Kamis, 18 Juli 2013

SASTRA ITU JAGAD RAYA: SIAPA MAMPU MEMBATASINYA? (Sabtu, 6 Juli 2013)

Oleh : Reny Octaviani


S
atu kritik sastra umum yang disampaikan oleh Rizka Amalia dalam tulisannya yang dimuat di Waspada Minggu (8 Mei 2013) memberikan satu kesan tersendiri bagi saya. Tulisan dengan judul “Mengkritisi Konsep Sastra (Anak) Dani Sukma AS” tanpa sengaja membuat saya menarik-ulurkan logika, kadang luas dan kadang sempit. Pembicaraan perihal konsep sastra tampaknya memang agak sensitif di kalangan mereka yang mengakui dirinya “mengerti” sastra. Ini adalah pengkritisan sengit dalam area membatasi produk sastra.
Sinematografi bukan karya sastra? Sastra dalam bentuk tulisan (puisi, drama, prosa) biasa disebut karya sastra, sedangkan ketika tulisan itu dipertunjukkan atau disuguhkan dengan cara lain maka berubahlah ia menjadi seni sastra. “Karya sastra” dengan “seni sastra” tetap  sastra
Sebagaimana sebuah sinematografi dengan segala hasil visualisasinya pasti berawal dari naskah yang merupakan karya sastra. Bukankah aktivitas visualisasi puisi, dramatisasi puisi, pementasan teater, adalah sesuatu yang sebenarnya juga memuat dan memanfaatkan beberapa unsur dalam sinematografi?
Sastra sendiri merupakan produk kolektif  yang secara mutlak terlahir dari proses dan sejarah yang tidak sederhana. Sastra sebelum berada pada posisi “sebagai tulisan” sejatinya telah melewati rute panjang yang awalnya tidak menjamah “dunia tulis” sama sekali. Sastra lama sendiri, harus berkembang tanpa tulisan. Ia terseret bersama arus jaman hingga pada akhirnya diabadikan dalam bentuk tulisan agar keberadaannya akan terus ada.
Drama juga demikian. Dalam kajian telaah drama yang sempat membahas sejarah drama, di tahun yang tidak diketahui drama sebenarnya telah ada dalam bentuk ritualisasi. Artinya, tidak ada satu alasan pun bagi siapapun yang bisa membatasi sastra harus sampai di mana. Sastra bergerak dari titik nol menjadi sepuluh, pertanyaannya, salahkan kalau sekarang kemungkinan sastra sedang bergerak ke titik yang lebih dari sepuluh?
Juga sangat mengherankan, kalau Rizka Amalia menganggap bahwa antara drama dan teater yang posisinya sebagai karya sastra dan karya pentas dianggap menggeser posisi karya sastra menjadi produk alih wahana. Padahal yang sebenarnya diamati bukanlah soal pergeseran, melainkan bagaimana kesejajaran antara karya sastra dan karya pentas mampu hidup berdampingan dan menjadi satu-kesatuan yang semakin memperkaya sastra.
Tapi, saya kira pembatasan atas segala yang sebenarnya wajar dan sah-sah saja hanya merupakan masa transisi atas kebaharuan yang mungkin saja muncul dalam ranah sastra. Semua hanya membutuhkan satu perwujudan yang orang-orang sebut sebagai “kesepakatan”. Karena selalu saja suara mayoritas menjadi dewa diantara minoritas, meskipun belum tentu mayoritas itu yang paling tepat.
Sama seperti ketika banyak orang mengonsepkan sastra sebagai “tulisan”, orang-orang yang tak membiarkan dirinya berpikir lebih lama pasti akan menjadi pengikut yang penurut atas konsep itu.
Memberikan batas-batas terhadap cara pikir orang lain menurut saya merupakan kegiatan yang mampu melumpuhkan mental, namun parahnya lagi pelaku sendiri bagi saya adalah orang yang sesat pikir, terjebak dalam kedangkalan di depan mata. Di tengah kaum lainnya mencoba memandang sesuatu secara lebih luas, mengutarakan soal isi atas sesuatu itu melalui sebuah manifestasi, maka sesungguhnya keberbedaan dan kekontraan itu akan ada.
Hukum gerak (dialektika) sejatinya tak pernah memungkiri adanya proses perubahan kualitas atas keadaan (yang ada dan belum ada) melalui tesis yang akan bertubrukan dengan antitesis, lalu melebur menjadi sintesis. Begitulah selanjutnya. Begitu juga  “sastra”. ***


Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU Medan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar