MENGASAH
KEPRIBADIAN BERSASTRA DI DARUL AMAN
anyak penulis berpikir bahwa menulis adalah
pekerjaan gampang. Hanya tinggal menghidupkan komputer, membuka microsoft word, kemudian menuliskan
ide-ide segar yang ada dalam pikiran. Terutama bagi penulis yang yang bergiat
dalam ranah sastra. Menulis dengan wawasan sastra inilah yang disebut kemudian
dengan nama: pengarang. Pengarang sastra. Baik bergenre puisi, cerpen, bahkan
novel sekalipun. Namun, di balik itu semua tahukah seorang penulis akan wawasan
mengenai tulisannya?
Demikian yang dikemukakan oleh
Arie A. Nasution ketika Omong-Omong Sastra di Darul Aman beberapa waktu yang
lalu (17/2/13). Bersama Muharrina Harahap, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra.
Senada dengan Arie,
Muharrina juga mempersoalkan bagaimana
proses kreatif Mahasiswa dalam bersastra. Persoalan Wawasan dalam bersastra
menjadi pembicaraan yang asyik ketika kita masuk ke dalam wilayah pemahamannya.
Hal ini mengingatkan saya tentang pembahasan sastra oleh Lustantini Septiningsih,
yang mengatakan bagaimana pentingnya sastra sebagai media mengoptimalkan
pembentukan karakter bangsa.
Mahasiswa (sastra) sebagai bagian
dari masyarakat adalah ujung tombak ke depan bagaimana sastra ini
tersosialisasi, sekaligus memiliki kemampuan sebagai pembawa pesan bagaimana
sastra mampu membentuk karakter bangsa menjadi lebih baik.
Sikap hidup
pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan
terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan
anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia.
Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati,
arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern.
Masyarakat sangat mudah
tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan
hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan atau
rumah, merusak gedung, serta berkata kasar, dalam berunjuk rasa yang
ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya
karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi
mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat,
situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa,
khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak,
terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban
tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan
kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu
kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan
mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan
dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada
pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran
sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah
satu media atau sarana pendidikan kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab
sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan
kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri
(psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta
(romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak
hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana
atau sumber pembentukan karakter bangsa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623)
menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Karakter
merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter juga merupakan cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186)
mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk
karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1)
literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius-
sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan
peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.
Genre sastra yang mengandung nilai
literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan,
kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh segala unsur yang
terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis Jawa Kuno, genre sastra
yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan (Zoetmulder, 1985).
Karya sastra klasik atau karya sastra yang
menjadi sastra kanon (belle lettres) mengandung nilai literer-estetis.
Misalnya, puisi Taufiq Ismail (2008a) yang terkumpul dalam Mengakar ke Bumi
Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 1953—2008 mengandung nilai literer-estetis
dengan seperangkat peranti puitis (diksi, rima, alur, gaya, majas, tema, dan
amanat) yang terpadu secara baik.
Dengan nilai literer-estetis yang termuat dalam
sastra kanon tersebut, diharapkan karakter bangsa yang terbentuk adalah insan
Indonesia yang memiliki rasa keindahan, ketampanan, dan keanggunan dalam
berpikir, berkata, dan berperilaku sehari-hari.
Genre sastra yang mengandung nilai humanistis
adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan
martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam
menghadapi berbagai masalah. Kisah klasik Ramayana dan Mahabarata, misalnya,
menyajikan berbagai pengalaman hidup manusia, seperti tragedi, maut, cinta,
harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang
transendental.
Nilai kemanusiaan yang begitu tinggi dalam karya
sastra klasik tersebut sering ditulis ulang (direproduksi) oleh penulis
kemudian. Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab
Omong Kosong karya Seno Gumira Aji Darma (2004) ditulis berdasarkan kisah
Ramayana yang penuh nilai kemanusiaan tersebut. Kehadiran karya sastra semacam
itu diharapkan dapat membentuk kearifan budaya bangsa Indonesia yang memiliki
rasa perikemanusiaan yang adil, beradab, dan bermartabat.
Genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral
dalam karya sastra mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan
bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta bagaimana seharusnya
kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah sejak dahulu karya sastra
diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan moral,
misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama
(Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito), sudah dianggap sebagai
penyimpan dan perawat norma etis dan moral yang ideal bagi masyarakat. Simpanan
dan rawatan norma etis dan moral tersebut dapat dijadikan wahana pembentukan
karakter bangsa yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan
bertindak sehari-hari.
Sastra religius-sufistis-profetis adalah genre
sastra yang menyajikan pengalaman spiritual dan transendental. Genre sastra
yang demikian itu telah lama ada sehingga Mangunwijaya (1982) menyatakan bahwa
pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya
digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan,
kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan yang Maha Esa.
Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan
kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama ditulis dalam karya sastra para
sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, Al Halaj, Amir Hamzah, Abdul
Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto. Taufiq Ismail (2008b) dalam
bukunya, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 Himpunan Lirik Lagu 1972—2008,
telah menulis ratusan sajak religius-sufistis-profetis, termasuk 23 balada para
nabi dan rasul, yang dinyanyikan oleh Bimbo, Haddad Alwi, Armand Maulana, Gita
Gutawa, dan Chrisye. Kehadiran sastra tersebut dapat membentuk karakter bangsa
Indonesia sebagai insan yang religius, penuh rasa berbakti, beriman, dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadikan sastra sebagai pembentukan
karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud. Untuk mengoptimalkan
peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat menentukan keberhasilan.
Apabila apresiator tidak memiliki kemauan, segan membaca dan mengapresiasi
karya sastra, bahkan sekadar membaca dan setelah itu dilupakan, tentu sulit
diharapkan sastra mampu secara optimal berperan membentuk karakter bangsa.
Sebaliknya, apabila ada kemauan yang teguh dari
seorang apresiator untuk berapresiasi secara total dan optimal, setelah sastra
dibaca, lalu dipahami maknanya, dimengerti, dan selanjutnya dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari, tentu karakter bangsa akan terbentuk sesuai dengan nilai
kebajikan yang termuat dalam sastra. Karakter bangsa yang diharapkan terbentuk
adalah terjalinnya harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, makhluk
lain, dan dirinya sendiri. ***