Curam
Tubuh
di curam tubuhmu aku berhenti melangkah
menghadapi tikungan yang buram
tumpukan kerikil
setapak yang hilang jejak
lenyap di rimbun dirimu
seperti malam, kuseka semua sedih
bulan mendingin
percakapan patung
luput dihitung
menghitung gugur jam
juga resahmu yang mendadak muram
tak ada yang bisa kurenangi
bundar korneamu
menjelma pematik api
yang terkunci
di curam tubuhmu
denyutku berhenti
cakap merayap
ke segala pengap
aku hanya diam di sini
setiap terjal yang memenggal
tak lengkap membaca arah
entah sampai berapa lama
2011
Kamar
berapa kali aku terbungkus sunyi?
memendam segenap cakap
saat tayangan televisi berisi igau
dan fragmen mendadak payau
meski telah selesai kurapikan tumpukan buku
atau pakaian kotor sekaligus selimut
tapi wajahmu acap kerut
kita kembali berhenti
tenggelam bersama lelah
mungkin perlu kupinjam wangi aroma terapi
sekadar menjemput kerutmu
suapaya luput dari segala carut
2011
Bayangan
Hujan
bayangan hujan singgah di retina
dirapalnya sisa doa dan duka kemarau
merebut helai-helai angin yang gelisah
kerumun orang membelah arah
lupa pada pangkal rumah
menyisiri sisa letih
dari lompatan cemas yang dingin
lalu kotapun merebut riuh
lengang dihempas genangan
tiba-tiba rinduku runcing padamu
2011
Tangis
Rumah
tangis rumah membasah
ruangan senyap
hanya sayup sinetron di tepi tv
aku mengalungkan ingatan
mengingat batukmu yang rejan di pagi hari
barangkali ada yang mesti diselesaikan
sebelum langkah hari semakin tinggi
dan kenangan menjelma api
2011
Legam
ia telah legam. bahkan ketika kaucoba sandingkan
dengan malam. semua kenangan terhapus. menelusup ke setiap bencana. setiap kali
engkau sembunyi pada remah marah atau gelisah. tak ada yang bisa disibak,
seperti sekejap berlari namun tak pernah tiba di alamat. hanya ada baris
ingatan, segala igau merayap ke dalam. ia telah legam. semacam malam.
2011
Suara
di Kejauhan
sayup-sayup, merebut malam yang tumbuh. engkau
setengah berlari, menghampiri juga memunguti sepi. lalu kalung yang kaukenakan
menyala. "ini batu zefir," ucapmu-- keringat di pangkal leher. rapat
ke tengah kepala. lalu ada tangis, ledakan, atau lalu lalang kendaraan. hanya
kedap yang tak lengkap ditangkap. meski bertahun kaueja, dalam setiap alifmu.
yang terus bergema di kejauhan. merebut segala cemas yang sekejap memanas.
2011
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16
Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa
cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra
Horison, Jurnal Puisi,
Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar
Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya
Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, Majalah e Squire,
Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE
Unila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar