Kamis, 18 Juli 2013

Teater Sutradara (Sabtu, 13 Juli 2013)




K
ehadiran Taman Ismail Marzuki dan terbentuknya Dewan Kesenian Jakarta membuat para penggiat teater bergairah. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Teguh Karya, W.S. Rendra, Arifin C. Noor, dsb. Mereka adalah orang-orang yang dianugerahi bakat-bakat istimewa pada bidangnya. Penonton mendapat tempat di gedung baru itu, tetapi yang berkembang dan menjadi perhatian utama justru jatuh kepada peran sutradara.
Dari tangan-tangan mereka, temuan-temuan artistik mencapai puncaknya. Unsur visual panggung mencapai kemajuan yang sangat signifikan. Peran sutradara yang begitu besar serta fokus perhatian mereka kurang-lebih hanya pada persoalan artistik, menjadikan keadaan berbalik. Aktor tidak mendapat tempat sebagai instrumen teater, apalagi dengan kehadiran penonton.            
Definisi teater sutradara sudah menjadi obrolan para pakar teater dari waktu ke waktu. Pengaruh sutradara yang begitu besar menjadi kekhawatiran lain dari para pemerhati teater. Teater Indonesia menjadi elitis dalam arti jauh dari jangkauan para penontonnya (masyarakat). Sutradara asyik dengan eksperimennya masing-masing.
Tidak dimungkiri memang kalau gedung-gedung macam Teater Kecil masih banyak disambangi penonton, tetapi mereka hanya sekadar datang. Orang-orang teaternya sendiri lebih sibuk memikirkan bentuk apa yang paling mutakhir untuk dipentaskan.           
Ikranegara menandai generasi tersebut sebagai generasi teater mutakhir Indonesia. Tempat para penggiat teater mencampur-campur bahan yang datang dari arah manapun (tradisional maupun Barat) untuk menemukan bentuk yang paling rumit dan eksotis menurut mereka. Asrul Sani justru sangat prihatin dengan pencarian yang membabi-buta ini. Dia khawatir bahwa kepentingan teater hanya sebatas mencari bentuk yang paling mutakhir yang membungkus isi. Sementara isi yang dibalut bentuk itu sama sekali tidak ada.  
Wajar apabila orang-orang teater mencari bentuk yang paling sempurna sejauh masih memiliki isi yang jelas. Ikranegara (Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. 1999: 227) sendiri mengonkretkan bentuk ini dengan tujuh kata kunci, "non-realistik", "eksperimen", "alternatif", "akar budaya", "wajah Indonesia", "bhinneka/pluralisme", dan "polyphony". Tujuh kata kunci itu menjadi pijakan para ekperimentalis untuk mengembangkan gaya pertunjukannya.            
Dengan maraknya pengucapan bentuk teater mutakhir, teater Indonesia menemukan pengakuannya di kancah percaturan teater dunia. Barat yang tadinya melihat teater Indonesia hanyalah bayang-bayang teater Barat, justru terkesan dengan temuan-temuan yang kini menjadi identitas teater Indonesia. Menggabungkan teater yang bersifat tradisional seperti tari topeng Bali dengan idiom-idiom teater Barat.            
Analisis Asrul Sani juga tidak sepenuhnya salah. Dia melihat bahwa bentuk eksperimentasi yang membabibuta hanya akan memenjarakan seniman teater. Perkembangan teater di Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh situasi zaman tempat teater itu berkembang. Jika situasi zaman tidak terlalu disikapi dengan kedalaman, bisa dipastikan bahwa pada sebagian kelompok teater masa itu, bentuk tidak lain adalah manipulasi artistik. Dia tidak hadir karena keharusan yang lahir dari kehidupan batin yang dalam. ***
      


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar