Cerpen : Listra
Panjaitan
T
|
epat
7 bulan setelah pernikahan, hari ini Reza balik dari Malaysia . Reza memutuskan menjadi
TKI agar bisa membelikan Rani sebuah gubuk sederhana. Rani berdiri di muka
kost-an menunggu kedatangan suaminya. Foto pernikahan mereka berdua tiada lepas
dari tatapan Rani. Rani sudah tidak sabar menyampaikan kabar bahagia ini.
“Ini anak
siapa? Cepat katakan ini anak siapa?”
Rani hanya
terpaku mendengar ucapan suaminya. Bak disambar petir di siang bolong, bukannya
Reza bahagia, Rani malah menerima
umpatan dari Reza.
“Rani ga
bohong, Mas. Ini benar-benar anak Mas Reza,” jawab Rani berlinangan air mata.
“Diam. Dasar
perempuan nakal!” umpat Reza dan sebuah tamparan mendarat di pipi Rani. Tidak
hanya sampai di situ, Reza mulai kelabakan. Sebuah pisau Reza julurkan tepat di
perut Rani. Menyadari situasi yang memanas, Rani mulai berpikir untuk
menyelamatkan diri. Sebuah balok kayu yang tergeletak di pojok pintu berusaha
Rani gapai.
“Dasar
perempuan sialan. Awas kamu!” jerit Reza. Melihat suaminya yang terkapar lemah
dengan kepala bercucuran darah, timbul keibaan di hati Rani. Tapi, Rani sadar keselamatan dirinya dan jabang bayi
lebih penting. Rani pun melangkah meninggalkan suaminya.
***
Hampir
sebulan kejadian itu berlalu, namun tak lepas dari ingatan Rani. Rani
memutuskan tinggal di tempat sahabatnya, Ila, yang tinggal di kota. Rani juga
tidak memberitahukan kejadian ini pada kedua orang tuanya yang tak pernah
merestui hubungannya dengan Reza. Di keheningan malam, Rani sering menangis
meratapi nasib. Ila sahabatnya menjadi satu-satunya tempat Rani mencurahkan
kepedihan yang dideritanya.
“Sudahlah,
Ran. Mungkin Reza mengira kalau anak ini bukan anaknya,” ujar Ila menghibur
Rani. Sejenak Rani menatap Ila.
“Tapi, Ran,
ini benar-benar anak Reza,” jawab Rani sambil memegangi perutnya yang terus
membesar.
“Ya, aku
percaya sama kamu. Tapi kamu mesti ingat, sebelum Reza berangkat ke Malaysia
kamu kan belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan,” kata Ila kembali. Rani hanya
tertunduk mendengar ucapan Ila. Ingatan Rani kembali mengingat kejadian itu.
“Ya, kamu
benar, Il. Aku terlambat memberitahu Reza kalau aku sudah hamil,” jawab Rani. Tatapan
Rani kembali ke foto pernikahan mereka.
“Aku kira lebih baik tidak memberitahu kabar
bahagia ini dulu. Namun semua jadi kacau, Il,” ujar Rani kembali. Kali ini air
matanya harus menggenangi bantal yang dipegangnya.
“Sudahlah,
Ran. Kamu lebih baik berdoa, mudah-mudahan Reza segera sadar,” jawab Ila
dibarengi sebuah senyuman.
***
Agar tak
terlalu membebani Ila, Rani memutuskan berjualan goreng keliling. Beberapa kali
Ila melarangnya, namun Rani tetap pada pendiriannya. Rani terus menelusuri gang
demi gang. Suaranya yang khas
mendendangkan jualannya.
“Gorengnya,
Bu, masih panas,” ujar Rani menawarkan gorengannya yang belum laku padahal hari
sudah sore. Lama ibu itu menatap perut Rani yang membesar dan hal itu membuat
Rani gugup. Beruntung ibu itu segera mengeluarkan uang 2 ribuan.
“Makasih ya,
Bu,” ujar Rani. Seketika rasa senang merekah di wajah Rani. Walau hanya 2
ribu, bagi Rani itu lebih dari cukup. Bahkan hal itu mampu menumbuhkan semangat
yang lebih besar di hati Rani.
“Aku akan
coba tawarkan gorengan ini pada Mas itu. Mudah-mudahan Mas itu mau beli gorenganku,” gumam Rani dalam hati.
Dengan langkah yang mulai goyah akibat kelelahan, Rani berusaha menghampiri
lelaki yang sedang duduk santai di bawah pohon menikmati udara sore. Sebelum
sampai di tujuan, Rani merasakan tubuhnya terjatuh tepat di pelukan seorang
lelaki. Rani berusaha untuk melihat siapa gerangan lelaki itu,
namun Rani harus menyerah.
“Akhirnya
kamu siuman.” Sebuah suara yang tak asing menyapa Rani. Betapa kagetnya Rani
melihat sesosok lelaki yang berdiri di hadapannya.
“Kamu
ngapain di sini? Suster, usir orang ini!” teriak Rani memecah kesunyian di
salah satu pojok di Puskesmas itu. Lelaki itu berusaha ingin menjelaskan duduk
perkara pada Rani, namun kebencian yang masih menyulut di hati Rani merusak moment berharga itu.
***
Tapi Il, aku
belum bisa melupakan kejadian itu. Aku belum sanggup
untuk bertemu Reza,” ujar Rani dengan berlinang air mata.
“Aku ngerti,
Ran. Tapi sampai kapan? Harusnya kamu senang, jadi kamu bisa jelasin apa yang
sebenarnya terjadi,” kata Ila berusaha menenangkan kegusaran yang dialami Rani.
Mendengar ucapan sahabatnya, seketika penyesalan mendera Rani.
“Sayang,
Ran, aku sudah mengusirnya. Sekarang aku tidak tahu Reza ada di mana,” jawab
Rani. Terlihat Rani sangat terpukul dalam penyesalan yang
menyergap. Ila pun memeluk sahabatnya yang malang itu.
***
Rani sudah tidak
sabar menunggu kelahiran si jabang bayi tinggal menunggu hitungan hari. Namun,
Rani masih berjualan gorengan. Sementara bayang-bayang lelaki yang menolongnya
ketika pingsan pun menghantui pikirannya. Tapi, Rani sudah pasrah sekiranya tidak bisa bertemu dengan lelaki itu.
Ya, semenjak
pertemuan seminggu lalu, Rani tak pernah lagi menemui lelaki itu. Berulang kali
Rani kembali ke pojok jalan di bawah pohon itu, namun sia-sia. Masih setengah
jalan, Rani merasakan perutnya terasa sakit. Rani mulai kelabakan. Rani
berjalan terseok-seok menahan sakit. Terlambat. Belum sempat menepi, sebuah
sepeda motor menabrak lari Rani. Darah mulai mengucur.
Derita
berlanjut, jalanan sunyi. Hampir setengah jam, tak ada juga orang yang lewat. Rani
pasrah jika ini mengantarkannya pada kehidupan abadi.
Rani
berusaha membuka mata. Rani mengira saat ini sudah berada di surga. Samar-samar
Rani melihat Ila sahabatnya yang berliangan air mata.
“Jangan
menangis, Ila sayang,” ujar Rani dengan suara yang begitu pelan sambil terus menatap
Ila sahabatnya.
“Kamu harus
sembuh. Kamu ga boleh tinggalin aku,” jawab Ila berusaha menguatkan Rani.
Tangan Ila tak henti memegangi wajah sahabatnya itu.
“Bayiku
selamat, Ila?” tanya Rani. Tangannya berusaha menggapai perutnya. Air mata Rani
tiada terbendung begitu menyadari perutnya sudah rata.
“Calon
bayimu meninggal, Ran,” jawab Ila dengan terisak-isak. Sebuah pertunjukan
tangis-menangis terlihat di ruang ICU Rumah Sakit. Entah berapa lama
pertunjukan itu terjadi sampai akhirnya Ila menyadari tubuh Rani berubah kaku.
“Rani…jangan
tinggalin aku.....,” teriak Rani memecah kesunyian malam di Rumah Sakit.
***
“Kamu
bercanda kan, Ila. Ga mungkin Rani sudah meninggal,” kata lelaki itu. Lelaki itu
terus memaksa Ila untuk memberitahukan di mana keberadaan Rani istrinya. Ila
pun menarik paksa tangan lelaki itu dan mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang
di dalamnnya berjejer batu nisan.
“Kamu
ngapain bawa aku ke sini? Tolong jangan bercanda,” kata lelaki itu sambil terus
mengikuti langkah Ila menelusuri makam. Setelah sampai di tempat yang dituju,
Ila segera menunjukkan kuburan yang tanahnya masih segar dengan ukiran batu
nisan nama yang tak asing. Seketika
tubuh lelaki itu lunglai. Tapi, ada dua batu nisan yang berjejer.
“Jadi, Rani
dan anak haram ini meninggal bersamaan,” ujar Reza sambil terus mencium batu
nisan istrinya.
“Kamu ke
mana aja tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ila dan terus menatap
Reza dengan kebencian.
“Aku
berusaha mencari keberadaan istriku, namun aku tak pernah bisa menemukannya. Aku
sudah pasrah kalau aku dan Rani tak akan pernah bisa bertemu lagi,” jawab Reza.
“Asal kamu
tahu ya, itu anak kamu, bukan anak haram. Memang, Rani sengaja tidak mengabari
kamu kalau sebenarnya Rani sudah hamil. Rani ingin memberikan kejutan ketika kamu
sudah pulang. Tapi ternyata, kamu malah berpikir aneh-aneh,” ujar Ila
menjelaskan.
“Kamu
serius?” tanya Reza dengan wajah kaget.
“Kalau kamu
tak percaya, kamu boleh gali kuburan ini. Silahkan kamu tes DNA apakah anak ini
benar anakmu atau bukan? Anak ini bukan anak
haram! Ingat itu,” kata Ila dan berlalu meninggalkan Reza yang tertunduk dengan
penyesalan.
“Anakku….”
Medan, November 2012
Penulis adalah
mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakulktas Bahasa dan Seni – Universitas
Negeri Medan. Saat ini juga sedang bergiat di Komunitas Tanpa Nama (Kontan)