Selasa, 14 Februari 2012

Cerpen (Sabtu, 3 Desember 2011)


Wanita Itu Seperti Ibu
Cerpen : Nanda Rezeki Anisa 


J
arum sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku harus menambah kecepatan kereta untuk bisa sampai di rumah. Apalagi di rumah hari ini ada acara keluarga.
Melihat jalanan yang begitu tidak macet, kutambah kecepatan laju kereta. Saat kereta itu meleset, dari jauh aku melihat seorang Ibu menyeberang dengan tiba-tiba. Jelas saja aku panik dan mengerem kereta itu berhenti tepat seperempat meter dari Ibu itu berdiri.
Rasa dongkol, marah dan kesal bercampur satu. Biasa, aku paling gampang mengumbarkan kemarahan pada setiap orang yang sudah membuatku kesal. Tapi kali ini saat aku lihat dan bermaksud memarahi Ibu itu, aku tak sanggup wajahnya aku jadi teringat pada Ibu ku yang telah meninggal beberapa bulan yang lalu.
Meski tak tega memaki Ibu itu, aku yang biasanya sering marah kepada orang yang membuat aku kesal kini menggantinya dengan menasihati.
“Lain kali kalau mau menyeberang hati-hati ya, Bu! Lihat dulu kiri dan kanan. Kalau tadi ketabrak bagaimana?”
“Terima Kasih, Nak! Maafkan Ibu yang sudah membuat kamu panik, Ibu buru-buru.” Setelah ia melanjutkan jalannya sambil menenteng satu piring dan satu mangkok kosong. Ibu itu menuju warung yang terletak tidak begitu jauh dari jalan tadi.
Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya kerjaan Ibu itu. Dugaanku, Ibu ini mungkin berdagang nasi soto atau jualan siomay. Bisa jadi dia jualan makanan yang lainnya.
Keinginan untuk secepat pulang jadi tertunda gara-gara aku mendengar dan melihat pertengkaran yang terjadi di warung Ibu di tempat Ibu itu masuk. Aku mendengar jelas suara Ibu tadi yang sepertinya tengah mempertahankan sesuatu.
“Jangan kau ambil uang itu lagi, Nak! Itu hasil dagang Ibu hari ini. Kalau kamu mengambilnya, modal untuk berjualan Ibu besok apa ?”.
“Ah, peduli dengan semua itu! Itu jadi urusan Ibu. Fadhli membutuhkan uang itu.”
Ibu itu masih berusaha mencegah anak itu menguras uang dalam laci, tapi sia-sia. Malah yang ada, Ibu itu terdorong jatuh dan anak itu tak menghiraukannya, ia pergi begitu saja.
Rasa kemanusiaanku tersentuh saat malihat Ibu itu terjatuh. Cepat-cepat aku mengampiri dan mengangkatnya bangun.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Tidak, Nak! Terima kasih. Kamu belum kembali?”
“Belum, Bu! ‘Aku mendengar pertengkaran Ibu tadi. Itu tadi siapa?”
“Itu anak Ibu.”
“Kok tega sekali dia sama Ibu.”
“Ibu tidak tahu mengapa dia sering membuat Ibu seperti itu. Mungkin pengaruh lingkungan dan teman pergaulan.” Ibu itu melanjutkan pekerjaan mencuci piring. Saat sedang mencuci piring ia kedatangan beberapa pelanggan. Ibu itu terpaksa menghentikan cuci piringnya dan menyiapkan siomay buat pelanggannya.
“Anak itu namanya siapa ya? Sejak tadi Ibu belum tahu nama kamu.”
“Saya Ipan, Bu!”
“Nak Ipan makan siomay dulu ya di warung Ibu yang tidak seberapa ini, sekalian pernyataan maaf Ibu karena sudah membuat Nak Ipan dangkol, kesal dan marah tadi.”
“Tidak apa-apa, Bu! Saya mau pulang. Ada acara keluarga di rumah. Lain kali saja saya singgah dan mampir ke sini. Ini ada sedikit uang untuk mengganti uang yang diambil anak Ibu tadi, mohon diterima ya, Bu!”
“Lho, kok kamu memberi Ibu uang? Kamu tak ada berbuat kesalahan apa-apa sama Ibu.”
“Ibu terima saja uang yang ini!”
“Tidak, Nak! Ibu tidak boleh terima uang begitu saja tanpa tahu tujuan yang jelas.”
“Jujur saya prihatin melihat sikap anak Ibu. Lain dari itu, wajah Ibu mengingatkan saya akan almarhumah Ibu. Dulu saya juga anak yang bandel dan pernah melawan pada Ibu. Pada saat itu semua kesalahan belum tertebus dan saya belum bisa buat Ibu tersenyum akan prestasi-prestasi yang saya capai, Ibunda sudah meninggal. Saya merasa menyesal sekali, Bu! Kalau dunia dapat berputar kembali pada saat itu saya tidak akan mengecewakan Ibu saya. Maaf, Bu, saya jadi curhat.”
“Jadi itu alasan kamu tiba-tiba baik sama Ibu?”
“Maaf jika sikap baik saya buat Ibu tak terkenan dan salah.”
“Tidak ada yang salah. Ibu merasa heran saja. Tapi….!”
“Ibu terima saja uang ini ya buat menutupi modal berdagang Ibu.”
“Ibu akan terima asal kamu juga bersedia mencicipi siomay dan minuman yang ada di warung ini. Ibu siapkan dulu hidangan buat mereka yang telah menunggu lama.”
Setelah menghidangkan seluruh pesanan mereka, Ibu itu menyiapkan siomay untuk aku lengkap dengan secangkir teh manis dingin. Sambil menemani aku makan, sesekali kusempatkan bertanya tentang usaha siomay yang ia jalani.
Ternyata usaha Bu Nani sudah cukup lama berjalan dan langganannya lumayan banyak. Ibu itu juga pernah memekerjakan beberapa orang untuk membantunya. Sayangnya ia terlalu percaya dan menyerahkan juga urusan keuangan pada mereka. Tanpa sepengetahuan Bu Nani, seringkali uang yang dibayar pelanggan diam-diam diambil oleh pegawainya. Saat menghitung hasil penjualan, Ibu Nani merasa rugi. Padahal perhitungan sebelumnya ia merasa mendapat keuntungan. Karena tangan jahil pegawainya yang mengambil uang tanpa sepengetahuannya, ia terpaksa lebih memilih bekerja sendiri. Harapan dia terhadap Fadhli putra satu-satunya juga sirna karena anak itu lebih senang keluyuran dan tadi telah mengambil paksa uang hasil berjualannya.
Aku coba menghibur Ibu itu dan memberikan sedikit solusi yang bisa saja meringankan dia dalam menjalankan usahanya. Setidaknya ia tidak terlalu repot.
“Jika Ibu berkenan, saya akan bantu mencarikan orang untuk meringankan pekerjaan Ibu. Dari segi kejujuran, saya jaminan orang ini bisa dipercaya,”Ujarku berjanji.
“Terima kasih, nak! Tapi Ibu ragu bisa memberikan gaji yang pantas untuk orang itu. Apalagi uang Ibu sering diambil secara paksa oleh Fadhli. Andai saja bapak masih ada mungkin keadaan Fadhli tidak seperti ini.”
Wajah Ibu Nani menjadi berkaca-kaca. Mungkin teringat dengan suaminya. Dari nada bicara dan raut wajahnya bisa kutebak suaminya sudah meninggal. Kembali aku coba menabahkan hati Ibu itu untuk sabar menghadapi kelakuan putranya. Sabar juga dalam arti berusaha secara perlahan, tapi pasti untuk menyadarkan kelakuan putranya yang selalu menyusahkan dirinya.
Selesai melakukan semua itu aku segera permisi pulang. Apalagi petang sudah dating, aku harus segera tiba di rumah.
Sepanjang perjalanan, wajah Ibu itu terus hadir dalam ingatanku. Wajah yang amat mirip dengan wajah Ibunda. Juga perjuangan hidupnya. Aku jadi kepikiran untuk ziarah ke makam Ibu. Aku besok akan melakukan ziarah. Hitung-hitung melepas kangenku pada Ibu yang telah beberapa bulan tak kuziarahi.
Tiba di rumah, suasana sudah ramai, anak-anak Ayah, berserta cucu sekaligus keponakan telah ramai berkumpul. Hari ini adalah hari ulang tahun Ayah. Aku jauh-jauh hari telah menyiapkan kado spesial untuk Ayah. Aku berharap kado spesial dari aku membuat Ayah senang dan bahagia.
Setelah itu acara tiup lilin dimulai diiringi tepuk tangan serta lagu ulang tahun. Mata Ayah kelihatannya berkaca-kaca. Melihat foto Ibu yang ada di depannya, setelah itu Ayah meniup lilin yang melingkar di tengah kue bolu itu. Tepuk tangan pun mengiringi lilin yang telah ditiup.
Kemudian setelah ditiup lilin selesai, Ayah menerima salam anak dan keponakannya yang menyerahkan satu demi satu kado. “Selamat ulang tahun, Ayah. Hanya kado ini yang bisa Ipan berikan Ayah. Mudah-mudahan Ayah panjang umur, tambah bahagia dan sehat walafiat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar