Minggu, 30 Juni 2013

Teater Transisi



S
uatu ketika penulis 10 hari berada di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) (lihat foto), bertepatan  membawa grup Teater GENERASI tampil pada Festival Teater Alternatif GKJ Award pada tahun 2003. Gedung itulah yang pada 7 September 1821 adalah sebuah gedung supermegah yang berdiri di Jalan Noordwijk dekat perempatan Jalan Pasar Baru, Batavia. Sekarang bernama Jalan Pasar Baru, Jakarta. 
Konon, hari pembaptisan gedung yang dahulu bernama Schouwburg atau Comediegebouw itu sedianya akan dimeriahkan dengan pementasan Othello karya William Shakespeare dan lakon gembira Penabuh Genderang. Penonton sudah berjajar di depan pintu masuk dengan tertib, setertib kendaraan mereka (kereta kuda) yang telah diparkir di halaman depan gedung.
Sayang, jumlah perempuan yang hadir begitu sedikit, mungkin setara dengan jumlah pribumi yang berhasil menggondol karcis dengan harga selangit, 3 Gulden. Mereka tenggelam oleh para pria besar dari Eropa, khususnya Belanda, Indo-Belanda, dan beberapa saudagar peranakan Cina.           
Di situlah kiranya sebuah puzzle ditemukan dan mungkin menjadi titik pijak terbentuknya kesadaran akan berteater di kalangan pribumi. Pada sebuah gedung yang didirikan kelompok teater amatir Ut Desint. Serpihan sejarah yang pada suatu hari nanti melengkapi sebuah bangunan bernama teater Indonesia. Gedung kebanggaan yang banyak memamerkan naskah-pengarang-pemain-penonton dari Barat. Tempat pribumi terpelajar memahami teater Barat.            
Kemeriahan Schouwburg menggelitik kaum terpelajar pribumi belajar berteater. Mereka mencoba mementaskan karya panggungnya dalam ruang kecil. Pada hari-hari tertentu semisal ulang tahun organisasi yang mereka geluti. Penontonnya pun sebatas teman satu organisasi. Tujuan yang hendak dicapai tidak lain untuk menambah pengetahuan tentang teater, terutama teater yang datang dari Barat.
Mereka hanya belajar dari buku-buku teater yang beredar di Batavia, tanpa tahu bagaimana cara memanggungkannya. Pengetahuan pemanggungannya pun sebatas tontonan atas karya-karya orang Belanda waktu itu. Jelas saja apabila karya-karya panggungnya belum menyamai Teater Barat. Mereka sekadar mengikuti perkembangan teater di Barat yang sedang gandrung pada gaya realisme. Dari bentuk realisme-lah para penggarap teater di Indonesia, khususnya dari kalangan kaum terpelajar, mulai merangkak.           
Sementara itu, di kalangan masyarakat kota kebanyakan, muncul sebuah bentuk teater lain yang orientasinya meraup banyak penonton atau lebih tepatnya meraih banyak keuntungan. Teater jenis ini berkembang semenjak kedatangan kelompok Teater Bangsawan yang berasal dari Penang, Malaysia.
Kelompok teater ini mementaskan lakon yang berasal dari cerita hikayat Melayu, beberapa cerita dari Arab, Hindu, dan Cina. Lakon dimainkan dengan sangat longgar, dialog dikembangkan sendiri oleh para aktornya. Cerita pun hanya berkisah pada tokoh-tokoh yang sudah baku dan stereotip.
Penggunaan idiom-idiom itu membuat Teater Bangsawan diterima di beberapa daerah serumpun Melayu seperti Sumatera, Singapura, dan Malaysia. Mereka juga berhasil menggabungkan bentuk pemanggungan prosenium yang berasal dari Barat dengan cerita yang asli Melayu.            
Kesuksesan Teater Bangsawan tidak berlanjut sampai ke pulau Jawa. Idiom Melayu yang menjadi andalan mereka tidak berterima di Jawa. Kegiatan teater masyarakat kota di Jawa seketika diambil alih oleh Teater Stamboel. Dinamakan stambul karena kelompok ini mengangkat cerita-cerita yang berasal dari kerajaan Arab (Timur Tengah), juga karena pendirinya berkebangsaan Turki.
Mereka mengangkat cerita-cerita Seribu Satu Malam seperti Aladin bersama Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, Siti Sanibar, dan Nur Cahaya. Untuk bentuk pemanggungannya, mereka masih meneruskan tradisi Teater Bangsawan. Mereka mengganti bahasa Melayu Tinggi dengan bahasa Melayu Rendah (Lingua Franca) yang lebih bisa diterima oleh rakyat kota di Jawa.           
 Hadirnya dua kelompok itu menunjukkan bahwa teater rakyat kota merupakan gabungan berbagai asal budaya dan ras. Bisa disimpulkan bahwa kota hasil bentukan Belanda itu sejatinya adalah ibu kandung teater Indonesia.
Tanpa ada definisi kota, mustahil teater atau seni pertunjukan semarak. Terbentuknya kota juga ditandai dengan berbondongnya masyarakat desa memutar haluan dari seorang petani menjadi pencari ekonomi. Dari sekadar mengejar kebutuhan sendiri menjadi keinginan memegang sejumlah uang. Di tengah masyarakat kota seperti inilah tumbuh sebentuk teater gado-gado yang justru mampu meraup begitu banyak penonton. Kiranya dapat dipastikan, di sinilah tempat terciptanya penonton teater Indonesia.            
Teater rakyat kota mengalami perkembangan pesat ketika hadirnya Dardanella. Sebuah kelompok teater profesional yang mampu menghidupi seluruh awaknya dengan kekayaan melimpah, terutama para aktris dan aktornya. Dardanella berani menampilkan lakon-lakon dengan masalah sosial yang sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan, kelompok Dardanella masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya sekitaran hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan verbal inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton. ***







Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Hilangnya Dialek Bali dalam Pementasan Drama “Bila Malam Bertambah Kelam” Teater Bahtera

Oleh : Putri Utami





S
elasa, 11 Februari di Taman Budaya telah di adakan seminar Kritik Sastra yang diadakan oleh mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia. Acara seminar tersebut dibuka dengan penampilan pergelaran teater yang dimainkan oleh anak-anak Bahtera UMSU. Pertunjukan teater ini mengusung tema “Bila Malam Bertambah Kelam” Karya Putu Wijaya.
Awalnya, saya sangat tertarik dengan peran yang mereka mainkan, karena pertunjukan dengan durasi lebih kurang 30 menit ini pastinya mengangkat budaya Bali dari tata busana maupun dialeknya. Selama waktu tersebut pastinya para pemain akan menyuguhkan kebudayaan yang berbau khas Bali, terutama masalah dialek yang digunakan para pemain.
Rasa penasaran saya mengenai dialek yang digunakan dalam prtunjukkan ini menggelitik saya untuk menyaksikan drama teater ini, apakah para pemain dapat memerankan lakon sesuai karakter yang mereka perankan. Karena dalam drama ini mengangkat nilai budaya Bali, sedangkan Bali sendiri mempunyai ciri khas yang sangat melekat dan dapat dengan mudah diketahui salah satu yang sangat khas yaitu dari dialeknya. Sehingga, sayapun antusias dengan pertunjukan teater yang dipersembahkan oleh komunitas BAHTERA ini.
            Pertunjukkan dimulai dari masuknya lakon Gusti Biang, seorang wanita tua yang mungkin dapat dibilang terlalu angkuh bagi wanita seusianya yang renta. Pertama saya menyaksikan cukup meyakinkan, karena pemeran dari Gusti biang sudah sesuai dengan karakternya.
Namun, dari dialek bahasanya tidak saya temui dialek Bali sedikitpun, malah pemeran Gusti Biang masih terlihat dialek Medannya. Mungkin karena sangat cinta Medan jadi dialek Medannya masih kental terdengar. Ada satu adegan yang diucapkan oleh Gusti Biang yang sempat saya kutip yakni “Aku sudah muak lihat mukak mu !” mungkin untuk masyarakat yang menetap di Medan tidak menjadi masalah dengan bahasa tersebut.
Namun alangkah baiknya bahasa tersebut dapat diganti dengan “Tyang sudah Bosan melihat Ragane !” agar sedikit lebih lembut. Karena, tutur bahasa masyarakat Bali itu “halus” tidak “sekeras” tutur bahasa masyarakat Medan.
Lagian juga, karena teater yang dimainkan mengangkat budaya Bali sebaiknya ada sedikitnya para pemain juga menggunakan bahasa Bali, paling tidak mereka menggunakan “Tyang=aku” dan “Ragane=kamu” jadi para penonton seakan-akan memang sedang menyaksikan pertunjukan dari Bali.
            Lebih jelas terlihat lagi pemeran Wayan, dari pertama kali masuk masuk sampai pertunjukkan selesai yang terlihat malah dialek Bataknya. Masih melekat dialek Batak dalam diri pemeran si Wayan. Namun, terlepas dari dialek Batak, saya juga tertarik dengan karakter tokoh Wayan yang dari penampilannya ia adalah seorang lelaki separuh baya yang bungkuk dan bertelanjang dada.
Saya sempat salut melihat yang memerankan Wayan karena ia sangat Total dalam karakternya, sempat saya berpikir ‘apa tidak capek terus-terusan membungkukkan badannya selama pertunjukkan selesai?’ sehingga ia pun tak pernah luput dari perhatian saya. Mungkin karena terlalu capek sekali dia, ada disuatu adegan terakhir mungkin secara tidak sengaja ia menegakkan badannya. Saya hanya berkata pada teman yang duduk disebelah saya “kecapekan dia ya!” tapi saya tetap salut dengan karakter Wayan terlepas dari masalah dialeknya.
            Hal yang sama juga pada tokoh Ratu Ngurah anak lelaki dari Gusti Biang, masalah dialek yang menjadi perhatian saya. tak ada terdengar di telinga saya dialek Bali yang ia ucapkan, malah terkesan pemeran Ngurah tidak konsisten dalam ucapannya, terkadang ia memanggil Gusti Biang dengan sebutan kadang Ibu, kadang Emak.
Lagi-lagi pertunjukan ini terbentur dengan masalah dialek. Tiga karakter yang masuk ke panggung tak ada satupun yang terlihat dialek Balinya. Ada satu pemain yang memainkan tokoh Nyoman.
Dari keempat pemain hanya pemeran tokoh Nyoman yang menurut saya sesuai karakter yang dimainkan, walaupun suaranya terkadang tidak terdengar sampai ke ujung bangku penonton. Namun  dialek Bali terlihat dalam setiap ucapannya, ditambah lagi dengan tata busana dia yang menggunakan kebaya ala Bali dengan bunga yang terselip di daun telinganya, menambah nilai plus buat pemeran Nyoman.
Secara keseluruhan pertunjukan teater anak-anak BAHTERA ini sudah berhasil menghibur para penikmat Teater. Terlihat dari kekonyolan lakon Wayan yang sesekali mengundang gelak tawa para penonton. Walaupun saya sendiri bingung dengan ending ceritanya.
Sebagai penikmat teater awam, saya berharap dalam setiap penampilan anak-anak BAHTERA dapat konsisten dalam memerankan setiap lakon, jika cerita yang dimainkan mengangkat kebudayaan masyarakat Bali, seharusnya tampakkanlah ciri khas dari masyarakat Bali.
Jika mengangkat Kebudayaan Batak, seharusnya tampakkanlah ciri khas dari masyarakat Batak tersebut. Sehingga penonton semakin betah lama-lama menyaksikannya, karena walaupun hanya sebatas dialek, tapi itu perlu dalam sebuah pementasan apalagi yang mengangkat tema mengenai suatu kebudayaan. ***



Penulis adalah mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indoneia FKIP UMSU Medan

GELANGGANG SAJAK : Nihayah Rambe, Reka Zulfani, Khusnun Khofifah


Nihayah Rambe :
Menepis hari kemarin

Kusisih resah yang kukubur lama
Saat malamku selalu terjaga
Akan peradaban yang mencekam sukma
Aku terbuai lama

Kemarin biarlah menepis
Akan kusemai subuh nan indah
Bersama doa-doa yang meroda
Panjang bak ilalang

Kemarin berlalu
Hari ini aku maju
Bersama pasungan gemuruh rindu
Yang menunggu.

Aku melagu!
Aku maju!

FLP Medan Feb 2007


Bangunlah

Selimut bertapa
Saat dia berkata
Bangunlah yang berkemul
Berdiri dan berilah
Suara-suara kebaikan;
Nada-nada kebenaran;
Syair-syair yang menjanjikan
Bagi mereka yang bernyawa
Bagi mereka yang berdosa

FLP Medan 2007


Diam mu

Diammu mengagumkan
Menyentuh kencana
Dalam ruang batin
Dalam keheningan jiwa

Diammu itu syurga
Bila tak berkat sia-sia
Bila tak bercerita perkara
Tentang kebohongan semata

Diam itu indah
Bagi dia yang menjaga
Akhlak juga perangainya
Agar terbuka pintu syurga

FLP medan 2007


Reka Zulfani :
Bangkitlah Garudaku


                                       Garuda                                                   Kepakkan sayapmu
                                       Garuda                                                   Gapai mangsamu
                                       Garuda                                                   Tantang langitmu
                                       Garuda                                                   Cengkram lautmu
                                       Garuda                                                   Terbanglah jauh
                                       Garuda                                                   Ingat sarangmu
                                       Garuda                                                   Lihat kawananmu

Tapi
Jangan pergi
Jangan berhenti
Jangan sembunyi
Jangan membelakangi
Jangan tak sehati
Jangan meratap
Jangan berpaling
Karena
Kau Raja
Di negeri ini


            

                                                                                                   SMP 6 Medan,  Maret 2013
                                                                                                    


Khusnun Khofifah :
Indonesiaku


Merah putih benderamu
Burung garuda lambangmu
Bhinneka tunggal ika semboyanmu

Saat pagi datang
Kubuka pintu rumahku
Kulihat mataharimu seakan senyum padaku
Menumbuhkan  semangat mengawali pagi

Pepohonan rindang di hutan
Ribuan ikan di lautan
Padi yang tumbuh di sawah
Memenuhi  tanahmu

Nelayan yang menangkap ikan
Petani yang membajak sawah
Bekerja ikhlas untuk menghidupi keluarga
serta penghuni Indonesia                                                        

Hutan yang ditumbuhi pohon  lebat
Lautan yang luas menghidupi ikan-ikan
Sumber daya alam yang tak terhingga
Membuatmu dibanggakan setiap bangsa



                                                                SMP 6 Medan, Pebruari 2013
                                                               

Setajam Pisau

Aku dan kau adalah sahabat
Tapi itu dulu
Aku dan kau selalu bersama
Itu juga dulu

Kita bersama sejak lama
Sampai akhirnya engkau pergi
Tanpa meninggalkan satu katapun

Saat kau kembali datang
Kau bawa orang yang kau panggil sahabat
Tanpa memedulikanku
Kau bersenang-senang dengannya
Dalam hati terbesit tanya
Inikah yang dulu kupanggil sahabat
Yang dulu selalu bersamaku
Menyimpan kenangan yang begitu indah

Bukan tanpa sebab
Hati ini kehilangan asa
Bahkan ada rasa yang mengendap
Seperti pisau penyebab luka
Menyisakan luka yang begitu terasa



                                                                                        Medan,   Mei    2013




Seketi

 Cerpen : W.N. Rahman


B
ergeming sejenak Sayan di muka keramaian rumah Dirman. Tafakur laki-laki hampir baya itu pada pikuk orang-orang di halaman. Sehingga istri pemilik rumah perlu meneriakkan kembali namanya untuk membawa orang tua itu mendekat.
Dari dalam keranjang yang simpul-simpul anyamannya mencuat mengancam, diraupnya beberapa bungkusan. Sedikit tergesa laki-laki itu saat meletakkan sepuluh tempe pete cina berbungkus daun pisang itu pada meja di beranda, dan tampak tak acuh saat menerima selembar lima ribu yang diangsurkan___tentu saja tempe berbahan pete cina itu tak mungkin dipatoknya lebih mahal dari harga tempe dari kedelai.
Suara melenguh seketika mengembalikan perhatian Sayan ke halaman depan. Lima lelaki di sana rupanya telah berhasil menaikkan seekor sapi gemuk ke bak mobil pick up, yang hampir tak sanggup memuatnya.
Warna bulu sapi yang merah keemasan membuat mata laki-laki itu membulat. Tidak pernah habis pikir dirinya jika di dunia ini ada sapi yang tidak memiliki tanduk dan berbulu, keriting pula, serta tumbuh menjulang melebihi tinggi badannya.
“Mau dibawa ke mana sapi itu?” tanya Sayan pada perempuan di hadapannya.
“Ke tempat Pak Kades. Untuk hajatan besok itu lo, Pak.”
“Oo,” mulutnya membulat, teringat kepada Pak Kades yang menyuruh membantu mengampak kayu, beberapa hari silam. “Gemuk ya sapinya. Sampai hampir tak muat begitu. Pasti dari turunan bagus.”
Mata Sayan masih terpaku pada makhluk merah di atas mobil pick up itu.
“Ya, memang sudah lazimnya begitu kan, Pak? Namanya juga sapi Limosin.” Dahi Sayan berkerut mendengar ada sapi berjenis Limosin, satu-satunya jenis sapi yang pernah dikenalinya, selain sapi Madura, hanyalah sapi Brahman. “Beratnya bisa lebih dari setengah ton.”
“Setengah ton?” Sayan terkejut tak dibuat-buat.
“Yang satu ini malah hampir 900 kilo. Pejantan yang bagus sebenarnya, tapi sudah agak tua. Jadi, ya dilepas saja waktu ditawar sama Pak Kades.”
Berdebar hati Sayan saat hampir menyuarakan sebuah tanya yang melintas dalam benak. Tentang harga sapi Limosin itu, sebelum kemudian sadar dan menjadi takut. Sayan pun mengurungkan niat yang dirasanya konyol.
Bagaimana tidak ketar-ketir laki-laki itu, jika kenyataannya dia hanya seorang penjual tempe pete cina dengan penghasilan tidak seberapa, tetapi sok menanyakan harga sapi? Namun beruntung perempuan di hadapannya itu menyampaikan jawaban atas rasa penasarannya, tanpa perlu ditanya.
“Lagi pula harga sapi sedang bagus. 20.000 rupiah per kilogram hidup.”
Beruntung Sayan tidak menderita penyakit jantung. Tubuh kurus tak berlemak itu memang belum pernah menyulitkannya seumur-umur, kecuali untuk sakit pinggang yang mulai sering dirasakan. Tetapi, tetap saja dia terkejut mendengar keterangan itu.

***

Sayan sudah beberapa belas meter meninggalkan rumah Dirman ketika mesin mobil dinyalakan. Tak berapa lama langkahnya sudah bersalut kepulan debu dan asap yang disisakan mobil pick up, yang menyalipnya di jalanan Seketi yang tak beraspal. Sayan pun batuk-batuk kecil.
Sengat matahari mempertegas jalan orang tua itu. Gontai. Bukan tersebab lelah, tetapi karena dalam benaknya sekarang terngiang kata-kata istri Dirman, “20.000 rupiah per kilogram hidup.”
Dua puluh ribu, nyaris sebesar itulah pendapatan Sayan. Sekalipun jumlah itu tidak didapatnya setiap hari, dan hampir selalu tak bersisa untuk membeli beras, gula, dan bumbu dapur. Belum lagi dia harus rutin memeriksakan penyakit asam urat istrinya, yang sering membuat perempuan itu menitikkan air mata setiap kali kehabisan obat.
Mereka hanya tinggal berdua. Ketiadaan anak membuat keduanya saling bergantung. Kepapaan yang merawat sepanjang hidup tak memungkinkan keduanya untuk sekadar berandai-andai mengangkat anak. Bahkan, membayangkan memiliki ingon-ingon seekor sapi pun menjelma menjadi sesuatu yang membutuhkan nyali.
Lagi pula dari mana Sayan mencari uang untuk membeli anakan sapi, yang katanya mencapai tiga jutaan? Rupiah bukan daun, camnya dalam hati.
Pendapatan dari menjual tempe pete cina, yang selalu disisihkan, pun tidak pernah berhasil memenuhi stoples plastik di atas lemari, yang akhir-akhir ini sering dikosongkan guna keperluan lain. Apalagi ketika tiba masa di mana panen pete cina sedang tidak bagus.
Pohon pete cina tak seberapa jumlahnya di sekitar dusun. Pun jarang berbuah lebat, kecuali pas musim hujan. Padahal dari pohon inilah sumber pendapatan Sayan berasal.
Belum lagi ketidaksinkronan dengan ketersediaan kayu kering pembakaran. Seringnya ada kayu, tetapi tak ada pete cina. Ada pete cina, namun tanpa kayu kering. Jadinya percuma ….
Ah, Oktober sudah hampir berpamitan. Namun mendung belum kunjung menggantung di langit Seketi yang kerontang. Padahal sudah waktunya Sayan memeriksakan istrinya, yang makin sering meringis menahan sakit, dan membayar hutang beras di warung.
Setidaknya di waktu hujan turun, dia bisa ikut memburuh di sawah yang mau tandur. Menambah penghasilannya untuk beberapa bulan hingga kemarau kembali menjerang pohon-pohon pete cina, dan ingatannya tentang sapi jenis Limosin.
Sayan memeriksa keranjang anyamnya. Masih tersisa delapan bungkus tempe pete cina di situ. Tidak jauh di depan beberapa ibu-ibu tengah berkumpul di beranda sebuah rumah. Dengan harapan membuncah laki-laki itu mendekat, sambil membayangkan dagangannya mendatangkan keuntungan berlipat. Cukup untuk membeli sapi …. ***


Blitar, 20 Februari 2013-16 April 2013 4:35 AM

Catatan:
Ingon-ingon     : binatang peliharaan berupa ternak.


W. N. Rahman aktif di kelompok sastra Writing Revolution Indonesia. Cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media.








Minggu, 23 Juni 2013

Teater dan Pencerdasan Bangsa





K
EMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baru saja menggelar Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Medan. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan kementerian tersebut di bidang seni siswa. Di antara banyak kegiatan, teater  merupakan favorit saya, yang berlangsung 18-19 Juni 2013 di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Di tempat sama, sepekan sebelumnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara mengadakan Parade Teater Bahtera.
Pertumbuhan teater di sekolah dan perguruan tinggi berdampak terhadap kuantitas dan kualitas penonton. Ternyata bukan hanya anak sekolah yang mengunjungi pertunjukan teater, keluarganya pun turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang setelah menamatkan studi, melanjutkan sekolahnya pada perguruan tinggi-perguruan tinggi seni di Padangpanjang maupun di pulau Jawa.
Perkembangan positif sebagaimana digambarkan di atas, semoga tidak membuat pelaku-pelaku teater larut dalam utopia. Sebab, pembinaan teater tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada sekarang, jelas merupakan akumulasi banyak faktor.
Sebut saja peran pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga, masyarakat, media massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan adalah peran dari insan-insan pelaku teater itu sendiri, yang ditunjukkan lewat performa, perilaku, dan unjuk karya.
Dengan pemahaman seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua pihak, terutama antarpelaku seni teater, mutlak terus dilakukan. Muara dari upaya tersebut adalah percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik keberadaan organisasi maupun hasil karya pementasan.
Keseimbangan antara dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya kesadaran dalam masyarakat tentang arti penting teater dalam dinamika sosial, yang bukan hanya sebagai sarana penghibur semata, melainkan sekaligus sebagai media pendidikan. Di sisi lain, teater juga tumbuh dengan kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat, membaca tanda-tanda zaman, untuk kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan mendalam yang selanjutnya diwujudkan dalam pementasan karya teater.
Dengan demikian, tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam benak dan hati masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga bahwa teater dalam arti keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial. Reposisi terhadap kedudukan dan fungsi teater dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara bijak.
Betapa tidak, stigma buruk yang melekat pada teater, ternyata masih terlacak pada benak orang banyak. Ambil contoh ungkapan: “Ah, itu kan cuma sandiwara!” Lantas, ketika seseorang yang sukses dikerjai rekannya akan mengatakan: “Busyet, akting Ente bagus!”
Ketika tidak terima dengan keputusan pengadilan, pihak-pihak yang merasa dirugikan berteriak lantang: “Jangan jadikan sidang pengadilan yang terhormat ini sebagai panggung sandiwara!”
Ketika terjadi kasus nyata penculikan, orang akan mengatakan peristiwa tersebut sebagai : “Drama Penculikan”. Bahkan, terhadap fenomena aneh tapi nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu tetap pede-nya figur-figur pemimpin masa lalu membuat rumah politik alias partai politik, padahal yang bersangkutan nyata-nyata pernah tersangkut hukum, orang yang mengaku dirinya tidak gemar politik praktis pun bisa dengan enteng mengatakan : “Ah, itu kan cuma sandiwara politik...”
Stigma buruk tersebut tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Caranya, tidak lain dengan mengusung teater ke bangku sekolah. Wah, teater bisa sekolah? Tentu saja. Seni teater ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum.
Ada berupa paket pembelajaran yang bisa dilakukan. Di antaranya melalui kegiatan ekstrakurikuler ataupun pengembangan diri. Ada pula langsung menjadi mata pelajaran sendiri, yakni Seni Budaya (Seni Teater). Bahkan, ada pula yang kedua-duanya, mata pelajaran dan ekstrakurikuler, seperti pernah ada di SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang ataupun SMA Harapan 1 Medan, SMA Harapan 2 Medan, SMA Negeri 3 Medan, dan SMK Negeri 8 Medan.
Keberadaan studi teater di sekolah ini bisa saja dijadikan embrio untuk pembentukan sanggar teater sekolah. Selain hal itu bertujuan untuk mengembangkan dunia teater di daerah setempat, studi teater ini dapat sebagai tempat menyalurkan bakat dan minat siswa-siswa di sekolah.
Teater sekolah, selain sebagai media penyaluran minat bakat siswa, serta sebagai kawah Chandradimuka pembentukan kepribadian (Character Buildings), proses latihan teater yang kompleks, nyata-nyata selaras dengan Taksonomi Blooms.
Simak saja contoh-contoh dalam latihan-latihan dasar yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan Kognitif, mulai dari reading, menghafal naskah, dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis pemeranan.
Berkenaan dengan kemampuan Afektif, mulai dari prev, olah rasa, kontemplasi, observasi dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita dalam naskah.
Demikian pula halnya kemampuan Psikomotorik, mulai dari pemanasan, olah tubuh, olah vokal, mimik, pose, gesture, pantomim, moving, grouping dan lain sebagainya sampai kepada blocking pementasan.
Sementara itu, dari sisi produksi, kemampuan menejerial, kerjasama tim, beserta lika-liku penyelenggaraan pementasan, adalah laboratorium lengkap bagi pengembangan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan intelektual siswa.***







Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Malam Bertambah Malam, Replika Kehidupan TKW

Oleh  : Eva Juliyanti


S
eminar Kritik Sastra dan Parade Teater Bahtra  UMSU di adakan di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) bekerja sama dengan Teater Generasi. Seminar ini diadakan untuk memenuhi mata kuliah kritik sastra yang digawangi oleh dosen sekaligus sastrawan ternama di Medan bahkan di Indonesia, Suyadi San. Selain itu, seminar dan parade teater ini juga bertujuan untuk membangkitkan kembali teater Bahtera UMSU.
            Acara yang diselenggarakan pada hari Selasa, 11 Juni 2013 bertempat di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera berjalan dengan meriah. Hal ini ditandai dengan banyaknya antusias penonton yang berbondong-bondong untuk menghadiri acara tersebut khususnya para mahasiswa UMSU Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah kritik sastra .
 Acara itu lebih meriah karena mendatangkan sastrawan-sastrawan hebat yang dimiliki kota Medan. Salah satunya sebagai pemateri dalam acara seminar tersebut yaitu Damiri Mahmud. Damiri Mahmud merupakan sastrawan juga kritikus yang sangat hebat, beliau sangat menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia.
Hal ini dikatakan  pada seminar tersebut, bahwa dalam mengkritik atau membuat karya sastra hendaknya kita menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan tidak menganut pandangan dunia barat. Dan dalam seminar tersbut ia menyatakan tidak sependapat dengan Sutardji Colzum Bahri yang tidak percaya dengan kata-kata.
Selain Damiri Mahmud, ada lima pemakalah untuk mengisi seminar tersebut. Kelima pemakalah tersebut merupakan mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU yang mengikuti mata kuliah Kritik Sastra, sudah melewati seleksi tentunya. Kalau Damiri Mahmud mengangkat tentang keadaan sastra, beda halnya dengan kelima makalah ini.
Masing-masing pemakalah memiliki tema yang berkaitan dengan sastra. Novita Sari Dewi membedah novel Jus Alpukat karya Win RG dengan pendekatan mimetis, Alfian Azhari membahas tentang drama,  Rizalul Ghoibi membedah kumpulan cerpen karya Wahyu Wiji Astuti dengan pendekatan feminisme, Eva Juliyanti membedah kumpulan puisi Ria Ristiana Dewi dengan pendekatan feminism dan Latifah Harahap membahas Satrawan Sebagai “Tuhan” .
Selain pemakalah tersebut, para pemain drama pada acara tersebut juga mahasiswa UMSU yang tegabung dalam BAHTRA. Dalam acara itu menamilkan empat drama, diantaranya Malam Bertambah Malam, Perbedaan itu Indah, Mak Erot dan Siti Rabiah.
Penampilan drama sangat menambah kemeriahan dalam acara tersebut. Pada penampilan pembuka penonton disuguhi dengan penampilan drama Malam Bertambah Malam  dengan sutradara Juliana Zulfikar. Drama tersebut sangat bagus dan menarik karena dapat membius penonton untuk menyaksikan dan ikut merasakan drama tersebut. Dan saya sangat tertarik dengan penampilan drama ini.
Drama dengan sutradara Juliana Zulfikar yang mengasuh naskah dari Putu Wijaya berceritakan tentang kehidupan di Bali. Namun di sisi lain drama tersebut menggambarkan tentang kehidupan yang terjadi oleh para TKW atau pembantu  rumah tangga yang sering mendapatkan siksaan.
Dalam satra ada paham feminisme (perempuan) di antaranya terdapat citra pilar (profesi). Jika dilihar dilihar dari citra ini  perempuan sangat lemah kedudukannya  yang berprofesikan sebagai TKW khususnya pembantu rumah tangga.
Siksaan Sebagai Santapan

            Pada saat ini citra penyiksaan melekat erat dengan para TKW yang merantau ke negeri orang untuk mencari uang khususnya bekerja sebagai pembantu Rumah Tangga. Ini seolah-olah perempuan tidak ada harganya dan perempuan sebagai tempat pelampiasan hawa nafsu semata.
            Cita pilar mengungkapkan tentang pekerjaan perempuan. Sebagaimana dimahfumi, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki dunia kerja. Pertama, untuk memnuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi peremuan yang belum bekerja.
            Kedua, untuk membantu suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan Ketiga,  sebagai tulang punggung atau penopang hidup bagi keluarga dan anak-anaknya jika sudah tidak mempunyai suami (Singgle Perents). Dengan itulah perempuan ingin bekerja, namun perempuan mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan saat bekerja.
            Dalam adegan drama Malam Bertambah Malam si Gusti Biang  ini sebagai majikan yang kejam, suka menuduh (fitnah), tidak mengharagai orang lain, dan perhitungan terhadap pekerjanya yaitu si Nyoman. Nyoman selama bekerja mendapat siksaan, hinaan dan lain sebagainya.
            Hal itu terlihat saat ia akan diusir Gusti Biang. Ironisnya, sebelum diusir ia harus mendengarkan caci maki yang terlontar dari Gusti Biang yang begitu mengiris-iris hatinya. Bukan saja cacian yang ia terima, tapi perhitungan segala sesuatu pemberian Gusti Biang yang harus dibayar oleh Nyoman.
            Nyoman mendapatkan pembelaan dari si Wayan namun tidak juga dapat meluluhkan hati Gusti Biang, si Wayan mengatakan bahwa si Nyoman adalah wanita yang dicintai putranya si Mula. Mendengar cerita itu semakin menambah kekesalan Gusti Biang dan tak mengurungkan niatnya untuk tetap mengusir Nyoman.
            Jelas sudah drama tersebut mencerminkan kehidupan TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Badan disetrika, tubuh disiram dengan alcohol, tubuh dipukul dengan benda tajam, tidak diupah, dihukum mati bahkan diperkosa.  Miris melihat semua ini perempuan dianggap sampah dan barang lemah yang bisa saja diperlakukan dengan seenaknya.
            Jika dilihat perempuan dapat memajukan perekonomian Negara khusunya para TKW dapat menambah devisa Negara secara otomatis akan menambah pendapatan Negara. Walau sudah begitu pemerintah tak dapat berbuat banyak. Pemerintah seakan-akan melihat dengan wajah dungu melihat warganya diperlakukan demikian.
            Pada bulan April 2013, seorang TKW asal Surabaya yang bekerja di Oman pulang ke tanah air dengan membawa oleh-oleh sekantong air mata. Air mata itu mengalir deras saat ia ditanyak oleh orang yang menemukannya di sudut tempat parker terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Perempuan itu berinisila F, ia tidak berani pulang kampong karena ia sedang mengandung anak majikannya.
            Kasus di atas salah satu peristiwa yang dialami oleh para TKW, kehidupan yang terancam, kebahagiaan pun jauh digapai. Semoga saja pemerintah memperhatikan para TKW kita baik yang bekerja di tanah air maupun di negeri orang. ***



Penulis adalah Mahasiswa UMSU Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

GELANGGANG SAJAK : Lauh Sutan Kusnandar


Ketika Menuju Mataram

Kutampung wangi tubuhmu dalam genggaman, saat busanamu berjatuhan dalam radius kota. Kau telanjang kepagian. Tubuhmu digerakkan keadaan, saat kita tak mampu berkenalan dengan perasaan yang sama
Pada sketsa jarak kita, suhu tubuhmu terasa sempurna. Sepertinya kau akan selalu bertandang di setiap luasan sunyiku, berkabar tentang jarak yang tak mungkin aku tempuh. Kau tak begitu berbagi, selain sedikit saja dari tubuhmu yang berantakan
Aku ingin menjauh hingga ke tepi puisi, tapi simfoni mutakhirmu makin menggeliat di pasir pantaiku. Betapa manusiaku mendilema. Setiap perjamuanmu, hanya menumbuk luka-lukaku. Seperti podium-podium di republik ini, kau hanya mengulang-ulang trauma yang sama, sedang aku tak selamanya bisa menunggu
Kau tak pernah memahami, aku yang selalu ingin menampung kenangan kita, menyelamatkannya dari sebuah akhir yang hampa, meski ia layaknya jejak burung terbang: ada tapi tak membekas


Kilasan Jejak

Mengingatmu lebih dalam dan berulang-ulang, hanya menjadikan aku penimba airmata dari jurang-jurang waktu. Kesendirian yang agung, mematahkan sayap-sayap yang pernah aku kepakkan dari tubuhmu.

Sunyi termaktub di dalam diri. Ada yang berguguran dari dalam manusiaku, seperti reruntuhan waktu yang membaiat luka. Sandaran lekang. Pijakan melayang. Kabar-kabar yang kau kirim dalam hening dan gaduh, hanya beraroma luka yang makin menua

Di sepanjang jalan yang menggerakkan sekumpulan gelisah, aku tak mampu lagi menggenggam ledakan hari-hariku, aku tak lagi bisa menampung setiap kehadiran yang penuh debar. Aku rebah ke dalam diri, seperti lelehan lilin yang lebih setia menemani malam-malammu

27 Mei 2012


Sekotong

Manusiaku menggaduh dalam sujud-sujud panjang
Segaduh diksiku mengemban luka-luka

Manusiaku menggaduh dalam sujud-sujud panjang
Menerima sungsang tubuhmu di perhentian doa-doa

Sekotong, betapa engkau mata air airmataku

Ketika pangkuanmu begitu jauh dari padang-padang sunyi
Ketika romansa agungmu terpaksa disetubuhi luka-luka pribumi

Ada darah berkecipak menggetarkan usia

Sekotong, kita tak pernah menggubah rindu, bahkan sesayat perih kita tak pernah sama, karena di reruntuhan tahun-tahun ini, kita mengusung keranda yang berbeda

Dan ketika orang-orang menyatukan gelisah, dengan segala usus membelit peradaban, gedoran demi gedoran menggerakkan manusianya hingga ke batas nisan, sedang tangismu membadai siang malam

Tak ada percakapan di atas meja makan, orang-orang memeras hati diam-diam

Betapa lubang-lubang amukmu kehilangan arah, sisa tubuhmu tinggal membarah, dan di bongkaran jantungmu, orang-orang kehilangan doa

Sekotong, untukmu ada yang mengganda

Sekotong, betapa engkau mata air airmataku


Orgasme Perjalanan

Ketika keinginanku berserakan di padang-padang terbuka, langkahku makin mendiami diamnya sendiri yang kehabisan dendam. Dan aku hanya menggamang perlahan, manusiaku membanjiri gelisah dunia, sedang berbilah-bilah kemarau berkabar ke dalam sunyi usia
Betapa setiap keadaan mesti prematur, dan jalanan habis mengganda di reruntuhan waktu
Memang, terlalu angkuh beban dunia di mata sendiri, terlebih besukannya begitu jangkung, hingga luka di dalam diri menjadi palung dari segala muara
Aku berdarah di peradaban ini, dan aku hanya mampu mengabadikan cecapan yang batal, sedang doa-doaku sendiri mengendap dalam didihan airmata dunia
Aku menanggung penghabisan di jalan sendiri, ketika keretakan-keretakan menggetarkan perihnya pencarian, ketika kehilangan-kehilanganku makin tak tertahan, sedang aku hanya sendiri merapikan diri
Dan di genggamanku yang banyak membunuh, betapa ngilunya puncak dari tampungan segala nyeri ini

Lombok Barat, 22 Mei 2011




Lauh Sutan Kusnandar, lahir di Lombok Barat, NTB, 9 Januari 1988. Karya-karyanya telah terbit dalam 15 antologi bersama, dan 13 judul lagi yang akan terbit. Juga pernah dimuat di beberapa media.