S
|
uatu ketika penulis 10 hari berada di Gedung
Kesenian Jakarta (GKJ) (lihat foto),
bertepatan membawa grup Teater GENERASI
tampil pada Festival Teater Alternatif GKJ Award pada tahun 2003. Gedung itulah
yang pada 7 September 1821 adalah sebuah gedung supermegah yang berdiri di
Jalan Noordwijk dekat perempatan Jalan Pasar Baru, Batavia. Sekarang bernama
Jalan Pasar Baru, Jakarta.
Konon, hari pembaptisan gedung yang dahulu
bernama Schouwburg
atau Comediegebouw
itu sedianya akan dimeriahkan dengan pementasan Othello karya William Shakespeare dan lakon
gembira Penabuh Genderang.
Penonton sudah berjajar di depan pintu masuk dengan tertib, setertib kendaraan
mereka (kereta kuda) yang telah diparkir di halaman depan gedung.
Sayang, jumlah perempuan yang hadir begitu
sedikit, mungkin setara dengan jumlah pribumi yang berhasil menggondol karcis
dengan harga selangit, 3 Gulden. Mereka tenggelam oleh para pria besar dari Eropa, khususnya Belanda,
Indo-Belanda, dan beberapa saudagar peranakan
Cina.
Di situlah kiranya sebuah puzzle ditemukan dan mungkin
menjadi titik pijak terbentuknya kesadaran akan berteater di kalangan pribumi.
Pada sebuah gedung yang didirikan kelompok teater amatir Ut Desint. Serpihan sejarah
yang pada suatu hari nanti melengkapi sebuah bangunan bernama teater Indonesia.
Gedung kebanggaan yang banyak
memamerkan naskah-pengarang-pemain-penonton dari Barat. Tempat pribumi
terpelajar memahami teater Barat.
Kemeriahan Schouwburg
menggelitik kaum terpelajar pribumi belajar berteater. Mereka mencoba
mementaskan karya panggungnya dalam ruang kecil. Pada hari-hari tertentu
semisal ulang tahun organisasi yang mereka geluti. Penontonnya pun sebatas
teman satu organisasi. Tujuan yang hendak dicapai tidak lain untuk menambah
pengetahuan tentang teater, terutama teater yang datang dari Barat.
Mereka hanya belajar dari buku-buku teater yang
beredar di Batavia, tanpa tahu bagaimana cara memanggungkannya. Pengetahuan
pemanggungannya pun sebatas tontonan atas karya-karya orang Belanda waktu itu.
Jelas saja apabila karya-karya panggungnya belum menyamai Teater Barat. Mereka
sekadar mengikuti perkembangan teater di Barat yang sedang gandrung pada gaya
realisme. Dari bentuk realisme-lah para penggarap teater di Indonesia,
khususnya dari kalangan kaum terpelajar, mulai
merangkak.
Sementara itu, di kalangan masyarakat kota
kebanyakan, muncul sebuah bentuk teater lain yang orientasinya meraup banyak
penonton atau lebih tepatnya meraih banyak keuntungan. Teater jenis ini
berkembang semenjak kedatangan kelompok Teater Bangsawan yang berasal dari
Penang, Malaysia.
Kelompok teater ini mementaskan lakon yang
berasal dari cerita hikayat Melayu, beberapa cerita dari Arab, Hindu, dan Cina.
Lakon dimainkan dengan sangat longgar, dialog dikembangkan sendiri oleh para
aktornya. Cerita pun hanya berkisah pada tokoh-tokoh yang sudah baku dan
stereotip.
Penggunaan idiom-idiom itu membuat Teater
Bangsawan diterima di beberapa daerah serumpun Melayu seperti Sumatera,
Singapura, dan Malaysia. Mereka juga berhasil menggabungkan bentuk pemanggungan
prosenium yang berasal dari Barat dengan cerita yang asli
Melayu.
Kesuksesan Teater Bangsawan tidak berlanjut
sampai ke pulau Jawa. Idiom Melayu yang menjadi andalan mereka tidak berterima
di Jawa. Kegiatan teater masyarakat kota di Jawa seketika diambil alih oleh
Teater Stamboel. Dinamakan stambul
karena kelompok ini mengangkat cerita-cerita yang berasal dari kerajaan Arab (Timur
Tengah), juga karena pendirinya berkebangsaan Turki.
Mereka mengangkat cerita-cerita Seribu Satu Malam
seperti Aladin bersama Lampu
Wasiat, Ali Baba
dengan Empat Puluh Penyamun, Siti
Sanibar, dan Nur
Cahaya. Untuk bentuk pemanggungannya, mereka masih meneruskan
tradisi Teater Bangsawan. Mereka mengganti bahasa Melayu Tinggi dengan bahasa
Melayu Rendah (Lingua Franca)
yang lebih bisa diterima oleh rakyat kota di
Jawa.
Hadirnya
dua kelompok itu menunjukkan bahwa teater rakyat kota merupakan gabungan
berbagai asal budaya dan ras. Bisa disimpulkan bahwa kota hasil bentukan
Belanda itu sejatinya adalah ibu kandung teater Indonesia.
Tanpa ada definisi kota, mustahil teater atau
seni pertunjukan semarak. Terbentuknya kota juga ditandai dengan berbondongnya
masyarakat desa memutar haluan dari seorang petani menjadi pencari ekonomi.
Dari sekadar mengejar kebutuhan sendiri menjadi keinginan memegang sejumlah
uang. Di tengah masyarakat kota seperti inilah tumbuh sebentuk teater gado-gado
yang justru mampu meraup begitu banyak penonton. Kiranya dapat dipastikan, di
sinilah tempat terciptanya penonton teater
Indonesia.
Teater rakyat kota mengalami perkembangan pesat
ketika hadirnya Dardanella. Sebuah kelompok teater profesional yang mampu
menghidupi seluruh awaknya dengan kekayaan melimpah, terutama para aktris dan
aktornya. Dardanella berani menampilkan lakon-lakon dengan masalah sosial yang
sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan, kelompok Dardanella
masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya sekitaran
hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan verbal
inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton. ***
|