Cerpen: Teguh Affandi
M
|
olina
sudah mengabarkan kepada kerabat mendiang suaminya, bahwa abu jenazah Taksuki
akan dilarung besok pagi. Molina berharap mereka sekadar mengantar sisa
pembakaran Taksuki terakhir kali ke peraduan telaga. Sudah sepekan Taksuki
meninggal. Seminggu pula Molina mencari telaga gading yang diamanatkan Taksuki.
Telaga gading? Telaga dengan warna putih gading? Atau telaga dengan hewan
bergading? Mana ada di peta telaga gading? Baru kemarin Molina mendapatkan
kabar, bahwa telaga gading yang dimaksud Taksuki dalam puisinya adalah Telaga
Sarangan. Telaga yang dipenuhi burung jalak gading.
“Telaga
gading yang dimaksud mendiang suamimu adalah Telaga Sarangan,” demikian yakin
Iskandar. Kawan seniman yang sudah dianggap keluarga Taksuki.
“Apa
yang membuat kamu begitu yakin?” Molina sebenarnya tidak begitu percaya. Sambil
terus saja dicarinya alasan mengapa Iskandar begitu ingin segera menabur abu Taksuki.
Padahal Taksuki sudah mati, kalaupun Iskandar ingin mengawini Molina tidak
perlu lagi harus bersilang kata dengan Taksuki.
“Tidak
ada telaga lain yang penuh dengan gading, ya telaga dengan jalak gading. Telaga
Sarangan.”
“Taksuki…”
Molina kembali mengingat mendiang suaminya yang begitu romantis. Molina merasa
hanya Nabi Yusuf yang mampu menandingi keintiman dengan suaminya. Iskandar saja
sering merinding saat menyenandungkan liris puisi yang ditulis khusus untuk Molina,
wanita yang dikatakannya telaga inspirasi semua puisi Taksuki. Iskandar
harusnya sadar, Taksukilah yang meracik lirik hidup Iskandar. Dikenalkan dengan
berbagai perupa, bakat kecilnya sekarang menjadi obor bagi lancarnya rokok dan
makanan baginya.
“Molina,
sudahlah. Yang sudah menjadi abu tidak akan kembali merangkulmu. Molina,
sudahlah besok kita ke Magetan. Di sanalah suamimu ingin abunya dilarung.”
“Aku
ingin tidur.” Molina meninggalkan Iskandar duduk di ruang tengah. Angin di
tahun baru, mendinginkan tanggal muda Januari. Iskandar tak lagi merasakan
hangatnya kopi. Angin menerbangkan hangat ke awang-awang. Taksuki telah membawa
semua benih hangat yang disimpan Molina. Ada rekah senyum di bibir hitam
Iskandar.
***
Pagi berkabut
tipis, Molina sudah berdandan rapi kenes. Dipakainya terusan warna marun untuk menghormati
Taksuki, suaminya itu pengagum warna merah. Kalau saja Joko Pinurbo maestro rok,
celana dan dalaman di setiap puisi. Taksuki menulis merah dalam bait puisinya.
Semua merah menjadi larik dan diksi puisi yang ditulisnya. Darah, bendera,
amarah, api. Semua yang berwarna merah yang memerahkan puisinya. Pun kematian
Taksuki yang merah.
Iskandar
sudah siap sedia. Kalau jam tujuh segera dipancal pedal gas mobilnya menuju
Telaga Sarangan, maka pukul satu mereka akan sudah sampai. Kabut selalu akan
turun di sepanjang perjalanan. Hanya mata Molina yang sedang berkabut. Iskandar,
sopir tidak boleh mengantuk. Jalan menuju Telaga Sarangan berkelok-kelok
seperti jejak jalan siput. Mereka harus perlahan.
Molina
tidak menemukan satu pun keluarganya akan ikut mengantar. Mungkin kekecewaan
sudah memutus benang peranakan mereka. Taksuki sudah dilepas dari aliran darah
keluarga mereka.
“Molina,
Taksuki tidak boleh dikremasi dan dilarung abunya. Itu melanggar ajaran agama,”
mertua Molina memerintahkan.
“Ma,
ini amanatnya sebelum wafat. Biarlah ini menjadi bakti Molina yang terakhir
kalinya,” Molina hanya menunduk. Tidak berani ditatap lurus wajah mertuanya.
Bagaimanapun tanpa wanita yang selalu memakai rambut tambahan itu, Taksuki
segara cintanya tidak akan pernah ada.
“Molina,
kremasi hanya untuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Dikuburlah, Taksuki pasti
ingin kembali ke babon tubuhnya, tanah. Yang dari tanah kembali ke tanah.”
“Kalau
dilarung apa tidak bisa berjumpa dengan tanah? Tuhan jauh lebih pandai
ketimbang kita. Kuyakin bagaimanapun Taksuki dapat bersua dengan Tuhan.
Dikubur, dikremasi atau bahkan diumpan ke harimau,” Molina tetap menunduk tidak
berani menatap.
“Sinting!
Dasar wanita sinting. Kau melarungnya agar segera lupa. Iddahmu mana? Baru
kemarin Taksuki mati, sekarang Iskandar sudah kau minta menemani. Biyung..!”
mertuanya pergi dengan melepas pintu seperti melepas peluru. Suara menghentak
perasaan.
Lamunannya
pecah. Iskandar menepuk bahunya. Mereka akan segera berangkat ke Telaga
Sarangan. Dianggukkan kepala. Digenggam erat guci berukir kepala naga warna
merah yang dibalut dengan mori pucat. Molina duduk di depan. Diamati jalanan
yang ramai dipenuhi orang mencari ketenangan.
***
Pagi itu
Molina tidak menemukan Taksuki duduk menghadap sangkar kutilang. Duduk
sendirian menyeruput teh poci mengepul tanpa gula dan sebatang kretek di tangan
kiri. Taksuki saban pagi tidak pernah berwajah muram. Senyumnya menggeliat
menebarkan gairah. Molina yang masih memakai piyama warna merah memutar
pandangan mencari suaminya. Sebelum membasuh badan di pemandian dengan model
mirip kolam Tamansari, Taksuki selalu duduk mencari inspirasi puisi menghadap
sangkar kutilang dari gerigi bambu apus.
“Kamu
di sini?” Molina menyandarkan kepalanya di bahu Taksuki tepat di jalur tulang
belakang yang mengular. “Tidak biasa. Kamu sedang ada masalah?”
“Hatiku
tidak enak mendengar suara merdu kutilang.” Taksuki tidak membalikkan badan.
“Jangan
terlalu dipikir, Iskandar hanya bercanda. Kamu tetap suami dan separuh
nyawaku.”
“Bukan
masalah Iskandar.” Wajahnya menyiratkan firasat. Seperti kematian Damarwulan
yang dipindan oleh dalang. Juga pukul kenong saat mulai memasuki aroma
kematian.
Taksuki
berhenti sebentar. Pikiran buyar. Permintaan Iskandar untuk menjadikan Molina
model patung telanjang ditolak keras Taksuki. Kemudian terdengar dadanya
menarik napas dalam-dalam. “Bawa aku ke kolam, aku ingin mandi bersamamu. Aku
ingin berendam dengan puisiku.”
Molina
menggandeng Taksuki dengan mesra. Mereka duduk di kursi kayu jati tua menghadap
pohon asam jawa yang melintas di sisi kanan kolam. Beberapa daun dan buahnya
berjatuhan di kolam. Setangkai kenangan bergelantungan abadi di rerimbunan daun
yang menggantung. Taksuki meluruhkan pakaian dan menceburkan badan di kolam.
Kepala muncul-tenggelam mengambil udara.
“Molina,
kamu adalah puisiku.”
“Sudah
jutaan kali aku mendengarnya,” Molina tidak berani melepas semuanya.
Mereka
bermesraan di dalam kolam.
“Sepanjang
apa kamu mengenangku kelak, Molina?”
“Pertanyaan
apa itu? Seperti esok kamu bakal mati saja.”
“Siapa
tahu? Mata musuh itu lebih halus dari desahan perawan.”
Molina
berpikir sebentar, Taksuki tak biasa membicarakan kematian. Senyumnya tetap kenes
saat dipandang. “Sepanjang Bengawan Solo. Kali tidak akan berhenti sebelum
bermuara di lautan, bukan?”
Taksuki
megecup kening Molina.
“Tebarkanlah
abuku di telaga gading?” Taksuki mewasiati.
“Di
sini?”
Taksuki
tidak menjawab. Hanya tersenyum dan menjauh sambil mengibas-ibaskan air.
***
Sebuah kiriman
berisi kue bolu warna cokelat. Molina tahu bahwa kiriman itu akan datang. Tujuh
puluh kali dalam sehari dia mengawasi untuk meracuni Taksuki. Molina tidak
mengerti, mengapa perkariban bisa berselisih hanya karena wanita. Sekarang
paket itu sudah datang. Paket berisi kabar kematian Taksuki. Kedatangan hawa
kematian tidak dapat dielakkan. Lembab, pengap dan wingit membungkus paket itu. Taksuki begitu rakus menikmati bolu.
“Kamu
tidak ingin ini, Molina? Ini adalah kiriman terenak dari seorang sahabat,” Taksuki
berkata dengan mulut yang dipenuhi remah-remah bolu. Beberapa muncrat dan jatuh
di meja tanpa pelitur. Untuk menghilangkan rasa penuh di tenggorokannya, Taksuki
menegak teh poci tanpa gula.
“Aku
ingin mandi dahulu. Sisakan sedikit untukku. Sekerat saja. Bayi di sini juga
butuh nutrisi,” Molina mengelus perutnya yang buncit lima bulan.
“Tentu
puisiku dan baitku harus diisi dengan gizi. Mandilah. Biar ilham segera datang mencumbu
pena,” Taksuki kembali memotong bolu dan mengantar ke mulutnya.
Molina
beranjak ke dalam. Setengah jam lamanya. Ketika Molina keluar dengan dandanan
segar dan aroma vanila menguar, tidak ditemukan lagi Taksuki duduk menghadap sangkar
kutilang.
“Taksuki!”
Molina tercekat histeris. Taksuki bermulut busa. Nyawanya tidak lagi ada. Molina
menangis. Air matanya membuat angin mengelus manja.
***
Molina duduk
menghadap lurus ke depan. Bergeming, tak memedulikan sekitar. Sedan warna merah
yang dibeli dari hadiah sayembara sastra Taksuki diparkirkan di depan warung
tenda, di pinggiran Telaga Sarangan. Kabut masih menutup permukaan Telaga
Sarangan yang payah memantulkan pepohonan di sekitaran. Suara Jalak Gading
saling bersahutan. Inilah suasana yang diinginkan Taksuki. Tenang dan
menggetarkan kalbu. Molina tidak mengerti mengapa rasa bungah dan susah bersatu
dalam rintik hujan di matanya.
Mengenang
Taksuki, Molina mengelus kancing baju dan dadanya yang tergantung sebuah bandul
bertanda huruf inisal namanya ‘M’. Guci berisi abu Taksuki dipangku erat. Tangannya
meluncur ke bawah, ke perutnya yang membuncit. Bayi dari Taksuki berontak,
menendang dinding rahim Molina. Taksuki dahulu mencita-citakan agar bayi
pertama mereka lahir sebagai pemain teater. Taksuki mengagumi Arifin C Noer,
dan ingin anaknya kelak bisa sehebat Arifin C Noer. Molina masih bersyukur, Taksuki
tidak meminta bayinya menjadi penyair. Kalau tidak gila, seorang penyair hanya
akan menjadi orang fakir.
Iskandar
tidak peduli pada Molina yang berwajah muram. Iskandar menikmati kopi susu,
mengunyah ubi kayu goreng yang dipanen dari ladang di belakang warung
berdinding kayu. Di piring ada ikan nila bakar yang merona. Iskandar tersenyum
lebar. Iskandar melangkah ke tepian Telaga Sarangan. Ingin sebenarnya ia
memancing ikan. Aroma harum mengambang di atas permukaan Telaga Sarangan.
“Sekarang!”
Iskandar mengagetkan Molina yang sedikit tidak sadar. Merasa perkataannya tidak
di dengar, Iskandar berjalan agak lebar ke arah Molina.
“Sudah
saatnya ya? Kalau boleh ingin kupeluk erat Taksuki,” Molina menghujani pipi
dengan luh yang tidak ada habis. “Boleh kusisakan abu ini?”
“Kenangan
harus tandas dibuang. Hanya akan mengganggu pikiran. Sudahlah, sekarang tatap
masa depan yang kamu impikan Molina,” Iskandar duduk di samping kanan sambil mencungkili
biji jagung bakar dengan bumbu balado pedas merah membakar.
Molina
menarik napas dalam. “Baiklah. Mari kita larungkan ke tengah telaga. Taksuki
ingin abunya bersama puisi Sarangan yang diimajinasikan gading. Mari pesan
kapal.”
Iskandar
melambai pada bapak tua yang berlaken hitam.
Mereka berdua duduk berjajar mengarungi Telaga Sarangan. Hujan kabut
menutupi pandangan. Sampai di tengah Molina membuka guci bergambar naga warna
merah. Sebelum itu dirapalnya doa agar Taksuki bahagia di baka.
Diraupnya
segenggam abu. Dan ditabur. Mata Molina tidak bisa terbuka memperhatikan
suaminya ditelan telaga. Hanya dirasakan abu Taksuki kasar, berbeda dengan
tekstur kemarin.
“Rasanya
aneh?” Molina membuka mata dan melihat tangannya berjelaga.“Ini bukan abu Taksuki!”
Molina menatap Iskandar yang menyeringai lebar. “Abu Taksuki warnanya putih
lembut. Mengapa ini menjadi hitam kemerah-merahan, kasar pula? Kau kemanakan
Iskandar?”
“Itu
adalah semua buku puisi Taksuki.” Iskandar tidak menatap Molina hanya tangan
kirinya meraup abu dan menebar sembarangan.
“Mengapa
kau membakarnya? Bukannya kamu sudah janji hanya sampai sini, tidak lebih?”
Molina tidak bisa menghentikan rembesan di matanya.
“Mempercepat
pembuangan akan menjauhkan kita dari dakwaan hasil otopsi. Aku ingin kau tidak
lagi menjadi puisi. Kamu sekarang adalah patungku. Aku tidak ingin kamu
mengenang Taksuki sebagai puisi dalam dirimu. Mari kita lihat sinar di timur sebagai
cahaya baru kita, Molina,” Iskandar merangkul. Tetapi ditampik Molina.
“Di
mana kau buang abu Taksuki?” nada bicara molina agak dikencangkan.
“Biar
dia mengalir di Bengawan Solo. Kau ingin mengenangnya sepanjang Bengawan Solo,
kan?”
Molina
sesenggukan. Guci di tangannya lepas dan meluncur ke dalam telaga. Tangan
Molina yang berjelaga dibasuh dengan air Telaga Sarangan. Ditatap wajahnya
Iskandar dengan lelehan yang belum juga mampat. Kalau tidak ingat tendangan di
dalam perutnya, tentu Molina sudah menceburkan diri ke dalam telaga. Karena
mungkin saja terusan Bengawan Solo berujung ke telaga. Molina ingin kembali
menjadi puisi Taksuki. ***
[Yogyakarta, Januari 2013]
Terimakasih
Pak Dahlan Iskan untuk Molina dan Tuxuki-nya.
Teguh Affandi, lahir
di Blora, 26 Juli 1990. Mahasiswa Teknik Elektro UGM. Cerpennya beberapa terbit
di Suara Merdeka, Republika, Majalah
Sekar, Tabloid Nova, Tabloid Cempaka, Inilah Koran, Majalah Ummi, Majalah
Sabili, Majalah Kebudayaan Sagang Riau, Radar Surabaya, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar