S
|
ejarah teater modern di Indonesia tidak terlepas
dari perkembangan teater transisi sebelumnya, terutama era Bangsawan dan
Dardanella. Teater rakyat kota profesional ini mampu menghidupi seluruh awaknya
dengan kekayaan melimpah, terutama para aktris dan aktornya. Dardanella berani
menampilkan lakon-lakon dengan masalah sosial yang sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan, kelompok Dardanella
masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya sekitaran
hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan verbal
inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton.
Pada saat yang sama timbul sebuah anggapan miring
kepada para pekerja teater. Aktris, aktor, maupun para pekerja teater tidak
lebih baik kedudukannya dari seorang pelacur. Dengan berjalannya perkembangan
teknologi, teater rakyat kota sedikit-sedikit mulai tergeser dari tempat utama
oleh kedatangan film.
Para pengusaha mulai mengintip teknologi film.
Keuntungan yang didapat dinilai akan lebih banyak, sementara pengeluaran jauh
lebih sedikit. Film tentu membuat teater rakyat kota tergusur jauh dari
penontonnya. Walaupun masih ada, kesuksesan yang diraup hanya sebatas di kota
kecil. Orang-orang yang dahulu begitu terkenal di dunia teater, berbondong
beralih profesi menjadi sineas. Dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun, bisa
dibilang teater rakyat sedang mengalami kelelahan. Pementasan memang sesekali
masih ada, tetapi kualitasnya bisa dikatakan rendah. Gedung-gedung kesenian pun
dikelola seadanya oleh pihak pemerintah saat itu. Kamar rias sudah berubah
fungsi menjadi rumah bagi para penjaga
gedung.
Para penggemar teater dari kaum terpelajar bisa
mencium kemandekan teater rakyat kota. Usmar Ismail, Djaduk Djajakusuma, Asrul
Sani, dan tokoh teater Indonesia lainnya membentuk sebuah akademi bernama
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). ATNI memfokuskan diri pada
perkembangan aktor sebagai salah satu elemen penting dalam teater. Fokus ini menjadikan teater Indonesia berada pada
jalur teater aktor. Teater aktor adalah teater yang lahir dari kegelisahan
pencapaian keaktoran yang selama ini kurang maksimal.
Para punggawa ATNI yakin bahwa salah satu faktor
paling penting perkembangan teater di Indonesia adalah perkembangan aktornya.
Fokus pada penggemblengan aktor didukung juga dengan kualitas pengajarnya yang
kebanyakan sudah merasakan bagaimana perkembangan teater di Eropa. Mereka telah
merasakan teater di daerah kelahirannya, begitu kata Asrul Sani.
Dengan sendirinya, standard yang digunakan
sebagai pencapaian artistik adalah standard Barat. Buku Richard Bolelavsky dan Konstantin
Stanislavsky menjadi buku wajib bagi para calon aktor. Di sisi lain,
perkembangan pesat keaktoran membuat perkembangan pengarang naskah drama
sedikit mandek. Kekurangan naskah menjadi kendala tersendiri. ATNI konon kesulitan
mencari naskah asli bikinan orang Indonesia yang bagus, yang sesuai dengan
standard yang mereka
tetapkan.
Untuk menutupi kekurangan naskah, mereka menerjemahkan
naskah-naskah luar. Tujuan penerjemahan antara lain untuk memperkenalkan siswa
ATNI pada ragam tokoh dan watak manusia yang tidak bisa dikenal lewat naskah
drama karya pengarang Indonesia. Selanjutnya, mereka ingin memberikan
kesempatan untuk memperlihatkan keberagaman bentuk teater. Cara seperti itu
dipergunakan untuk menumbuhkan kelompok pengarang yang lebih mengerti alat-alat
ekspresi yang terdapat dalam seni
teater.
Ikranegara menyebutkan bahwa teater pada masa ini
adalah teater nasional yang berpijak pada tiga kata kunci,
"realisme", "modern", dan "Barat". Karena tujuan
ATNI adalah melahirkan ahli-ahli teater, otomatis garapan pada penontonnya
terbengkalai. Mereka lupa bahwa penonton juga merupakan salah satu elemen
penting dari teater. Bisa dipastikan pula bahwa setiap pementasan yang mereka
lakukan, penonton yang hadir tidak begitu antusias dan terbatas pada kalangan
tertentu saja. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar