Oleh : Reny
Octaviani
S
|
atu kritik
sastra umum yang disampaikan oleh Rizka Amalia dalam tulisannya yang dimuat di Waspada Minggu (8 Mei 2013) memberikan
satu kesan tersendiri bagi saya. Tulisan dengan judul “Mengkritisi Konsep
Sastra (Anak) Dani Sukma AS” tanpa sengaja membuat saya menarik-ulurkan logika,
kadang luas dan kadang sempit. Pembicaraan perihal konsep sastra tampaknya
memang agak sensitif di kalangan mereka yang mengakui dirinya “mengerti” sastra.
Ini adalah pengkritisan sengit dalam area membatasi produk sastra.
Sinematografi
bukan karya sastra? Sastra dalam bentuk tulisan (puisi, drama, prosa) biasa
disebut karya sastra, sedangkan ketika tulisan itu dipertunjukkan atau
disuguhkan dengan cara lain maka berubahlah ia menjadi seni sastra. “Karya
sastra” dengan “seni sastra” tetap
sastra
Sebagaimana
sebuah sinematografi dengan segala hasil visualisasinya pasti berawal dari
naskah yang merupakan karya sastra. Bukankah aktivitas visualisasi puisi, dramatisasi
puisi, pementasan teater, adalah sesuatu yang sebenarnya juga memuat dan
memanfaatkan beberapa unsur dalam sinematografi?
Sastra sendiri
merupakan produk kolektif yang secara
mutlak terlahir dari proses dan sejarah yang tidak sederhana. Sastra sebelum
berada pada posisi “sebagai tulisan” sejatinya telah melewati rute panjang yang
awalnya tidak menjamah “dunia tulis” sama sekali. Sastra lama sendiri, harus
berkembang tanpa tulisan. Ia terseret bersama arus jaman hingga pada akhirnya
diabadikan dalam bentuk tulisan agar keberadaannya akan terus ada.
Drama juga
demikian. Dalam kajian telaah drama yang sempat membahas sejarah drama, di
tahun yang tidak diketahui drama sebenarnya telah ada dalam bentuk ritualisasi.
Artinya, tidak ada satu alasan pun bagi siapapun yang bisa membatasi sastra
harus sampai di mana. Sastra bergerak dari titik nol menjadi sepuluh,
pertanyaannya, salahkan kalau sekarang kemungkinan sastra sedang bergerak ke
titik yang lebih dari sepuluh?
Juga sangat
mengherankan, kalau Rizka Amalia menganggap bahwa antara drama dan teater yang
posisinya sebagai karya sastra dan karya pentas dianggap menggeser posisi karya
sastra menjadi produk alih wahana. Padahal yang sebenarnya diamati bukanlah
soal pergeseran, melainkan bagaimana kesejajaran antara karya sastra dan karya
pentas mampu hidup berdampingan dan menjadi satu-kesatuan yang semakin
memperkaya sastra.
Tapi, saya kira
pembatasan atas segala yang sebenarnya wajar dan sah-sah saja hanya merupakan
masa transisi atas kebaharuan yang mungkin saja muncul dalam ranah sastra.
Semua hanya membutuhkan satu perwujudan yang orang-orang sebut sebagai
“kesepakatan”. Karena selalu saja suara mayoritas menjadi dewa diantara
minoritas, meskipun belum tentu mayoritas itu yang paling tepat.
Sama seperti
ketika banyak orang mengonsepkan sastra sebagai “tulisan”, orang-orang yang tak
membiarkan dirinya berpikir lebih lama pasti akan menjadi pengikut yang penurut
atas konsep itu.
Memberikan
batas-batas terhadap cara pikir orang lain menurut saya merupakan kegiatan yang
mampu melumpuhkan mental, namun parahnya lagi pelaku sendiri bagi saya adalah
orang yang sesat pikir, terjebak dalam kedangkalan di depan mata. Di tengah
kaum lainnya mencoba memandang sesuatu secara lebih luas, mengutarakan soal isi
atas sesuatu itu melalui sebuah manifestasi, maka sesungguhnya keberbedaan dan
kekontraan itu akan ada.
Hukum gerak
(dialektika) sejatinya tak pernah memungkiri adanya proses perubahan kualitas
atas keadaan (yang ada dan belum ada) melalui tesis yang akan bertubrukan
dengan antitesis, lalu melebur menjadi sintesis. Begitulah selanjutnya. Begitu
juga “sastra”. ***
Penulis
adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar