Cerpen : Nurdiani Latifah
ak, masjid
di mana?” Kamu
bertanya pada seorang yang berada di hadapanku. Ia
berpakaian rapi, sangat rapi. Bahkan ia terlihat seperti kiai. Tangannya
membawa tasbih yang entah berapa banyak tahmid yang ia ucapkan di mulutnya.
“Itu di sana.”
Ia menunjuk jempol kirinya ke arah Utara.
Kamu memerhatikan tangannya yang
mengarahkan tempat yang kamu tuju. Matamu melihat langit. Memerhatikan salatlambang
yang menandakan masjid.
Kepalamu membalik. Sepertinya kamu
telah menemukan apa yang kamu mau hari ini. Aku mulai
menebak apa yang akan kamu lakukan hari ini. Sepertinya
kaki kamu akan melangkah sesegera mungkin ke tempat yang kamu tuju. Sangat
cepat.
Ternyata benar apa yang aku duga.
Kamu melangkah secepat mungkin menuju apa yang kamu tuju. Jam di tanganku telah
menunjukkan pukul 2 siang. Aku ingat kamu, kamu
belum menunaikan salat.
Aku mengikuti kamu di belakangmu. Langkahmu tak sama denganku.
Langkahku terasa digusur. Kamu, kenapa sangat cepat? Ah, aku tak bisa mengikutimu.
“Di mana
WC-nya?” Kamu bertanya kepadaku.
Aku menggelengkan kepala, kuangkat
tanganku dua-duanya.
Matamu menoleh ke segala arah.
Sepertinya mencari tempat yang bernama WC. Aku
tak mau bertanya apa yang kamu cari.
“Itu dia!” Kamu menunjuk tempat yang
kamu tuju.
Aku menuju tempat yang sama
denganmu. Sayangnya, aku berbeda ruangan denganmu. Aku mengambil air dan aku
rasakan hal yang sama denganmu. Kamu mengambil air juga.
Aku keluar dari tempat itu dan di
pertigaan tempat itu aku menemukanmu
dengan wajah yang basah dengan basuhan air. Kamu terlihat sangat tampan dan
sangat percaya. Aku mengikutimu dengan membuka tasku. Aku mengambil sebuah tas
untuk peralatanku.
“Bisakah kamu menjadi imamku?” Aku
menatap pada wajahmu.
Tak kusangka kamu mengiyakan
permintaanku. Aku mengikuti langkahmu memasuki masjid.
Kamu menenangkan diriku dengan
menjadi imamku tadi. Wajahmu semakin bercahaya saja. Aku menatapmu lama, kamu
tak menyadarinya. Kamu sibuk melangkahkan keluar masjid ini.
Langkahmu dipercepat. Tanganku sibuk
memasukkan barang-barangku dengan langkah yang
dipercepat.
“Sepatuku di mana?”
Matamu mencari di segala arah.
Sepatumu hilang sebelah dan itu
adalah sepatu favoritmu.
“Ah, sial!” Kamu
menggerutu.
Aku menepuk pundakmu. Menekan sedikit.
Aku berusaha menenangkan dirimu dan kamu berhenti menggerutu. Aku teringat,
kamu itu masih mempunyai sepatu di mobil.
“Sudahlah kita balik saja!” Kakimu
melangkah menuju mobil yang kamu parkirkan
di lapangan.
Aku mengikutimu dari belakang. Memercepat
langkah kakiku karena aku tak mau ketinggalan kamu.
***
Ini hari kedua perjalananku
denganmu di subuh. Semalaman kamu mengemudi dan tidak berhenti. Sementara, aku
duduk di bagian belakang. Itupun karena kamu menyuruhku untuk itu agar aku bisa
tidur dengan nyenyak di belakang.
“Sudah bangun?” Kamu menatapku
melalui kaca depan yang berada di depan mobil.
“Sudah!” jawabku
mengingkirkan selimut yang menutupi tubuhku.
“Pukul berapa sekarang?” Aku menatap
kamu.
“Pukul 3 pagi.”
Mobil yang kamu tumpangi berhenti di
pinggir jalan. Aku tahu kamu lelah dengan perjalanan yang kamu lakukan semalan
ini. Kamu merebahkan tubuhmu di jok dengan menindih kedua tangan kamu.
“Ya sudah kamu tidur dulu!”
Kamu memejam matamu. Aku keluar dari
mobil, menghirup dinginnya udara yang ada di luaran mobil. Aku berjalan
menyelusuri jalanan, sambil mencari masjid untuk salat subuh.
Setengah jam aku berkeliling, aku
menemukan masjid dan kini aku kembali ke modil. Aku melihat kamu masih tertidur
dengan pulas di mobil. Aku melihat jam,
setengah 5 adalah waktunya adzan.
“Bangun!” Aku menepuk-nepuk
pundakmu.
“Ada apa?”
“Sebentar lagi Adzan. Kamu harus salat!”
“Sudah mencari masjid?” Kamu
menatapku.
“Sudah.”
Kamu meregangkan tubuhmu. Urat-uratmu
dan tulang belulangmu. Kamu menggeliat seperti cacing.
“Sudah jam berapa?”
“Pukul 4.”
Kamu mengucek matamu, menatap jauh
ke depan. entah menerawang apa, yang aku lihat kamu itu masih sangat mengantuk
dan matamu masih menginginkan untuk tidur. Kamu membukakan pintu mobil dan
keluar dari mobil itu.
Aku menuju jok belakang dan
mengambil mukena dan sajadah yang aku dan kamu butuhkan untuk salat.
“Di sebelah mana masjidnya?” Kamu
menggandeng tanganku.
Kita berjalan sangat pelan. Pelan.
Hingga aku bisa menikmati subuh bersamamu di tengah hembusan angin dan langit
yang bertabur bintang.
“Kamu lihat bintang yang paling
bersinar itu?” Kamu menunjuk satu bintang.
“Iya,” aku mengangguk
“Di subuh aku persembahkan itu
untukmu.”
Aku tersipu dengan ucapanmu subuh ini.
Kamu yang terkenal dengan pria yang
kamu dan sangat dingin bisa menggombaliku dengan benda yang aku senangi. Kamu
menggenggam tanganku. menatap lurus ke depan seolah kamu tengah tidak sedang
menggombaliku.
Allahu
Akbar... Allahu Akbar...
Adzan subuh terdengar. Kaki kita
berdua, dipercepat langkahnya. Aku tengah menjadi kompasmu untuk menunjukkan
masjid. Kami berpisah di halaman. Kamu langsung menuju WC pria dan aku menuju
WC wanita. Salat subuh telah selesai, kamu menungguiku di halaman dengan
berdiri gagahnya.
“Sepatunya tidak hilang lagi?”
Kakiku memakai sandal kesayangan.
“Tidak!” aku menggelengkan kepalaku.
“Tapi .... “ Kamu
menghentikan pernyataanmu.
“Tapi apa?” tanyaku
balik menatap matamu.
“Ada yang hilang dalam gerakan salatku.”
“Apa yang hilang?”
“Entahlah. apa itu hanya perasaanku
saja?”
Aku mengelus pundakmu.
“Apa ya?” Kamu menatapku sambil
terus memikirkan hal yang hilang.
“Sudahlah! Kita teruskan saja
perjalanan ini.” Aku menuntunmu kembali ke mobil.
***
Ini hari ketika kami menuju tempat
yang kami tuju, yaitu rumahku. Sekarang, jika itu terjadi. dia akan menemui
orangtuaku. Katanya, dia akan melamarku. Meminta persetujuan dari orangtuaku.
Betapa bahagianya aku, dalam
beberapa waktu lagi aku akan dipinang oleh pria yang aku puja.
“Rumahmu masih jauh?” tanyanya
menatapku.
“Sebentar lagi. Sebelum
dzuhur kita akan sampai di rumahku.”
Dia mengangguk. Aku menatapnya. Dia
begitu gagah dengan peci yang ada di kepalanya. Aku tak pernah membayangkan dia
akan menjadi pendampingku nanti. Karena aku tahu, dia hanya manusia dalam
khayalanku selama 5 tahun.
“Kita dhuha dulu,” memberhentikan
mobil tepat di pinggir masjid.
“Kau menjadi imamku?”
Dia mengangguk.
Ah, itu hadiah darinya.
Aku tak melihat nama masjid yang aku
pijak ini. Aku langsung masuk ke dalamnya. Kita
berpisah di depan. Dia, menuju WC pria dan aku menuju WC wanita.
Setelah berlama-lama aku di jamban,
aku melihatnya sudah berada di hadapanku. dengan sedikit air di wajahnya.
Itu yang membuat aku terpesona
dengannya. air wudlu yang tersisa di wajahnya, menjadi tampak seksi bagiku.
“Sudah siap?” dia melihatku.
“Sudah,” aku sudah memakai mukena.
“Alllahu Akbar,” tangannya
mengangkat.
Aku mengikutinya sebagai imam salatku,”Allahu
Akbar.”
***
“Wassalamu’alaikum,” ucapnya.
Aku mengikutinya pula. Tangannya
mengangkat. Dia berdoa. Entah apa yang menjadi doanya. Aku tak tahu. Semoga ini
tentang kami. Aku mengamini doanya. Sebelumnya, aku pun memanjatkan doa tentang
kita. Dia membalikkan tubuhnya. Dia
menatapku. Sayangnya, dia belum menjadi suamiku. Aku
belum boleh mencium tangannya.
“Bersiaplah kita akan melanjutkan
perjalanan.”
“Baiklah.”
Satu jam perjalanan.
Setelah melihat berbagai sawah.
“Kita sudah sampai.”
Dia menghentikan mobilnya dan aku
keluar dari mobil.
Di hadapan rumah, ibu sudah menunggu
beserta ayah dan kedua adikku.
“Kau sudah sampai, Nak?” dia mencium
tangan ibu. Ibu mengelus kepalanya.
“Iya, Bu.”
“Mari masuk!”
Aku dan dia memasuki rumahku.
Lama berbincang hingga dia menginap
dan mengutarakan keinginannya kepadaku. kedua orangtuaku menyetujui
apa yang dia inginkan. Tinggal mencari tanggal baik, itu kata ibuku.
“Ibu, kita
pulang dulu. Esok akan ada pekerjaan yang menanti kita,” dia mencium tangan
ibuku.
Ibu tersenyum dan kembali mengelus
kepalanya.
“Iya, Nak! Hati-hati.”
Ibu memberikan
buah tangan kepadaku, untuknya dan untukku.
Dia menghidupkan mesin dan aku sudah
berada di mobilnya.
“Kita akan pulang.”
“Iya.”
“Aku masih merindukan ibumu.”
“Nanti kita kemari lagi.”
“Iya.”
Lambat laun kita meninggalkan
rumahku. saat ini ketika aku berbalik, rumahku telah nampak seperti titik.
“Pukul berapa sekarang?”
“Pukul 4.”
“Ah, aku lupa untuk salat,”
Aku mencari masjid yang kemarin kita
salat di sana.
“Loh? Ke mana
masjid itu?” tanyanya.
Kepalanya celingukan mencari masjid
yang saat itu terakhir kita pakai.
“Bukankah ini daerahnya? Warung itu
masih tetap sama di sana!” kamu menunjuknya.
“Tak usah mencari yang tak ada. Kita
cari lagi yang lain, waktu terlalu mahal untuk mencari masjid itu lagi.”
Kamu menuruti apa yang aku ucapkan
dan mobil kembali dihidupkan. ***
Nita Nurdiani Putri alias Nurdiani Latifah tinggal Perum Griya Sukarame Asri Blok C Nomor 6 Rt 05 Rw 16 Desa Ciptaharja Kecamatan Cipatat Kabupaten
Bandung Barat. Lahir
di Bandung 2 Juni 1992 saat ini sedang
melakukan studi di UIN SGD Bandung S1 Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan jurusan Fisika. Karyanya terbit dalam sejumlah buku antologi bersama dan pada sejumlag
media massa.