M
|
entari secara perlahan muncul
dari balik tirai awan yang memutih. Setelah bersembunyi seharian dari peraduan
malam. Semakin lama cahaya itu terlihat melejit semakin tinggi. Corak keemasan yang
melapisi cahaya itu berpencar ke segala penjuru menerangi semua benda yang ada
di permukaan bumi pertiwi. Mengungkap tabir yang hampir usang ditelan sang
zaman.
Burung-burung
berceracau merdu menyambut indahnya suasana pagi. Suasana semakin indah
ditambah alunan melodi klasik sang maestro yang terdengar dari kejauhan.
Hamparan pegunungan juga turut andil dalam menciptakan suasana indah di pagi
itu. Ya, suasana yang mampu mewakilkan rasa yang kini tengah bergejolak. Semua laksana
surga. Sempurna.
Terlihat dari kejauhan, Naila tengah
duduk menyendiri di tepi danau sembari menceburkan kedua kakinya ke air danau
yang jaraknya hanya beberapa meter dari tubuhnya. Sepintas kemudian, ia berdiri
sejenak sambil berjalan mondar-mandir sekitar danau. Mencoba meneguk hawa sejuk
yang mampu menghilangkan rasa penat yang bergelayut dalam pikiran setelah
menjalani rutinitas padat seharian.
Tiba-tiba,
sekulum senyum terbersit dari bibirnya yang merah dan tertawa renyah sembari
sepasang bola matanya dihadapkan ke arah hamparan langit biru. Sepertinya Ia
tengah diterpa angin kebahagiaan. Sejenak kemudian, Ia beranjak pergi meninggalkan
tempat itu dan berpindah ke tempat lain, entah ke mana.
Ya, dialah Naila.
Seorang wanita yang cukup terkenal di sekolahnya karena kecerdasan dan kecantikannya.
Selain itu Ia juga merupakan sosok wanita yang dikenal dengan kedisiplinan dan
memiliki sikap santun dalam bergaul. Tidak memandang perbedaan dalam pergaulan,
itulah motto hidupnya.
Banyak kaum Adam
yang menaruh rasa padanya, namun semua tidak Ia gubris sebab Ia merasa belum
waktunya untuk bergelimang dalam lautan percintaan. Saat ini Ia lebih fokus
pada cita-cita dan masa depannya. Sesuai dengan pesan orang tua bahwa Ia harus
berjuang keras untuk meraih masa depan yang gemilang.
***
Hari ini, matahari
sangat garang. Merayap dengan ketinggian yang tak menentu. Jaraknya sangat
dekat dengan permukaan bumi, seolah tepat berada di atas kepala. Pepohonan
meranggas dan daunnya berguguran akibat terpaan panas matahari. Atmosfir udara mencapai
90 derajat celcius.
Deretan angka
fantastik mendekati angka tertinggi. Berhasrat menjilat darah melalui pori
ubun-ubun serta membakar segala yang ada. Tak terkecuali dengan Naila, yang juga
merasakan panasnya terpaan sang raja siang. Keringat berkucur deras dari ubun
dan mengalir membanjiri seluruh tubuhnya. Kepenatan yang melanda seakan ikut
terhanyut bersama peluh yang mengalir.
Naila bergegas
ke kamar mandi dan segera menenggelamkan tubuhnya ke dalam bathtub. Berharap
hawa panas yang menyergap tubuhnya akan segera lenyap ditelan butiran-butiran busa.
Tiba-tiba telepon genggam yang diselipkan di kantung celana berdering keras. Namun,
Ia mengabaikan panggilan itu, sebab Ia masih ingin tenggelam bersama busa yang
membalut tubuhnya.
Selang beberapa
detik kemudian, telepon genggam itu kembali berdering. Ia pun bangkit dari bathtub
dan meraih hp-nya dengan merogo kantung celana yang tergantung di paku tembok,
persis di samping bathtub. Nama Andi tertera di layar handphone. Andi adalah
salah satu teman diskusi Naila di kampus dan satu ruangan dengannya. Andi merupakan
mahasiswa berprestasi pindahan luar negeri. Ia pindah kuliah karena orang
tuanya tidak ingin kalau jaraknya terlalu jauh dari lingkungan keluarga.
“Hai, Naila,” sapa
Andi dari kejauhan yang posisinya entah di mana.
“Iya, Ndi. Ada apa?” jawab Naila sekenanya.
“Kau di mana? Kita
ada kuliah tambahan hari ini pukul tiga sore nanti. Kau datang kan, sekalian diskusi juga. Jangan telat
ya.”
“Aku lagi di
rumah. Iia, sebentar aku datang.”
“Oya, Nail, ada yang
mau aku omongin sama kau. mmm....Masalah, tit…tit…tit!” tiba-tiba suara Andi terputus.
Ternyata baterai hp Naila lowbat.
“Sial!” pekik Naila.
Ia pun menyelesaikan mandinya dan segera bergegas ke kampus. Ia berlari-lari
kecil hingga akhirnya Ia tiba di kampus. Napasnya terputus-putus dan perlahan
diatur hingga napasnya kembali berirama. Ia mendapati Andi tengah berdiri di
depan ruangan kelas yang sedari tadi menunggunya.
“Maaf ya, Ndi, aku
terlambat.”
“Udah, ayo
cepat. Dosennya udah masuk dari tadi.” Mereka berdua bergegas memasuki ruang
kelas.
Persahabatan
antara Andi dan Naila memang belum berlangsung lama. Namun keakraban yang
terjalin antara mereka sudah sangat erat. Bahkan saking dekatnya, teman-teman
mereka menganggap bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tapi nyatanya tidak,
sama sekali tidak!
Seiring dengan
berjalannya waktu, Naila diam-diam menaruh rasa pada Andi. Perasaan ini semakin
lama semakin bergelayut dalam dada. Namun, Naila tidak berani mengungkapkan
rasa itu pada Andi. ”Masa ia seorang cewek yang ngungkapkan rasa sama cowok. Kan gak mungkin,” gumam Naila.
***
Sore ini, Naila
duduk di beranda rumah tepat di bawah cahaya lembayung senja yang mulai
memudar. Bayang wajah Andi semakin jelas tergambar dalam benaknya. Perlahan-lahan
ia menepis rasa itu, namun bayangan Andi terus menari seakan mengajaknya
berlabuh di lautan lepas bersama ombak yang bergulung memecah pantai.
“Astaghfirullahaladzim,”
ucap Naila sembari bangkit dari tempat duduknya dan segera melaksanakan shalat
maghrib.
Kini malam mulai terbentang. Naila
kelihatan gusar. Berjalan kesana-kemari di ruang tamu tanpa tujuan yang pasti
sembari menggenggam handphone. Sesekali Ia duduk di sofa dan menonton tv. Lantas
berdiri dan berjalan mondar-mandir, begitu seterusnya. Entah apa yang kini
tengah Ia rasakan. Ia sendiri tidak tahu dan tak mampu menafsirkan rasa itu.
Persahabatannya dengan Andi baru saja di
mulai. Dan Naila baru beberapa kali bertemu dengannya. Pertemuan itu bahkan
bisa dihitung jari. Pertemuan di kampus
tadi siang merupakan pertemuan ketiga kalinya. Selama ini Naila sangat anti yang
namanya pacaran, terlebih kalau banyak kaum Adam yang ingin memilikinya, tapi
semua Ia tolak
Namun entah mengapa, Ia merasakan
sesuatu yang beda pada diri Andi. Tapi, bukankah Ia telah berjanji pada kedua
orang tuanya bahwa Ia tidak akan hanyut dalam dunia percintaan selama masa
kuliah dan lebih dahulu memprioritaskan masa depannya. Entahlah, rasa itu tiba-tiba
saja bergelayut dan menelisik ke dalam sanubari Naila.
***
Hari ini, kegiatan diskusi di kelas
kembali digelar. Seperti biasanya, sebagai orang yang terkenal dengan
kelihaiannya dalam beretorika, Naila maju presentasi ke depan untuk memaparkan
hasil pengamatannya tentang ‘Pengaruh
Sastra Terhadap Masyarakat Dunia’. Biasanya Ia terlihat begitu antusias dan
lancar berbicara. Namun entah kenapa hari ini Ia merasa gugup dan sedikit grogi.
Selesai presentasi, Andi mengajak Naila makan
bersama ke sebuah restoran yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan
kampus. Awalnya Naila menolak tapi karena terus dipaksa Andi, akhirnya Ia pun tidak
bisa mengelak. Gedung restoran terlihat sangat mewah. Seluruh ruangan berhiaskan
lampu warna-warni. Aura kemewahan restoran semakin terpancar dengan balutan
sutra yang elegan yang menempel pada tiap siku dinding.
Restoran itu menjadi saksi bisu pertemuan
Andi dan Naila. Andi mengungkapkan rasa cintanya pada Naila. Tanpa sepengetahuan
Naila, ternyata Andi juga menarus rasa yang sama padanya. Namun selama ini Andi
menunggu saat-saat yang tepat.
“Naila, maukah kau menjadi pendamping
hidupku?” sapa Andi dengan nada pasti sembari menyematkan kalung ke leher
Naila. Naila terkejut dan merasa grogi.
“Sebenarnya aku juga suka sama kamu,
Ndi. Dari kemarin aku ingin mengungkapkan rasa ini. Tapi aku merasa canggung
dan malu,”jawab Naila sekenanya.
“Kenapa kamu mesti malu. Bukankah Tuhan
menanamkan rasa cinta pada setiap orang dan seseorang itu berhak menyatakan
cinta pada siapapun yang Ia suka?” celetus Andi dengan nada gemetar. Namun kali
ini ia merasa bagaikan lilin yang meleleh terbakar api.
“Iya, tapi aku takut kalau ini hanyalah
perasaaanku saja dan aku malu jika aku yang menyatakannya. Terlebih kalau aku adalah
seorang wani…..”
“Ssssuuttttt…..” Andi menyematkan jari
telunjuknya ke daun bibir Naila.
Suasana romantis membalut ruangan itu. Andi
memandang Naila dengan tatapan pasti dengan sekulum senyum tersungging di
bibirnya. Mereka saling berpandangan dan tatapan itu terakumulasi pada satu
noktah. Mereka berdua seolah terhanyut dalam perahu yang berlayar menuju pelabuhan
rindu yang tiada bertepi. Diayun ombak yang berarak gemuruh bersama angin yang
bertiup kencang.
* * *
Di awal percintaan Naila, ia merasa
sangat bahagia. Namun kebahagiaan itu harus terhenti di persimpangan jalan. Ayah
Naila menentang keras hubungannya dengan Andi, hanya karena Andi bukan
keturunan Ningrat sebagaimana halnya dengan keluarga Naila. Ayahnya tidak ingin
kalau Ia menikah dengan seorang pria berdarah asing. Terlebih kalau Andi adalah
seorang pria keturunan Indo-eropa.
“Ayah tidak akan pernah merestui
hubunganmu dengan Andi. Sekarang juga kau harus memutuskan hubunganmu dengannya,
karena Ayah telah menjodohkanmu dengan Tomy, anak sahabat baik ayah dan dia seorang
Ningrat dengan gelar magister hukum. Hidupmu akan lebih terjamin jika kau
menikah dengannya. Jangan harap Ayah akan setuju kau menikah dengan Andi.
Sampai kapanpun tidak akan!” ucap ayah dengan nada membentak.
“Tapi, Pa, Andi itu pria baik-baik.
Apakah kita harus terus-menerus mempertahankan tradisi kuno yang sudah usang.
Apakah aku sebagai keturunan ningrat tidak boleh menikah dengan orang yang
bukan sedarah dengan kita?” bantah Naila.
“Paaaaaaaaangggg…..”sebuah tamparan
keras mengenai pipi Naila. Air mata mendanau di kelopak matanya dan perlahan menetes
satu per satu membasahi pipi.
“Sudah Pak!” Ibu Naila datang melerai
dan menyuruhnya pergi ke kamar, namun Naila tetap bertahan di depan Ayahnya.
“Pa, selama ini Naila telah menuruti
semua kemauan papa. Namun untuk masalah yang satu ini, Naila tidak bisa tinggal
diam, karena Naila yang langsung merasakannya, bukan papa. Naila sama sekali tidak
cinta sama anak ningrat yang bapak jodohkan denganku.” bantah Naila sembari
mengelus matanya yang sembab.
“Paaaaanggggg…” sebuah tamparan sekali
lagi mendarat di pipi Naila. Naila menangis sejadi-jadinya.
“Papa tidak ingin lagi mendengar
alasanmu! Sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi Tomy beserta penghulu
akan datang.”bentak papa Naila sembari berlalu. Naila tidak mampu lagi menolak,
sebab semua rencana pernikahan telah di atur oleh ayahnya tanpa
sepengetahuannya.
Kini Naila hanya bisa menangis dan
menyesali semua yang telah terjadi. “Maafkan aku Andi, aku tidak mampu melawan
kehendak Ayahku. Cinta kita harus berhenti sampai di sini. Namun, meskipun aku
telah menikah dengan orang yang bukan kucintai, hati ini akan selalu menjadi
milikmu, sampai kapanpun,” ujar Naila sembari menangis di atas ranjang
peraduan.
Kesunyian berlalu beriringan bersama hembusan
angin. Melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah yang tak bisa diputar
kembali. Langkah Naila mengalun perlahan, menggumamkan kidung-kidung penantian.
Perih, laksana balada yang menguak luka. Menghunus tajam tepat di ulu hati Naila
yang telah lama menganga. ***
Penulis
adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya USU Konsentrasi Sastra Inggris