TANPAMU,
AKU MASIH BISA BERNAPAS MESKI SATU-SATU
Cerpen :
Rufaida
Hidup memang selalu
menyodorkan kejutan, tak soal walaupun kejutan itu tak menyenangkan. Tapi
jangan pernah sembunyi dari kenyataan.
Aku membaca pesan singkat itu sekali lagi dalam
kurun waktu ratusan hari. Ya, pesan itu
sudah berada di inbox ponselku kurang
lebih satu tahun lamanya. Ratusan kali pula aku membacanya untuk memotivasi
diri, mencoba menyamarkan luka hati. Namun tetap saja aku belum bisa
mengaplikasikannya dalam hidupku, dalam nyataku.
Benarkah aku sembunyi dari kenyataan? Inikah
tujuanku jauh-jauh datang dari Pekanbaru ke Kota Medan yang semakin gersang
ini? Medan yang tak pernah terlihat suram meski banyak jerit tangis pilu di
setiap sudut jalanan. Semua itu terselubungi oleh mewahnya Medan metropolitan.
Tapi luka itu sudah dua tahun berlalu. Berlalu bersama sang waktu yang sungguh
tak pernah bersahabat denganku.
Untuk kesekian kalinya kurenungi pesan singkat itu.
Pesan dari seseorang yang
sudah kuanggap lebih dari sekadar sahabat. Orang yang tahu siapa aku, masa
laluku, dan bahkan apa tujuanku ke Medan ini. Wia, Rabiatul Hadawiya namanya,
tapi cewek tomboy itu lebih suka dipanggil dengan Wia. Wia adalah orang yang
pertama kali kukenal ketika menghirup udara Kota Medan.
Saat itu kami sama-sama sedang mendaftar di salah
satu PTS di Kota Medan ini. Sejak itu kami menjadi dekat dan akrab. Kebetulan
kami satu kelas di Fakultas Ekonomi. Wia banyak membantu aku untuk bangkit dari
keterpurukan masa lalu. Meski sampai saat ini aku belum bisa bangkit
sepenuhnya, namun setidaknya telah bisa kembali menatap dunia. Pesan singkat
itu adalah salah satu bukti bahwa Wia sangat memotivasi aku untuk terus
menjalani hidup yang terasa getir ini.
Kupencet tombol back di ponselku dan bersikap seolah sedang tiduran ketika kudengar
pintu kamarku diketuk seseorang.
“Masuk,“ jawabku tanpa tanya, pintu kamarku
terkuak setengah.
Kak Lia muncul dengan senyuman khasnya. Kak Lia
ini kakak iparku, istri Mas Doni, abangku yang sulung. Mas Doni yang saat itu
tengah kuliah di salah satu PTN di Medan ini jatuh cinta dengan Kak Lia yang
asli orang Medan. Setamat kuliah dan bekerja, mereka memutuskan untuk menikah.
Awalnya Ayah dan Ibuku tak setuju ketika setelah menikah Kak Lia tidak mau
diboyong ke rumah keluargaku di Pekanbaru. Malah membujuk Mas Doni untuk
tinggal di Medan saja walaupun di rumah kontrakan. Namun karena Kak Lia keukeuh dan Mas Doni pun setuju dengan istrinya, Ayah dan Ibu luluh
juga.
Alasan Kak Lia nggak
mau pindah adalah karena dia sangat mencintai Medan, nggak bisa pisah dengan Medan. Klise memang, siapa coba yang tidak mencintai
kampung halamannya?
“Medan ini kota yang memikat Dek, kau pasti akan
jatuh cinta juga pada Medan nantinya seperti Masmu itu,“ ucapnya suatu kali.
Aku hanya tersenyum tipis mendengar statement-nya itu. Tak soal bagiku. Toh andai tidak ada mereka aku tidak
mungkin bisa kuliah di Medan. Ayah, apalagi Ibu pasti tidak akan memberiku izin
untuk tinggal di Medan sendiri. Dan bisa dipastikan akan setengah mati membalut
luka itu, luka yang sampai saat ini tak jua mengering meski dampak global warming tengah mengeringkan Medan
setiap hari.
“Lho kok malah melamun, Dek? Ditawarin makan mie
Aceh kok bengong, biasanya kau
langsung semangat.“
Aku tergeragap. Kak Lia kembali tersenyum tapi
kali ini posisinya sudah berada di tepi tempat tidurku. Entah sejak kapan dia
berpindah dari ambang pintu.
“Mie Aceh?” tanyaku bodoh.
“Ya, mie Aceh. Dari tadi kakak tawarin malah bengong. Mikirin apa, hayoo? Pacar baru
ya, pasti si Rian kan yang sering
datang ke rumah itu?” goda Kak Lia masih dengan senyumannya yang khas, tulus
dan menentramkan siapa saja yang mendapat senyuman darinya.
Aku nyengir
kuda. “Nggak-lah, Kak. Lagi
memikirkan bangsa ini, Kak,” dustaku cepat sembari mengubah posisi menjadi duduk
di sebelah Kak Lia. Tapi aku tidak berbakat bohong sehingga Kak Lia masih terus
menggodaku.
“Bangsa ini? Bangsa ini beserta isi-isinya kan? Khususnya yang bernama Rian?”
Aku terkekeh.
“Iya, iya, iya biar Kakak senang. Ayo kita makan
Mie Aceh-nya,” dustaku lagi seraya menarik tangan Kak Lia bangkit dan menuju
ruang makan. Kali ini sepertinya dustaku berhasil, sebab tanpa banyak tanya Kak
Lia mengikuti langkahku.
**
“Bulan depan
aku mau married, Ci.”
“Apa? Married? Kau bercanda kan?
Sama siapa? Kau kan
sudah putus dengan Yoga yang cupu
itu? Lagian kita baru seminggu lulus
SMA, masa mau married langsung?”
“Ih,
kebiasaan. Kalau ngomong nyerocos. Satu-satu dulu selesaikan,” gerutu Fitri
manyun, namun tak seperti layaknya orang yang mau menikah. Fitri tidak terlihat
bahagia.
“Kau pun
ngomong sembarangan gitu.”
“Nggak sembarangan kok, aku memang mau married, Ci.” Fitri menatapku lurus, aku
tak mengerti apa maksud pandangan mata itu. “Maafin aku ya, Ci, aku tahu ini
akan sangat menyakitkan buatmu. Tapi nggak
ada gunanya menyesal sekarang seharusnya dari dulu aku menyesal.”
“Aku nggak ngerti, Fit, aku seneng-lah kalau kau mau married, kalau itu sudah menjadi
keputusan terbaik buatmu. Apa yang harus buat aku sedih atau sakit?”
Fitri diam
saja, hanya setetes air bening tergelincir dari kedua sudut matanya “Kenapa
nangis? Memangnya kau mau married
sama siapa?”
Fitri
menggigit bibir bagian bawahnya, air bening itu semakin deras membanjiri kedua
pipinya. Aku merengkuh Fitri, tiba-tiba terlintas satu pertanyaan di benakku
“Memangnya apa yang membuatmu ingin cepat-cepat menikah Fit?”
“A..aku hamil,
Ci.” Reflek aku melepas rengkuhanku di bahunya, kutatap dengan nanar matanya
yang basah.
“Siapa yang berbuat itu padamu? Katakana padaku,
Fit, katakan!”
“Satria.”
“APA?!!”
Angkutan kota yang kutumpangi berhenti di sebuah
persimpangan ketika lampu merah traffic
light menyala memberi tanda, membuyarkan lamunanku, menyentakku kembali ke
masa sekarang. Tak sedikitpun aku peduli akan berapa lama lampu merah itu
hentikan perjalananku sepulang dari kampus siang ini, separuh pikiranku masih
tertinggal di masa lalu.
“Suci !!” Panggil Wia setengah teriak, padahal dia
berada di sebelahku, itu membuatku terkejut.
“Bisa nggak
mmanggilnya pelan aja? Kaya’ jarak kita jauh aja, Wi,” sungutku geram.
“Heh, udah
dari tadi ya aku manggil, kau asyik melamun aja.”
“Apa”
“Kau lihat anak kecil itu?” Wia menunjuk ke arah
luar jendela angkot, aku mengikuti arah jari telunjuknya. Seorang bocah
kira-kira berusia 9 tahun berbadan kurus dan berkulit hitam legam tengah
memetik dawai sebuah gitar plastik dengan amat khusyuk. Bibirnya yang sehitam
kulit tubuhnya komat-kamit menyanyikan sebuah lagu cinta milik band lokal
ternama.
“Ya, aku lihat,” jawabku tanpa menoleh lagi ke arah
Wia.
“Apa perbedaan antara kau dan dia?” pertanyaan Wia
yang terdengar konyol itu memaksa aku untuk
menoleh ke arahnya.
“Banyak, tapi yang jelas aku cewek, dia cowokA. Aku
sudah berusia 20 tahun dan dia masih kecil, mungkin baru berusia delapan atau
sembilan tahun.”
“Ya, kau benar. Tapi yang paling mendasar ialah
kau lebih beruntung daripada dia. Kau jauh-jauh datang ke Medan untuk mengenyam
pendidikan tinggi menimba ilmu sebanyak-banyaknya agar menjadi orang yang
berguna dan bisa membanggakan kedua orang tuamu. Sementara dia? Pada usia
sebelia itu dia yang entah dari mana datangnya sudah harus menelan bulat-bulat
getirnya ibukota. Tidak ada yang peduli akan nasibnya kecuali dirinya sendiri.
Begitu juga dengan ribuan teman-temannya sesama
anak jalanan yang lain. Mereka tidak mendapat kesejahteraan yang layak. Tidak
bisa mengenyam pendidikan seperti yang kita rasakan. Bagaimana mungkin bangsa
ini khususnya kota Medan ini bisa maju jika masih banyak masyarakatnya yang
terlantar dan berpendidikan rendah?
Dan bagaimana mungkin mereka bisa mengenyam
pendidikan tinggi jika semakin hari biaya pendidikan semakin mahal saja? Bisa
menyambung hidup setiap harinya saja sudah cukup.”
“Lalu? Apa hubungannya dengan aku, Wia? Kenapa
tiba-tiba nyerocos nggak jelas gitu ke aku?”
“Supaya kau bersyukur saja. Masalahmu itu hanya
masalah kecil, masalah cinta. Selain itu, kau tak punya masalah berat. Kau
pintar, keluargamu berasal dari keluarga yang berkecukupan. Banyak orang di sekelilingmu
yang menyayangimu dan peduli akan kau.”
Aku masih belum tahu arah pembicaraan Wia, tapi
aku diam saja. Membiarkannya terus nyerocos.
“Maksudku, masalahmu dengan Satria mantan kekasihmu itu dan dengan Fitri
sahabatmu itu…………..”
“Mantan sahabat!” tukasku cepat.
“Oke, mantan sahabat, sudah selayaknya kau
mengubur masalah itu jangan pikirkan lagi, sudah dua tahun berlalu Suci, aku
tidak mau kau terus terpuruk seperti ini”
“Tunggu tunggu! apa yang tiba-tiba membuatmu
berpikiran bahwa aku masih memikirkan hal itu?”
“Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan masa lalumu
itu kan? Makanya ketika aku memanggilmu kau tidak dengar.”
Aku tersenyum tipis. ”Memangnya kelihatan ya?”
“Kelihatan sekali malah, kau sudah harus bangkit,
Ci. Kau sudah harus membuka mata, hati, dan pikiranmu. Di luar sana masih
banyak orang-orang yang nasibnya lebih menyedihkan daripada kau. Hidup ini
terlalu indah untuk kaugunakan menangisi cinta. Lebih baik kaugunakan untuk
memikirkan bagaimana caranya memberantas koruptor di Kota kita tercinta ini. Yang karena ulah mereka, pembangunan kota
Medan ini jadi terhambat!”
Traffic
light memberi tanda hijau
agar kendaraan-kendaraan segera melanjutkan perjalanannya, aku menghela napas. “Kok
jadi kaya’ orasi kau, Wi, hahaha,”
tawaku terdengar garing sebab ucapan Wia yang panjang lebar itu mengena di
sudut hatiku.
“Hahaha, bukan orasi, Suci, tapi cuma mau
mengingatkan. Kau kan mahasiswa,
harus kritislah dengan keadaan di sekitarmu. Selama ini kau selalu berpikir
bahwa kau adalah orang yang paling menderita sedunia, sehingga kau tidak peduli
dengan lingkungan sekitarmu. Tidak peduli dengan saudara-saudara kita yang
lebih miris kehidupannya dibanding dengan kehidupan kita.”
“Ya, mungkin kau benar tapi apalah yang bisa kita
lakukan. Kita cuma mahasiswa yang tidak memegang kuasa. Siapa yang mau dengar suara
kita? Dengan apa kita memrotes keadaan kota ini? Demo? Iya kalau berhasil,
bukannya malah menimbulkan korban seperti biasa yang terjadi jika ada
demonstrasi…”
Wia tersenyum menang. Aku tahu dia sudah sukses
mengalihkan pikiranku yang hampir selalu tertuju pada masa lalu, pada Satria,
pada Fitri.
“Justru peran kita sangat besar, Ci, apalagi kalau
kau bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa seperti aku. Kau kan selama ini cuma kupu-kupu,
kuliah-pulang kuliah-pulang. Hehehehee.”
“Mulai deh sosialisasi.” Wia terkekeh mendengar
gerutuanku.
“Sekalian kan
nggak apa-apa. Kalau bukan kita,
siapa lagi yang akan memikirkan kemajuan kota ini? Seperti masalah sampah. Para
pemegang kuasa di atas sana sudah tidak sempat lagi memikirkannya, sebab mereka
sudah sibuk memikirkan uang, uang, dan uang. Dampaknya, ya seperti sekarang ini,
semakin hari semakin kotor saja Medan ini bah!”
Meski sudah biasa mendengar ocehan Wia yang khas
aktivis kampus, aku masih saja geleng-geleng kepala.
“Alah Wi, kau berpikir idealis seperti ini kan karena kau masih jadi mahasiswa,
coba nanti kau jadi pejabat mungkin kau lebih parah dari mereka yang kau kecam
itu!”
“Aku nggak
mau jadi pejabat, aku mau jadi kritrikus saja.” Aku dan Wia sama-sama tertawa.
“Pinggir, ya Bang!”teriak Wia ketika angkot yang
kami tumpangi melintasi rumahnya. Kami berencana mengerjakan tugas makalah di
rumahnya siang ini. Itu sebabnya aku tidak pulang ke kontrakan Mas Doni dan Kak
Lia.
Mungkin aku akan meneteskan air mata setiap hari
jika tidak ada Wia di sampingku. Cerita masa laluku yang pahit membuatku terus
sendiri. Tak bisa membuka hati untuk yang lain.
Wia yang membuatku percaya bahwa masih ada yang
namanya sahabat di dunia ini, bahwa tidak semua sahabat itu penghianat.
“Selama ini aku punya hubungan dengan Fitri di belakangmu,
Ci. Maafkan aku. Aku memang salah. Aku sudah berhianat, dan sekarang aku harus
meninggalkanmu karena Fitri lebih membutuhkan aku.”
Saat itu aku berpikir, semudah itukah aku diabaikan?
Tiga tahun aku menjalani hari-hariku dengan Satria pacarku dan Fitri sahabatku.
Sempat aku merasa hidupku sempurna waktu itu. Namun ternyata memang tak ada
yang sempurna di dunia ini, semuanya fana.
“Aku minta maaf, Ci. Aku tahu ini menyakitkan
buatmu. Tapi aku dan Satria saling mencintai, kau harus tahu itu.”
Mudah bagi mereka meminta maaf, semudah mereka
membuang aku. Tapi itu kini tak menjadi persoalan lagi bagiku. Aku tak akan lagi dikejar-kejar masa lalu
yang tak pantas dikenang itu. Aku lebih berharga dari mereka, meski aku
menyesal sempat membenci mereka. Tapi paling tidak jauh, di dasar hatiku, aku
telah tengah memaafkan mereka.
“Hey,
pasti mikir Satria lagi. Sudahlah, biarkan dia bahagia dengan sahabatmu. Mungkin
memang bukan kau yang terbaik untuknya.” Lagi-lagi Wia membuyarkan lamunanku,
aku tersenyum tipis.
“Kok senyum? Sudah selesai kesimpulan dari makalah
kita?” Wia mengambil alih mouse dari
tanganku dan memeriksa ketikan makalah kami. Sejurus kemudian ia tersenyum
puas.
“Oke, kan?” aku mengedipkan sebelah mataku.
Wia menangguk. “Ya, tumben pemikiranmu tentang masyarakat sangat antusias.”
“Tentu saja, perubahan itu perlu.”
“Hadoooh, mati
lampu terus. Jadi gerah.” Wia mengipas-ngipas tubuhnya dengan selembar kertas.
Seperti biasa, tiap malam minggu kami menginap bareng, dan malam minggu ini giliran di rumahku, rumah kontrakan abangku
maksudnya.
“Serasa di zaman
purba, ya,” sahutku terkikik geli. “Ya, namanya aja tinggal di Kota Medan metropolitan, tapi tiap malam
gelap-gelapan.”
Aku hanya
tertawa, Wia memang benar. Sekarang sudah mending cuma satu hari sekali mati
lampu. Beberapa waktu lalu sempat juga satu hari tiga kali kaya’ minum obat aja.
Kalau minum obat kan karena ada resep
dokter, nah, kalau mati lampu siapa yang ngasih
resep ya?
“Hobi kok
melamun!”
“Yang penting kan nggak melamun jorok, week!”
“Hmmmm, jadi cemana
tentang seminar sosialisasi pendidikan itu? Kau ikut kan, Ci? Gratislah buatmu, kan
aku panitianya.”
“Iya, cerewet!
Aku tertarik dengan judul seminar itu. Aku berharap masyarakat dapat menerima
dengan baik dan mereka jadi sadar akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan
bangsa ini bahkan bagi kesejahteraan hidup mereka.”
“Ya, aku juga
berharap begitu. Aku juga mengundang wartawan kampus untuk meliput seminar itu.
Yah, semoga saja penguasa-penguasa di atas sana membaca beritanya dan akan
menjadi peduli dengan rakyatnya.”
Wia menepuk
bahuku. “Benar, Wi, mereka harus sadar bahwa karena ulah KKN mereka kota Medan
ini jadi semakin memrihatinkan, terutama infrastrukturnya. Mereka tidak maju
dan terkesan tidak mau maju. Apa jadinya kalau pemerintah tidak peduli dengan
keadaan masyarakat yang seperti itu?” ucapku panjang lebar, sepertinya aku
sudah mulai ketularan Wia.
“Ciyeeee, kritis ah! Bagus itu, jadi udah lupa kan sama Satria?”
“Yup!”
‘Udah lupa sama sakit hati?”
“Pasti!”
BYAAARR! Lampu
hidup “Horeee!” aku dan Wia berteriak kegirangan, semoga ini adalah terakhir
kalinya pemadaman listrik bergilir di kota Medan. Amiiiiiin. ***
Mimbar Umum, Sabtu 19 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar