Minggu, 08 September 2013

Bukan Anak Haram

Cerpen :  Listra Panjaitan


T
epat 7 bulan setelah pernikahan, hari ini Reza balik dari Malaysia. Reza memutuskan menjadi TKI agar bisa membelikan Rani sebuah gubuk sederhana. Rani berdiri di muka kost-an menunggu kedatangan suaminya. Foto pernikahan mereka berdua tiada lepas dari tatapan Rani. Rani sudah tidak sabar menyampaikan kabar bahagia ini.
“Ini anak siapa? Cepat katakan ini anak siapa?”
Rani hanya terpaku mendengar ucapan suaminya. Bak disambar petir di siang bolong, bukannya Reza bahagia,  Rani malah menerima umpatan dari Reza.
“Rani ga bohong, Mas. Ini benar-benar anak Mas Reza,” jawab Rani berlinangan air mata.
“Diam. Dasar perempuan nakal!” umpat Reza dan sebuah tamparan mendarat di pipi Rani. Tidak hanya sampai di situ, Reza mulai kelabakan. Sebuah pisau Reza julurkan tepat di perut Rani. Menyadari situasi yang memanas, Rani mulai berpikir untuk menyelamatkan diri. Sebuah balok kayu yang tergeletak di pojok pintu berusaha Rani gapai.
“Dasar perempuan sialan. Awas kamu!” jerit Reza. Melihat suaminya yang terkapar lemah dengan kepala bercucuran darah, timbul keibaan di hati Rani. Tapi, Rani sadar keselamatan dirinya dan jabang bayi lebih penting. Rani pun melangkah meninggalkan suaminya.
***
Hampir sebulan kejadian itu berlalu, namun tak lepas dari ingatan Rani. Rani memutuskan tinggal di tempat sahabatnya, Ila, yang tinggal di kota. Rani juga tidak memberitahukan kejadian ini pada kedua orang tuanya yang tak pernah merestui hubungannya dengan Reza. Di keheningan malam, Rani sering menangis meratapi nasib. Ila sahabatnya menjadi satu-satunya tempat Rani mencurahkan kepedihan yang dideritanya.
“Sudahlah, Ran. Mungkin Reza mengira kalau anak ini bukan anaknya,” ujar Ila menghibur Rani. Sejenak Rani menatap Ila.
“Tapi, Ran, ini benar-benar anak Reza,” jawab Rani sambil memegangi perutnya yang terus membesar.
“Ya, aku percaya sama kamu. Tapi kamu mesti ingat, sebelum Reza berangkat ke Malaysia kamu kan belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan,” kata Ila kembali. Rani hanya tertunduk mendengar ucapan Ila. Ingatan Rani kembali mengingat kejadian itu.
“Ya, kamu benar, Il. Aku terlambat memberitahu Reza kalau aku sudah hamil,” jawab Rani. Tatapan Rani kembali ke foto pernikahan mereka.
 “Aku kira lebih baik tidak memberitahu kabar bahagia ini dulu. Namun semua jadi kacau, Il,” ujar Rani kembali. Kali ini air matanya harus menggenangi bantal yang dipegangnya.
“Sudahlah, Ran. Kamu lebih baik berdoa, mudah-mudahan Reza segera sadar,” jawab Ila dibarengi sebuah senyuman.
***
Agar tak terlalu membebani Ila, Rani memutuskan berjualan goreng keliling. Beberapa kali Ila melarangnya, namun Rani tetap pada pendiriannya. Rani terus menelusuri gang demi  gang. Suaranya yang khas mendendangkan jualannya.
“Gorengnya, Bu, masih panas,” ujar Rani menawarkan gorengannya yang belum laku padahal hari sudah sore. Lama ibu itu menatap perut Rani yang membesar dan hal itu membuat Rani gugup. Beruntung ibu itu segera mengeluarkan uang 2 ribuan.
“Makasih ya, Bu,” ujar Rani. Seketika rasa senang merekah di wajah Rani. Walau hanya 2 ribu, bagi Rani itu lebih dari cukup. Bahkan hal itu mampu menumbuhkan semangat yang lebih besar di hati Rani.
“Aku akan coba tawarkan gorengan ini pada Mas itu. Mudah-mudahan Mas itu mau beli gorenganku,” gumam Rani dalam hati. Dengan langkah yang mulai goyah akibat kelelahan, Rani berusaha menghampiri lelaki yang sedang duduk santai di bawah pohon menikmati udara sore. Sebelum sampai di tujuan, Rani merasakan tubuhnya terjatuh tepat di pelukan seorang lelaki. Rani berusaha untuk melihat siapa gerangan lelaki itu, namun Rani harus menyerah.
“Akhirnya kamu siuman.” Sebuah suara yang tak asing menyapa Rani. Betapa kagetnya Rani melihat sesosok lelaki yang berdiri di hadapannya.
“Kamu ngapain di sini? Suster, usir orang ini!” teriak Rani memecah kesunyian di salah satu pojok di Puskesmas itu. Lelaki itu berusaha ingin menjelaskan duduk perkara pada Rani, namun kebencian yang masih menyulut di hati Rani merusak moment berharga itu.
***
Tapi Il, aku belum bisa melupakan kejadian itu. Aku belum sanggup untuk bertemu Reza,” ujar Rani dengan berlinang air mata.
“Aku ngerti, Ran. Tapi sampai kapan? Harusnya kamu senang, jadi kamu bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi,” kata Ila berusaha menenangkan kegusaran yang dialami Rani. Mendengar ucapan sahabatnya, seketika penyesalan mendera Rani.
“Sayang, Ran, aku sudah mengusirnya. Sekarang aku tidak tahu Reza ada di mana,” jawab Rani. Terlihat Rani sangat terpukul dalam penyesalan yang menyergap. Ila pun memeluk sahabatnya yang malang itu.
***
Rani sudah tidak sabar menunggu kelahiran si jabang bayi tinggal menunggu hitungan hari. Namun, Rani masih berjualan gorengan. Sementara bayang-bayang lelaki yang menolongnya ketika pingsan pun menghantui pikirannya. Tapi, Rani sudah pasrah sekiranya tidak bisa bertemu dengan lelaki itu.
Ya, semenjak pertemuan seminggu lalu, Rani tak pernah lagi menemui lelaki itu. Berulang kali Rani kembali ke pojok jalan di bawah pohon itu, namun sia-sia. Masih setengah jalan, Rani merasakan perutnya terasa sakit. Rani mulai kelabakan. Rani berjalan terseok-seok menahan sakit. Terlambat. Belum sempat menepi, sebuah sepeda motor menabrak lari Rani. Darah mulai mengucur.
Derita berlanjut, jalanan sunyi. Hampir setengah jam, tak ada juga orang yang lewat. Rani pasrah jika ini mengantarkannya pada kehidupan abadi.
Rani berusaha membuka mata. Rani mengira saat ini sudah berada di surga. Samar-samar Rani melihat Ila sahabatnya yang berliangan air mata.
“Jangan menangis, Ila sayang,” ujar Rani dengan suara yang begitu pelan sambil terus menatap Ila sahabatnya.
“Kamu harus sembuh. Kamu ga boleh tinggalin aku,” jawab Ila berusaha menguatkan Rani. Tangan Ila tak henti memegangi wajah sahabatnya itu.
“Bayiku selamat, Ila?” tanya Rani. Tangannya berusaha menggapai perutnya. Air mata Rani tiada terbendung begitu menyadari perutnya sudah rata.
“Calon bayimu meninggal, Ran,” jawab Ila dengan terisak-isak. Sebuah pertunjukan tangis-menangis terlihat di ruang ICU Rumah Sakit. Entah berapa lama pertunjukan itu terjadi sampai akhirnya Ila menyadari tubuh Rani berubah kaku.
“Rani…jangan tinggalin aku.....,” teriak Rani memecah kesunyian malam di Rumah Sakit.
***
“Kamu bercanda kan, Ila. Ga mungkin Rani sudah meninggal,” kata lelaki itu. Lelaki itu terus memaksa Ila untuk memberitahukan di mana keberadaan Rani istrinya. Ila pun menarik paksa tangan lelaki itu dan mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang di dalamnnya berjejer batu nisan.
“Kamu ngapain bawa aku ke sini? Tolong jangan bercanda,” kata lelaki itu sambil terus mengikuti langkah Ila menelusuri makam. Setelah sampai di tempat yang dituju, Ila segera menunjukkan kuburan yang tanahnya masih segar dengan ukiran batu nisan  nama yang tak asing. Seketika tubuh lelaki itu lunglai. Tapi, ada dua batu nisan yang berjejer.
“Jadi, Rani dan anak haram ini meninggal bersamaan,” ujar Reza sambil terus mencium batu nisan istrinya.
“Kamu ke mana aja tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ila dan terus menatap Reza dengan kebencian.
“Aku berusaha mencari keberadaan istriku, namun aku tak pernah bisa menemukannya. Aku sudah pasrah kalau aku dan Rani tak akan pernah bisa bertemu lagi,” jawab Reza.
“Asal kamu tahu ya, itu anak kamu, bukan anak haram. Memang, Rani sengaja tidak mengabari kamu kalau sebenarnya Rani sudah hamil. Rani ingin memberikan kejutan ketika kamu sudah pulang. Tapi ternyata, kamu malah berpikir aneh-aneh,” ujar Ila menjelaskan.
“Kamu serius?” tanya Reza dengan wajah kaget.
“Kalau kamu tak percaya, kamu boleh gali kuburan ini. Silahkan kamu tes DNA apakah anak ini benar anakmu atau bukan? Anak ini bukan anak haram! Ingat itu,” kata Ila dan berlalu meninggalkan Reza yang tertunduk dengan penyesalan.
“Anakku….”
                                                                       

Medan, November 2012


Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakulktas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Medan. Saat ini juga sedang bergiat di Komunitas Tanpa Nama (Kontan)


GELANGGANG SAJAK : Winda Prihartini


Ruangku?

Kau menambah guratan sesal
Cerita nakal merambah di sekitar dara
Kejenuhan mematuk diri karena wajahmu yang terlalu bersih, sepertinya
Menyentuh lembut tanpa suara
Muasalmu kau kata jauh
Dan ini takdir aku dan kamu
Lantas bagaimana dengan bulan
Ucapnya kau tak sekawan badan
Kita beda ruang lahir
Ruangmu abstrak penuh kebebasan
Dan ruangku kesederhanaan yang kaya keragaman

Tapi, benarkah ini ruangku?

Ranah Kompak, Oktober 2012

Perceraian Ranah

Kelak ketika melati usai menabur wangi
Tanah ini akan malu pada laut
Penduduknya terseruput maut
Sebab kerja dia semrawut, bercerai pada lembut

Hanya kesendirian menghadap masa
Tak berpayung tak pula bersama
Rintik kecil, angin dan terik dijamu sendiri
Kata rujuk tertolak bisu melambai halus permisi
Perjumpaan telah luan mematikan diri jadi sunyi
Ranah Kompak, Oktober 2012

Cekokan Angin

Serupa kelam kau diam
Mematut senyum dengan keengganan
Dari mana muasal pendustaan
Yang undang gerak tak  melincah senada

Tak seorang pula, katamu
Tak punya debar tak miliki jiwa
Apakah dia angin yang menyasar
Mencekokimu dengan kebekuan

Sungguh, aku pun hanya dapat diam di kediamanmu yang dalam
Ranah Kompak, Oktober 2012


Beda Jadi Jarak

Lagi-lagi gubuk kita menyentuh tanah
Saat kita berpesta pada senja serta burung-burung nyata
dengan kerja keras sejak fajar
Apa kau lupa menitipnya pada tetangga?
Setidaknya dapat tertilik mereka

Mereka mengaku tak tahu
Tapi kita tetap bersama, mereka berbeda
Mungkin kita terlalu sederhana dan mereka tak percaya


Ranah Kompak, Oktober 2012

Lupa Jamuan

Sudah sepekan senja sewarna hitam
Jingga sewarna lebam
Malam pekat jadi kekejaman yang patut dihindari

Ke mana mentari merantau
Ke mana pula pelangi berjalan
Apakah semua lupa perjamuan
Sekian hari kutilik tak ada peruhan
Rupa-rupa mereka telah tergadai di seberang lautan

Ranah Kompak, Oktober 2012

Jiwa yang Menciut

Wajah bumi mulai menua
Tanah coklat menjadi berwarna
Ditimpa senja tak berupa apa
basah embun pun tak dapat merata

Jiwa menciut karena sebabnya
Mencari tempat tuk mendapatkan nikmatNya
Segala sesal datang sekejap saja
Lalu, seletah itu mulai bermain ria
Berlari-lari, berkeliling
Memungut sampah dengan tangan kotor penuh nanah

Ranah KOMPAK- FKIP UMSU, 2012


Warna-Warni Pikir Manusia

Menghening, berbeda tempat berbeda nuansa
Itulah nyata
Bersandar, mengirim batin ke arah berwarna
Pelangi. Itulah pikir manusia

Esok-esoknya,
Hati telah terlanjur merambah semua
Melampiaskan kegalauan yang sempurna
Tanpa sadar rayu wewangian dunia merampas kesadarannya
Dan akhirnya ia giat mencari kepuasan,
Kepuasan yang tak kunjung usai meski rumput berubah keemasan

Ranah KOMPAK- FKIP UMSU, 2012


Disebut Diam Mulia

Masih belajar bercakap
Ataukah sengaja mengurangi cakap
Atau apakah memang gagap?

Ya, hilang harga diri lebih rela
Katanya mati diam lebih mulia
Namun suara tetaplah suara
Rangkaian kejujuran haruslah saling bersambut rata

Ahk, raiblah semua karena diam yang katanya mulia.

Ranah KOMPAK- FKIP UMSU, 2012


Suaranya jatuh

Suaranya, jatuh di pangkuan bumi
Tangannya, mengambang di antara tanah dan awan
Matanya, sayu mencekung ke dalam
Bibirnya, getir mengucap asmaNya

Nama satu terus disebut
Tanpa takut ia cukur semua kalut
Ambruk.

Melemah sebab banyak tertawa

Ranah KOMPAK- FKIP UMSU, 2012

Wajah Wanita

Wanita berwajah galau
Mencium rindu setiap malam
Mengintip kenangan dari jalur kanan
Benci melihat orang tumpang tindih bercerita kisah lampau

Aduh, wanita berwajah galau
Terlalu banyak sayatan di pergelangan tanganmu
Putih kulitmu terkotori garis-garis memanjang merah warnanya

Jangan tertawa!
Kutip saja sisa suka di tikungan taman bunga
Cari wajah ceriamu yang kau jatuhkan saat dia mengirim kabar bahwa semua sudah selesai.

Ranah KOMPAK- FKIP UMSU, 2012

Menembus Tanah, Mengucur Nanah

Senja telah sempurna rupanya
Silaunya membias bumi juga raga
Bahkan tulang-tulang dibawah tanah.
Ah, bau
Ada nanah mengucur dari tubuhmu
Sudah matikah kau?
Diman aku?
Siapa dia, dia?
Ranah KOMPAK- FKIP UMSU, 2012


Winda Prihartin. Biasa dipanggil Winda. Lahir pada tanggal 28 September 1992 di Medan tepatnya Medan Marelan. Saat ini tinggal di Tanah Enam Ratus Medan Marelan dan berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.



Bahasa Indonesia, Milik Siapa?





B
ALAI Bahasa Provinsi Sumatera Utara, Sabtu (07/12/2013) ini menggelar seminar kebahasaan di Hotel Karibia Boutique Jalan Timor Medan,  bertopik ”Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?” Topik ini sangat menggelitik, sehingga kita pun bertanya : Milik siapakah sebenarnya bahasa Indonesia ini?
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dan kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan.
Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa.
Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa.
Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi.
Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri.
Berdasarkan fenomena di atas, akhirnya pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007, tanggal 21 Agustus 2007, tentang pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah. Permendagri ini memuat 6 Bab dan 9 pasal.
Inti dari Permendagri Nomor 40 Tahun 2007 ini adalah pada Bab II, yaitu mengenai tugas kepala daerah, yang termuat dalam pasal 2, yang berbunyi, “Kepala daerah bertugas melaksanakan: a) pelestarian dan pengutamaan penggunaan bahasa Negara di daerah; b) pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya dan sebagai sumber utama pembentuk kosakata bahasa Indonesia; c) sosialisasi penggunaan bahasa negara sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintah dan pemerintahan daerah, surat menyurat resmi/kedinasan, dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah.”
Pasal 3, kepala daerah a) melakukan koordinasi antar-lembaga dalam pengutamaan penggunaan bahasa negara atas bahasa-bahasa lainnya pada berbagai forum resmi di daerah; b) menerbitkan petunjuk kepada seluruh aparatur di daerah dalam menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial, petunjuk jalan dan iklan, dengan pengutamaan penggunaan bahasa negara; c) memberikan fasilitas untuk pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah; d) bekerja sama dengan instansi vertikal di daerah yang tugasnya melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.
Selanjutnya pada Bab IV Pemantauan dan Evaluasi, Pasal 7, ayat (2) berbunyi, “Untuk melaksanakan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur membentuk tim evaluasi yang dipimpin oleh pejabat dari unsur sekretariat daerah dibantu oleh pejabat dari satuan kerja perangkat daerah yang menangani urusan kesatuan bangsa dan politik sebagai sekretaris tim dengan beranggotakan pejabat dari unsur satuan kerja terkait dan instansi vertikal yang menangani kajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.”
Sudahkah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tergerak membentuknya. Mari kita tunggu gebrakan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara yang baru ini. Bagaimana komitmen mereka terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah? 
Mudah-mudahan melalui seminar yang diadakan Balai Bahasa Sumatera Utara pertanyaan tersebut dapat terjawab. Apalagi, akan tampil sebagai narasumber Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politi, dan Pelin dungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Drs. Eddy Sofyan, MAP, Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara Ir. Kamaluddin Harahap, M.Si., Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara Dr. Tengku Syarfina, M.Hum., dan Kepala Badan Bahasa Kemdikbud Prof. Dr. Mahsun, M.S.
Semoga. ***

      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 




Winarti adalah novelis serta dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU

Si Perempuan Trembesi

Oleh: Winarti

Medan.

To We.
Australia.

We, Sulit kuuraikan langkah kakiku ke mana telah sampai.
Bagiku, tiada rasa selain bersamamu. Mungkin butuh waktu untuk kita duduk berdua. Masih terpenggal bait-bait kata yang dahulu kau jabarkan. Aku masih setia menunggu arti diammu. Aku tahu kau juga punya cinta seperti layaknya perempuan biasa.

Matamu yang selalu tajam menatap, menyimpan banyak cinta pada orang yang... kau sayang. Namun terkadang, segala yang tulus dari hati sulit diucapkan.

Trembesi-trembesi di kala senja itu saksinya, terpaan angin menghembusnya dapat menceritakan segala diammu.
Tentang segala hal yang tak proporsional.

We, jemumu yang bertutur layu padaku, sulit kutinggalkan. Padahal banyak bunga dalam hidupku yang mekar. Yang dalam sekejap dapat kupetik lalu kugenggam erat dalam dekapan.

Namun bungamu telah dalam mewangi di sanubari, entah mengapa hati bisa terpatri. Kenangan di bawah trembesi-trembesi kokoh jantung kota ini.

Banyak tanya yang harus kujawab, namun hati tak perlu dijawab. Kenapa aku berharap kau datang pulang.
Banyak makna yang harus kita diskusikan tentang isyarat yang kau tinggalkan.

Dalam Penantian, Januari 2013.

Kotak Hati Australia - Indonesia.
Untuk, Perempuan Trembesi.
            (Sebuah puisi yang ditulis oleh Araska Sastranegara).

P
enulis puisi ini tak jera. Saya sudah dua kali mengomentari tentang tulisannya dalam bentuk esai dan dibuat pada surat kabar ini juga: Desember 2012 dan Februari 2013. Saya katakan bahwa dalam salah satu esai, ia khilaf dalam menafsirkan tentang We –yang terinspirasi dari sosok Ainaya di novelet ”Jus Alpukat”- dan ia terlalu GR dalam menerka We.
            Tapi tetap saja ia menulis sajak atau surat lagi untuk We. Kali ini sangat muncul kesoktahuannya, tapi baiklah, masih tetap menarik untuk diikuti sibakan-sibakan sajaknya yang ini sebagai materi apresiasi puisi.
Kali ini “Si aku” muncul sebagai sosok yang mulai pandai memahami karakter We. Ia adalah tokoh yang mau belajar pelan-pelan untuk belajar menjelajahi rongga-rongga hati We. Dia tabah dengan sikap dingin dan misterius We. Ada penantian panjang yang dia lakukan untuk We. Dia sangat berharap besar bahwa perempuan diam itu akan meluluh di suatu hari nanti. Lalu dia akan tetap setia menunggu.
“Perempuan trembesi”, demikian si aku menjuluki We. Tentu ada alasan tersendiri mengapa si aku memanggilnya dengan itu. Mungkin karakter We sama persis dengan karakter pohon trembesi atau Samanea atau pohon hujan. Kokoh, misterius, sering dilewatkan begitu saja tapi memesona sebenarnya.
Mungkin We adalah gadis yang kokoh dengan prinsip hidupnya, menawan dengan caranya sendiri, orang lain tak menyukainya tapi justru seseorang yang penuh cinta saja yang akan bisa menangkap bahwa We juga adalah perempuan yang penuh dengan cinta. Buktinya ia tahu bahwa We sebenarnya adalah perempuan layaknya perempuan lain yang butuh cinta, baik dicintai maupun mencintai. Atau juga We disebut sebagai perempuan trembesi oleh si aku mungkin karena ia melihat betapa We menemukan kenyamanan, ketenangan, dan kemesraannya dengan trembesi. Mereka menyatu. Sangat.
Kebisuan si pohon juga seperti kebisuan We. Daunnya yang kerap mengatup mungkin juga simbol bahwa We adalah gadis yang tertutup, tapi di balik kebisuan tersebut ada cerita sebenarnya yang dibungkus dengan sangat hebat. Tertutup rapat. Kehebatan kisah yang dibungkus rapat itu adalah bahwa “Si aku” sangat merindukan si We. Dia menanti dan terus menanti.  Atau jangan-jangan si aku itu adalah Araska Sastranegara sendiri?
Araska Sastranegara –penulis sajak ini- adalah seorang pecinta sastra. Jangan ditanya sedalam apa ia mencintai sastra. Lihat saja status facebook-nya. Dia ngomong saja buat saya pada saat itu dia sedang berpuisi, walaupun dia hanya sekadar bergumam, “Hm.” Bongkar tasnya, kita akan menemukan ada buku penyair favoritnya. ”Tanpa buku itu, serasa ada yang kurang,” begitu katanya.
Orang yang mencintai sastra adalah orang yang mencintai kehidupan, akan selalu bahagia, awet muda, jauh dari stress. Sastra diciptakan dengan segala kecantikan dan keindahannya yang agung. Begitu dalamnya ia mencintai sastra, sampai-sampai nama penanya saja ada kata “Sastra”.
Meski begitu, ternyata si aku mengundurkan diri sejenak, dia menyerah sementara waktu. Lihatlah petikan sajaknya yang ditulis pada 5 Februari 2013 di bawah ini, seakan memperlihatkan betapa dingin dan kokohnya We dengan segala prinsipnya. Si aku tak mampu bertahan hanya dalam hitungan sebulan. Luar biasa pesona We.
Kepada We,

Kau telah menodai dan menaburkan luka di jiwaku, We. Aku pergi. Sejenak memeram luka yang amat dalam di tepian sunyi. Sedang cinta, biar kukirim melalui iring-iringan angin. Semoga sehat selalu bahagia kau kuharap dalam helaian detik dinginmu. Kau hancurkan aku, We. Tapi aku tetap menanti perempuan trembesiku.
Kotak hati Australia-Indonesia. Sebuah nama di ujung mataku.” ***

(Kuhadiahkan kepada Araska Sastranegara sebagai kado milad. Kandidat orang hebat!)



Winarti adalah novelis serta dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU