Minggu, 08 September 2013

Bukan Anak Haram

Cerpen :  Listra Panjaitan


T
epat 7 bulan setelah pernikahan, hari ini Reza balik dari Malaysia. Reza memutuskan menjadi TKI agar bisa membelikan Rani sebuah gubuk sederhana. Rani berdiri di muka kost-an menunggu kedatangan suaminya. Foto pernikahan mereka berdua tiada lepas dari tatapan Rani. Rani sudah tidak sabar menyampaikan kabar bahagia ini.
“Ini anak siapa? Cepat katakan ini anak siapa?”
Rani hanya terpaku mendengar ucapan suaminya. Bak disambar petir di siang bolong, bukannya Reza bahagia,  Rani malah menerima umpatan dari Reza.
“Rani ga bohong, Mas. Ini benar-benar anak Mas Reza,” jawab Rani berlinangan air mata.
“Diam. Dasar perempuan nakal!” umpat Reza dan sebuah tamparan mendarat di pipi Rani. Tidak hanya sampai di situ, Reza mulai kelabakan. Sebuah pisau Reza julurkan tepat di perut Rani. Menyadari situasi yang memanas, Rani mulai berpikir untuk menyelamatkan diri. Sebuah balok kayu yang tergeletak di pojok pintu berusaha Rani gapai.
“Dasar perempuan sialan. Awas kamu!” jerit Reza. Melihat suaminya yang terkapar lemah dengan kepala bercucuran darah, timbul keibaan di hati Rani. Tapi, Rani sadar keselamatan dirinya dan jabang bayi lebih penting. Rani pun melangkah meninggalkan suaminya.
***
Hampir sebulan kejadian itu berlalu, namun tak lepas dari ingatan Rani. Rani memutuskan tinggal di tempat sahabatnya, Ila, yang tinggal di kota. Rani juga tidak memberitahukan kejadian ini pada kedua orang tuanya yang tak pernah merestui hubungannya dengan Reza. Di keheningan malam, Rani sering menangis meratapi nasib. Ila sahabatnya menjadi satu-satunya tempat Rani mencurahkan kepedihan yang dideritanya.
“Sudahlah, Ran. Mungkin Reza mengira kalau anak ini bukan anaknya,” ujar Ila menghibur Rani. Sejenak Rani menatap Ila.
“Tapi, Ran, ini benar-benar anak Reza,” jawab Rani sambil memegangi perutnya yang terus membesar.
“Ya, aku percaya sama kamu. Tapi kamu mesti ingat, sebelum Reza berangkat ke Malaysia kamu kan belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan,” kata Ila kembali. Rani hanya tertunduk mendengar ucapan Ila. Ingatan Rani kembali mengingat kejadian itu.
“Ya, kamu benar, Il. Aku terlambat memberitahu Reza kalau aku sudah hamil,” jawab Rani. Tatapan Rani kembali ke foto pernikahan mereka.
 “Aku kira lebih baik tidak memberitahu kabar bahagia ini dulu. Namun semua jadi kacau, Il,” ujar Rani kembali. Kali ini air matanya harus menggenangi bantal yang dipegangnya.
“Sudahlah, Ran. Kamu lebih baik berdoa, mudah-mudahan Reza segera sadar,” jawab Ila dibarengi sebuah senyuman.
***
Agar tak terlalu membebani Ila, Rani memutuskan berjualan goreng keliling. Beberapa kali Ila melarangnya, namun Rani tetap pada pendiriannya. Rani terus menelusuri gang demi  gang. Suaranya yang khas mendendangkan jualannya.
“Gorengnya, Bu, masih panas,” ujar Rani menawarkan gorengannya yang belum laku padahal hari sudah sore. Lama ibu itu menatap perut Rani yang membesar dan hal itu membuat Rani gugup. Beruntung ibu itu segera mengeluarkan uang 2 ribuan.
“Makasih ya, Bu,” ujar Rani. Seketika rasa senang merekah di wajah Rani. Walau hanya 2 ribu, bagi Rani itu lebih dari cukup. Bahkan hal itu mampu menumbuhkan semangat yang lebih besar di hati Rani.
“Aku akan coba tawarkan gorengan ini pada Mas itu. Mudah-mudahan Mas itu mau beli gorenganku,” gumam Rani dalam hati. Dengan langkah yang mulai goyah akibat kelelahan, Rani berusaha menghampiri lelaki yang sedang duduk santai di bawah pohon menikmati udara sore. Sebelum sampai di tujuan, Rani merasakan tubuhnya terjatuh tepat di pelukan seorang lelaki. Rani berusaha untuk melihat siapa gerangan lelaki itu, namun Rani harus menyerah.
“Akhirnya kamu siuman.” Sebuah suara yang tak asing menyapa Rani. Betapa kagetnya Rani melihat sesosok lelaki yang berdiri di hadapannya.
“Kamu ngapain di sini? Suster, usir orang ini!” teriak Rani memecah kesunyian di salah satu pojok di Puskesmas itu. Lelaki itu berusaha ingin menjelaskan duduk perkara pada Rani, namun kebencian yang masih menyulut di hati Rani merusak moment berharga itu.
***
Tapi Il, aku belum bisa melupakan kejadian itu. Aku belum sanggup untuk bertemu Reza,” ujar Rani dengan berlinang air mata.
“Aku ngerti, Ran. Tapi sampai kapan? Harusnya kamu senang, jadi kamu bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi,” kata Ila berusaha menenangkan kegusaran yang dialami Rani. Mendengar ucapan sahabatnya, seketika penyesalan mendera Rani.
“Sayang, Ran, aku sudah mengusirnya. Sekarang aku tidak tahu Reza ada di mana,” jawab Rani. Terlihat Rani sangat terpukul dalam penyesalan yang menyergap. Ila pun memeluk sahabatnya yang malang itu.
***
Rani sudah tidak sabar menunggu kelahiran si jabang bayi tinggal menunggu hitungan hari. Namun, Rani masih berjualan gorengan. Sementara bayang-bayang lelaki yang menolongnya ketika pingsan pun menghantui pikirannya. Tapi, Rani sudah pasrah sekiranya tidak bisa bertemu dengan lelaki itu.
Ya, semenjak pertemuan seminggu lalu, Rani tak pernah lagi menemui lelaki itu. Berulang kali Rani kembali ke pojok jalan di bawah pohon itu, namun sia-sia. Masih setengah jalan, Rani merasakan perutnya terasa sakit. Rani mulai kelabakan. Rani berjalan terseok-seok menahan sakit. Terlambat. Belum sempat menepi, sebuah sepeda motor menabrak lari Rani. Darah mulai mengucur.
Derita berlanjut, jalanan sunyi. Hampir setengah jam, tak ada juga orang yang lewat. Rani pasrah jika ini mengantarkannya pada kehidupan abadi.
Rani berusaha membuka mata. Rani mengira saat ini sudah berada di surga. Samar-samar Rani melihat Ila sahabatnya yang berliangan air mata.
“Jangan menangis, Ila sayang,” ujar Rani dengan suara yang begitu pelan sambil terus menatap Ila sahabatnya.
“Kamu harus sembuh. Kamu ga boleh tinggalin aku,” jawab Ila berusaha menguatkan Rani. Tangan Ila tak henti memegangi wajah sahabatnya itu.
“Bayiku selamat, Ila?” tanya Rani. Tangannya berusaha menggapai perutnya. Air mata Rani tiada terbendung begitu menyadari perutnya sudah rata.
“Calon bayimu meninggal, Ran,” jawab Ila dengan terisak-isak. Sebuah pertunjukan tangis-menangis terlihat di ruang ICU Rumah Sakit. Entah berapa lama pertunjukan itu terjadi sampai akhirnya Ila menyadari tubuh Rani berubah kaku.
“Rani…jangan tinggalin aku.....,” teriak Rani memecah kesunyian malam di Rumah Sakit.
***
“Kamu bercanda kan, Ila. Ga mungkin Rani sudah meninggal,” kata lelaki itu. Lelaki itu terus memaksa Ila untuk memberitahukan di mana keberadaan Rani istrinya. Ila pun menarik paksa tangan lelaki itu dan mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang di dalamnnya berjejer batu nisan.
“Kamu ngapain bawa aku ke sini? Tolong jangan bercanda,” kata lelaki itu sambil terus mengikuti langkah Ila menelusuri makam. Setelah sampai di tempat yang dituju, Ila segera menunjukkan kuburan yang tanahnya masih segar dengan ukiran batu nisan  nama yang tak asing. Seketika tubuh lelaki itu lunglai. Tapi, ada dua batu nisan yang berjejer.
“Jadi, Rani dan anak haram ini meninggal bersamaan,” ujar Reza sambil terus mencium batu nisan istrinya.
“Kamu ke mana aja tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ila dan terus menatap Reza dengan kebencian.
“Aku berusaha mencari keberadaan istriku, namun aku tak pernah bisa menemukannya. Aku sudah pasrah kalau aku dan Rani tak akan pernah bisa bertemu lagi,” jawab Reza.
“Asal kamu tahu ya, itu anak kamu, bukan anak haram. Memang, Rani sengaja tidak mengabari kamu kalau sebenarnya Rani sudah hamil. Rani ingin memberikan kejutan ketika kamu sudah pulang. Tapi ternyata, kamu malah berpikir aneh-aneh,” ujar Ila menjelaskan.
“Kamu serius?” tanya Reza dengan wajah kaget.
“Kalau kamu tak percaya, kamu boleh gali kuburan ini. Silahkan kamu tes DNA apakah anak ini benar anakmu atau bukan? Anak ini bukan anak haram! Ingat itu,” kata Ila dan berlalu meninggalkan Reza yang tertunduk dengan penyesalan.
“Anakku….”
                                                                       

Medan, November 2012


Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakulktas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Medan. Saat ini juga sedang bergiat di Komunitas Tanpa Nama (Kontan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar