Kamis, 12 Desember 2013

Sebongkah Pertarungan Batin (Sabtu 30 November 2013)



Cerpen: Sulaiman Rambe


M
entari secara perlahan muncul dari balik tirai awan yang memutih. Setelah bersembunyi seharian dari peraduan malam. Semakin lama cahaya itu terlihat melejit semakin tinggi. Corak keemasan yang melapisi cahaya itu berpencar ke segala penjuru menerangi semua benda yang ada di permukaan bumi pertiwi. Mengungkap tabir yang hampir usang ditelan sang zaman.
Burung-burung berceracau merdu menyambut indahnya suasana pagi. Suasana semakin indah ditambah alunan melodi klasik sang maestro yang terdengar dari kejauhan. Hamparan pegunungan juga turut andil dalam menciptakan suasana indah di pagi itu. Ya, suasana yang mampu mewakilkan rasa yang kini tengah bergejolak. Semua laksana surga. Sempurna.       
            Terlihat dari kejauhan, Naila tengah duduk menyendiri di tepi danau sembari menceburkan kedua kakinya ke air danau yang jaraknya hanya beberapa meter dari tubuhnya. Sepintas kemudian, ia berdiri sejenak sambil berjalan mondar-mandir sekitar danau. Mencoba meneguk hawa sejuk yang mampu menghilangkan rasa penat yang bergelayut dalam pikiran setelah menjalani rutinitas padat seharian.
Tiba-tiba, sekulum senyum terbersit dari bibirnya yang merah dan tertawa renyah sembari sepasang bola matanya dihadapkan ke arah hamparan langit biru. Sepertinya Ia tengah diterpa angin kebahagiaan. Sejenak kemudian, Ia beranjak pergi meninggalkan tempat itu dan berpindah ke tempat lain, entah ke mana.
Ya, dialah Naila. Seorang wanita yang cukup terkenal di sekolahnya karena kecerdasan dan kecantikannya. Selain itu Ia juga merupakan sosok wanita yang dikenal dengan kedisiplinan dan memiliki sikap santun dalam bergaul. Tidak memandang perbedaan dalam pergaulan, itulah motto hidupnya.
Banyak kaum Adam yang menaruh rasa padanya, namun semua tidak Ia gubris sebab Ia merasa belum waktunya untuk bergelimang dalam lautan percintaan. Saat ini Ia lebih fokus pada cita-cita dan masa depannya. Sesuai dengan pesan orang tua bahwa Ia harus berjuang keras untuk meraih masa depan yang gemilang.
***
Hari ini, matahari sangat garang. Merayap dengan ketinggian yang tak menentu. Jaraknya sangat dekat dengan permukaan bumi, seolah tepat berada di atas kepala. Pepohonan meranggas dan daunnya berguguran akibat terpaan panas matahari. Atmosfir udara mencapai 90 derajat celcius.
Deretan angka fantastik mendekati angka tertinggi. Berhasrat menjilat darah melalui pori ubun-ubun serta membakar segala yang ada. Tak terkecuali dengan Naila, yang juga merasakan panasnya terpaan sang raja siang. Keringat berkucur deras dari ubun dan mengalir membanjiri seluruh tubuhnya. Kepenatan yang melanda seakan ikut terhanyut bersama peluh yang mengalir.
Naila bergegas ke kamar mandi dan segera menenggelamkan tubuhnya ke dalam bathtub. Berharap hawa panas yang menyergap tubuhnya akan segera lenyap ditelan butiran-butiran busa. Tiba-tiba telepon genggam yang diselipkan di kantung celana berdering keras. Namun, Ia mengabaikan panggilan itu, sebab Ia masih ingin tenggelam bersama busa yang membalut tubuhnya.
Selang beberapa detik kemudian, telepon genggam itu kembali berdering. Ia pun bangkit dari bathtub dan meraih hp-nya dengan merogo kantung celana yang tergantung di paku tembok, persis di samping bathtub. Nama Andi tertera di layar handphone. Andi adalah salah satu teman diskusi Naila di kampus dan satu ruangan dengannya. Andi merupakan mahasiswa berprestasi pindahan luar negeri. Ia pindah kuliah karena orang tuanya tidak ingin kalau jaraknya terlalu jauh dari lingkungan keluarga.
“Hai, Naila,” sapa Andi dari kejauhan yang posisinya entah di mana.
“Iya, Ndi.  Ada apa?” jawab Naila sekenanya.
“Kau di mana? Kita ada kuliah tambahan hari ini pukul tiga sore nanti. Kau datang       kan, sekalian diskusi juga. Jangan telat ya.”
“Aku lagi di rumah. Iia, sebentar aku datang.”
“Oya, Nail, ada yang mau aku omongin sama kau. mmm....Masalah,  tit…tit…tit!” tiba-tiba suara Andi terputus. Ternyata baterai hp Naila lowbat.
“Sial!” pekik Naila. Ia pun menyelesaikan mandinya dan segera bergegas ke kampus. Ia berlari-lari kecil hingga akhirnya Ia tiba di kampus. Napasnya terputus-putus dan perlahan diatur hingga napasnya kembali berirama. Ia mendapati Andi tengah berdiri di depan ruangan kelas yang sedari tadi menunggunya.
“Maaf ya, Ndi, aku terlambat.”
“Udah, ayo cepat. Dosennya udah masuk dari tadi.” Mereka berdua bergegas memasuki ruang kelas. 
Persahabatan antara Andi dan Naila memang belum berlangsung lama. Namun keakraban yang terjalin antara mereka sudah sangat erat. Bahkan saking dekatnya, teman-teman mereka menganggap bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tapi nyatanya tidak, sama sekali tidak!
Seiring dengan berjalannya waktu, Naila diam-diam menaruh rasa pada Andi. Perasaan ini semakin lama semakin bergelayut dalam dada. Namun, Naila tidak berani mengungkapkan rasa itu pada Andi. ”Masa ia seorang cewek yang ngungkapkan rasa sama cowok. Kan gak mungkin,” gumam Naila.
***
Sore ini, Naila duduk di beranda rumah tepat di bawah cahaya lembayung senja yang mulai memudar. Bayang wajah Andi semakin jelas tergambar dalam benaknya. Perlahan-lahan ia menepis rasa itu, namun bayangan Andi terus menari seakan mengajaknya berlabuh di lautan lepas bersama ombak yang bergulung memecah pantai.
“Astaghfirullahaladzim,” ucap Naila sembari bangkit dari tempat duduknya dan segera melaksanakan shalat maghrib.
Kini malam mulai terbentang. Naila kelihatan gusar. Berjalan kesana-kemari di ruang tamu tanpa tujuan yang pasti sembari menggenggam handphone. Sesekali Ia duduk di sofa dan menonton tv. Lantas berdiri dan berjalan mondar-mandir, begitu seterusnya. Entah apa yang kini tengah Ia rasakan. Ia sendiri tidak tahu dan tak mampu menafsirkan rasa itu.
Persahabatannya dengan Andi baru saja di mulai. Dan Naila baru beberapa kali bertemu dengannya. Pertemuan itu bahkan bisa dihitung jari.  Pertemuan di kampus tadi siang merupakan pertemuan ketiga kalinya. Selama ini Naila sangat anti yang namanya pacaran, terlebih kalau banyak kaum Adam yang ingin memilikinya, tapi semua Ia tolak
Namun entah mengapa, Ia merasakan sesuatu yang beda pada diri Andi. Tapi, bukankah Ia telah berjanji pada kedua orang tuanya bahwa Ia tidak akan hanyut dalam dunia percintaan selama masa kuliah dan lebih dahulu memprioritaskan masa depannya. Entahlah, rasa itu tiba-tiba saja bergelayut dan menelisik ke dalam sanubari Naila.
***
Hari ini, kegiatan diskusi di kelas kembali digelar. Seperti biasanya, sebagai orang yang terkenal dengan kelihaiannya dalam beretorika, Naila maju presentasi ke depan untuk memaparkan hasil pengamatannya tentang ‘Pengaruh Sastra Terhadap Masyarakat Dunia’. Biasanya Ia terlihat begitu antusias dan lancar berbicara. Namun entah kenapa hari ini Ia merasa gugup dan sedikit grogi.
Selesai presentasi, Andi mengajak Naila makan bersama ke sebuah restoran yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan kampus. Awalnya Naila menolak tapi karena terus dipaksa Andi, akhirnya Ia pun tidak bisa mengelak. Gedung restoran terlihat sangat mewah. Seluruh ruangan berhiaskan lampu warna-warni. Aura kemewahan restoran semakin terpancar dengan balutan sutra yang elegan yang menempel pada tiap siku dinding.
Restoran itu menjadi saksi bisu pertemuan Andi dan Naila. Andi mengungkapkan rasa cintanya pada Naila. Tanpa sepengetahuan Naila, ternyata Andi juga menarus rasa yang sama padanya. Namun selama ini Andi menunggu saat-saat yang tepat.
“Naila, maukah kau menjadi pendamping hidupku?” sapa Andi dengan nada pasti sembari menyematkan kalung ke leher Naila. Naila terkejut dan merasa grogi.
“Sebenarnya aku juga suka sama kamu, Ndi. Dari kemarin aku ingin mengungkapkan rasa ini. Tapi aku merasa canggung dan malu,”jawab Naila sekenanya.
“Kenapa kamu mesti malu. Bukankah Tuhan menanamkan rasa cinta pada setiap orang dan seseorang itu berhak menyatakan cinta pada siapapun yang Ia suka?” celetus Andi dengan nada gemetar. Namun kali ini ia merasa bagaikan lilin yang meleleh terbakar api.
“Iya, tapi aku takut kalau ini hanyalah perasaaanku saja dan aku malu jika aku yang menyatakannya. Terlebih kalau aku adalah seorang wani…..”
“Ssssuuttttt…..” Andi menyematkan jari telunjuknya ke daun bibir Naila.
Suasana romantis membalut ruangan itu. Andi memandang Naila dengan tatapan pasti dengan sekulum senyum tersungging di bibirnya. Mereka saling berpandangan dan tatapan itu terakumulasi pada satu noktah. Mereka berdua seolah terhanyut dalam perahu yang berlayar menuju pelabuhan rindu yang tiada bertepi. Diayun ombak yang berarak gemuruh bersama angin yang bertiup kencang.
* * *
Di awal percintaan Naila, ia merasa sangat bahagia. Namun kebahagiaan itu harus terhenti di persimpangan jalan. Ayah Naila menentang keras hubungannya dengan Andi, hanya karena Andi bukan keturunan Ningrat sebagaimana halnya dengan keluarga Naila. Ayahnya tidak ingin kalau Ia menikah dengan seorang pria berdarah asing. Terlebih kalau Andi adalah seorang pria keturunan Indo-eropa.
“Ayah tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan Andi. Sekarang juga kau harus memutuskan hubunganmu dengannya, karena Ayah telah menjodohkanmu dengan Tomy, anak sahabat baik ayah dan dia seorang Ningrat dengan gelar magister hukum. Hidupmu akan lebih terjamin jika kau menikah dengannya. Jangan harap Ayah akan setuju kau menikah dengan Andi. Sampai kapanpun tidak akan!” ucap ayah dengan nada membentak.
“Tapi, Pa, Andi itu pria baik-baik. Apakah kita harus terus-menerus  mempertahankan tradisi kuno yang sudah usang. Apakah aku sebagai keturunan ningrat tidak boleh menikah dengan orang yang bukan sedarah dengan kita?” bantah Naila.
“Paaaaaaaaangggg…..”sebuah tamparan keras mengenai pipi Naila. Air mata mendanau di kelopak matanya dan perlahan menetes satu per satu membasahi pipi.
“Sudah Pak!” Ibu Naila datang melerai dan menyuruhnya pergi ke kamar, namun Naila tetap bertahan di depan Ayahnya.
“Pa, selama ini Naila telah menuruti semua kemauan papa. Namun untuk masalah yang satu ini, Naila tidak bisa tinggal diam, karena Naila yang langsung merasakannya, bukan papa. Naila sama sekali tidak cinta sama anak ningrat yang bapak jodohkan denganku.” bantah Naila sembari mengelus matanya yang sembab.
“Paaaaanggggg…” sebuah tamparan sekali lagi mendarat di pipi Naila. Naila menangis sejadi-jadinya.
“Papa tidak ingin lagi mendengar alasanmu! Sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi Tomy beserta penghulu akan datang.”bentak papa Naila sembari berlalu. Naila tidak mampu lagi menolak, sebab semua rencana pernikahan telah di atur oleh ayahnya tanpa sepengetahuannya.
Kini Naila hanya bisa menangis dan menyesali semua yang telah terjadi. “Maafkan aku Andi, aku tidak mampu melawan kehendak Ayahku. Cinta kita harus berhenti sampai di sini. Namun, meskipun aku telah menikah dengan orang yang bukan kucintai, hati ini akan selalu menjadi milikmu, sampai kapanpun,” ujar Naila sembari menangis di atas ranjang peraduan.
Kesunyian berlalu beriringan bersama hembusan angin. Melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah yang tak bisa diputar kembali. Langkah Naila mengalun perlahan, menggumamkan kidung-kidung penantian. Perih, laksana balada yang menguak luka. Menghunus tajam tepat di ulu hati Naila yang telah lama menganga. ***


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya USU Konsentrasi Sastra Inggris

Teater, Naskah (Sabtu 30 November 2013)






D
i Barat pada zaman klasik, naskah-naskah ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua), sehingga akan menyulitkan bagi yang tidak terlatih. Salinan naskah-naskah tersebut biasanya ditulis dalam aksara Yunani dan bahasa Latin dan berasal dari abad ke-4 hingga abad ke-8, digolongkan berdasarkan penggunaan huruf kapital atau huruf kecil.
Menurut Library and Information Science, suatu naskah adalah semua barang tulisan tangan yang ada pada koleksi perpustakaan atau arsip; misalnya, surat-surat atau buku harian milik seseorang yang ada pada koleksi perpustakaan. Dalam konteks lain, penggunaan istilah "naskah" tidak semata untuk sesuatu yang ditulis tangan.
Dalam penerbitan buku, majalah, dan musik, naskah berarti salinan asli karya yang ditulis oleh seorang pengarang atau komponis. Dalam perfilman dan teater, naskah berarti teks pemain drama, yang digunakan oleh perusahaan teater atau kru film saat dibuatnya pertunjukan atau pembuatan film.
Pertunjukan teater terletak pada aksi di hadapan penonton. Kesan yang ditinggalkan seusai pertunjukan adalah sangat mendalam. Kebanyakan masyarakat memikirkan bahwa cerita yang disajikan insan-insan teater mempunyai kaitan yang sangat dekat dengan pertunjukan teater yang ditontonnya.
Jika dikaji dengan teliti kaitan di antara konteks hubungan antara teater dan naskah atau cerita, ia merupakan “guidance” ataupun petunjuk kepada sebuah bentuk pertunjukan. Namun, sebuah naskah yang lengkap bukanlah berarti ia akan menampilkan tontonan yang akan dimainkan.
Kebanyakan naskah lakon yang diterbitkan dalam buku-buku adalah ketika naskah itu selesai dipentaskan. Ini karena kebanyakan naskah akan melalui beberapa proses penyesuaian terhadap kemampuan para pelakon serta kepada jalan cerita itu sendiri.
Sebuah naskah yang lengkap tidak semestinya akan diterjemahkan 100% berdasarkan kepada cerita itu. Ia harus pula dipengaruhi situasi zaman dan berdasarkan kepada sesuai ataupun tidak sesuatu dialog itu diucapkan. Revisi dan inovasi terhadap naskah biasanya akan berlaku ketika proses latihan dan juga improvisasi.
Walaupun banyak yang menganggap teater tradisi seperti Makyong, Wayang Kulit dan Bangsawan tidak mempunyai naskah, setidaknya mereka berpegang kepada cerita tetap atau dialog tetap yang harus dijadikan sebagai panduan kepada penceritaan mereka.
Seperti yang dibahas sebelum ini, setiap naskah tidaklah semestinya menggambarkan secara keseluruhan kepada penceritaan itu sendiri. Ini, lantaran pertunjukan teater itu berlaku pada waktu tertentu dan tidak mutlak kepada apa yang akan berlaku saat pementasan.
Naskah hanyalah sekadar menyediakan landasan kepada perjalanan sebuah tontonan teater. Seperti kata seorang penggiat Barat “theatre is a roller-coaster ride of our feelings” (Artaud : 1948). Di sinilah peranan naskah, yaitu menyediakan landasan kepada perasaan tersebut.
Sebuah pementasan teater memerlukan komitmen yang tinggi di dalam mengangkat estetika seni yang terkandung di dalam suatu bentuk teater. Seorang pengarang harus mengetahui mengapa dia menulis dan menghasilkan karyanya. Seorang sutradara harus memahami mengapa pengarang itu menghasilkan karya itu.
Seorang aktor harus meneliti mengapa watak-watak itu dihasilkan. Kru produksi dan panggung di dalam sebuah produksi teater harus mematuhi prinsip-prinsip serta sebuah aturan di dalam melaksanakan tugasnya di dalam sebuah produksi teater.
Setiap elemen sangat berkait erat satu sama lain, sehingga memerlukan kerja sama yang baik di antara mereka. Mereka harus bersikap jujur di dalam berkarya. Masyarakat pada suatu ketika akan menilai setiap karya yang dihasilkan. Teater itu sendiri sebenarnya merupakan satu bentuk medium perekam sejarah yang akan dikaji kelak oleh para pengamat dan ahli untuk mencari dokumentasi sejarah sesuatu zaman melalui teater.
Disebabkan itulah mereka yang terlibat di dalam teater harus mengetahui secara mendalam tentang seluk-beluk teater secara profesional dan bukanlah menganggap teater hanya sekadar bentuk seni yang menyajikan aksi lakonan, namun ia merangkumi di luar dari jangkauan itu. ***

      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Rabu, 11 Desember 2013

SEPENGGAL SEJARAH SASTRA DALAM “MUSTIKA KIASAN” (Sabtu 30 November 2013)






M
ustika Kiasan, adalah sebuah buku yang berisikan Antologi Puisi Penyair Perempuan Sumatera Bagian Utara. Menelisik lebih dalam, antologi ini adalah kumpulan puisi perempuan-perempuan Sumatera Bagian Utara pada tahun 1919-1941, yang termuat di dalam koran-koran Sumatera Bagian Utara pada masa itu.
            Jika keberadaan puisi-puisi tersebut telah ada sejak tahun 1919 di Sumatera Utara, maka bagaimana dengan sejarah sastra Indonesia yang selama ini dikenal mulai lahir pada tahun 1920-an. Disebutkan dengan periode Pujangga Baru. Satu kejutan dalam sejarah sastra Indonesia, ternyata di Medan atau Sumatera Bagian Utara penyair perempuan sudah ada sebelum zaman Pujangga Baru.
            Menurut Dr. Ichwan Azhari, sastra Indonesia lahir pada Pujangga Baru itu salah. “Karena di Medan Sumatera Utara sastra sudah muncul sebelum tahun 1920,” katanya selaku salah satu narasumber Peluncuran Buku Antologi Puisi Perempuan (1919-1945) di UMN Al-Washliyah Medan, Kamis (21/11).
             Pembuktian hal ini, tidak semata-mata tanpa ada bukti yang jelas. Melalui “Mustika Kiasan”, Pidia Amelia telah menemukan keberadaan puisi-puisi tersebut dan mengumpulkannya menjadi sebuah antologi. Puisi-puisi itu dirangkum bersumber dari koran lama Medan atau Sumatera Bagian Utara.
            Di dalam buku yang berjudul Mustika Kiasan tersebut, koran-koran lama yang tercantum di dalamnya antara lain koran Perempoean Bergerak, Soera Ibu, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin Karo, Asahan, Moetiara, Ichtiar, Bintang Karo, dan masih banyak lainnya yang diterbitkan di Medan atau Sumatera Bagian Utara pada masa itu.
            Siti Alima “Orgaan oentoek Perempoean Bergerak”, Oepik Amin “Adjakan”, Chadidja, dkk “Tjoemboean”, Boenga Rebi-Rebi “1924-1925”, ALIM “Moestika Kiasan”, P. Boroe Bangun “Doenia Isteri”, R. Moen’im “Pertji Permenungan”, Anggia Murni “Doa Ku”, Noersima. K “Soerja” dan “Tepian Mandiku”, Boroe Marpaung “Termenoeng”, dan I’Mah “Goetji Asmara” merupakan penyair-penyair wanita Sumatera Bagian Utara beserta judul puisinya yang termuat dalam koran-koran lama tersebut.
            Pidia Amelia, mahasiswi Alumni Unimed Jurusan Pendidikan Sejarah, menyebutkan dalam prolog Mustika Kiasan, antologi puisi ini tidak mendasarkan pada standar mutu-mutu puisi tersebut, seperti yang dilakukan HB. Jassin, Ajib Rosidi, Korrie Layun Rampan, dan Pamusuk Eneste. Hanya saja baginya yang penting adalah mengumpulkan dan menerbitkan ulang sepenggal sejarah sastra yang pernah ada di Sumatera Utara yang selama ini terlupakan.
            Menurut Damiri Mahmud dalam kata pengantarnya pada buku “Mustika Kiasan”, “Fenomena ini sungguh luar biasa dan tak menduga bahwa tempo-doeloe Medan telah begitu maju dan modern! Percaya diri ini dibangkitkan oleh hanya satu tumpukan koran bekas yang dengan tekun ditumpukan oleh seorang Ichwan Azhari,”
            Ichwan Azhari, sebagai salah seorang sejarawan di Sumatera Utara, mengumpulkan koran-koran lama itu yang sekarang berada di Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, selama ini juga telah menjadi rujukan mahasiswa melakukan penelitian sejarah.
            Sastra adalah bagian dari sejarah Indonesia, sajak-sajak sebagai kontribusi yang besar bagi kemerdekaan Indonesia. Tetapi sastra juga memiliki sejarah tersendiri dalam perkembangannya. Priodenya tidak sekadar ditulis atau direka-reka untuk menentukan awal kemunculan sastra Indonesia ini.
            Saat ini pemahaman sejarah sastra Indonesia, lebih pupoler dan sangat dikenal bahwa Balai Pustaka dan Pujangga Baru sebagai pelopor titik awal keberadaan sastra Indonesia sejak tahun 1920 ke atas. Baik itu kalangan umum, guru bahasa dan sastra, maupun dosen bahasa dan sastra telah mengajarkan kepada siswa atau mahasiswanya mengenai sejarah sastra itu.
             Apabila melihat keberadaan sastra di Medan atau Sumatera Bagian Utara ini, termasuk didalamnya Sumatera Utara dan Aceh karena pada awal kemerdekaan Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara, puisi-puisi perempuan itu telah ada sebelum tahun 1920-an. Dan Sumatera Bagian Utara adalah bagian dari nusantara. Apakah sejarah sastra Indonesia harus ditulis ulang?
            “Jangan ikuti ajaran sejarah sastra Indonesia yang sesat itu,” ungkap Ichwan Azhari dengan tegas, kepada mahasiswa yang menghadiri acara peluncuran buku antologi puisi perempuan (1919-1945) tersebut. Karena Mustika Kiasan telah membuktikannya lewat bentuk yang nyata yaitu koran-koran lama yang dapat dilihat di PUSSIS Unimed.
             Acara peluncuran buku antologi puisi perempuan (1919-1945)  bertema “Mestika Kiasan” Menyibak Peta Sastra Masa Lalu Indonesia, menampilkan narasumber sejarawan Sumatera Utara Dr. Ichwan Azhari, Sastrawan Sumatera Utara Dr. Shafwan Hadi Umri dan Damiri Mahmud. *** (Fela Felia Batubara)