Selasa, 14 Februari 2012

Cerpen Sabtu 19 November 2011


TANPAMU, AKU MASIH BISA BERNAPAS MESKI SATU-SATU
Cerpen : Rufaida


Hidup memang selalu menyodorkan kejutan, tak soal walaupun kejutan itu tak menyenangkan. Tapi jangan pernah sembunyi dari kenyataan.

Aku membaca pesan singkat itu sekali lagi dalam kurun  waktu ratusan hari. Ya, pesan itu sudah berada di inbox ponselku kurang lebih satu tahun lamanya. Ratusan kali pula aku membacanya untuk memotivasi diri, mencoba menyamarkan luka hati. Namun tetap saja aku belum bisa mengaplikasikannya dalam hidupku, dalam nyataku.
Benarkah aku sembunyi dari kenyataan? Inikah tujuanku jauh-jauh datang dari Pekanbaru ke Kota Medan yang semakin gersang ini? Medan yang tak pernah terlihat suram meski banyak jerit tangis pilu di setiap sudut jalanan. Semua itu terselubungi oleh mewahnya Medan metropolitan. Tapi luka itu sudah dua tahun berlalu. Berlalu bersama sang waktu yang sungguh tak pernah bersahabat denganku.
Untuk kesekian kalinya kurenungi pesan singkat itu. Pesan dari seseorang yang sudah kuanggap lebih dari sekadar sahabat. Orang yang tahu siapa aku, masa laluku, dan bahkan apa tujuanku ke Medan ini. Wia, Rabiatul Hadawiya namanya, tapi cewek tomboy itu lebih suka dipanggil dengan Wia. Wia adalah orang yang pertama kali kukenal ketika menghirup udara Kota Medan.
Saat itu kami sama-sama sedang mendaftar di salah satu PTS di Kota Medan ini. Sejak itu kami menjadi dekat dan akrab. Kebetulan kami satu kelas di Fakultas Ekonomi. Wia banyak membantu aku untuk bangkit dari keterpurukan masa lalu. Meski sampai saat ini aku belum bisa bangkit sepenuhnya, namun setidaknya telah bisa kembali menatap dunia. Pesan singkat itu adalah salah satu bukti bahwa Wia sangat memotivasi aku untuk terus menjalani hidup yang terasa getir ini.
Kupencet tombol back di ponselku dan bersikap seolah sedang tiduran ketika kudengar pintu kamarku diketuk seseorang.
“Masuk,“ jawabku tanpa tanya, pintu kamarku terkuak setengah.
Kak Lia muncul dengan senyuman khasnya. Kak Lia ini kakak iparku, istri Mas Doni, abangku yang sulung. Mas Doni yang saat itu tengah kuliah di salah satu PTN di Medan ini jatuh cinta dengan Kak Lia yang asli orang Medan. Setamat kuliah dan bekerja, mereka memutuskan untuk menikah. Awalnya Ayah dan Ibuku tak setuju ketika setelah menikah Kak Lia tidak mau diboyong ke rumah keluargaku di Pekanbaru. Malah membujuk Mas Doni untuk tinggal di Medan saja walaupun di rumah kontrakan. Namun karena Kak Lia keukeuh dan Mas Doni pun setuju dengan istrinya, Ayah dan Ibu luluh juga.
Alasan Kak Lia nggak mau pindah adalah karena dia sangat mencintai Medan, nggak bisa pisah dengan Medan. Klise memang, siapa coba yang tidak mencintai kampung halamannya?
“Medan ini kota yang memikat Dek, kau pasti akan jatuh cinta juga pada Medan nantinya seperti Masmu itu,“ ucapnya  suatu kali.
Aku hanya tersenyum tipis mendengar statement-nya itu. Tak soal bagiku. Toh andai tidak ada mereka aku tidak mungkin bisa kuliah di Medan. Ayah, apalagi Ibu pasti tidak akan memberiku izin untuk tinggal di Medan sendiri. Dan bisa dipastikan akan setengah mati membalut luka itu, luka yang sampai saat ini tak jua mengering meski dampak global warming tengah mengeringkan Medan setiap hari.
“Lho kok malah melamun, Dek? Ditawarin makan mie Aceh kok bengong, biasanya kau langsung semangat.“
Aku tergeragap. Kak Lia kembali tersenyum tapi kali ini posisinya sudah berada di tepi tempat tidurku. Entah sejak kapan dia berpindah dari ambang pintu.
“Mie Aceh?” tanyaku bodoh.
“Ya, mie Aceh. Dari tadi kakak tawarin malah bengong. Mikirin apa, hayoo? Pacar baru ya, pasti si Rian kan yang sering datang ke rumah itu?” goda Kak Lia masih dengan senyumannya yang khas, tulus dan menentramkan siapa saja yang mendapat senyuman darinya.
Aku nyengir kuda. “Nggak-lah, Kak. Lagi memikirkan bangsa ini, Kak,” dustaku cepat sembari mengubah posisi menjadi duduk di sebelah Kak Lia. Tapi aku tidak berbakat bohong sehingga Kak Lia masih terus menggodaku.
“Bangsa ini? Bangsa ini beserta isi-isinya kan? Khususnya yang bernama Rian?”
Aku terkekeh.
“Iya, iya, iya biar Kakak senang. Ayo kita makan Mie Aceh-nya,” dustaku lagi seraya menarik tangan Kak Lia bangkit dan menuju ruang makan. Kali ini sepertinya dustaku berhasil, sebab tanpa banyak tanya Kak Lia mengikuti langkahku.
**
“Bulan depan aku mau married, Ci.”
“Apa? Married? Kau bercanda kan? Sama siapa? Kau kan sudah putus dengan Yoga yang cupu itu? Lagian kita baru seminggu lulus SMA, masa mau married langsung?”
“Ih, kebiasaan. Kalau ngomong nyerocos. Satu-satu dulu selesaikan,” gerutu Fitri manyun, namun tak seperti layaknya orang yang mau menikah. Fitri tidak terlihat bahagia.
“Kau pun ngomong sembarangan gitu.”
Nggak sembarangan kok, aku memang mau married, Ci.” Fitri menatapku lurus, aku tak mengerti apa maksud pandangan mata itu. “Maafin aku ya, Ci, aku tahu ini akan sangat menyakitkan buatmu. Tapi nggak ada gunanya menyesal sekarang seharusnya dari dulu aku menyesal.”
“Aku nggak ngerti, Fit, aku seneng-lah kalau kau mau married, kalau itu sudah menjadi keputusan terbaik buatmu. Apa yang harus buat aku sedih atau sakit?”
Fitri diam saja, hanya setetes air bening tergelincir dari kedua sudut matanya “Kenapa nangis? Memangnya kau mau married sama siapa?”
Fitri menggigit bibir bagian bawahnya, air bening itu semakin deras membanjiri kedua pipinya. Aku merengkuh Fitri, tiba-tiba terlintas satu pertanyaan di benakku “Memangnya apa yang membuatmu ingin cepat-cepat menikah Fit?”
“A..aku hamil, Ci.” Reflek aku melepas rengkuhanku di bahunya, kutatap dengan nanar matanya yang basah.
“Siapa yang berbuat itu padamu? Katakana padaku, Fit, katakan!”
“Satria.”
“APA?!!”
Angkutan kota yang kutumpangi berhenti di sebuah persimpangan ketika lampu merah traffic light menyala memberi tanda, membuyarkan lamunanku, menyentakku kembali ke masa sekarang. Tak sedikitpun aku peduli akan berapa lama lampu merah itu hentikan perjalananku sepulang dari kampus siang ini, separuh pikiranku masih tertinggal di masa lalu.
“Suci !!” Panggil Wia setengah teriak, padahal dia berada di sebelahku, itu membuatku terkejut.
“Bisa nggak mmanggilnya pelan aja? Kaya’ jarak kita jauh aja, Wi,” sungutku geram.
“Heh, udah dari tadi ya aku manggil, kau asyik melamun aja.”
“Apa”
“Kau lihat anak kecil itu?” Wia menunjuk ke arah luar jendela angkot, aku mengikuti arah jari telunjuknya. Seorang bocah kira-kira berusia 9 tahun berbadan kurus dan berkulit hitam legam tengah memetik dawai sebuah gitar plastik dengan amat khusyuk. Bibirnya yang sehitam kulit tubuhnya komat-kamit menyanyikan sebuah lagu cinta milik band lokal ternama.
“Ya, aku lihat,” jawabku tanpa menoleh lagi ke arah Wia.
“Apa perbedaan antara kau dan dia?” pertanyaan Wia yang terdengar konyol itu memaksa aku untuk  menoleh ke arahnya.
“Banyak, tapi yang jelas aku cewek, dia cowokA. Aku sudah berusia 20 tahun dan dia masih kecil, mungkin baru berusia delapan atau sembilan tahun.”
“Ya, kau benar. Tapi yang paling mendasar ialah kau lebih beruntung daripada dia. Kau jauh-jauh datang ke Medan untuk mengenyam pendidikan tinggi menimba ilmu sebanyak-banyaknya agar menjadi orang yang berguna dan bisa membanggakan kedua orang tuamu. Sementara dia? Pada usia sebelia itu dia yang entah dari mana datangnya sudah harus menelan bulat-bulat getirnya ibukota. Tidak ada yang peduli akan nasibnya kecuali dirinya sendiri.
Begitu juga dengan ribuan teman-temannya sesama anak jalanan yang lain. Mereka tidak mendapat kesejahteraan yang layak. Tidak bisa mengenyam pendidikan seperti yang kita rasakan. Bagaimana mungkin bangsa ini khususnya kota Medan ini bisa maju jika masih banyak masyarakatnya yang terlantar dan berpendidikan rendah?
Dan bagaimana mungkin mereka bisa mengenyam pendidikan tinggi jika semakin hari biaya pendidikan semakin mahal saja? Bisa menyambung hidup setiap harinya saja sudah cukup.”
“Lalu? Apa hubungannya dengan aku, Wia? Kenapa tiba-tiba nyerocos nggak jelas gitu ke aku?”
“Supaya kau bersyukur saja. Masalahmu itu hanya masalah kecil, masalah cinta. Selain itu, kau tak punya masalah berat. Kau pintar, keluargamu berasal dari keluarga yang berkecukupan. Banyak orang di sekelilingmu yang menyayangimu dan peduli akan kau.”
Aku masih belum tahu arah pembicaraan Wia, tapi aku diam saja. Membiarkannya terus nyerocos. “Maksudku, masalahmu dengan Satria mantan kekasihmu itu dan dengan Fitri sahabatmu  itu…………..”
“Mantan sahabat!” tukasku cepat.
“Oke, mantan sahabat, sudah selayaknya kau mengubur masalah itu jangan pikirkan lagi, sudah dua tahun berlalu Suci, aku tidak mau kau terus terpuruk seperti ini”

“Tunggu tunggu! apa yang tiba-tiba membuatmu berpikiran bahwa aku masih memikirkan hal itu?”
“Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan masa lalumu itu kan? Makanya ketika aku memanggilmu kau tidak dengar.”
Aku tersenyum tipis. ”Memangnya kelihatan ya?”
“Kelihatan sekali malah, kau sudah harus bangkit, Ci. Kau sudah harus membuka mata, hati, dan pikiranmu. Di luar sana masih banyak orang-orang yang nasibnya lebih menyedihkan daripada kau. Hidup ini terlalu indah untuk kaugunakan menangisi cinta. Lebih baik kaugunakan untuk memikirkan bagaimana caranya memberantas koruptor di Kota kita tercinta ini. Yang karena ulah mereka, pembangunan kota Medan ini jadi terhambat!”
Traffic light memberi tanda hijau agar kendaraan-kendaraan segera melanjutkan perjalanannya, aku menghela napas. “Kok jadi kaya’ orasi kau, Wi, hahaha,” tawaku terdengar garing sebab ucapan Wia yang panjang lebar itu mengena di sudut hatiku.
“Hahaha, bukan orasi, Suci, tapi cuma mau mengingatkan. Kau kan mahasiswa, harus kritislah dengan keadaan di sekitarmu. Selama ini kau selalu berpikir bahwa kau adalah orang yang paling menderita sedunia, sehingga kau tidak peduli dengan lingkungan sekitarmu. Tidak peduli dengan saudara-saudara kita yang lebih miris kehidupannya dibanding dengan kehidupan kita.”
“Ya, mungkin kau benar tapi apalah yang bisa kita lakukan. Kita cuma mahasiswa yang tidak memegang kuasa. Siapa yang mau dengar suara kita? Dengan apa kita memrotes keadaan kota ini? Demo? Iya kalau berhasil, bukannya malah menimbulkan korban seperti biasa yang terjadi jika ada demonstrasi…”
Wia tersenyum menang. Aku tahu dia sudah sukses mengalihkan pikiranku yang hampir selalu tertuju pada masa lalu, pada Satria, pada Fitri.
“Justru peran kita sangat besar, Ci, apalagi kalau kau bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa seperti aku. Kau kan selama ini cuma kupu-kupu, kuliah-pulang kuliah-pulang. Hehehehee.”
“Mulai  deh sosialisasi.” Wia terkekeh mendengar gerutuanku.
“Sekalian kan nggak apa-apa. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memikirkan kemajuan kota ini? Seperti masalah sampah. Para pemegang kuasa di atas sana sudah tidak sempat lagi memikirkannya, sebab mereka sudah sibuk memikirkan uang, uang, dan uang. Dampaknya, ya seperti sekarang ini, semakin hari semakin kotor saja Medan ini bah!”
Meski sudah biasa mendengar ocehan Wia yang khas aktivis kampus, aku masih saja geleng-geleng kepala.
“Alah Wi, kau berpikir idealis seperti ini kan karena kau masih jadi mahasiswa, coba nanti kau jadi pejabat mungkin kau lebih parah dari mereka yang kau kecam itu!”
“Aku nggak mau jadi pejabat, aku mau jadi kritrikus saja.” Aku dan Wia sama-sama tertawa.
“Pinggir, ya Bang!”teriak Wia ketika angkot yang kami tumpangi melintasi rumahnya. Kami berencana mengerjakan tugas makalah di rumahnya siang ini. Itu sebabnya aku tidak pulang ke kontrakan Mas Doni dan Kak Lia.
Mungkin aku akan meneteskan air mata setiap hari jika tidak ada Wia di sampingku. Cerita masa laluku yang pahit membuatku terus sendiri. Tak bisa membuka hati untuk yang lain.
Wia yang membuatku percaya bahwa masih ada yang namanya sahabat di dunia ini, bahwa tidak semua sahabat itu penghianat.
“Selama ini aku punya hubungan dengan Fitri di belakangmu, Ci. Maafkan aku. Aku memang salah. Aku sudah berhianat, dan sekarang aku harus meninggalkanmu karena Fitri lebih membutuhkan aku.”
Saat itu aku berpikir, semudah itukah aku diabaikan? Tiga tahun aku menjalani hari-hariku dengan Satria pacarku dan Fitri sahabatku. Sempat aku merasa hidupku sempurna waktu itu. Namun ternyata memang tak ada yang sempurna di dunia ini, semuanya fana.
“Aku minta maaf, Ci. Aku tahu ini menyakitkan buatmu. Tapi aku dan Satria saling mencintai, kau harus tahu itu.”
Mudah bagi mereka meminta maaf, semudah mereka membuang aku. Tapi itu kini tak menjadi persoalan lagi bagiku. Aku tak akan lagi dikejar-kejar masa lalu yang tak pantas dikenang itu. Aku lebih berharga dari mereka, meski aku menyesal sempat membenci mereka. Tapi paling tidak jauh, di dasar hatiku, aku telah tengah memaafkan mereka.
Hey, pasti mikir Satria lagi. Sudahlah, biarkan dia bahagia dengan sahabatmu. Mungkin memang bukan kau yang terbaik untuknya.” Lagi-lagi Wia membuyarkan lamunanku, aku tersenyum tipis.
“Kok senyum? Sudah selesai kesimpulan dari makalah kita?” Wia mengambil alih mouse dari tanganku dan memeriksa ketikan makalah kami. Sejurus kemudian ia tersenyum puas.
Oke, kan?” aku mengedipkan sebelah mataku.
Wia menangguk. “Ya, tumben pemikiranmu tentang masyarakat sangat antusias.”
“Tentu saja, perubahan itu perlu.”
“Hadoooh, mati lampu terus. Jadi gerah.” Wia mengipas-ngipas tubuhnya dengan selembar kertas. Seperti biasa, tiap malam minggu kami menginap bareng, dan malam minggu ini giliran di rumahku, rumah kontrakan abangku maksudnya.
“Serasa di zaman purba, ya,” sahutku terkikik geli. “Ya, namanya aja tinggal di Kota Medan metropolitan, tapi tiap malam gelap-gelapan.”
Aku hanya tertawa, Wia memang benar. Sekarang sudah mending cuma satu hari sekali mati lampu. Beberapa waktu lalu sempat juga satu hari tiga kali kaya’ minum obat aja. Kalau minum obat kan karena ada resep dokter, nah, kalau mati lampu siapa yang ngasih resep ya?
“Hobi kok melamun!”
“Yang penting kan nggak melamun jorok, week!”
“Hmmmm, jadi cemana tentang seminar sosialisasi pendidikan itu? Kau ikut kan, Ci? Gratislah buatmu, kan aku panitianya.”
“Iya, cerewet! Aku tertarik dengan judul seminar itu. Aku berharap masyarakat dapat menerima dengan baik dan mereka jadi sadar akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa ini bahkan bagi kesejahteraan hidup mereka.”
“Ya, aku juga berharap begitu. Aku juga mengundang wartawan kampus untuk meliput seminar itu. Yah, semoga saja penguasa-penguasa di atas sana membaca beritanya dan akan menjadi peduli dengan rakyatnya.”
Wia menepuk bahuku. “Benar, Wi, mereka harus sadar bahwa karena ulah KKN mereka kota Medan ini jadi semakin memrihatinkan, terutama infrastrukturnya. Mereka tidak maju dan terkesan tidak mau maju. Apa jadinya kalau pemerintah tidak peduli dengan keadaan masyarakat yang seperti itu?” ucapku panjang lebar, sepertinya aku sudah mulai ketularan Wia.
Ciyeeee, kritis ah! Bagus itu, jadi udah lupa kan sama Satria?”
“Yup!”
Udah lupa sama sakit hati?”
“Pasti!”
BYAAARR! Lampu hidup “Horeee!” aku dan Wia berteriak kegirangan, semoga ini adalah terakhir kalinya pemadaman listrik bergilir di kota Medan. Amiiiiiin. ***

Mimbar Umum, Sabtu 19 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar