Minggu, 24 Februari 2013

CORONG : Suyadi San



PLURALISME KEAGAMAAN


K
ehidupan keagamaan di Indonesia sesungguhnya saling berdampingan satu sama lain. Semuanya terpelihara berkat adanya jaminan dari negara melalui Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai fundamen mendasar kewarganegaraan Indonesia. Karenanya, semua agama dan aliran kepercayaan di Indonesia tetap tumbuh subur bersamaan dengan semangat religiositas dan realitas sosial keagamaan para pemeluknya.
UUD 45 itu ternyata sangat ampuh menepis dugaan bahwa Indonesia adalah negara Islam atau negara agama. Dalam penafsiran pasal 29 UUD 45 itu, negara menjamin penduduk untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing.  
            Dalam konteks kewarganegaraan, kedudukan agama di Indonesia memang sangat unik.  Hal ini bisa dilihat dari doktrin Pancasila yang juga mengatur kehidupan keagamaan. Pancasila dan UUD 45 menjadi sumber kewarganegaraan Indonesia dan sebagai identitas nasional setiap warga negara Indonesia.
Pancasila dan UUD 45 itulah yang mengatur kehidupan keagamaan di Indonesia, bukan sebaliknya – sebagaimana dipercayai nenek moyang bahwa religi rakyat dan religi kerakyatan itu merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan keadaan, ciri khas, dan adat istiadat masyarakat setempat.
Pluralisme keagamaan yang dijamin Pancasila dan UUD 45 merupakan pergeseran realitas objektif agama nenek moyang yang semula dianut penduduk di Indonesia. 
Pertanyaannya kemudian, di mana peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas sosial?  Di Indonesia yang menganut sistem pluralisme agama, artikulasi dan eksternalisasi keberagamaan seseorang dan masyarakat tentu saja beragam.
Dimensi-dimensi utama dari sikap keberagamaan itu, antara lain, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Karena dimensi ini begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang menjadi konsensus mereka.
Lihat saja, masyarakat Indonesia ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan simbol salib dan sejenisnya, adalah fenomena yang gampang ditemukan di mana-mana di Indonesia.
            Kedua, perilaku keberagamaan yang paling dasar selalu bersifat pribadi. Apakah kepercayaan seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit diketahui secara pasti oleh orang lain.
Dalam analisis strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam. Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agar diterima oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok.
Lihat saja, sebagian masyarakat Indonesia terpaksa mencantumkan agamanya Islam atau Kristen, meski ia menganut kepercayaan Kejawen dan sejenisnya ataupun Permalin (Batak), agama asli nenek moyangnya.           
            Ketiga, agama selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen. 
Dimensi dan ekspresi kultural keagamaan ini memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal, di Jepang dan Cina, juga terdapat bedug, namun tak ada hubungannya dengan masjid.
Masih banyak lagi fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin, pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan sebagainya.
Tak ayal, kelompok-kelompok Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara pernah merasa tersinggung terhadap penerbitan karikatur satu surat kabar harian di Medan karena menyajikan simbol-simbol Islam, seperti sorban, kopiah, pakaian koko, yang dikaitkan dengan tulisan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Di dalam karikatur itu juga dituliskan firman Yesus yang dikutip dari Alkitab dan puasa 40 hari. Tentu saja karikatur itu membuat emosi keagamaan di kalangan Islam meninggi, sebab selain merendahkan martabat orang Islam, juga mempertentangkan Islam dan Kristen. ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

ESAI : M. Raudah Jambak



MENGASAH KEPRIBADIAN BERSASTRA DI DARUL AMAN

 

B
anyak penulis berpikir bahwa menulis adalah pekerjaan gampang. Hanya tinggal menghidupkan komputer, membuka microsoft word, kemudian menuliskan ide-ide segar yang ada dalam pikiran. Terutama bagi penulis yang yang bergiat dalam ranah sastra. Menulis dengan wawasan sastra inilah yang disebut kemudian dengan nama: pengarang. Pengarang sastra. Baik bergenre puisi, cerpen, bahkan novel sekalipun. Namun, di balik itu semua tahukah seorang penulis akan wawasan mengenai tulisannya?
Demikian yang dikemukakan oleh Arie A. Nasution ketika Omong-Omong Sastra di Darul Aman beberapa waktu yang lalu (17/2/13). Bersama Muharrina Harahap, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra.
Senada dengan Arie, Muharrina juga  mempersoalkan bagaimana proses kreatif Mahasiswa dalam bersastra. Persoalan Wawasan dalam bersastra menjadi pembicaraan yang asyik ketika kita masuk ke dalam wilayah pemahamannya. Hal ini mengingatkan saya tentang pembahasan sastra oleh Lustantini Septiningsih, yang mengatakan bagaimana pentingnya sastra sebagai media mengoptimalkan pembentukan karakter bangsa.
Mahasiswa (sastra) sebagai bagian dari masyarakat adalah ujung tombak ke depan bagaimana sastra ini tersosialisasi, sekaligus memiliki kemampuan sebagai pembawa pesan bagaimana sastra mampu membentuk karakter bangsa menjadi lebih baik.   
Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern.
Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar, dalam berunjuk rasa yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber pembentukan karakter bangsa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter juga merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.
Genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan (Zoetmulder, 1985).
Karya sastra klasik atau karya sastra yang menjadi sastra kanon (belle lettres) mengandung nilai literer-estetis. Misalnya, puisi Taufiq Ismail (2008a) yang terkumpul dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 1953—2008 mengandung nilai literer-estetis dengan seperangkat peranti puitis (diksi, rima, alur, gaya, majas, tema, dan amanat) yang terpadu secara baik.
Dengan nilai literer-estetis yang termuat dalam sastra kanon tersebut, diharapkan karakter bangsa yang terbentuk adalah insan Indonesia yang memiliki rasa keindahan, ketampanan, dan keanggunan dalam berpikir, berkata, dan berperilaku sehari-hari.
Genre sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah. Kisah klasik Ramayana dan Mahabarata, misalnya, menyajikan berbagai pengalaman hidup manusia, seperti tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang transendental.
Nilai kemanusiaan yang begitu tinggi dalam karya sastra klasik tersebut sering ditulis ulang (direproduksi) oleh penulis kemudian. Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Aji Darma (2004) ditulis berdasarkan kisah Ramayana yang penuh nilai kemanusiaan tersebut. Kehadiran karya sastra semacam itu diharapkan dapat membentuk kearifan budaya bangsa Indonesia yang memiliki rasa perikemanusiaan yang adil, beradab, dan bermartabat.
Genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan moral, misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama (Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito), sudah dianggap sebagai penyimpan dan perawat norma etis dan moral yang ideal bagi masyarakat. Simpanan dan rawatan norma etis dan moral tersebut dapat dijadikan wahana pembentukan karakter bangsa yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan bertindak sehari-hari.
Sastra religius-sufistis-profetis adalah genre sastra yang menyajikan pengalaman spiritual dan transendental. Genre sastra yang demikian itu telah lama ada sehingga Mangunwijaya (1982) menyatakan bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan yang Maha Esa.
Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, Al Halaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto. Taufiq Ismail (2008b) dalam bukunya, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 Himpunan Lirik Lagu 1972—2008, telah menulis ratusan sajak religius-sufistis-profetis, termasuk 23 balada para nabi dan rasul, yang dinyanyikan oleh Bimbo, Haddad Alwi, Armand Maulana, Gita Gutawa, dan Chrisye. Kehadiran sastra tersebut dapat membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai insan yang religius, penuh rasa berbakti, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud. Untuk mengoptimalkan peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat menentukan keberhasilan. Apabila apresiator tidak memiliki kemauan, segan membaca dan mengapresiasi karya sastra, bahkan sekadar membaca dan setelah itu dilupakan, tentu sulit diharapkan sastra mampu secara optimal berperan membentuk karakter bangsa.
Sebaliknya, apabila ada kemauan yang teguh dari seorang apresiator untuk berapresiasi secara total dan optimal, setelah sastra dibaca, lalu dipahami maknanya, dimengerti, dan selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, tentu karakter bangsa akan terbentuk sesuai dengan nilai kebajikan yang termuat dalam sastra. Karakter bangsa yang diharapkan terbentuk adalah terjalinnya harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, makhluk lain, dan dirinya sendiri. ***

Cerpen : Budi Hatees



PENJARA

 


M
uak kali aku sama orang ini. Lagaknya bukan main. Macam bapaknya saja yang punya dunia ini.  Padahal bapaknya  itu koruptor.  Pastilah itu. Mana ada orang di negeri ini bisa kaya raya dan menguasai semua hal kalau bukan lantaran memanfaatkan jabatannya. Puiih! Muak kali aku.
Kalau saja di negara ini tak ada hukum, sudah aku tonjok hidungnya.  Tak cuma itu, aku juga ingin membuat  tanda biru legam di kelopak matanya. Dia akan sellau mengingat tanda itu sebagi peringatan atas sikapnya yang sombong. Tapi, tidak, ia tidak akan terima aku tonjok.  Ia akan mengadukanku ke polisi, dan ia mengadu sambil memberikan amplop kepada polisi. Dengan senang hati, polisi akan menangkapku. Polisi akan langsung membayangkan bahwa aku bisa menjadi anjungan tunai mandiri. Tiap kali mereka ingin uang, tinggal menggesekku.  Mampuslah aku.

*

Aku tak mau berhubungan lagi dengan polisi.  Terakhir berhubungan dengan aparat itu, uangku ludes  Rp20 juta hanya untuk mencabut perkara yang aku adukan.  Kalau tidak, aku dipenjarakan. Sinting.  Apa boleh buat? Apa yang bisa dilakukan orang miskin macam aku.
Peritiwa itu terjadi belum lama ini.  Ya, karena orang itu juga, orang yang membikin aku muak.  Ia anak seorang pejabat.  Aku mengadukannya ke polisi  karena menabrak skuter tuaku dari belakang  saat aku melintas di jalan raya.
Aku sadar skuterku tidak bisa mengebut,  mesin tuanya acap terbatuk. Oli sering bocor. Sedan BMW yang dibawanya ingin mengubah jalan raya sebagai arena balap.  Berkali-kali ia bunyikan klakson,  aku tidak serta merta member jalan. Aku gugup mendengar suara klakson itu, dan tak tahu di arah mana mobilnya karena kaca spionku tertutup oleh kardus yang aku bawa.  Kardus itu berisi barang yang harus aku kirimkan. Aku bekerja paruh waktu sebagai kurir.
Dan, tiba-tiba BMW itu menabrakku dari belakang. Tubuhku melambung di udara sebelum terjerembab di permukaan aspal.  Untung  ada helem. Aku tergeletak di jalan. Berusaha bangkit dengan kemarahan, melupakan rasa ngilu di tulang belulangku. BMW itu melesat dari sampingku sambil membunyikan klakson, mengebut seperti ditendang setan.  Aku memakinya sambil mengingat angka nomor polisinya.
Tak kuperdulikan luka-luka gores di tubuhku,  langsung melaporkan kasus tabrak lari itu ke polisi. Polisi menerima laporanku,  setelah menyebut aku harus bayar tariff sebesar Rp15.000. Mati aku, uang Rp15.000 itu berharga sekali bagiku. “Kalau tidak ada uang administrasi, tak ada laporan yang dibuat. Tak ada pengaduan, tak ada persoalan hukum,” kata petugas yang menerimaku.
Aku sodorkan Rp15.000. Dua uang tukaran Rp5.000, dan lima uang kertas tukaran Rp1000. Cuma itu uang di kantongku. Aku pun pulang. Skuterku ringsek. Aku terpaksa mendorongnya.
Kardusku penyot. Isinya berhamburan.  Untung bukan barang pecah belah. Tapi, aku harus memikirkan alasan yang logis kepada pemilik kardus agar ia bisa menerima kondisi kardusnya. Sayangnya, alasan yang aku buat tidak bisa diterimanya. “Kau ganti barangku,” katanya. “Kau tak amanah.”
Aku salah, memang, tak bisa menjaga barang yang harus aku antar. Tapi aku tak sengaja. Mestinya pemilik barang itu maklum. Ini kecelakaan. Aku tidak bisa meyakinkannya untuk paham kondisiku. Aku sudah tunjukkan luka lecet di lututku, dan aku bilang masih harus berobat.
“Aku tak mau tahu,” katanya.
Karena tak punya uang,  aku menelepon pemilik perusahaan jasa kurir dan menceritakan soal barang itu. Aku berharap ada kebijaksanaan, setidaknya pemimpin ikut meyakinkan pemilik barang bahwa barangnya baik-baik saja. Tapi, pemilik perusahaan malah menyalahkanku. “Mulai besok kau tak usah bekerja,” katanya.
            Mak jang. Mampuslah aku.

*

Muak kali aku sama orang itu. Anak pejabat itu, ia nyengir kuda ketika kami berpapasan di pintu masuk ke kantor polisi. Ia bersama seorang pria berpakaian parlente. Pria itu punya tatapan mata yang tajam. Serem kali. Berdenyut hatiku ketika pandangan kami bersiborok.
Anak pejabat itu dipanggil  polisi atas pengaduanku dalam kasus tabrak lari, aku juga dipanggil untuk memastikan bahwa dialah orang yang menabrakku. Aku datang terlambat, karena harus jalan kaki. Aku muncul setelah ia selesai diperiksa, dan kami berpapasan di pintu.  Aku tak mengenalnya, ia yang mengenaliku,  lalu mencibir. “Puih! Kau yang mengadukan aku ya?”  Nadanya jelas meremehkanku. “Jangan kau pikir aku akan tinggal diam.” 
            Aku tak mengerti. Pria yang disampingnya menatapku begitu tajam. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bau nafasnya luar biasa, meskipun bau farfumnya menghambur.  “Aku pengacaranya. Kami akan menggugatmu atas tuduhan pencemaran nama baik,” katanya.
            Mak jang, lemah lunglai tulang-belulangku.  Hampir aku terjatuh kalau tidak terdengar suara seseorang memanggilku dari dalam kantor polisi. Rupanya polisi yang menerima pengaduanku. Polisi itu menyuruhku duduk. Aku menurut.  Polisi itu membuka buku besarnya setelah menyingkirkan asbak dari atas meja.
“Kami sudah tindak lanjuti pengaduanmu,” katanya. “Kami sudah panggil pemilik BMW dengan nomor polisi yang kau sebutkan.”
            Hatiku senang. Aku mengangguk, menunggu sampai polisi itu selesai. Tapi, polisi itu tak melanjutkan kalimatnya. Ia memandangiku dengan cara yang aneh. Aku tak mengerti. “Ada apa, Pak?” tanyaku.
            “Kau yakin BMW itu yang menabrakmu?” tanyanya.
            “Ya. Aku yakin.”
            “Bagaimana kau bisa yakin. Bukankah banyak BMW yang seperti itu.”
            “Aku mencatat nomor polisinya. Aku sudh berikan kepada Bapak.”
“Kami sudah memeriksa BMW itu. Tak ada tanda-tanda sedan itu habis menabrak. Setidaknya ada goresan sedikit saja. Ternyata tidak ada.” Polisi itu diam, menatapku dalam-dalam. “Kau yakin BMW itu.”
            “Apa maksud pertanyaan ini?”
            “Kami harus memastikan segala sesuatunya. Kau tahu punya siapa itu?”
            Pertanyaan itu membuat aku tersinggung. Seharusnya aku bilang apa urusan aku mobil itu punya siapa. Tapi aku diam saja. Otakku cepat menangkap pasti ada yang tidak beres. Aku yakin persoalan ini tidak akan selesai.
            “Itu mobil pejabat,” kata polisi. “Kau serius itu mobil yang menabrakmu?”
            “Ya,” kataku, aku coba tetap tenang, meskipun emosiku mulai merambat ke tengkuk. “Aku sangat yakin.”
“Kau punya bukti?” tanyanya.
Kalimat itu membakar emosiku. Aku ingin bilang bahwa pertanyaan itu tak seharusnya diajukan polisi. Aku juga ingin bilang bahwa tugas dan tanggung jawab polisi untuk mencari bukti.  Aku rasakan bibirku gemetar. Aku bangkit dari duduk, hampir memakinya.  Tapi, tidak, pikiran jernihku langsung bekerja, aku diam saja. Seharusnya aku memang memakinya agar panas hatiku bisa reda. Aku malah keluar dari kantor polisi itu. Tak kuperdulikan suara polisi itu memanggil.  Aku terus melangkah. Takut emosiku betul-betul meledak.

*

SEHARI setelah itu, sepucuk surat dari kantor polisi datang. Isinya meminta aku ke kantor polisi sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik atas pengaduan orang itu. Hari itu juga aku harus berada di kantor polisi.
Sinting. Tubuhku gemetar begitu hebat.  Aku marah. Aku rasa sangat wajar bila aku marah. Kemarahan itu akan aku ledakkan di kepala polisi. Aku ingin kepala polisi itu meledak supaya ia tahu soal hokum. Polisi bodoh. Polisi tolol. Aku memaki-maki sepanjang perjalanan dari rumah kontrakanku ke kantor polisi.
Setiba di halaman kantor polisi, aku melihat sedan BMW diparkir. Aku kenali betul mobil itu, mobil yang menabrakku. Aku senang karena berpikir polisi sudah berhasil menangkapnya. Aku percepat langkahku, tak sabar ingin melabrak orang itu.
Begitu aku masuk, kulihat orang itu bersama pria yang sama. Mereka duduk di bangku di hadapan polisi. Polisi yang kemarin juga, duduk sambil merokok. Asap rokok mengepul. Mereka terlihat bercakap-cakap. Sekali-sekali tertawa. Begitu aku masuk, mereka diam. Polisi bangkit dan menyuruhku mengambil kursi, dan duduk di hadapannya.
Orang itu dan pria yang menenaminya mencibir. “Kali ini kau akan mampus,” kata pria itu.
“Kau sudah terima surat panggilan itu?” tanya polisi begitu aku duduk. “Ini Bapak Sangkot, pengacara keluarga Bapak Maradenggan Haholongan. Beliau mengajukan gugatan pencemaran nama baik yang kau lakukan terhadap anak Bapak Maradenggan Haholongan.” Polisi member penjelasan, tapi telingaku tertutup oleh emosi yang membara di dadaku. “Korban Bapak ini…hm, siapa namamu?” tanya polisi kepada orang ini.
“Burju Haholongan.” Suaranya begitu memuakkan.
“Ya, Bapak Burju Haholongan. Kau menuduhnya menabrak skutermu dank au tak punya bukti menuduhnya. Perbuatanmu itu bisa digolongkan mencemarkan nama baik seseorang.”  Polisi diam sebentar, menatapku dengan sorot mata yang meremehkan sambil menyedot rokoknya. “Kau tahu apa hukuman untuk itu?”
Aku diam saja.  Orang ini dan pria yang mendampinginya senyum mengejek. Polisi itu mematikan rokoknya ke asbak. Ia menatapku lebih tajam. Kemudian ia lanjutkan kalimatnya: “Hukumannya penjara dan uang ganti rugi. Tapi, Bapak ini berniat baik, hanya menuntutmu ganti rugi sebesar Rp20 juta. Itu sebagai tanda perdamaian supaya persoalan ini tak sampai ke pengadilan.”
Aku terhenyak.

*


Muak kali aku sama orang ini. Lagaknya bukan main. Macam bapaknya saja yang punya dunia ini.  Padahal bapaknya  itu  koruptor.  Pastilah itu. Mana ada orang di negeri ini bisa kaya raya dan menguasai semua hal kalau bukan lantaran memanfaatkan jabatannya. “Puiih! “
 “Hei, kurang hajar. Kau meludahiku!” Suara itu menyentakkanku. Aku menoleh. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan kulit penuh tatto berdiri di hadapnku. Wajahnya sangar. “Kau baru di sini. Kau meludahiku. Kau sudah tahu apa tugas orang baru.”  Suaranya besar dan berat. “Jangan diam saja. Jangan menunduk! Kau lihat mata aku kalau aku sedang cakap!”
Aku tetap menunduk.  Wajahnya membuatku takut. Semakin ia bicara, semakin ketakutan aku. Tiba-tiba ia menghantam dadaku dengan tinjunya yang besar. Aku dengar suara “krek” pada tulang dadaku. Sakitnya minta ampun. Aku terhuyung-huyung dan membentur jeruji besi. Tanganku menggapai jeruji besi, berusaha menopang tubuhku agar tak jatuh. Pandanganku berkunang-kunang ketika hantaman berikutnya tiba di kepalaku. ***

Sipirok, i-2013