Kamis, 18 Juli 2013

Teater Modern (Sabtu, 6 Juli 2013)




S
ejarah teater modern di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan teater transisi sebelumnya, terutama era Bangsawan dan Dardanella. Teater rakyat kota profesional ini mampu menghidupi seluruh awaknya dengan kekayaan melimpah, terutama para aktris dan aktornya. Dardanella berani menampilkan lakon-lakon dengan masalah sosial yang sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan, kelompok Dardanella masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya sekitaran hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan verbal inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton.
Pada saat yang sama timbul sebuah anggapan miring kepada para pekerja teater. Aktris, aktor, maupun para pekerja teater tidak lebih baik kedudukannya dari seorang pelacur. Dengan berjalannya perkembangan teknologi, teater rakyat kota sedikit-sedikit mulai tergeser dari tempat utama oleh kedatangan film.
Para pengusaha mulai mengintip teknologi film. Keuntungan yang didapat dinilai akan lebih banyak, sementara pengeluaran jauh lebih sedikit. Film tentu membuat teater rakyat kota tergusur jauh dari penontonnya. Walaupun masih ada, kesuksesan yang diraup hanya sebatas di kota kecil. Orang-orang yang dahulu begitu terkenal di dunia teater, berbondong beralih profesi menjadi sineas. Dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun, bisa dibilang teater rakyat sedang mengalami kelelahan. Pementasan memang sesekali masih ada, tetapi kualitasnya bisa dikatakan rendah. Gedung-gedung kesenian pun dikelola seadanya oleh pihak pemerintah saat itu. Kamar rias sudah berubah fungsi menjadi rumah bagi para penjaga gedung.           
Para penggemar teater dari kaum terpelajar bisa mencium kemandekan teater rakyat kota. Usmar Ismail, Djaduk Djajakusuma, Asrul Sani, dan tokoh teater Indonesia lainnya membentuk sebuah akademi bernama Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). ATNI memfokuskan diri pada perkembangan aktor sebagai salah satu elemen penting dalam teater. Fokus ini menjadikan teater Indonesia berada pada jalur teater aktor. Teater aktor adalah teater yang lahir dari kegelisahan pencapaian keaktoran yang selama ini kurang maksimal.
Para punggawa ATNI yakin bahwa salah satu faktor paling penting perkembangan teater di Indonesia adalah perkembangan aktornya. Fokus pada penggemblengan aktor didukung juga dengan kualitas pengajarnya yang kebanyakan sudah merasakan bagaimana perkembangan teater di Eropa. Mereka telah merasakan teater di daerah kelahirannya, begitu kata Asrul Sani.
Dengan sendirinya, standard yang digunakan sebagai pencapaian artistik adalah standard Barat. Buku Richard Bolelavsky dan Konstantin Stanislavsky menjadi buku wajib bagi para calon aktor. Di sisi lain, perkembangan pesat keaktoran membuat perkembangan pengarang naskah drama sedikit mandek. Kekurangan naskah menjadi kendala tersendiri. ATNI konon kesulitan mencari naskah asli bikinan orang Indonesia yang bagus, yang sesuai dengan standard yang mereka tetapkan.            
Untuk menutupi kekurangan naskah, mereka menerjemahkan naskah-naskah luar. Tujuan penerjemahan antara lain untuk memperkenalkan siswa ATNI pada ragam tokoh dan watak manusia yang tidak bisa dikenal lewat naskah drama karya pengarang Indonesia. Selanjutnya, mereka ingin memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keberagaman bentuk teater. Cara seperti itu dipergunakan untuk menumbuhkan kelompok pengarang yang lebih mengerti alat-alat ekspresi yang terdapat dalam seni teater.            
Ikranegara menyebutkan bahwa teater pada masa ini adalah teater nasional yang berpijak pada tiga kata kunci, "realisme", "modern", dan "Barat". Karena tujuan ATNI adalah melahirkan ahli-ahli teater, otomatis garapan pada penontonnya terbengkalai. Mereka lupa bahwa penonton juga merupakan salah satu elemen penting dari teater. Bisa dipastikan pula bahwa setiap pementasan yang mereka lakukan, penonton yang hadir tidak begitu antusias dan terbatas pada kalangan tertentu saja. ***           





Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar