian Utara pada tahun 1919-1941, yang termuat di dalam koran-koran Sumatera Bagian Utara pada masa itu.
            Jika keberadaan puisi-puisi tersebut telah ada sejak tahun 1919 di Sumatera Utara, maka bagaimana dengan sejarah sastra Indonesia yang selama ini dikenal mulai lahir pada tahun 1920-an. Disebutkan dengan periode Pujangga Baru. Satu kejutan dalam sejarah sastra Indonesia, ternyata di Medan atau Sumatera Bagian Utara penyair perempuan sudah ada sebelum zaman Pujangga Baru.
            Menurut Dr. Ichwan Azhari, sastra Indonesia lahir pada Pujangga Baru itu salah. “Karena di Medan Sumatera Utara sastra sudah muncul sebelum tahun 1920,” katanya selaku salah satu narasumber Peluncuran Buku Antologi Puisi Perempuan (1919-1945) di UMN Al-Washliyah Medan, Kamis (21/11).
             Pembuktian hal ini, tidak semata-mata tanpa ada bukti yang jelas. Melalui “Mustika Kiasan”, Pidia Amelia telah menemukan keberadaan puisi-puisi tersebut dan mengumpulkannya menjadi sebuah antologi. Puisi-puisi itu dirangkum bersumber dari koran lama Medan atau Sumatera Bagian Utara.
            Di dalam buku yang berjudul Mustika Kiasan tersebut, koran-koran lama yang tercantum di dalamnya antara lain koran Perempoean Bergerak, Soera Ibu, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin Karo, Asahan, Moetiara, Ichtiar, Bintang Karo, dan masih banyak lainnya yang diterbitkan di Medan atau Sumatera Bagian Utara pada masa itu.
            Siti Alima “Orgaan oentoek Perempoean Bergerak”, Oepik Amin “Adjakan”, Chadidja, dkk “Tjoemboean”, Boenga Rebi-Rebi “1924-1925”, ALIM “Moestika Kiasan”, P. Boroe Bangun “Doenia Isteri”, R. Moen’im “Pertji Permenungan”, Anggia Murni “Doa Ku”, Noersima. K “Soerja” dan “Tepian Mandiku”, Boroe Marpaung “Termenoeng”, dan I’Mah “Goetji Asmara” merupakan penyair-penyair wanita Sumatera Bagian Utara beserta judul puisinya yang termuat dalam koran-koran lama tersebut.
            Pidia Amelia, mahasiswi Alumni Unimed Jurusan Pendidikan Sejarah, menyebutkan dalam prolog Mustika Kiasan, antologi puisi ini tidak mendasarkan pada standar mutu-mutu puisi tersebut, seperti yang dilakukan HB. Jassin, Ajib Rosidi, Korrie Layun Rampan, dan Pamusuk Eneste. Hanya saja baginya yang penting adalah mengumpulkan dan menerbitkan ulang sepenggal sejarah sastra yang pernah ada di Sumatera Utara yang selama ini terlupakan.
            Menurut Damiri Mahmud dalam kata pengantarnya pada buku “Mustika Kiasan”, “Fenomena ini sungguh luar biasa dan tak menduga bahwa tempo-doeloe Medan telah begitu maju dan modern! Percaya diri ini dibangkitkan oleh hanya satu tumpukan koran bekas yang dengan tekun ditumpukan oleh seorang Ichwan Azhari,”
            Ichwan Azhari, sebagai salah seorang sejarawan di Sumatera Utara, mengumpulkan koran-koran lama itu yang sekarang berada di Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, selama ini juga telah menjadi rujukan mahasiswa melakukan penelitian sejarah.
            Sastra adalah bagian dari sejarah Indonesia, sajak-sajak sebagai kontribusi yang besar bagi kemerdekaan Indonesia. Tetapi sastra juga memiliki sejarah tersendiri dalam perkembangannya. Priodenya tidak sekadar ditulis atau direka-reka untuk menentukan awal kemunculan sastra Indonesia ini.
            Saat ini pemahaman sejarah sastra Indonesia, lebih pupoler dan sangat dikenal bahwa Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebagai pelopor titik awal keberadaan sastra Indonesia sejak tahun 1920 ke atas. Baik itu kalangan umum, guru bahasa dan sastra, maupun dosen bahasa dan sastra telah mengajarkan kepada siswa atau mahasiswanya mengenai sejarah sastra itu.
             Apabila melihat keberadaan sastra di Medan atau Sumatera Bagian Utara ini, termasuk didalamnya Sumatera Utara dan Aceh karena pada awal kemerdekaan Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara, puisi-puisi perempuan itu telah ada sebelum tahun 1920-an. Dan Sumatera Bagian Utara adalah bagian dari nusantara. Apakah sejarah sastra Indonesia harus ditulis ulang?
            “Jangan ikuti ajaran sejarah sastra Indonesia yang sesat itu,” ungkap Ichwan Azhari dengan tegas, kepada mahasiswa yang menghadiri acara peluncuran buku antologi puisi perempuan (1919-1945) tersebut. Karena Mustika Kiasan telah membuktikannya lewat bentuk yang nyata yaitu koran-koran lama yang dapat dilihat di PUSSIS Unimed.
             Acara peluncuran buku antologi puisi perempuan (1919-1945)  bertema “Mestika Kiasan” Menyibak Peta Sastra Masa Lalu Indonesia, menampilkan narasumber sejarawan Sumatera Utara Dr. Ichwan Azhari, Sastrawan Sumatera Utara Dr. Shafwan Hadi Umri dan Damiri Mahmud. *** (Fela Felia Batubara)
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar