Minggu, 28 April 2013

CORONG : Apa Kabar, KIM?




S
ELASA malam lalu (22/4/2013) Televisi Republik Indonesia (TVRI) menayangkan Konser Nusantara Sebudaya Serumpun. Konser ini merupakan rekaman. Secara langsung, saya menyaksikannya di Istana Budaya Kualalumpur, Malaysia, Kamis (7/3/2013). Kehadiran saya pada acara itu sebagai tamu dari Indonesia atas undangan Kementerian Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan (KPKK) Malaysia.
Selama di Malaysia, saya diperlihatkan bagaimana peran dan fungsi Komuniti 1Malaysia (K1M). Di Indonesia, dikenal dengan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM). K1M dahulunya bernama Komuniti Bestari yang dibentuk atas gagasan Y.B. Dato’ Seri Dr. Rais Yatim, Menteri Penerangan Malaysia pada 19 Desember 2010 di Dataran Jubli Emas, Limbang, Sarawak. Pembentukannya selaras dengan Gagasan 1Malaysia yang diinisiasi Y.A.B. Dato’ Sri Mohd. Najib Tun Hj. Abd. Razak, Perdana Menteri Malaysia Keenam.
K1M di Malaysia merupakan ujung lidahnya warga dan pemerintahan Malaysia. Sebagaimana dimahfumi, pemerintah Malaysia punyha motto luar biasa, yakni “Janji Ditepati”. Untuk menepati janji-janji semasa kampanye itu, mereka menggunakan K1M sebagai telangkai. Maka, apapun yang dibutuhkan warga, terutama pada sektor usaha kecil, menengah, dan kebudayaan, langsung terpenuhi.
K1M dapat mengeksekusi langsung apa yang dibutuhkan warga. Tidak hanya sebagai penyambung lidah, sekaligus eksekutor dan jembatan keperluan berbagai jenis usaha ekonomi kecil maupun budaya. Tak ayal, kami rombongan dari Indonesia dan Brunei Darussalam dijamu dengan hanagat oleh K1M-K1M yang kami kunjungi.
Bagaimana di Indonesia? Setahu saya, pemerintah Indonesia masih setengah hati memanfaatkan KIM. Jika KIM ini berada di pedesaan maupun kelurahan, maka ribuan KIM menyebar di Indonesia. Ada yang berasal dari kelompok tani, nelayan, perkebunan, seni budaya, dan sebagainya. Namun keberadaannya masih sebatas seremonial. Pemerintah kurang memberdayakannya dengan baik.
Sebagaimana dimaklumi, reformasi seharusnya mendorong perubahan ketatanegaraan dan pola hubungan kemasyarakatan yang semakin menghendaki transparansi dan demokratis.  Hal ini ditandai dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004,  sebagaimana diubah kedua dengan UU Nomor 12 Tahun 2008. UU ini memberikan otonomisasi pengurusan rumah tangga pemerintahan di daerah sesuai dengan potensi dan cultur yang dimilikinya.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. Daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah. Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan  dan  aspirasi  yang  tumbuh  dalam  masyarakat.
Peningkatan pelayanan publik di bidang informasi menjadi bagian penting dari prinsip-prinsip good governance, transpransi, dan demokrasi.  KIM sebagai forum media menjadi wahana untuk pelayanan publik di bidang komunikasi dan informasi tersebut.  Berlangsungnya interaksi dalam proses komunikasi dan desiminasi informasi secara face to face  dalam KIM, memiliki kekuatan sendiri karena senyawa dengan kultur masyarakat, terutama pada masyarakat pedesaan. 
Kekuatan pada komunikasi langsung tersebut, antara komunikator/sumber informasi dengan publiknya karena proses ini memiliki hubungan emosional di antara keduanya, sehingga semua pihak dapat merasakan kondisi psikologis yang ada.  Hal ini karena hubungan komunikator dan audiens diusahakan memenuhi apa yang disebut oleh Everet.M. dengan homophily (kesamaan kondisi), sehingga menumbuhkan  emphaty (kesamaan rasa)  pada kedua belah pihak yang berkomunikasi. 
Keberadaan KIM dalam pemahaman teknologi komunikasi-informasi adalah jaringan komunikasi. Masing-masing pihak memiliki peluang yang sama, baik dalam memproduksi maupun mengakses informasi. Prinsip utama jaringan adalah adanya proses sharinginformasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam sistem jaringan komunikasi.
Dengan adanya UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik semakin mendorong pentingnya kehadiran kelompok-kelompok informasi masyarakat sebagai media pelayanan informasi.  Keberadaan UU KIP mengukuhkan hak warga Negara untuk memeroleh informasi-informasi publik dari badan publik. 
Dengan terbukanya informasi publik yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, akan semakin mendorong pembangunan parsipatif.  Kelompok informasi diharapkan dapat menjadi mediator untuk aksebilitas komunikasi dan informasi kepada badan-badan publik.
Hm, mudah-mudahan Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sumatera Utara maupun yang ada di Kabupaten/Kota dapat melek memberdayakan KIM di willayah kerjanya. Sehingga, KIM bisa menjadi jembatan kebutuhan masyarakat. Amien. ***





Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

ESAI : Puisi Kritik Awal (meng)kritik Sastra



Oleh : Winda Prihartini


K
ritik sastra menurut Andre Harjana merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Dapat dikatakan bahwasanya kritik sastra adalah suatu kegiatan yang sebenarnya sederhana bagi pembacaterutama pembaca ‘peka’.
Apabila seorang pembaca mampu menafsirkan dan memahami suatu karya yang dibacanya, secara tidak langsung sebenarnya ia telah mengkritik sesebuah karya sastra. Meskipun hal itu tidak terungkap secara nyata, malainkan hanya pernyataan lisan dan terkadang itupun hanya berproses pada otak kiri dan dalam hati.
Pada zaman sekarang ini, tidak dapat dimungkiri masyarakat semakin aktif dan peduli terhadap sekitar. Namun, disayangkan sekali dari banyak kalangan yang lebih suka blak-blakan di mana pun dia berada, tidak sedikit juga kalangan yang suka berpendapat bukan pada tempatnya. Memang, proses struktur dalamnya sama yaitu berproses dalam otak kiri, tetapi penyampaiannya belum tentu sesuai dengan prosesnya.
Hal itulah yang sangat disayangkan. Padahal, jika pendapat, komentar, dan penilaian tersebut diaplikasikan pada tujuan yang tepat maka akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Bermanfaat bagi penulis, bagi pembaca bahkan bagi karya sastra itu sendiri.

Puisi Kritik
Sebuah karya yang dapat diberi penilaian atau mendapat kritik yaitu dapat dimulai dari sebuah puisi. Semua orang tahu sebenarnya mengkritik tidak sulit. Namun, tidak semua orang mampu menyampaikan kepekaannya untuk orang lain dan disebarluaskan. Bagi seorang pemula seperti saya, mungkin ada ke’ngerian’an jika mengkritik, sebab kata kritik itu sendiri telah melahirkan anggapan kesadisan. Setelah dihayati, akan labih sadis jika tidak mencoba mengenal dan mendekati si kritik.
Kali ini saya dihadapkan pada sebuah ujian yang diharuskan untuk mengkritik. Saya sebut ini kesempatan. ‘Biarlah’ buah karya Lastri Bako ada di hadapan saya dan harus dapat terlahir sebuah kritik dari puisi tersebut. Lastri Bako merupakan salah satu anggota dari organisasi kepenulisan di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU).
Dalam karyanya, ia mencoba mencurahkan kegelisahan dan kegundahannya pada seorang ayah. Dia benar-benar menjadi seorang anak yang membuat saya berpikir apa sebenarnya gambaran sifatnya dalam puisi tersebut. Seorang anak egoiskah atau seorang anak yang terlalu sayang kepada ayahnya sehingga tidak ingin menyusahkan ayahnya.

....
Jangan pikirkan aku, Ayah
Ada nyamuk yang menjagaku di sini
Ada bunga yang siap menunggu
Ada cicak yang siap mengomentari
Setiap jerit hatiku

Jangan tanyakan kenapa...aku malam ini, Ayah
Nanti, jika aku sudah lelah
Dengan kesendirianku
Aku akan masuk
Saat ini biarlah.....aku seperti ini
Agar hatiku bisa cair
Dari kebekuan dunia.

Itulah penggalan puisi yang membuat saya bimbang. Ya, tetapi kembali kepada penilaian serta penafsiran tiap-tiap individu terhadap sebuah karya.
            Namun, di sini jelasnya karena puisi ‘Biarlah’ ini saya menarik kesimpulan yang berbeda mengenai kritik. Ini dapat dikatakan langkah pertama saya dekat dengan kritik. Jika dekat berarti sudah mengenal sehingga kesadisan itu berubah jadi keinginan. Lalu, biarlah pendapat mengudara terbang ke tempat yang selayaknya. Tidak hanya berproses lalu berlalu begitu saja. Sebab pendapat, penilaian serta komentar tetap harus diberikan dan tersampaikan meski tidak dibayar.
            Pendapat dan sebuah pernyataan di sini yaitu disampaikan melalui media tulis. Mungkin ada sebagian orang yang merasa dirinya tidak pintar menulis. Itu sangat salah besar, seseorang merasa tidak pintar karena ia tidak pernah mencoba untuk belajar. Apabila secara teratur kita menuangkan apa yang kita rasakan menjadi sebuah tulisan, maka hasil dari tulisan tersebut dalam beberapa waktu dengan aktivitas menulis yang rutin maka akan menghasilkan sesuatu karya yang ‘berhasil’. Berhasil memuaskan diri sendiri dan orang lain.
            Tertulis di majalah Horison, dalam esai Salim Said, Ke Pulau Jawa Menjadi Seniman ada sebuah pesan yang pesan itu juga memberi motivasi tersendiri kepada saya. Di dalamnya tertulis, W.S. Rendra memberi Nasehat kepada Salim Said “Banyaklah berlatih menulis”. Dari peryataan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang Rendra saja menasihati agar dapat menjadi penulis yang baik, banyaklah berlatih menulis. Kalau tidak pernah berlatih ataupun menulis tetapi tidak teratus dan sesuka hati itu akan sulit mengubah tulisan kita.
            Tidak ada hal yang tidak mungkin. Jika kita dapat membaca dengan baik kenapa kita tidak dapat menulis dengan baik pula? Permasalahannya, sekarang hanya kemauan. Jika kita dapat menciptakan timbulnya suatu kemauan maka sesuatu yang kita inginkan akan dapat kita lakukan. Apapun itu, termasuk juga menulis.
            Dalam menulis, memanglah ada beberapa hal yang patut diperhatiakan penulis pemula seperti saya. Hal yang terpenting yaitu memahami penggunaan kata-kata yang tepat dan mudah dipahami. Untuk meningkatkan penggunaan kata-kata agar lebih baik, banyak membaca adalah salah satu yang harus dilakukan. Dan jangan memakai kata-kata yang sulit dipahami agar maksud dan tujuan kita dapat tersampaikan kepada pembaca.
Karena itulah, mencobalah. Hanya dengan mencoba kita tahu seberapa besar kemampuan kita dengan hasil yang kita dapat. Mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali, itu kata-kata yang selalu terdengar untuk memotivasi. ***



Ranah Kompak –FKIP UMSU, April 2013



Winda Prihartini, lahir di Medan, 28 September 1992. Tinggal di Jalan Paku Gang Siku, Tanah Enam Ratus, Medan Marelan. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara FKIP jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia stambuk 2010. Saat ini bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Medan dan anggota Teater Bahtera FKIP UMSU.

GELANGGANG SAJAK : Dina Syahfitri Lubis, Syahfrizal Sahrun


Dina Syahfitri Lubis :
Mengeja Semburat Pelangi/3

Seberkas pelangi telah kusimpan di kantung hari
Pelangi itu adalah engkau
Yang mengurat warna
Di setiap denyutan nadi
                                                                        Dunia KOMA,21 September 2012


Rebah Hijauku

Di antara ranting senja
Aku membisu
Berharap segar masih menyetubuhiku

Tapi, mengapa kau malah enyah?
Meninggalkanku dengan noktahmu
Menggantung harap di dinding nirwana

Akankah aku seperti pungguk merindu rembulan
Hingga ajal meminangku dengan egomu
                                                                        Dunia KOMA,21 September 2012




Berlayar Di antara Pasang

Sayang, maukah kau menjadi buih di tengah lautan?
Buih yang hanya pasrah
Ketika gelomabang pasang dan membawamu pergi
Yang tak akan menyisakan tangis di antara gerimis

Selamat tinggal!
Sudah waktunya layarku terkembang
                                                                        Dunia KOMA, 21 September 2012



Dina Syahfitri Lubis lahir di Medan 6 Mei 1991, alamat Jalan Pertahanan Patumbak Dusun VI, Deliserdang. Saat ini kuliah di Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia serta bergiat dalam Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya ( KOMA)




Syafrizal Sahrun :
DETIK YANG ERAT BERJABAT
Kepada Nura

sepuluh bulan lalu
aku datang mengetuk
segenggam kubawa
pada hati yang meronta

sebelum tengah malam
aku hampiri kau
segenggam itu kutawarkan
aku pun merunduk pulang

jangan tanya mengapa
karena kau tahu sebab mengapa

lewat tengah malam
aku dengar kabar kau terima tawaranku berlayar
adakah tanda tanya dibalik bahagia
jika itu kutemu tanpa sia

30 hari lalu resmi kau peluk aku
dan aku genggam erat jemarimu
kitapun ranum pada tangkai yang menjulang


DI DEPAN CERMIN

Di depan cermin
Sesali itu bersendawa

Di depan cermin
Kau mengupat dan menggugat

Di depan cermin
Kau remuk foto impian
Lalu kau inginkan waktu hanya sekian

Kau ingin melangkah menuju pintu
Tapi kakimu tak mampu

Kau mencoba menuju jendela
Tapi jendela telah menjelma tirai batu

Oh, rindu yang kelu tak jua lalu
Oh, rindu yang lalu kini jadi belenggu

Dalam senyapmu
Angin asing masuk dari lubang pintu
Pelanpelan lalu menyergap
Memekapmu dan akhirnya memaksa
Untuk katakan tidak
Tidak untuk yang tidak

Dan di depan cermin
Kau angkat muka
Kau busungkan dada
Lalu cermin itu memantulkan rupa
Yang kau rindu saban masa

Percut, 27 April 2012


MERIANG

dingin kaku tubuh siapa
matanya malam tak kerdip syarat petanda
bersimpuh tangan baring turun dari dada
seolah anak tak pandai baca
dadanya liang pohon kamboja
pelindung terik, penangkis hujan
sedangkan bunga teman bersenda
ada tangis
ada senda
lantas inikah kepergian
atau sekedar awal kedatangan

Percut, 2012
KAKTUS UISU



Syafrizal Sahrun. Lahir di Desa Percut/04 November1986. Beralamat di Jl. H.M. Harun No.163 Dusun II Desa Percut Kec. Percut Sei Tuan  Kab. Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara – 20371. Aktif menulis puisi dan esai sastra di beberapa Koran lokal : Analisa, Mimbar Umum, Medan Bisnis dan Wapada. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU, sekarang tengah menjalani Program S2 di Pascasarjana UMN.