K
|
ehadiran Taman Ismail Marzuki dan terbentuknya Dewan
Kesenian Jakarta membuat para penggiat teater bergairah. Lahirlah tokoh-tokoh
seperti Teguh Karya, W.S. Rendra, Arifin C. Noor, dsb. Mereka adalah orang-orang yang dianugerahi
bakat-bakat istimewa pada bidangnya. Penonton mendapat tempat di gedung baru
itu, tetapi yang berkembang dan menjadi perhatian utama justru jatuh kepada
peran sutradara.
Dari tangan-tangan mereka, temuan-temuan artistik
mencapai puncaknya. Unsur visual panggung mencapai kemajuan yang sangat
signifikan. Peran sutradara yang begitu besar serta fokus perhatian mereka
kurang-lebih hanya pada persoalan artistik, menjadikan keadaan berbalik. Aktor tidak mendapat tempat sebagai instrumen
teater, apalagi dengan kehadiran
penonton.
Definisi teater sutradara sudah menjadi obrolan
para pakar teater dari waktu ke waktu. Pengaruh sutradara yang begitu besar
menjadi kekhawatiran lain dari para pemerhati teater. Teater Indonesia menjadi
elitis dalam arti jauh dari jangkauan para penontonnya (masyarakat). Sutradara
asyik dengan eksperimennya masing-masing.
Tidak dimungkiri memang kalau gedung-gedung macam
Teater Kecil masih banyak disambangi penonton, tetapi mereka hanya sekadar
datang. Orang-orang teaternya sendiri lebih sibuk memikirkan bentuk apa yang
paling mutakhir untuk
dipentaskan.
Ikranegara menandai generasi tersebut sebagai
generasi teater mutakhir Indonesia. Tempat para penggiat teater
mencampur-campur bahan yang datang dari arah manapun (tradisional maupun Barat)
untuk menemukan bentuk yang paling rumit dan eksotis menurut mereka. Asrul Sani
justru sangat prihatin dengan pencarian yang membabi-buta ini. Dia khawatir
bahwa kepentingan teater hanya sebatas mencari bentuk yang paling mutakhir yang
membungkus isi. Sementara isi yang dibalut bentuk itu sama sekali tidak ada.
Wajar apabila orang-orang teater mencari bentuk
yang paling sempurna sejauh masih memiliki isi yang jelas. Ikranegara (Teater Indonesia: Konsep, Sejarah,
Problema. 1999: 227) sendiri mengonkretkan bentuk ini dengan tujuh kata
kunci, "non-realistik", "eksperimen",
"alternatif", "akar budaya", "wajah Indonesia",
"bhinneka/pluralisme", dan "polyphony". Tujuh kata kunci
itu menjadi pijakan para ekperimentalis untuk mengembangkan gaya
pertunjukannya.
Dengan maraknya pengucapan bentuk teater
mutakhir, teater Indonesia menemukan pengakuannya di kancah percaturan teater
dunia. Barat yang tadinya melihat teater Indonesia hanyalah bayang-bayang
teater Barat, justru terkesan dengan temuan-temuan yang kini menjadi identitas
teater Indonesia. Menggabungkan teater yang bersifat tradisional seperti tari
topeng Bali dengan idiom-idiom teater
Barat.
Analisis Asrul Sani juga tidak sepenuhnya salah.
Dia melihat bahwa bentuk eksperimentasi yang membabibuta hanya akan
memenjarakan seniman teater. Perkembangan teater di Indonesia sendiri sangat
dipengaruhi oleh situasi zaman tempat teater itu berkembang. Jika situasi zaman
tidak terlalu disikapi dengan kedalaman, bisa dipastikan bahwa pada sebagian
kelompok teater masa itu, bentuk tidak lain adalah manipulasi artistik. Dia
tidak hadir karena keharusan yang lahir dari kehidupan batin yang dalam. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar