Kamis, 18 Juli 2013

Teater Sutradara (Sabtu, 13 Juli 2013)




K
ehadiran Taman Ismail Marzuki dan terbentuknya Dewan Kesenian Jakarta membuat para penggiat teater bergairah. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Teguh Karya, W.S. Rendra, Arifin C. Noor, dsb. Mereka adalah orang-orang yang dianugerahi bakat-bakat istimewa pada bidangnya. Penonton mendapat tempat di gedung baru itu, tetapi yang berkembang dan menjadi perhatian utama justru jatuh kepada peran sutradara.
Dari tangan-tangan mereka, temuan-temuan artistik mencapai puncaknya. Unsur visual panggung mencapai kemajuan yang sangat signifikan. Peran sutradara yang begitu besar serta fokus perhatian mereka kurang-lebih hanya pada persoalan artistik, menjadikan keadaan berbalik. Aktor tidak mendapat tempat sebagai instrumen teater, apalagi dengan kehadiran penonton.            
Definisi teater sutradara sudah menjadi obrolan para pakar teater dari waktu ke waktu. Pengaruh sutradara yang begitu besar menjadi kekhawatiran lain dari para pemerhati teater. Teater Indonesia menjadi elitis dalam arti jauh dari jangkauan para penontonnya (masyarakat). Sutradara asyik dengan eksperimennya masing-masing.
Tidak dimungkiri memang kalau gedung-gedung macam Teater Kecil masih banyak disambangi penonton, tetapi mereka hanya sekadar datang. Orang-orang teaternya sendiri lebih sibuk memikirkan bentuk apa yang paling mutakhir untuk dipentaskan.           
Ikranegara menandai generasi tersebut sebagai generasi teater mutakhir Indonesia. Tempat para penggiat teater mencampur-campur bahan yang datang dari arah manapun (tradisional maupun Barat) untuk menemukan bentuk yang paling rumit dan eksotis menurut mereka. Asrul Sani justru sangat prihatin dengan pencarian yang membabi-buta ini. Dia khawatir bahwa kepentingan teater hanya sebatas mencari bentuk yang paling mutakhir yang membungkus isi. Sementara isi yang dibalut bentuk itu sama sekali tidak ada.  
Wajar apabila orang-orang teater mencari bentuk yang paling sempurna sejauh masih memiliki isi yang jelas. Ikranegara (Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. 1999: 227) sendiri mengonkretkan bentuk ini dengan tujuh kata kunci, "non-realistik", "eksperimen", "alternatif", "akar budaya", "wajah Indonesia", "bhinneka/pluralisme", dan "polyphony". Tujuh kata kunci itu menjadi pijakan para ekperimentalis untuk mengembangkan gaya pertunjukannya.            
Dengan maraknya pengucapan bentuk teater mutakhir, teater Indonesia menemukan pengakuannya di kancah percaturan teater dunia. Barat yang tadinya melihat teater Indonesia hanyalah bayang-bayang teater Barat, justru terkesan dengan temuan-temuan yang kini menjadi identitas teater Indonesia. Menggabungkan teater yang bersifat tradisional seperti tari topeng Bali dengan idiom-idiom teater Barat.            
Analisis Asrul Sani juga tidak sepenuhnya salah. Dia melihat bahwa bentuk eksperimentasi yang membabibuta hanya akan memenjarakan seniman teater. Perkembangan teater di Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh situasi zaman tempat teater itu berkembang. Jika situasi zaman tidak terlalu disikapi dengan kedalaman, bisa dipastikan bahwa pada sebagian kelompok teater masa itu, bentuk tidak lain adalah manipulasi artistik. Dia tidak hadir karena keharusan yang lahir dari kehidupan batin yang dalam. ***
      


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

SASTRA MEDIA DAKWAH PALING AMPUH (Sabtu, 13 Juli 2013)

Oleh: Dewi Ningsih


S
astra merupakan sebuah hasil imajinasi manusia yang diciptakan dan dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan indah. Sastra diciptakan bukan sekadar menuangkan imajinasinya, melainkan memiliki maksud dan tujuan yang dapat membawa manfaat bagi pembacanya.
Salah satu contoh karya sastra yang dapat membawa manfaat bagi pembacanya adalah cerpen “ Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP), buah karya Helvy Tiana Rosa, sebuah cerpen remaja yang sangat fenomenal dan dianggap sebagai pelopor bagi kebangkitan Sastra Islami Kontemporer di Indonesia pada era 1990-an.
KMGP juga turut memengaruhi perkembangan semangat belajar Islam di kalangan muda Indonesia. Inilah satu-satunya karya Helvy yang habis 10.000 eksemplar sebelum buku tesebut dicetak tahun 1997 oleh Pustaka Aninda.  Kemudian Tahun 2011 buku ini kembali diterbitkan oleh Asmanadia Publishing House. Ada perbedaan cerpen KMG yang dulu dengan yang sekarang, kalau dulu hanya 15 halaman, sekarang menjadi novellet 64 halaman.
Untuk mengkritiki sebuah karya sastra bukanlah hal yang mudah banyak teori-teori yang harus dikuasai. Tentunya bagi saya yang mencoba untuk mengkritik sebuah karya sastra. Kritik sastra membicarakan sebuah sastra secara langsung yakni menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya tersebut.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkritik sebuah karya sastra  menurut Abrams yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan pragmatik, dan pendekatan objektif.
1.      Pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut. Dengan demikian, secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang.
2.      Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan. Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya. Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.
3.      Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan pragmatis memertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
4.      Pendekatan objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonom.

Dari keempat pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams, sebagai pembaca saya tertarik untuk mengkritik karya sastra dengan menggunakan pendekatan pragmatis. Mengapa? Karna sebagai pembaca saya dapat menilai langsung karya yang saya baca. Salah satu karya yang sudah saya baca adalah buah karya Helvy Tiana Rosa yaitu cerpennya yang kini menjadi novellet yang berjudul Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali.
Pesan yang terkandung dalam Novellet tersebut sangat bagus dan menginspirasi kaum remaja. Banyak nilai-nilai religius  yang disampaikan pengarang melalui karakter tokoh tersebut. Pengarang mengajarkan tentang Islam yang indah, tentang peranan sesama muslim, tak ada sesuatu yang tak mungkin.
Dalam ceritanya, seseorang yang dulunya pereman dan pencopet dapat berubah menjadi seorang muslim yang taat, wanita yang dulunya tomboy dapat berubah menjadi muslimah yang solehah dan anggun. Semua karena Mas Gagah yang tiba-tiba  berubah dan mampu mengubah orang-orang di sekelilingnya menjadi seorang muslim sejati.
Tapi itu berjalan tak lama, karena Mas Gagah telah pergi untuk selamanya, pergi untuk meninggalkan orang-orang yang mencintainya. Banyak yang kehilangan sosoknya, terutama Gita, gadis yang sering dipanggilnya dengan Dik Manis. Ternyata masih ada orang yang baik setelah kepergian Mas Gagah, yaitu Yudi yang selalu menyampaikan dakwahnya dalam busway. Setelah mengenal Yudi, Gita merasa Mas Gagahnya telah kembali. Sosok yang terus menyampaikan dakwah Islam kepada sesama muslim.
Menurut saya, kaum muda harus membaca novellet ini. Novellet ini sangat luar biasa, mampu membius pembacanya. Ternyata dakwah tidak harus di depan jamaah, melalui pengajian, melalui kegiatan sosial atau keagamaan. Tetapi Helvy Tiana Rosa mampu berdakwah lewat karyanya. Semua kalangan dapat membaca karyanya tanpa terkecuali. Inilah karya sastra yang wajib dibaca, karya sastra yang dapat membawa manfaat bagi pembacanya, ada efek yang ditimbulkan setelah membaca karyanya, tentunya efek positif dan menuju ranah yang lebih baik. Karya seperti ini yang selalu dinanti-nanti oleh pembaca. ***



Penulis,  Mahasiswa  Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara




GELANGGANG SAJAK : Riska Irene Simatupang (Sabtu, 13 Juli 2013)


Kumandang Sesal

Kemarin masih kau titipkan luka di sela beranda akalku
Hari ini  kaucoba bercumbu dengan kata maaf
Lalu akankah esok kembali kautaburi aku dengan senandung perih tanpa tepian

Kumandang sesalmu laksana bola-bola salju
Ibaratkan lingkar cincin tanpa awalan pun akhiran
Begitu mudah kau suarakan sesal
Tanpa materai pengikat takan kau ulang lagi..

Ahhh,,, sudahlah
Meski mungkin kau berpura lupa
Tapi guratan luka itu masih meninggalkan bekas
Selaksa paku tertancap erat dalam belantara ruang hati


Surat Kecil untuk Koruptor
                                                      
Pagi ini...
tertanggalkan hari yang kelabu
berselimutkan tempat hati nurani
salam damai untuk mu
wahai, para pemimpin kami
sejenak aku merangkai kata
mewakilkan jeritan rakyatmu yang kian menderita
tidakkah kau picingkan matamu
pada mereka...
anak jalanan..
anak putus sekolah..
janda miskin..
korban bencana...
tak punya rumah
tak punya seragam sekolah
bahkan tak punya lagi hak
karena sudah kaurampas saat kau mengungkap janji manismu kemarin
mereka menangis..
sedang kau asik duduk
meraup rupiah demi rupiah
kauhalalkan niat busukmu
kaugadaikan kebahagiaan kami
hanya untuk isi perutmu
masih adakah hatimu saat ini
usah kau tersenyum
kami muak dengan topengmu.
usah kau berjanji lagi..
biarlah Ilahi pada waktu nanti yang menjadi saksi cerita ini 


Elegi Tikus Bertopeng         
                                                           
Matahari masih tersenyum
Menorehkan sinar yang penuh harapan
Pelangi pun masih ingin bersanding
Bersama tetesan air hujan langit biru

Tetapi...
Tatap mata meratap
Di tengah hamparan padang pasir nan kerontang
Tikus-tikus nakal menari
tanpa peduli pada pasir yang terus merintih

hingga malam hampir usai
tak jua beranjak pergi
seakan waktu pesta akan dimulai
berselimut dengki berselendang iri hati

pundi-pundi terisi
tikus tak lagi beraksi
bermetamorfosa jadi kelinci
lalu berlari memakai topeng penutup diri ......


                                                           
Senandung Cinta untuk Emak dan Bapak
           
Mak, Pak
Izinkan aku  memuisikanmu lewat kanvas kata ini
Menyeberangi batas rindu yang sedari tadi bergulat dengan sepi
Membayangkan gemurat halus tentang raut wajahmu saja
Mampu membius raga pun jiwa yang hampir tenggelam dalam asa

Pesan-pesan harap yang selalu kaulantunkan
Pada altar sajadah sujud yang seolah menembus dinginnya pagi buta
Entah mengapa seolah kerentaan kauanggap menjadi sahabat pada masanya
Tiada pernah kaupeduli pada keriput kulit yang menghapus sedikit lambang perkasamu

Mak, Pak
Bukankah dulu kita sepaham tentang lingkar janji yang mengantarku pergi
Meninggalkan deru debu pada kampung halaman
Menapaki tiap guratan kehidupan jauh dari dekap kemanjaan
yang kita sebut rajutan menuju kemenangan

Mak, Pak..
Maafkan bila saat ini waktu belum merestui
Memampukan aku menilik lagi secercah senyum pada sudut bibir tipismu
Bersabarlah terus dalam senandung doa-doa mu pun aku
Mengotakkan kita pada  selaksa indah tentang cita dan cinta



Penulis adalah mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan

Sarangan Pengasihan (Sabtu, 13 Juli 2013)

Cerpen: Teguh Affandi


M
olina sudah mengabarkan kepada kerabat mendiang suaminya, bahwa abu jenazah Taksuki akan dilarung besok pagi. Molina berharap mereka sekadar mengantar sisa pembakaran Taksuki terakhir kali ke peraduan telaga. Sudah sepekan Taksuki meninggal. Seminggu pula Molina mencari telaga gading yang diamanatkan Taksuki. Telaga gading? Telaga dengan warna putih gading? Atau telaga dengan hewan bergading? Mana ada di peta telaga gading? Baru kemarin Molina mendapatkan kabar, bahwa telaga gading yang dimaksud Taksuki dalam puisinya adalah Telaga Sarangan. Telaga yang dipenuhi burung jalak gading.
“Telaga gading yang dimaksud mendiang suamimu adalah Telaga Sarangan,” demikian yakin Iskandar. Kawan seniman yang sudah dianggap keluarga Taksuki.
“Apa yang membuat kamu begitu yakin?” Molina sebenarnya tidak begitu percaya. Sambil terus saja dicarinya alasan mengapa Iskandar begitu ingin segera menabur abu Taksuki. Padahal Taksuki sudah mati, kalaupun Iskandar ingin mengawini Molina tidak perlu lagi harus bersilang kata dengan Taksuki.
“Tidak ada telaga lain yang penuh dengan gading, ya telaga dengan jalak gading. Telaga Sarangan.”
“Taksuki…” Molina kembali mengingat mendiang suaminya yang begitu romantis. Molina merasa hanya Nabi Yusuf yang mampu menandingi keintiman dengan suaminya. Iskandar saja sering merinding saat menyenandungkan liris puisi yang ditulis khusus untuk Molina, wanita yang dikatakannya telaga inspirasi semua puisi Taksuki. Iskandar harusnya sadar, Taksukilah yang meracik lirik hidup Iskandar. Dikenalkan dengan berbagai perupa, bakat kecilnya sekarang menjadi obor bagi lancarnya rokok dan makanan baginya.
“Molina, sudahlah. Yang sudah menjadi abu tidak akan kembali merangkulmu. Molina, sudahlah besok kita ke Magetan. Di sanalah suamimu ingin abunya dilarung.”
“Aku ingin tidur.” Molina meninggalkan Iskandar duduk di ruang tengah. Angin di tahun baru, mendinginkan tanggal muda Januari. Iskandar tak lagi merasakan hangatnya kopi. Angin menerbangkan hangat ke awang-awang. Taksuki telah membawa semua benih hangat yang disimpan Molina. Ada rekah senyum di bibir hitam Iskandar.
***
Pagi berkabut tipis, Molina sudah berdandan rapi kenes. Dipakainya terusan warna marun untuk menghormati Taksuki, suaminya itu pengagum warna merah. Kalau saja Joko Pinurbo maestro rok, celana dan dalaman di setiap puisi. Taksuki menulis merah dalam bait puisinya. Semua merah menjadi larik dan diksi puisi yang ditulisnya. Darah, bendera, amarah, api. Semua yang berwarna merah yang memerahkan puisinya. Pun kematian Taksuki yang merah.
Iskandar sudah siap sedia. Kalau jam tujuh segera dipancal pedal gas mobilnya menuju Telaga Sarangan, maka pukul satu mereka akan sudah sampai. Kabut selalu akan turun di sepanjang perjalanan. Hanya mata Molina yang sedang berkabut. Iskandar, sopir tidak boleh mengantuk. Jalan menuju Telaga Sarangan berkelok-kelok seperti jejak jalan siput. Mereka harus perlahan.
Molina tidak menemukan satu pun keluarganya akan ikut mengantar. Mungkin kekecewaan sudah memutus benang peranakan mereka. Taksuki sudah dilepas dari aliran darah keluarga mereka.
“Molina, Taksuki tidak boleh dikremasi dan dilarung abunya. Itu melanggar ajaran agama,” mertua Molina memerintahkan.
“Ma, ini amanatnya sebelum wafat. Biarlah ini menjadi bakti Molina yang terakhir kalinya,” Molina hanya menunduk. Tidak berani ditatap lurus wajah mertuanya. Bagaimanapun tanpa wanita yang selalu memakai rambut tambahan itu, Taksuki segara cintanya tidak akan pernah ada.
“Molina, kremasi hanya untuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Dikuburlah, Taksuki pasti ingin kembali ke babon tubuhnya, tanah. Yang dari tanah kembali ke tanah.”
“Kalau dilarung apa tidak bisa berjumpa dengan tanah? Tuhan jauh lebih pandai ketimbang kita. Kuyakin bagaimanapun Taksuki dapat bersua dengan Tuhan. Dikubur, dikremasi atau bahkan diumpan ke harimau,” Molina tetap menunduk tidak berani menatap.
“Sinting! Dasar wanita sinting. Kau melarungnya agar segera lupa. Iddahmu mana? Baru kemarin Taksuki mati, sekarang Iskandar sudah kau minta menemani. Biyung..!” mertuanya pergi dengan melepas pintu seperti melepas peluru. Suara menghentak perasaan.
Lamunannya pecah. Iskandar menepuk bahunya. Mereka akan segera berangkat ke Telaga Sarangan. Dianggukkan kepala. Digenggam erat guci berukir kepala naga warna merah yang dibalut dengan mori pucat. Molina duduk di depan. Diamati jalanan yang ramai dipenuhi orang mencari ketenangan.
***
Pagi itu Molina tidak menemukan Taksuki duduk menghadap sangkar kutilang. Duduk sendirian menyeruput teh poci mengepul tanpa gula dan sebatang kretek di tangan kiri. Taksuki saban pagi tidak pernah berwajah muram. Senyumnya menggeliat menebarkan gairah. Molina yang masih memakai piyama warna merah memutar pandangan mencari suaminya. Sebelum membasuh badan di pemandian dengan model mirip kolam Tamansari, Taksuki selalu duduk mencari inspirasi puisi menghadap sangkar kutilang dari gerigi bambu apus.
“Kamu di sini?” Molina menyandarkan kepalanya di bahu Taksuki tepat di jalur tulang belakang yang mengular. “Tidak biasa. Kamu sedang ada masalah?”
“Hatiku tidak enak mendengar suara merdu kutilang.” Taksuki tidak membalikkan badan.
“Jangan terlalu dipikir, Iskandar hanya bercanda. Kamu tetap suami dan separuh nyawaku.”
“Bukan masalah Iskandar.” Wajahnya menyiratkan firasat. Seperti kematian Damarwulan yang dipindan oleh dalang. Juga pukul kenong saat mulai memasuki aroma kematian.
Taksuki berhenti sebentar. Pikiran buyar. Permintaan Iskandar untuk menjadikan Molina model patung telanjang ditolak keras Taksuki. Kemudian terdengar dadanya menarik napas dalam-dalam. “Bawa aku ke kolam, aku ingin mandi bersamamu. Aku ingin berendam dengan puisiku.”
Molina menggandeng Taksuki dengan mesra. Mereka duduk di kursi kayu jati tua menghadap pohon asam jawa yang melintas di sisi kanan kolam. Beberapa daun dan buahnya berjatuhan di kolam. Setangkai kenangan bergelantungan abadi di rerimbunan daun yang menggantung. Taksuki meluruhkan pakaian dan menceburkan badan di kolam. Kepala muncul-tenggelam mengambil udara.
“Molina, kamu adalah puisiku.”
“Sudah jutaan kali aku mendengarnya,” Molina tidak berani melepas semuanya.
Mereka bermesraan di dalam kolam.
“Sepanjang apa kamu mengenangku kelak, Molina?”
“Pertanyaan apa itu? Seperti esok kamu bakal mati saja.”
“Siapa tahu? Mata musuh itu lebih halus dari desahan perawan.”
Molina berpikir sebentar, Taksuki tak biasa membicarakan kematian. Senyumnya tetap kenes saat dipandang. “Sepanjang Bengawan Solo. Kali tidak akan berhenti sebelum bermuara di lautan, bukan?”
Taksuki megecup kening Molina.
“Tebarkanlah abuku di telaga gading?” Taksuki mewasiati.
“Di sini?”
Taksuki tidak menjawab. Hanya tersenyum dan menjauh sambil mengibas-ibaskan air.
***
Sebuah kiriman berisi kue bolu warna cokelat. Molina tahu bahwa kiriman itu akan datang. Tujuh puluh kali dalam sehari dia mengawasi untuk meracuni Taksuki. Molina tidak mengerti, mengapa perkariban bisa berselisih hanya karena wanita. Sekarang paket itu sudah datang. Paket berisi kabar kematian Taksuki. Kedatangan hawa kematian tidak dapat dielakkan. Lembab, pengap dan wingit membungkus paket itu. Taksuki begitu rakus menikmati bolu.
“Kamu tidak ingin ini, Molina? Ini adalah kiriman terenak dari seorang sahabat,” Taksuki berkata dengan mulut yang dipenuhi remah-remah bolu. Beberapa muncrat dan jatuh di meja tanpa pelitur. Untuk menghilangkan rasa penuh di tenggorokannya, Taksuki menegak teh poci tanpa gula.
“Aku ingin mandi dahulu. Sisakan sedikit untukku. Sekerat saja. Bayi di sini juga butuh nutrisi,” Molina mengelus perutnya yang buncit lima bulan.
“Tentu puisiku dan baitku harus diisi dengan gizi. Mandilah. Biar ilham segera datang mencumbu pena,” Taksuki kembali memotong bolu dan mengantar ke mulutnya.
Molina beranjak ke dalam. Setengah jam lamanya. Ketika Molina keluar dengan dandanan segar dan aroma vanila menguar, tidak ditemukan lagi Taksuki duduk menghadap sangkar kutilang.
“Taksuki!” Molina tercekat histeris. Taksuki bermulut busa. Nyawanya tidak lagi ada. Molina menangis. Air matanya membuat angin mengelus manja.
***
Molina duduk menghadap lurus ke depan. Bergeming, tak memedulikan sekitar. Sedan warna merah yang dibeli dari hadiah sayembara sastra Taksuki diparkirkan di depan warung tenda, di pinggiran Telaga Sarangan. Kabut masih menutup permukaan Telaga Sarangan yang payah memantulkan pepohonan di sekitaran. Suara Jalak Gading saling bersahutan. Inilah suasana yang diinginkan Taksuki. Tenang dan menggetarkan kalbu. Molina tidak mengerti mengapa rasa bungah dan susah bersatu dalam rintik hujan di matanya.
Mengenang Taksuki, Molina mengelus kancing baju dan dadanya yang tergantung sebuah bandul bertanda huruf inisal namanya ‘M’. Guci berisi abu Taksuki dipangku erat. Tangannya meluncur ke bawah, ke perutnya yang membuncit. Bayi dari Taksuki berontak, menendang dinding rahim Molina. Taksuki dahulu mencita-citakan agar bayi pertama mereka lahir sebagai pemain teater. Taksuki mengagumi Arifin C Noer, dan ingin anaknya kelak bisa sehebat Arifin C Noer. Molina masih bersyukur, Taksuki tidak meminta bayinya menjadi penyair. Kalau tidak gila, seorang penyair hanya akan menjadi orang fakir.
Iskandar tidak peduli pada Molina yang berwajah muram. Iskandar menikmati kopi susu, mengunyah ubi kayu goreng yang dipanen dari ladang di belakang warung berdinding kayu. Di piring ada ikan nila bakar yang merona. Iskandar tersenyum lebar. Iskandar melangkah ke tepian Telaga Sarangan. Ingin sebenarnya ia memancing ikan. Aroma harum mengambang di atas permukaan Telaga Sarangan.
“Sekarang!” Iskandar mengagetkan Molina yang sedikit tidak sadar. Merasa perkataannya tidak di dengar, Iskandar berjalan agak lebar ke arah Molina.
“Sudah saatnya ya? Kalau boleh ingin kupeluk erat Taksuki,” Molina menghujani pipi dengan luh yang tidak ada habis.  “Boleh kusisakan abu ini?”
“Kenangan harus tandas dibuang. Hanya akan mengganggu pikiran. Sudahlah, sekarang tatap masa depan yang kamu impikan Molina,” Iskandar duduk di samping kanan sambil mencungkili biji jagung bakar dengan bumbu balado pedas merah membakar.
Molina menarik napas dalam. “Baiklah. Mari kita larungkan ke tengah telaga. Taksuki ingin abunya bersama puisi Sarangan yang diimajinasikan gading. Mari pesan kapal.”
Iskandar melambai pada bapak tua yang berlaken hitam.  Mereka berdua duduk berjajar mengarungi Telaga Sarangan. Hujan kabut menutupi pandangan. Sampai di tengah Molina membuka guci bergambar naga warna merah. Sebelum itu dirapalnya doa agar Taksuki bahagia di baka.
Diraupnya segenggam abu. Dan ditabur. Mata Molina tidak bisa terbuka memperhatikan suaminya ditelan telaga. Hanya dirasakan abu Taksuki kasar, berbeda dengan tekstur kemarin.
“Rasanya aneh?” Molina membuka mata dan melihat tangannya berjelaga.“Ini bukan abu Taksuki!” Molina menatap Iskandar yang menyeringai lebar. “Abu Taksuki warnanya putih lembut. Mengapa ini menjadi hitam kemerah-merahan, kasar pula? Kau kemanakan Iskandar?”
“Itu adalah semua buku puisi Taksuki.” Iskandar tidak menatap Molina hanya tangan kirinya meraup abu dan menebar sembarangan.
“Mengapa kau membakarnya? Bukannya kamu sudah janji hanya sampai sini, tidak lebih?” Molina tidak bisa menghentikan rembesan di matanya.
“Mempercepat pembuangan akan menjauhkan kita dari dakwaan hasil otopsi. Aku ingin kau tidak lagi menjadi puisi. Kamu sekarang adalah patungku. Aku tidak ingin kamu mengenang Taksuki sebagai puisi dalam dirimu. Mari kita lihat sinar di timur sebagai cahaya baru kita, Molina,” Iskandar merangkul. Tetapi ditampik Molina.
“Di mana kau buang abu Taksuki?” nada bicara molina agak dikencangkan.
“Biar dia mengalir di Bengawan Solo. Kau ingin mengenangnya sepanjang Bengawan Solo, kan?”
Molina sesenggukan. Guci di tangannya lepas dan meluncur ke dalam telaga. Tangan Molina yang berjelaga dibasuh dengan air Telaga Sarangan. Ditatap wajahnya Iskandar dengan lelehan yang belum juga mampat. Kalau tidak ingat tendangan di dalam perutnya, tentu Molina sudah menceburkan diri ke dalam telaga. Karena mungkin saja terusan Bengawan Solo berujung ke telaga. Molina ingin kembali menjadi puisi Taksuki. ***
 [Yogyakarta, Januari 2013]
Terimakasih Pak Dahlan Iskan untuk Molina dan Tuxuki-nya.




Teguh Affandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Mahasiswa Teknik Elektro UGM. Cerpennya beberapa terbit di Suara Merdeka, Republika, Majalah Sekar, Tabloid Nova, Tabloid Cempaka, Inilah Koran, Majalah Ummi, Majalah Sabili, Majalah Kebudayaan Sagang Riau, Radar Surabaya, dll.

Teater Modern (Sabtu, 6 Juli 2013)




S
ejarah teater modern di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan teater transisi sebelumnya, terutama era Bangsawan dan Dardanella. Teater rakyat kota profesional ini mampu menghidupi seluruh awaknya dengan kekayaan melimpah, terutama para aktris dan aktornya. Dardanella berani menampilkan lakon-lakon dengan masalah sosial yang sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan, kelompok Dardanella masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya sekitaran hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan verbal inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton.
Pada saat yang sama timbul sebuah anggapan miring kepada para pekerja teater. Aktris, aktor, maupun para pekerja teater tidak lebih baik kedudukannya dari seorang pelacur. Dengan berjalannya perkembangan teknologi, teater rakyat kota sedikit-sedikit mulai tergeser dari tempat utama oleh kedatangan film.
Para pengusaha mulai mengintip teknologi film. Keuntungan yang didapat dinilai akan lebih banyak, sementara pengeluaran jauh lebih sedikit. Film tentu membuat teater rakyat kota tergusur jauh dari penontonnya. Walaupun masih ada, kesuksesan yang diraup hanya sebatas di kota kecil. Orang-orang yang dahulu begitu terkenal di dunia teater, berbondong beralih profesi menjadi sineas. Dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun, bisa dibilang teater rakyat sedang mengalami kelelahan. Pementasan memang sesekali masih ada, tetapi kualitasnya bisa dikatakan rendah. Gedung-gedung kesenian pun dikelola seadanya oleh pihak pemerintah saat itu. Kamar rias sudah berubah fungsi menjadi rumah bagi para penjaga gedung.           
Para penggemar teater dari kaum terpelajar bisa mencium kemandekan teater rakyat kota. Usmar Ismail, Djaduk Djajakusuma, Asrul Sani, dan tokoh teater Indonesia lainnya membentuk sebuah akademi bernama Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). ATNI memfokuskan diri pada perkembangan aktor sebagai salah satu elemen penting dalam teater. Fokus ini menjadikan teater Indonesia berada pada jalur teater aktor. Teater aktor adalah teater yang lahir dari kegelisahan pencapaian keaktoran yang selama ini kurang maksimal.
Para punggawa ATNI yakin bahwa salah satu faktor paling penting perkembangan teater di Indonesia adalah perkembangan aktornya. Fokus pada penggemblengan aktor didukung juga dengan kualitas pengajarnya yang kebanyakan sudah merasakan bagaimana perkembangan teater di Eropa. Mereka telah merasakan teater di daerah kelahirannya, begitu kata Asrul Sani.
Dengan sendirinya, standard yang digunakan sebagai pencapaian artistik adalah standard Barat. Buku Richard Bolelavsky dan Konstantin Stanislavsky menjadi buku wajib bagi para calon aktor. Di sisi lain, perkembangan pesat keaktoran membuat perkembangan pengarang naskah drama sedikit mandek. Kekurangan naskah menjadi kendala tersendiri. ATNI konon kesulitan mencari naskah asli bikinan orang Indonesia yang bagus, yang sesuai dengan standard yang mereka tetapkan.            
Untuk menutupi kekurangan naskah, mereka menerjemahkan naskah-naskah luar. Tujuan penerjemahan antara lain untuk memperkenalkan siswa ATNI pada ragam tokoh dan watak manusia yang tidak bisa dikenal lewat naskah drama karya pengarang Indonesia. Selanjutnya, mereka ingin memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keberagaman bentuk teater. Cara seperti itu dipergunakan untuk menumbuhkan kelompok pengarang yang lebih mengerti alat-alat ekspresi yang terdapat dalam seni teater.            
Ikranegara menyebutkan bahwa teater pada masa ini adalah teater nasional yang berpijak pada tiga kata kunci, "realisme", "modern", dan "Barat". Karena tujuan ATNI adalah melahirkan ahli-ahli teater, otomatis garapan pada penontonnya terbengkalai. Mereka lupa bahwa penonton juga merupakan salah satu elemen penting dari teater. Bisa dipastikan pula bahwa setiap pementasan yang mereka lakukan, penonton yang hadir tidak begitu antusias dan terbatas pada kalangan tertentu saja. ***           





Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

SASTRA ITU JAGAD RAYA: SIAPA MAMPU MEMBATASINYA? (Sabtu, 6 Juli 2013)

Oleh : Reny Octaviani


S
atu kritik sastra umum yang disampaikan oleh Rizka Amalia dalam tulisannya yang dimuat di Waspada Minggu (8 Mei 2013) memberikan satu kesan tersendiri bagi saya. Tulisan dengan judul “Mengkritisi Konsep Sastra (Anak) Dani Sukma AS” tanpa sengaja membuat saya menarik-ulurkan logika, kadang luas dan kadang sempit. Pembicaraan perihal konsep sastra tampaknya memang agak sensitif di kalangan mereka yang mengakui dirinya “mengerti” sastra. Ini adalah pengkritisan sengit dalam area membatasi produk sastra.
Sinematografi bukan karya sastra? Sastra dalam bentuk tulisan (puisi, drama, prosa) biasa disebut karya sastra, sedangkan ketika tulisan itu dipertunjukkan atau disuguhkan dengan cara lain maka berubahlah ia menjadi seni sastra. “Karya sastra” dengan “seni sastra” tetap  sastra
Sebagaimana sebuah sinematografi dengan segala hasil visualisasinya pasti berawal dari naskah yang merupakan karya sastra. Bukankah aktivitas visualisasi puisi, dramatisasi puisi, pementasan teater, adalah sesuatu yang sebenarnya juga memuat dan memanfaatkan beberapa unsur dalam sinematografi?
Sastra sendiri merupakan produk kolektif  yang secara mutlak terlahir dari proses dan sejarah yang tidak sederhana. Sastra sebelum berada pada posisi “sebagai tulisan” sejatinya telah melewati rute panjang yang awalnya tidak menjamah “dunia tulis” sama sekali. Sastra lama sendiri, harus berkembang tanpa tulisan. Ia terseret bersama arus jaman hingga pada akhirnya diabadikan dalam bentuk tulisan agar keberadaannya akan terus ada.
Drama juga demikian. Dalam kajian telaah drama yang sempat membahas sejarah drama, di tahun yang tidak diketahui drama sebenarnya telah ada dalam bentuk ritualisasi. Artinya, tidak ada satu alasan pun bagi siapapun yang bisa membatasi sastra harus sampai di mana. Sastra bergerak dari titik nol menjadi sepuluh, pertanyaannya, salahkan kalau sekarang kemungkinan sastra sedang bergerak ke titik yang lebih dari sepuluh?
Juga sangat mengherankan, kalau Rizka Amalia menganggap bahwa antara drama dan teater yang posisinya sebagai karya sastra dan karya pentas dianggap menggeser posisi karya sastra menjadi produk alih wahana. Padahal yang sebenarnya diamati bukanlah soal pergeseran, melainkan bagaimana kesejajaran antara karya sastra dan karya pentas mampu hidup berdampingan dan menjadi satu-kesatuan yang semakin memperkaya sastra.
Tapi, saya kira pembatasan atas segala yang sebenarnya wajar dan sah-sah saja hanya merupakan masa transisi atas kebaharuan yang mungkin saja muncul dalam ranah sastra. Semua hanya membutuhkan satu perwujudan yang orang-orang sebut sebagai “kesepakatan”. Karena selalu saja suara mayoritas menjadi dewa diantara minoritas, meskipun belum tentu mayoritas itu yang paling tepat.
Sama seperti ketika banyak orang mengonsepkan sastra sebagai “tulisan”, orang-orang yang tak membiarkan dirinya berpikir lebih lama pasti akan menjadi pengikut yang penurut atas konsep itu.
Memberikan batas-batas terhadap cara pikir orang lain menurut saya merupakan kegiatan yang mampu melumpuhkan mental, namun parahnya lagi pelaku sendiri bagi saya adalah orang yang sesat pikir, terjebak dalam kedangkalan di depan mata. Di tengah kaum lainnya mencoba memandang sesuatu secara lebih luas, mengutarakan soal isi atas sesuatu itu melalui sebuah manifestasi, maka sesungguhnya keberbedaan dan kekontraan itu akan ada.
Hukum gerak (dialektika) sejatinya tak pernah memungkiri adanya proses perubahan kualitas atas keadaan (yang ada dan belum ada) melalui tesis yang akan bertubrukan dengan antitesis, lalu melebur menjadi sintesis. Begitulah selanjutnya. Begitu juga  “sastra”. ***


Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU Medan


GELANGGANG SAJAK : Alex R. Nainggolan (Sabtu, 6 Juli 2013)


Curam Tubuh

di curam tubuhmu aku berhenti melangkah
menghadapi tikungan yang buram
tumpukan kerikil
setapak yang hilang jejak
lenyap di rimbun dirimu

seperti malam, kuseka semua sedih
bulan mendingin
percakapan patung
luput dihitung

menghitung gugur jam
juga resahmu yang mendadak muram
tak ada yang bisa kurenangi
bundar korneamu
menjelma pematik api
yang terkunci

di curam tubuhmu
denyutku berhenti
cakap merayap
ke segala pengap

aku hanya diam di sini
setiap terjal yang memenggal
tak lengkap membaca arah
entah sampai berapa lama

2011


Kamar

berapa kali aku terbungkus sunyi?
memendam segenap cakap
saat tayangan televisi berisi igau
dan fragmen mendadak payau
meski telah selesai kurapikan tumpukan buku
atau pakaian kotor sekaligus selimut
tapi wajahmu acap kerut
kita kembali berhenti
tenggelam bersama lelah

mungkin perlu kupinjam wangi aroma terapi
sekadar menjemput kerutmu
suapaya luput dari segala carut

2011


Bayangan Hujan

bayangan hujan singgah di retina
dirapalnya sisa doa dan duka kemarau
merebut helai-helai angin yang gelisah
kerumun orang membelah arah
lupa pada pangkal rumah
menyisiri sisa letih
dari lompatan cemas yang dingin

lalu kotapun merebut riuh
lengang dihempas genangan
tiba-tiba rinduku runcing padamu

2011



Tangis Rumah

tangis rumah membasah
ruangan senyap
hanya sayup sinetron di tepi tv
aku mengalungkan ingatan
mengingat batukmu yang rejan di pagi hari

barangkali ada yang mesti diselesaikan
sebelum langkah hari semakin tinggi
dan kenangan menjelma api

2011


Legam

ia telah legam. bahkan ketika kaucoba sandingkan dengan malam. semua kenangan terhapus. menelusup ke setiap bencana. setiap kali engkau sembunyi pada remah marah atau gelisah. tak ada yang bisa disibak, seperti sekejap berlari namun tak pernah tiba di alamat. hanya ada baris ingatan, segala igau merayap ke dalam. ia telah legam. semacam malam.

2011



Suara di Kejauhan

sayup-sayup, merebut malam yang tumbuh. engkau setengah berlari, menghampiri juga memunguti sepi. lalu kalung yang kaukenakan menyala. "ini batu zefir," ucapmu-- keringat di pangkal leher. rapat ke tengah kepala. lalu ada tangis, ledakan, atau lalu lalang kendaraan. hanya kedap yang tak lengkap ditangkap. meski bertahun kaueja, dalam setiap alifmu. yang terus bergema di kejauhan. merebut segala cemas yang sekejap memanas.


2011


Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.


Masjid (Sabtu, 6 Juli 2013)


Cerpen : Nurdiani Latifah


“P
ak, masjid di mana?”   Kamu bertanya pada seorang yang berada di hadapanku. Ia berpakaian rapi, sangat rapi. Bahkan ia terlihat seperti kiai. Tangannya membawa tasbih yang entah berapa banyak tahmid yang ia ucapkan di mulutnya.
            “Itu di sana.Ia menunjuk jempol kirinya ke arah Utara.
            Kamu memerhatikan tangannya yang mengarahkan tempat yang kamu tuju. Matamu melihat langit. Memerhatikan salatlambang yang menandakan masjid.
            Kepalamu membalik. Sepertinya kamu telah menemukan apa yang kamu mau hari ini. Aku mulai menebak apa yang akan kamu lakukan hari ini. Sepertinya kaki kamu akan melangkah sesegera mungkin ke tempat yang kamu tuju. Sangat cepat.
            Ternyata benar apa yang aku duga. Kamu melangkah secepat mungkin menuju apa yang kamu tuju. Jam di tanganku telah menunjukkan pukul 2 siang. Aku ingat kamu, kamu belum menunaikan salat.
            Aku mengikuti kamu di belakangmu. Langkahmu tak sama denganku. Langkahku terasa digusur. Kamu, kenapa sangat cepat? Ah, aku tak bisa mengikutimu.
            “Di mana WC-nya?” Kamu bertanya kepadaku.
            Aku menggelengkan kepala, kuangkat tanganku dua-duanya.
            Matamu menoleh ke segala arah. Sepertinya mencari tempat yang bernama WC. Aku tak mau bertanya apa yang kamu cari.
            “Itu dia!” Kamu menunjuk tempat yang kamu tuju.
            Aku menuju tempat yang sama denganmu. Sayangnya, aku berbeda ruangan denganmu. Aku mengambil air dan aku rasakan hal yang sama denganmu. Kamu mengambil air juga.
            Aku keluar dari tempat itu dan di pertigaan  tempat itu aku menemukanmu dengan wajah yang basah dengan basuhan air. Kamu terlihat sangat tampan dan sangat percaya. Aku mengikutimu dengan membuka tasku. Aku mengambil sebuah tas untuk peralatanku.
            “Bisakah kamu menjadi imamku?” Aku menatap pada wajahmu.
            Tak kusangka kamu mengiyakan permintaanku. Aku mengikuti langkahmu memasuki masjid.
            Kamu menenangkan diriku dengan menjadi imamku tadi. Wajahmu semakin bercahaya saja. Aku menatapmu lama, kamu tak menyadarinya. Kamu sibuk melangkahkan keluar masjid ini.
            Langkahmu dipercepat. Tanganku sibuk memasukkan barang-barangku dengan langkah yang dipercepat.
            “Sepatuku di mana?” Matamu mencari di segala arah.
            Sepatumu hilang sebelah dan itu adalah sepatu favoritmu.
            “Ah, sial!” Kamu menggerutu.
            Aku menepuk pundakmu. Menekan sedikit. Aku berusaha menenangkan dirimu dan kamu berhenti menggerutu. Aku teringat, kamu itu masih mempunyai sepatu di mobil.
            “Sudahlah kita balik saja!” Kakimu melangkah menuju mobil yang kamu parkirkan di lapangan.
            Aku mengikutimu dari belakang. Memercepat langkah kakiku karena aku tak mau ketinggalan kamu.
           
***

            Ini hari kedua perjalananku denganmu di subuh. Semalaman kamu mengemudi dan tidak berhenti. Sementara, aku duduk di bagian belakang. Itupun karena kamu menyuruhku untuk itu agar aku bisa tidur dengan nyenyak di belakang.
            “Sudah bangun?” Kamu menatapku melalui kaca depan yang berada di depan mobil.
            “Sudah!” jawabku mengingkirkan selimut yang menutupi tubuhku.
            “Pukul berapa sekarang?” Aku menatap kamu.
            “Pukul 3 pagi.”
            Mobil yang kamu tumpangi berhenti di pinggir jalan. Aku tahu kamu lelah dengan perjalanan yang kamu lakukan semalan ini. Kamu merebahkan tubuhmu di jok dengan menindih kedua tangan kamu.
            “Ya sudah kamu tidur dulu!”
            Kamu memejam matamu. Aku keluar dari mobil, menghirup dinginnya udara yang ada di luaran mobil. Aku berjalan menyelusuri jalanan, sambil mencari masjid untuk salat subuh.
            Setengah jam aku berkeliling, aku menemukan masjid dan kini aku kembali ke modil. Aku melihat kamu masih tertidur dengan pulas di mobil. Aku melihat jam, setengah 5 adalah waktunya adzan.
            “Bangun!” Aku menepuk-nepuk pundakmu.
            “Ada apa?”
            “Sebentar lagi Adzan. Kamu harus salat!”
            “Sudah mencari masjid?” Kamu menatapku.
            “Sudah.”
            Kamu meregangkan tubuhmu. Urat-uratmu dan tulang belulangmu. Kamu menggeliat seperti cacing.
            “Sudah jam berapa?”
            “Pukul 4.”
            Kamu mengucek matamu, menatap jauh ke depan. entah menerawang apa, yang aku lihat kamu itu masih sangat mengantuk dan matamu masih menginginkan untuk tidur. Kamu membukakan pintu mobil dan keluar dari mobil itu.
            Aku menuju jok belakang dan mengambil mukena dan sajadah yang aku dan kamu butuhkan untuk salat.
            “Di sebelah mana masjidnya?” Kamu menggandeng tanganku.
            Kita berjalan sangat pelan. Pelan. Hingga aku bisa menikmati subuh bersamamu di tengah hembusan angin dan langit yang bertabur bintang.
            “Kamu lihat bintang yang paling bersinar itu?” Kamu menunjuk satu bintang.
            “Iya,” aku mengangguk
            “Di subuh aku persembahkan itu untukmu.
Aku tersipu dengan ucapanmu subuh ini.
            Kamu yang terkenal dengan pria yang kamu dan sangat dingin bisa menggombaliku dengan benda yang aku senangi. Kamu menggenggam tanganku. menatap lurus ke depan seolah kamu tengah tidak sedang menggombaliku.
            Allahu Akbar... Allahu Akbar...
            Adzan subuh terdengar. Kaki kita berdua, dipercepat langkahnya. Aku tengah menjadi kompasmu untuk menunjukkan masjid. Kami berpisah di halaman. Kamu langsung menuju WC pria dan aku menuju WC wanita. Salat subuh telah selesai, kamu menungguiku di halaman dengan berdiri gagahnya.
            “Sepatunya tidak hilang lagi?” Kakiku memakai sandal kesayangan.
            “Tidak!” aku menggelengkan kepalaku.
            “Tapi .... “ Kamu menghentikan pernyataanmu.
            “Tapi apa?” tanyaku balik menatap matamu.
            “Ada yang hilang dalam gerakan salatku.”
            “Apa yang hilang?”
            “Entahlah. apa itu hanya perasaanku saja?”
            Aku mengelus pundakmu.
            “Apa ya?” Kamu menatapku sambil terus memikirkan hal yang hilang.
            “Sudahlah! Kita teruskan saja perjalanan ini.” Aku menuntunmu kembali ke mobil.

***

            Ini hari ketika kami menuju tempat yang kami tuju, yaitu rumahku. Sekarang, jika itu terjadi. dia akan menemui orangtuaku. Katanya, dia akan melamarku. Meminta persetujuan dari orangtuaku.
            Betapa bahagianya aku, dalam beberapa waktu lagi aku akan dipinang oleh pria yang aku puja.
            “Rumahmu masih jauh?” tanyanya menatapku.
            “Sebentar lagi. Sebelum dzuhur kita akan sampai di rumahku.
            Dia mengangguk. Aku menatapnya. Dia begitu gagah dengan peci yang ada di kepalanya. Aku tak pernah membayangkan dia akan menjadi pendampingku nanti. Karena aku tahu, dia hanya manusia dalam khayalanku selama 5 tahun.
            “Kita dhuha dulu,” memberhentikan mobil tepat di pinggir masjid.
            “Kau menjadi imamku?”
            Dia mengangguk.
            Ah, itu hadiah darinya.
            Aku tak melihat nama masjid yang aku pijak ini. Aku langsung masuk ke dalamnya. Kita berpisah di depan. Dia, menuju WC pria dan aku menuju WC wanita.
            Setelah berlama-lama aku di jamban, aku melihatnya sudah berada di hadapanku. dengan sedikit air di wajahnya.
            Itu yang membuat aku terpesona dengannya. air wudlu yang tersisa di wajahnya, menjadi tampak seksi bagiku.
            “Sudah siap?” dia melihatku.
            “Sudah,” aku sudah memakai mukena.
            “Alllahu Akbar,” tangannya mengangkat.
            Aku mengikutinya sebagai imam salatku,”Allahu Akbar.
           
***
            “Wassalamu’alaikum,” ucapnya.
            Aku mengikutinya pula. Tangannya mengangkat. Dia berdoa. Entah apa yang menjadi doanya. Aku tak tahu. Semoga ini tentang kami. Aku mengamini doanya. Sebelumnya, aku pun memanjatkan doa tentang kita. Dia membalikkan tubuhnya. Dia menatapku. Sayangnya, dia belum menjadi suamiku. Aku belum boleh mencium tangannya.
            “Bersiaplah kita akan melanjutkan perjalanan.”
            “Baiklah.
            Satu jam perjalanan. Setelah melihat berbagai sawah.
            “Kita sudah sampai.
            Dia menghentikan mobilnya dan aku keluar dari mobil.
            Di hadapan rumah, ibu sudah menunggu beserta ayah dan kedua adikku.
            “Kau sudah sampai, Nak?” dia mencium tangan ibu. Ibu mengelus kepalanya.
            “Iya, Bu.”
            “Mari masuk!”
            Aku dan dia memasuki rumahku.
            Lama berbincang hingga dia menginap dan mengutarakan keinginannya kepadaku. kedua orangtuaku menyetujui apa yang dia inginkan. Tinggal mencari tanggal baik, itu kata ibuku.
            “Ibu, kita pulang dulu. Esok akan ada pekerjaan yang menanti kita,” dia mencium tangan ibuku.
            Ibu tersenyum dan kembali mengelus kepalanya.
            “Iya, Nak! Hati-hati.
            Ibu memberikan buah tangan kepadaku, untuknya dan untukku.
            Dia menghidupkan mesin dan aku sudah berada di mobilnya.
            “Kita akan pulang.
            “Iya.
            “Aku masih merindukan ibumu.
            “Nanti kita kemari lagi.
            “Iya.
            Lambat laun kita meninggalkan rumahku. saat ini ketika aku berbalik, rumahku telah nampak seperti titik.
            “Pukul berapa sekarang?”
            “Pukul 4.
            “Ah, aku lupa untuk salat,”
            Aku mencari masjid yang kemarin kita salat di sana.
            “Loh? Ke mana masjid itu?” tanyanya.
            Kepalanya celingukan mencari masjid yang saat itu terakhir kita pakai.
            “Bukankah ini daerahnya? Warung itu masih tetap sama di sana!” kamu menunjuknya.
            “Tak usah mencari yang tak ada. Kita cari lagi yang lain, waktu terlalu mahal untuk mencari masjid itu lagi.
            Kamu menuruti apa yang aku ucapkan dan mobil kembali dihidupkan. ***



Nita Nurdiani Putri alias  Nurdiani Latifah tinggal Perum Griya Sukarame Asri Blok C Nomor 6 Rt 05 Rw 16 Desa Ciptaharja Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Lahir di Bandung 2 Juni 1992 saat ini sedang melakukan studi di UIN SGD Bandung S1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan jurusan Fisika. Karyanya terbit dalam sejumlah buku antologi bersama dan pada sejumlag media massa.