Kamis, 31 Oktober 2013

GELANGGANG SAJAK : Murdoks, Tommy Sianturi (Sabtu, 5 Oktober 2013)


Murdoks :
GARIS PELANGI

Di kantin TBM,
pernah kulukis wajahmu di antara garis pelangi
dan kau malu-malu menatap lukisan itu
menunduk sambil menatap segelas kopi
membayang wajahmu pada permukaan
dalam
rindunya
pada tepian bibirmu
berucap
tak terucap
karena malu-malumu
telah lebih dulu tergoda
pada jiwa resah.

                                                                                              Medan 05102012

Antara Kau dan Aku

Bayu menggapai daun-daun
Di kala teja beranjak dari peraduan,
perawan desa menarikan zapin dalam temaran lampu
 mercusuar dari kejauhan,
di tepian berpasir kita menatap malam
 yang malu-malu mengintip perawan desa
 menari diiringi suara rebana,
 mengajak kita menyatu dalam rindunya,
antara kau dan aku
sesaat deburan ombak menyadarkan kita dari khayal,
Entah kapan jadi nyata,
 seperti bayu mencumbui riaknya laut,
 tanpa isyarat
yang terjadi di tepian pantai hari ini.
                                                                        
                                                                                                                 Riau-Bengkalis 01032012

Menangislah, Pertiwi

Menangislah, Pertiwi
pada nasib yang terombang-ambing oleh alunan alam,
sesaat ia beri tanda atas kuasanya
yang terjadi hari ini,
bukan kehendak namanya manusia,
Menangislah, Pertiwi
yang mengatas-namakan Indonesia
yang sakit karena manusia
yang tertatih oleh sistem
entah mau ke mana
Menangislah, Pertiwi
yang terpana mendengar badut berdasi
berkotbah di balik podium tak bernama
Menangislah, Pertiwi
dengan air mata nasib bangsa ini
sebelum nafas asa telah jadi nestapa
di tanah merah bernisan dan tertera
“ Indonesia meratapi nasib sendiri”

                                                                                                              Pekanbaru-riau 20092012


POTRET

Kita tak pernah bertemu
Pun tidak
Kulihat potretmu
Di sudut jaman semakin menua

Kita tak pernah menyapa
Karena keangkuhan milik kita
Milik para penyair
Milik para badut sarat menelan tawa
Milik kritikus sastra sok jadi jawara
Milik para penguasa yang jadi nohkoda
Dan milik anak-anak bangsa terluka,

Lantas kita mau jadi apa!
                                                                                               
                                                                                    Pekanbaru-Riau 03252012


Surya Hardi  yang juga punya  nama samaran, Murdoks dikenal di kalangan teaterawan.Menggeluti kesenian sejak 1996, selain menulis puisi, artikel, cerpen dan esai kebudayaan. Pernah bergabung dalam kelompok Teater Patria Medan.  Sejumlah puisinya terbit dalam antologi bersama di beberapa kota di Indonesia.








Tommy Sianturi :
Petang

Kelopak mataku meringkuk
terhempas laksa hembusan angin
menggantungkan butir-butir rindu
rebah di dahan yang kita semai.
Aku rela langit mendung membasuh,
kesunyian petang membahana pekarangan.
Pun kutiru lolongan serigala menggelegar
Layaknya aku tercabik-cabik kenangan.
Ladang Kompak, 2012

Terngiang

Terngiang dendang lampau
dari rahim bumi.
Menempatkan batin
menjemput pagi sebelum kembara;
Kembali cocokan jejak kecil di lapangan,
aroma hujan,
teriakan menyambar-nyambar,
suara bel sepeda kala sayu senja menjalar.

Sekelebat deruh angin merampas sebingkai album
sinar rembulan pun mengagetkanku dari lamunan.
Ladang Kompak

Langkah Kaki

langkah kaki menghentak
menggoncang rumput lalu debu berlarian;
biarkan hentakan penuh semangat
meremukan daun-daun rapuh;
hamparan ranting-ranting tak kokoh                    
bergelimpangan digerogoti waktu.

Kadang malam semakin dingin,
debur ombak menghempas batu karang,
jarum jam menusuk-nusuk.
Pucuk-pucuk cemara menggigil beku,
langkah kaki kaku tak menentu
namun impian semakin menderuh
dalam kalbu rindu.
Ladang Kompak

Gadis Berpayung Hitam

gadis berpayung hitam
tersedan-sedan menjerit menengadah
merelakan deras hujan menimpa ubun-ubun
seraya dalam isak tangis kembara batang kara.

terik siang menghadang jalan
gadis berpayung hitam
menggelepar pada padang belukar,
memuntahkan batas peluh
akhir nafas melumat tumpah.
Ladang Kompak

Sebelum

malam-malam terasa kembar
mencoba tilik ranah perjuangan
dalam kepakan sayap impian rembang.
membasahi pucuk-pucuk dahaga.

kejora berpacaran bersama rembulan,
deruh angin mendesah sukma
menghunus rembuk nyanyian petuah;
sebelum rembulan beranjak ke peraduan
meninggalkan gugusan gemerlapan,
Sebelum daun-daun berguguran
Menahan masa rentan.
Sebelum usia melumat tumpah
Berlayarlah mendekati impian.
Ladang Kompak


Tommy Leonardo Sianturi, lahir di B. Aceh 16 Oktober 1992. Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, USU. Sekarang aktif dalam komunitas “Kompak” Taman Budaya dan pecinta karya sastra.



Tahun Bahasa (Sabtu, 12 Oktober 2013)




TAHUN ini jajaran Badan Pengembangan dan Pembinan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sibuk menyiapkan Tahun Bahasa.  Sejumlah agenda penting terhidang, terutama Kongres Bahasa Indonesia X 28—31 Oktober 2013 di Jakarta.
            Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bahasa Indonesia terbukti berhasil mengikat keragaman dalam satu semangat nasionalisme. Ini terbukti dari hasil perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, para tokoh dari berbagai penjuru tanah air, berkumpul dan berikrar dalam produk Sumpah Pemuda
            Kemudian mereka mengambil manfaat dari ikatan persatuan itu melalui pilar bahasa persatuan, di samping pilar kebangsaan dan tanah air. Hingga lahirlah proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sendi negara pun disusun, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
            Urusan berbangsa dan bernegara produk Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan itu sesungguhnya adalah milik seluruh elemen bangsa. Tidak melulu milik partai politik dan penyelenggara negara. Nyatanya, hingga satu abad  pernyataan berbangsa dan bernegara itu didominasi partai politik. Termasuk oleh kaum pemudanya.
            Padahal, semangat persatuan itu sangat ditopang butir ketiga Sumpah Pemuda, yakni bahasa. Namun, petinggi republik ini hanya bolak-balik mengurusi kursi dan jabatan. Dari satu pemilihan umum (pemilu) ke pemilu. Dari satu kursi ke kursi lain. Sikut kiri, sikut kanan. Sikat sini, sikat sana. Nyaris tak berujung.
            Mereka melupakan, negeri ini berdiri tidak terlepas dari warisan kebudayaan masa lumpau yang justru menjadi identitas nasional. Yaitu, lambang negara, lagu kebangsaan, dan bahasa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 dan 36 UUD 1945.
            Karena itu, sudah saatnyalah kita memajukan identitas budaya itu demi memperkuat jati diri bangsa. Satu di antaranya ialah melalui pembentukan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Sebagaimana diketahui, UU ini merupakan pengaturan secara lebih rinci Pasal 32 dan 36, serta amanat Pasal 36c UUD 1945.
            Mengingat kehadiran bahasa daerah dan bahasa asing di Indonesia berdampak terhadap pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia, UU ini juga disusun untuk mengatur penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa lain yang hidup dan berkembang di Indonesia agar manfaat dan fungsi bahasa masing-masing dapat dimaksimalkan.
            Sayangnya, hingga kini kita belum memiliki departemen khusus mengenai kebahasaan. Tidak seperti urusan kepemudaan, pendidikan, kebudayaan, dan urusan lain yang dipimpin satu departemen. Juga tidak terdapat di dalam UU Nomor 24 Tahun 2009– kecuali penyebutan ’lembaga pemerintah yang menangani kebahasaan’.
            Saat ini, lembaga pemerintah yang menangani kebahasaan ialah Badan Pengembangdan dan Pembinaan Bahasa (dahulu bernama Pusat Bahasa). Pembentukan lembaga ini juga merupakan sejarah panjang sejak Indonesia berdiri.
            Keberadaan Badan Bahasa hingga hari ini tidak dipayungi satu UU. Ia hanya di bawah bayang-bayang kementerian. Alhasil, usaha pengawasan terhadap penggunaan dan perkembangan bahasa Indonesia sering terbentur pada jalur birokrasi.
            Lihat saja, lembaga ini telah melakukan berbagai upaya untuk menertibkan penggunaan bahasa. Di antaranya, menerbitkan buku seri pedoman umum ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, pedoman umum pembentukan istilah, buku praktis Bahasa Indonesia 1 dan 2, pengindonesiaan kata dan ungkapan asing, kamus, dan lainnya.
            Bukan itu saja, instansi ini juga menggandeng Menteri Dalam Negeri untuk menerbitkan Instruksi Nomor 20 tanggal 28 Oktober 1991 tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa serta Surat Nomor 434/1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota tentang penertiban penggunaan bahasa asing.
            Selain itu, menggandeng Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengeluarkan Instruksi Nomor 1/U/1992 tanggal 10 April 1992 mengenai peningkatan usaha pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa.
Di Tahun Bahasa ini, mampukah Kongres Bahasa X mengusulkan pembentukan Kementerian Bahasa sehingga memerkuat tugas pokok dan fungsi membina, mengembangkan, dan melindungi bahasa Indonesia. Insya Allah! ***

      


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Pendidikan Layak bagi Anak Jalanan (Sabtu, 12 Oktober 2013)

Oleh : Rika Kartika
 


P
endidikan  ialah  cita-cita yang ingin dikejar oleh anak bangsa, melalui pendidikan anak bangsa mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan berupa ilmu sosial, budaya, agama. Pendidikan tidak hanya diperuntukkan anak yang mampu, mampu dalam arti ekonomi dan fisik. Pendidikan juga diperuntukkan bagi anak jalanan. Anak jalanan juga “Manusia” , mereka ingin bersekolah, ingin memperoleh pengetahuan, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara mengaspirasikan suara mereka. Kepada siapa mereka harus mengadu?
Pendidkan di Indonesia mulai diajarkan sejak dini yaitu saat anak berusia 4 – 5 tahun, sudah memasuki taman kanak-kanak (TK). Usia 6 anak mulai memasuki pendidikan sekolah dasar (SD). Usia 12 anak memasuki pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Pada usai 15 anak mulai memasuki Sekolah Menegah Atas (SMA). Pernyatan itu pemerintah pun menetapkan wajib belajar 9 tahun, dan sedang proses wajib belajar 12 tahun.
Kementerian Pendidikan seharusnya memikirkan nasib anak jalanan yang terlantar dan tidak mendapatkan pendidkan yang layak. Dengan adanya dasar pemikiran untuk anak jalanan, kemungkinan besar anak jalanan akan mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak pada umumnya.
Pemerintah juga harus menyadari bahwa pendidkan sangatlah penting bagi anak –anak Indonesia sebagai generasi muda di masa mendatang, dalam mempertahankan Negara Indonesia hingga terbebas dari penjajahan.
Terkadang pemerintah hanya memikirkan pendidkan hanya bagi anak yang mempunyai potensial dan mempunyai pemikiran yang rasional untuk menempuh pendidkan, sedangkan anak jalanan hanya dibiarkan begitu saja, tanpa ada respons dari pemerintah. Seharusnya pemerintah menyadari bahwa anak jalan juga membutuhkan pendidkan.
Anak jalanan hanya bisa diam tak berkata. Setiap hari mereka hanya berkeliaran ke jalanan demi mencari kehidupan. Terkadang orang mengganggap “anak jalanan” sebagai anak yang tak pantas diberikan pendidikan, karena anak jalanan kurang perhatian orang tua dan kurang didikan. Banyak juga orang beranggapan bahwa “Pendidikan tak pantas bagi anak jalanan”.
Masyarakat tidak menyadari bahwasanya anak jalanan mempunyai intelek yang tinggi. Artinya, anak jalanan mempunyai kemampuan untuk besekolah. Mereka menjadi anak jalan dikarenakan tidak adanya kesanggupan orang tua untuk menafkahi anak mereka, sehingga mereka turun ke jalan untuk mencari uang dengan cara menjual koran, mengamen, dan sebagainya,
Dengan biaya hidup yang tinggi, orang tua tidak dapat menyekolahkan mereka walaupun hanya di mulai dari SD. Adapun yang sudah mencapai pendidikan SMP, tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke jenjang SMA. Akibatnya, mereka memutuskan untuk terjun ke jalan untuk mencari uang.
Keterbatasan dana juga dapat dikatakan pemacu anak jalan untuk tidak bersekolah dan tidak dapat menempuh pendidkan seperti biasanya.
Pemerintah sebenarnya wajib menyediakan sekolah bagi anak jalanan. Artinya, pemerintah harus mampu membuat sekolah tersendiri bagi anak jalan dan tidak memunggut biaya yang tak mungkin terjangkau oleh anak jalan.
Sedikitnya dapat meringankan beban anak jalanan yang ingin bersekolah, walaupun hanya bisa bersekolah dengan sesama anak jalanan, tidak bersekolah dengan anak sekolah pada umumnya.
Jika hal ini terjadi, maka pemerintah akan mendapatkan keuntungan yang besar. Rakyat merasa bangga terhadap kerja pemerintah yang mampu mengurus anak jalanan. Sehingga, menjadi yakin atas ucapan pemerintah, dan tidak hanya janji-janji yang diucapkan.
Kementerian Pendidikan harus bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memberikan pendidkan yang layak bagi anak jalanan . Anak jalanan  akhirnya dapat besekolah serta dapat mengejar cita-cita mereka. ***


Penulis mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU




                                                                                                                                                                                  



PENGGALI KUBUR (Sabtu, 5 Oktober 2013)


Cerpen : Suhairi Rachmad


S
ebenarnya, Ki Sholeh tak pernah bermimpi menjadi penggali kubur. Mulanya, ia bekerja menjadi pemulung di sekitar perumahan Batu Cendana, sekitar satu kilo meter ke arah Barat dari monumen kerapan sapi. Berkat bantuan Pak Sudarman, Ki Sholeh beralih profesi, menjadi penggali kubur.
Keriput di wajahnya tak menciutkan nyali menjadi pekerja keras. Ia selalu datang kapan saja; di pagi buta, di bawah terik mentari, bahkan di malam pekat. Aroma tanah atau bayang-bayang kematian mengiringi kelebat dan langkah kaki ke mana ia pergi. Orang-orang selalu memanggilnya di saat ada maut menimpa.
Kali ini, Ki Sholeh baru saja menyelesaikan menggali sebuah liang kubur. Wajahnya yang senja menyimpan beban yang teramat berat. Disekanya keringat yang meleleh pada bagian leher dan jidatnya. Wajahnya mendongak ke atas menatap matahari yang cemas. Beberapa tetes keringat menyerbu ujung lidah. Mulutnya mencecap hingga terdengar dari jarak beberapa depa. Asin, desisnya.
Kedua belah tangannya ditepuk-tepukkan pada bagian paha agar kotoran-kotoran yang menempel pada telapaknya berjatuhan. Cangkul dan linggis yang tergeletak di bawah pohon kamboja kini dikemasi.
Berapakah upah yang akan diterima seorang penggali kubur? Ah, tentu tak banyak. Yang penting, Ki Sholeh mampu mencari uang tambahan untuk membayar listrik, kontrakan rumah, membayar hutang, dan uang saku si Sulung yang kini duduk di bangku esde. Ah, tentu ia akan pulang ke rumah dengan senyum tersungging, disambut Nyi Sinten di halaman rumah dengan anak semata wayangnya.
"Tentu Ki Sholeh bawa uang banyak," sambut Nyi Sinten.
"Oh, iya, tentu," sambung si Sulung.
Ki Sholeh tersenyum bangga. Keringat dan debu tipis membedaki beberapa bagian kulitnya. Ia tercipta sebagai penunggang kubur ulung. Begitu cepat. Bahkan seperti terbang di angkasa. Bola matanya yang rabun seperti menangkap beberapa tetangga mengejarnya. Pun isteri dan seorang anaknya membuntuti langkah kakinya. Maka, ia harus bekerja dan bekerja. Menggali kubur lalu menerima upah sebagai buruh.
Kadang, Ki Sholeh ragu meneruskan tugasnya sebagai penggali kubur. Nyalinya ciut ketika hidungnya mencium aroma tanah berbaur dengan bau keringat sendiri. Sorot matanya menaruh ragu. Ia seperti membenamkan diri pada sebuah kematian.
Pada kesempatan yang berbeda, ia mendengar jerit anaknya yang sulung. Tentu masih dari dalam kubur. Ia sadar. Ini bukan ilusi, tetapi serupa kabar atau pesan dari alam sana. Entahlah!
"Aku akan berhenti menjadi penggali kubur." Ki Sholeh terpaksa mengutarakan hal ini kepada isterinya, Nyi Sinten.
"Kenapa, Ki?" tanya Nyi Sinten dengan sorot mata tajam.
"Aku hanya ingin berhenti," lanjut Ki Sholeh tanpa alasan.
"Kalau Ki Soleh berhenti, kita mau makan apa? Kebutuhan rumah tangga terus membengkak. Harga sembako tak pernah turun. Apalagi, anak kita kan masih sekolah. Bagaimana kalau ia nanti mogok belajar atau mogok sekolah gara-gara tak punya uang saku? Mencari nafkah bagi keluarga bukankah merupakan ibadah, Ki?"
Ki Sholeh duduk tak bergeming. Otaknya berimbun penat. Malam yang pekat ini seperti isyarat masa depan yang gelap. Padahal, Ki Sholeh sudah puluhan tahun menjalani tugasnya menggali kubur. Bahkan, beberapa tetangga desa sebelah selalu memanggilnya untuk menggali kubur ketika ada yang meninggal.
 "Aku sudah tua, Nyi. Aku merasa ajalku sudah di ambang pintu." Ki Sholeh mencoba mencari alasan.
"Ah, itu kan sekedar perasaan. Ki Sholeh kan sudah tahu bahwa ajal itu adalah Tuhan yang menentukan?"
"Apalagi, akhir-akhir ini, aku seperti mendengar jeritan si Sulung di dalam kubur, Nyi. Aku seperti sengaja menyiapkan kematian bagi dia? Bukankah ini biadab, Nyi? Pokoknya, aku harus berhenti menjalani tugas ini!"
Nyi Sinten ngakak. Suaranya sangat lantang seperti mengejek perkataan Ki Sholeh. Tetapi, jika Ki Sholeh berhenti menjadi penggali kubur, mau bekerja apalagi. Tak ada bekal ijazah yang bisa diandalkan. Pun tak ada keahlian khusus untuk memerbaiki nasibnya.
Keinginan Ki Sholeh untuk berhenti menjadi penggali kubur tersiar ke penjuru desa. Entah siapa yang mengabarkannya, entah angin apa yang menyebarkannya. Hingga bulan keempat sejak keputusan itu bergetar dari mulut Ki Sholeh, tak ada panggilan untuk menggali kubur. Uang listrik sudah tiga bulan menunggak. Otomatis, ia tak bisa menikmati aliran sinarnya. Maka, ia harus menggunakan lampu templek dengan bahan bakar minyak tanah yang biayanya juga tak kecil.
Ancaman bulan depan, ia harus keluar dari rumah kontrakannya karena tak mampu membayar. Apalagi, anaknya yang duduk di bangku sekolah tidak diperbolehkan menimba ilmu karena tak mampu membayar biaya kegiatan ekstra dan biaya tour akhir tahun.
"Ayolah berdoa, Ki, agar tetangga kita banyak yang meninggal dunia. Kalau tidak, kita bisa diusir dari rumah ini!" pinta Nyi Sinten dengan wajah gusar.
"Mendoakan kematian? Ah, usulmu terlalu konyol, Nyi."
"Tetapi kita harus berusaha agar kita bisa bertahan hidup. Salahmu sendiri ingin berhenti menjadi penggali kubur. Kadang-kadang, ucapan seseorang akan menjadi doa. Andaikan pada waktu itu Ki Sholeh berkeinginan menjadi orang kaya, tentu saat ini kita menjadi kaya raya."
Suara Nyi Sinten semakin lantang. Si Sulung terdengar beberapa kali batuk. Sudah beberapa hari ini ia terkulai lemas di atas dipan. Badannya panas. Batuk menyerang hampir semalam penuh. Jika pagi menjemput, barulah batuknya sedikit reda. Namun, jika dingin datang menyergap, batuknya semakin menjadi.
"Ayolah berdoa, Ki, demi sebuah kematian. Pasti orang-orang akan menyuruh Ki Sholeh menggali kubur. Lalu, kita bisa menyambung aliran listrik yang diputus, kita bisa membayar kontrak rumah, dan bisa mengobati si Sulung yang sakit!" desak Nyi Sinten.
Ki Sholeh menatap dalam-dalam kesungguhan perkataan perempuan yang selama ini menjadi pendamping hidupnya. Derit rerimbun pohon bambu di belakang rumah seperti menguatkan desakan isterinya itu. Namun, kali ini ia harus berhati-hati. Jangankan doa, ucapan seseorang terkadang terkabulkan oleh Tuhan. Maka, sebelum memutuskan atau mengikuti desakan Nyi Sinten, Ki Sholeh harus memertimbangkan masak-masak.
Hampir setiap saat suara Nyi Sinten menggempur gendang telinga Ki Sholeh. Alasannya cukup logis; agar bisa membayar uang listrik, membayar kontrakan rumah, dan bisa mengobati si sulung yang diserang penyakit.
Tengah malam yang dingin, Ki Sholeh memutuskan untuk kembali menjalani tugasnya sebagai penggali kabur. Otomatis, ia harus mendoakan sebuah kematian. Entah siapa yang mengabarkan, pagi yang buta, seorang tetangga desa datang terengah-engah menemui Ki Sholeh. Setelah menyambar cangkul dan linggis, Ki Sholeh mengikuti langkah orang tersebut menuju area kuburan. Dari balik tirai kamar, Nyi Sinten menyungging senyum seraya mengantarkan langkah Ki Sholeh dengan raut wajah berbinar.
Hari pertama kerja, Ki Sholeh disambut petir dan guntur bersahut-sahutan. Demi sebuah ibadah, ia harus tetap bekerja. Hujan pagi yang lebat melumuri seluruh tubuhnya dan membuat becek area kuburan. Semangatnya yang baja tak akan membuat nyali Ki Sholeh menjadi ciut. Demi seorang isteri dan seorang anaknya, tentu.
Deru angin semakin kencang. Beberapa bunga kamboja berjatuhan. Hujan semakin deras. Petir dan guntur semakin membelah angkasa. Namun, Ki Sholeh masih bertahan di tengah derasnya guyuran air hujan. Kali ini, ia merasakan galian tanahnya teramat liat. Genangan air hujan juga menghambat ujung linggis atau cangkul menancap pada tanah kubur itu. Maka, untuk menyelesaikan sebuah liang lahat, ia memerlukan waktu agak panjang. Di ujung usahanya, wajahnya tertanam sungging walaupun tubuhnya penuh getar.
Hujan reda. Setengah berlari, Ki Sholeh pergi meninggalkan area kuburan. Tangannya yang dingin menggenggam lembar uang puluhan ribu. Tak diperhatikannya pakaiannya yang kuyup dan tubuhnya yang dilumuri lumpur. Sesampainya di ujung halaman, dingin tubuhnya berubah tegang. Ia melihat kerumunan orang di teras rumahnya. Sementara, kedua telinganya menangkap suara Nyi Sholeh memanggil-manggil nama si Sulung.
Ki Sholeh tak perlu bertanya kepada orang-orang tentang kejadian di rumah itu. Sebab, aroma kemenyan yang menyeruak pada ruang hidungnya mengabarkan kepergian si sulung. Ia menerobos kerumunan orang. Sementara, uang puluan ribu yang semula digenggam kini terlepas dan berserakan di tanah. ***


 Sumenep, 09 Desember 2011

Suhairi Rachmad lahir di Sumenep, Madura. Alumnus Fak. Sastra Universitas Jember- dan mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Jember. Salah satu cerpennya dimuat dalam Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010.


GELANGGANG SAJAK : Faidul, Halim, Farida, Ririn, Yunita (Sabtu, 5 Oktober 2013)

Faidul Hidayati Siska Ginting :
Dari Pura Sultan ke Kutaraja

Dari Pura Sultan ke Kutaraja
Kubawa tak cuma sejumput asa juga selaksa cita
Agar bahagia mengatmosfer
Dada keluarga pula orang- orang tercinta
Bukan impi- impi saja

Dari Pura Sultan ke Kutaraja
Kubawa sketsa jelang masa
Harap- harap di sini bisa sempurnakannya nyata
Meski onak juga aral melintang arah
Aku takkan menyerah
Dari Pura Sultan ke Kutaraja
Sembilan purnama telah kulangkah masa
Tanpa sua Bunda Yanda
Tanpa rasa daun singkong  tumbuk dan belacan merah
Apalagi pajria serta halua
Di sini ada aneka olah pliek ue saja

Dari Pura Sultan ke Kutaraja
Kurela rindu kini jadi bara
Airmata pun memutiara
Percaya segala kan menyala indah
Kelak bila tiba pada masa


KutarajaMenjingga

Di sini di Kutaraja
Kait dan rajut jingga
Pada mula dan serata
Waktu yang kita punya
Sulam indah jejak
Risalah sama kita cinta
Biar basah, berasa cuka
Darah lumpuri luka
Asal sama asa menggema
; Harap kelak Kasih akui
Kita punya nama

Di sini di Kutaraja
Sua hulu ada hilirnya pula
Jemari terpaut tak bisa selamanya
Kaki tak senantiasa rentak bersama
Ada kali yang tak terselami kadangkala
Semua tetap menyala indah
Asal iman terpatri di jiwa
Ukhuwwah kan jembatani segala
                                                   

Halim Mansyur Siregar :
Zikir Kesadaran Diri

Tiada guna terlalu mengagungkan kekayaan , Kawan
toh, gelanggang kehidupan ini Tuhan yang berikan
perbanyaklah juga lantunan zikir kesadaran diri
bahwa sesungguhnya kita fakir di mata Ilahi


Getirnya Derita

Kini aku telah siap menjelma mentari senja
meski nanti harus tercekik cakrawala
karena aku telah terbiasa menelan getirnya derita
dengan peluh yang selalu jatuh serta acapkali harus tercampur ricik airmata
bahkan aku telah siap pula menjadi ilalang kering di atas tanah sekeras batu
dan tak lagi ragu walau harus hangus terbakar nyala waktu


Farida Rambe :

RT.0 RW.0

Aku manusia tanpa identitas
Hidup di negara yang tak jelas
Aku tinggal di mana saja aku mau
Di apartemen, di emperan toko, di kolong jembatan
Aku ingin tak seorang pun mengaturku
Kau yang berpangkat tinggi maupun kau yang hanya seorang kurir

Aku ingin bebas di mana pun aku mau
Di restoran bintang lima,di pinggir jalan
Atau
Aku ingin di tempat sisa-sisa orang yang berkuasa
Dan itu bukan urusanmu…..

Tak seorang pun bisa menolong aku
Tak juga pemimpin yang kubanggakan
Aku lebih suka tinggal di negara RT.0 dan RW.0.

 

 

Ririn Santika :

Kesedihan Hidup


Di siang hari
Aku pulang kuliah
tampak olehku seorang gadis kecil
bernyanyi di antara mobil-mobil berbaris

Sepintas hatiku sedih
Begitu miskin negeriku
Di tengah kekayaan alammu
kami  meminta-minta di negeri sendiri


 

Yunita Yolandha :

Lirihku

Kata demi kata kutulis
Merangkaikan isi hatiku
Aku tak mampu menahan air mata ini
Ia pun terjatuh membasahi pipiku

Rasa rindu ini telah menggerogoti jiwaku
Rindu yang tak pernah terobati
Ingin ku berlari meninggalkan semua ini
Tapi aku tak berdaya tuk melakukannya
karena aku terlalu menyayangimu....


Wanita dengan Sapu Lidi

Kau berjalan dengan mata sayup
Terbangun dari mimpi
Kaki yang mulai rentan
Terus berjalan di kerikil kehidupan
Keringat bercucuran membasahi bajumu
Kulit yang hangus terbakar matahari
Tak membuatmu pantang menyerah
Mencari sesuap nasi untuk anakmu

Sapu lidi tongkat kehidupanmu
Kau terus berjalan
Berjalan
Hingga hilang perih pedih

Ingatlah wanita tua pemilik tongkat jalanan
Kau pemilik teguh hati malaikat
Tetaplah bersandar di sana
Tanpa merugikan hak orang
Seperti para petinggi negara.