Kamis, 18 Juli 2013

Sarangan Pengasihan (Sabtu, 13 Juli 2013)

Cerpen: Teguh Affandi


M
olina sudah mengabarkan kepada kerabat mendiang suaminya, bahwa abu jenazah Taksuki akan dilarung besok pagi. Molina berharap mereka sekadar mengantar sisa pembakaran Taksuki terakhir kali ke peraduan telaga. Sudah sepekan Taksuki meninggal. Seminggu pula Molina mencari telaga gading yang diamanatkan Taksuki. Telaga gading? Telaga dengan warna putih gading? Atau telaga dengan hewan bergading? Mana ada di peta telaga gading? Baru kemarin Molina mendapatkan kabar, bahwa telaga gading yang dimaksud Taksuki dalam puisinya adalah Telaga Sarangan. Telaga yang dipenuhi burung jalak gading.
“Telaga gading yang dimaksud mendiang suamimu adalah Telaga Sarangan,” demikian yakin Iskandar. Kawan seniman yang sudah dianggap keluarga Taksuki.
“Apa yang membuat kamu begitu yakin?” Molina sebenarnya tidak begitu percaya. Sambil terus saja dicarinya alasan mengapa Iskandar begitu ingin segera menabur abu Taksuki. Padahal Taksuki sudah mati, kalaupun Iskandar ingin mengawini Molina tidak perlu lagi harus bersilang kata dengan Taksuki.
“Tidak ada telaga lain yang penuh dengan gading, ya telaga dengan jalak gading. Telaga Sarangan.”
“Taksuki…” Molina kembali mengingat mendiang suaminya yang begitu romantis. Molina merasa hanya Nabi Yusuf yang mampu menandingi keintiman dengan suaminya. Iskandar saja sering merinding saat menyenandungkan liris puisi yang ditulis khusus untuk Molina, wanita yang dikatakannya telaga inspirasi semua puisi Taksuki. Iskandar harusnya sadar, Taksukilah yang meracik lirik hidup Iskandar. Dikenalkan dengan berbagai perupa, bakat kecilnya sekarang menjadi obor bagi lancarnya rokok dan makanan baginya.
“Molina, sudahlah. Yang sudah menjadi abu tidak akan kembali merangkulmu. Molina, sudahlah besok kita ke Magetan. Di sanalah suamimu ingin abunya dilarung.”
“Aku ingin tidur.” Molina meninggalkan Iskandar duduk di ruang tengah. Angin di tahun baru, mendinginkan tanggal muda Januari. Iskandar tak lagi merasakan hangatnya kopi. Angin menerbangkan hangat ke awang-awang. Taksuki telah membawa semua benih hangat yang disimpan Molina. Ada rekah senyum di bibir hitam Iskandar.
***
Pagi berkabut tipis, Molina sudah berdandan rapi kenes. Dipakainya terusan warna marun untuk menghormati Taksuki, suaminya itu pengagum warna merah. Kalau saja Joko Pinurbo maestro rok, celana dan dalaman di setiap puisi. Taksuki menulis merah dalam bait puisinya. Semua merah menjadi larik dan diksi puisi yang ditulisnya. Darah, bendera, amarah, api. Semua yang berwarna merah yang memerahkan puisinya. Pun kematian Taksuki yang merah.
Iskandar sudah siap sedia. Kalau jam tujuh segera dipancal pedal gas mobilnya menuju Telaga Sarangan, maka pukul satu mereka akan sudah sampai. Kabut selalu akan turun di sepanjang perjalanan. Hanya mata Molina yang sedang berkabut. Iskandar, sopir tidak boleh mengantuk. Jalan menuju Telaga Sarangan berkelok-kelok seperti jejak jalan siput. Mereka harus perlahan.
Molina tidak menemukan satu pun keluarganya akan ikut mengantar. Mungkin kekecewaan sudah memutus benang peranakan mereka. Taksuki sudah dilepas dari aliran darah keluarga mereka.
“Molina, Taksuki tidak boleh dikremasi dan dilarung abunya. Itu melanggar ajaran agama,” mertua Molina memerintahkan.
“Ma, ini amanatnya sebelum wafat. Biarlah ini menjadi bakti Molina yang terakhir kalinya,” Molina hanya menunduk. Tidak berani ditatap lurus wajah mertuanya. Bagaimanapun tanpa wanita yang selalu memakai rambut tambahan itu, Taksuki segara cintanya tidak akan pernah ada.
“Molina, kremasi hanya untuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Dikuburlah, Taksuki pasti ingin kembali ke babon tubuhnya, tanah. Yang dari tanah kembali ke tanah.”
“Kalau dilarung apa tidak bisa berjumpa dengan tanah? Tuhan jauh lebih pandai ketimbang kita. Kuyakin bagaimanapun Taksuki dapat bersua dengan Tuhan. Dikubur, dikremasi atau bahkan diumpan ke harimau,” Molina tetap menunduk tidak berani menatap.
“Sinting! Dasar wanita sinting. Kau melarungnya agar segera lupa. Iddahmu mana? Baru kemarin Taksuki mati, sekarang Iskandar sudah kau minta menemani. Biyung..!” mertuanya pergi dengan melepas pintu seperti melepas peluru. Suara menghentak perasaan.
Lamunannya pecah. Iskandar menepuk bahunya. Mereka akan segera berangkat ke Telaga Sarangan. Dianggukkan kepala. Digenggam erat guci berukir kepala naga warna merah yang dibalut dengan mori pucat. Molina duduk di depan. Diamati jalanan yang ramai dipenuhi orang mencari ketenangan.
***
Pagi itu Molina tidak menemukan Taksuki duduk menghadap sangkar kutilang. Duduk sendirian menyeruput teh poci mengepul tanpa gula dan sebatang kretek di tangan kiri. Taksuki saban pagi tidak pernah berwajah muram. Senyumnya menggeliat menebarkan gairah. Molina yang masih memakai piyama warna merah memutar pandangan mencari suaminya. Sebelum membasuh badan di pemandian dengan model mirip kolam Tamansari, Taksuki selalu duduk mencari inspirasi puisi menghadap sangkar kutilang dari gerigi bambu apus.
“Kamu di sini?” Molina menyandarkan kepalanya di bahu Taksuki tepat di jalur tulang belakang yang mengular. “Tidak biasa. Kamu sedang ada masalah?”
“Hatiku tidak enak mendengar suara merdu kutilang.” Taksuki tidak membalikkan badan.
“Jangan terlalu dipikir, Iskandar hanya bercanda. Kamu tetap suami dan separuh nyawaku.”
“Bukan masalah Iskandar.” Wajahnya menyiratkan firasat. Seperti kematian Damarwulan yang dipindan oleh dalang. Juga pukul kenong saat mulai memasuki aroma kematian.
Taksuki berhenti sebentar. Pikiran buyar. Permintaan Iskandar untuk menjadikan Molina model patung telanjang ditolak keras Taksuki. Kemudian terdengar dadanya menarik napas dalam-dalam. “Bawa aku ke kolam, aku ingin mandi bersamamu. Aku ingin berendam dengan puisiku.”
Molina menggandeng Taksuki dengan mesra. Mereka duduk di kursi kayu jati tua menghadap pohon asam jawa yang melintas di sisi kanan kolam. Beberapa daun dan buahnya berjatuhan di kolam. Setangkai kenangan bergelantungan abadi di rerimbunan daun yang menggantung. Taksuki meluruhkan pakaian dan menceburkan badan di kolam. Kepala muncul-tenggelam mengambil udara.
“Molina, kamu adalah puisiku.”
“Sudah jutaan kali aku mendengarnya,” Molina tidak berani melepas semuanya.
Mereka bermesraan di dalam kolam.
“Sepanjang apa kamu mengenangku kelak, Molina?”
“Pertanyaan apa itu? Seperti esok kamu bakal mati saja.”
“Siapa tahu? Mata musuh itu lebih halus dari desahan perawan.”
Molina berpikir sebentar, Taksuki tak biasa membicarakan kematian. Senyumnya tetap kenes saat dipandang. “Sepanjang Bengawan Solo. Kali tidak akan berhenti sebelum bermuara di lautan, bukan?”
Taksuki megecup kening Molina.
“Tebarkanlah abuku di telaga gading?” Taksuki mewasiati.
“Di sini?”
Taksuki tidak menjawab. Hanya tersenyum dan menjauh sambil mengibas-ibaskan air.
***
Sebuah kiriman berisi kue bolu warna cokelat. Molina tahu bahwa kiriman itu akan datang. Tujuh puluh kali dalam sehari dia mengawasi untuk meracuni Taksuki. Molina tidak mengerti, mengapa perkariban bisa berselisih hanya karena wanita. Sekarang paket itu sudah datang. Paket berisi kabar kematian Taksuki. Kedatangan hawa kematian tidak dapat dielakkan. Lembab, pengap dan wingit membungkus paket itu. Taksuki begitu rakus menikmati bolu.
“Kamu tidak ingin ini, Molina? Ini adalah kiriman terenak dari seorang sahabat,” Taksuki berkata dengan mulut yang dipenuhi remah-remah bolu. Beberapa muncrat dan jatuh di meja tanpa pelitur. Untuk menghilangkan rasa penuh di tenggorokannya, Taksuki menegak teh poci tanpa gula.
“Aku ingin mandi dahulu. Sisakan sedikit untukku. Sekerat saja. Bayi di sini juga butuh nutrisi,” Molina mengelus perutnya yang buncit lima bulan.
“Tentu puisiku dan baitku harus diisi dengan gizi. Mandilah. Biar ilham segera datang mencumbu pena,” Taksuki kembali memotong bolu dan mengantar ke mulutnya.
Molina beranjak ke dalam. Setengah jam lamanya. Ketika Molina keluar dengan dandanan segar dan aroma vanila menguar, tidak ditemukan lagi Taksuki duduk menghadap sangkar kutilang.
“Taksuki!” Molina tercekat histeris. Taksuki bermulut busa. Nyawanya tidak lagi ada. Molina menangis. Air matanya membuat angin mengelus manja.
***
Molina duduk menghadap lurus ke depan. Bergeming, tak memedulikan sekitar. Sedan warna merah yang dibeli dari hadiah sayembara sastra Taksuki diparkirkan di depan warung tenda, di pinggiran Telaga Sarangan. Kabut masih menutup permukaan Telaga Sarangan yang payah memantulkan pepohonan di sekitaran. Suara Jalak Gading saling bersahutan. Inilah suasana yang diinginkan Taksuki. Tenang dan menggetarkan kalbu. Molina tidak mengerti mengapa rasa bungah dan susah bersatu dalam rintik hujan di matanya.
Mengenang Taksuki, Molina mengelus kancing baju dan dadanya yang tergantung sebuah bandul bertanda huruf inisal namanya ‘M’. Guci berisi abu Taksuki dipangku erat. Tangannya meluncur ke bawah, ke perutnya yang membuncit. Bayi dari Taksuki berontak, menendang dinding rahim Molina. Taksuki dahulu mencita-citakan agar bayi pertama mereka lahir sebagai pemain teater. Taksuki mengagumi Arifin C Noer, dan ingin anaknya kelak bisa sehebat Arifin C Noer. Molina masih bersyukur, Taksuki tidak meminta bayinya menjadi penyair. Kalau tidak gila, seorang penyair hanya akan menjadi orang fakir.
Iskandar tidak peduli pada Molina yang berwajah muram. Iskandar menikmati kopi susu, mengunyah ubi kayu goreng yang dipanen dari ladang di belakang warung berdinding kayu. Di piring ada ikan nila bakar yang merona. Iskandar tersenyum lebar. Iskandar melangkah ke tepian Telaga Sarangan. Ingin sebenarnya ia memancing ikan. Aroma harum mengambang di atas permukaan Telaga Sarangan.
“Sekarang!” Iskandar mengagetkan Molina yang sedikit tidak sadar. Merasa perkataannya tidak di dengar, Iskandar berjalan agak lebar ke arah Molina.
“Sudah saatnya ya? Kalau boleh ingin kupeluk erat Taksuki,” Molina menghujani pipi dengan luh yang tidak ada habis.  “Boleh kusisakan abu ini?”
“Kenangan harus tandas dibuang. Hanya akan mengganggu pikiran. Sudahlah, sekarang tatap masa depan yang kamu impikan Molina,” Iskandar duduk di samping kanan sambil mencungkili biji jagung bakar dengan bumbu balado pedas merah membakar.
Molina menarik napas dalam. “Baiklah. Mari kita larungkan ke tengah telaga. Taksuki ingin abunya bersama puisi Sarangan yang diimajinasikan gading. Mari pesan kapal.”
Iskandar melambai pada bapak tua yang berlaken hitam.  Mereka berdua duduk berjajar mengarungi Telaga Sarangan. Hujan kabut menutupi pandangan. Sampai di tengah Molina membuka guci bergambar naga warna merah. Sebelum itu dirapalnya doa agar Taksuki bahagia di baka.
Diraupnya segenggam abu. Dan ditabur. Mata Molina tidak bisa terbuka memperhatikan suaminya ditelan telaga. Hanya dirasakan abu Taksuki kasar, berbeda dengan tekstur kemarin.
“Rasanya aneh?” Molina membuka mata dan melihat tangannya berjelaga.“Ini bukan abu Taksuki!” Molina menatap Iskandar yang menyeringai lebar. “Abu Taksuki warnanya putih lembut. Mengapa ini menjadi hitam kemerah-merahan, kasar pula? Kau kemanakan Iskandar?”
“Itu adalah semua buku puisi Taksuki.” Iskandar tidak menatap Molina hanya tangan kirinya meraup abu dan menebar sembarangan.
“Mengapa kau membakarnya? Bukannya kamu sudah janji hanya sampai sini, tidak lebih?” Molina tidak bisa menghentikan rembesan di matanya.
“Mempercepat pembuangan akan menjauhkan kita dari dakwaan hasil otopsi. Aku ingin kau tidak lagi menjadi puisi. Kamu sekarang adalah patungku. Aku tidak ingin kamu mengenang Taksuki sebagai puisi dalam dirimu. Mari kita lihat sinar di timur sebagai cahaya baru kita, Molina,” Iskandar merangkul. Tetapi ditampik Molina.
“Di mana kau buang abu Taksuki?” nada bicara molina agak dikencangkan.
“Biar dia mengalir di Bengawan Solo. Kau ingin mengenangnya sepanjang Bengawan Solo, kan?”
Molina sesenggukan. Guci di tangannya lepas dan meluncur ke dalam telaga. Tangan Molina yang berjelaga dibasuh dengan air Telaga Sarangan. Ditatap wajahnya Iskandar dengan lelehan yang belum juga mampat. Kalau tidak ingat tendangan di dalam perutnya, tentu Molina sudah menceburkan diri ke dalam telaga. Karena mungkin saja terusan Bengawan Solo berujung ke telaga. Molina ingin kembali menjadi puisi Taksuki. ***
 [Yogyakarta, Januari 2013]
Terimakasih Pak Dahlan Iskan untuk Molina dan Tuxuki-nya.




Teguh Affandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Mahasiswa Teknik Elektro UGM. Cerpennya beberapa terbit di Suara Merdeka, Republika, Majalah Sekar, Tabloid Nova, Tabloid Cempaka, Inilah Koran, Majalah Ummi, Majalah Sabili, Majalah Kebudayaan Sagang Riau, Radar Surabaya, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar