Wanita Itu Seperti Ibu
Cerpen : Nanda Rezeki Anisa
arum
sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku harus menambah kecepatan kereta
untuk bisa sampai di rumah. Apalagi di rumah hari ini ada acara keluarga.
Melihat jalanan yang begitu tidak macet, kutambah
kecepatan laju kereta. Saat kereta itu meleset, dari jauh aku melihat seorang Ibu
menyeberang dengan tiba-tiba. Jelas saja aku panik dan mengerem kereta itu
berhenti tepat seperempat meter dari Ibu itu berdiri.
Rasa
dongkol, marah dan kesal bercampur satu. Biasa, aku paling gampang mengumbarkan
kemarahan pada setiap orang yang sudah membuatku kesal. Tapi kali ini saat aku
lihat dan bermaksud memarahi Ibu itu, aku tak sanggup wajahnya aku jadi
teringat pada Ibu ku yang telah meninggal beberapa bulan yang lalu.
Meski
tak tega memaki Ibu itu, aku yang biasanya sering marah kepada orang yang
membuat aku kesal kini menggantinya dengan menasihati.
“Lain
kali kalau mau menyeberang hati-hati ya, Bu! Lihat dulu kiri dan kanan. Kalau
tadi ketabrak bagaimana?”
“Terima
Kasih, Nak! Maafkan Ibu yang sudah membuat kamu panik, Ibu buru-buru.” Setelah
ia melanjutkan jalannya sambil menenteng satu piring dan satu mangkok kosong. Ibu
itu menuju warung yang terletak tidak begitu jauh dari jalan tadi.
Aku
jadi penasaran apa yang sebenarnya kerjaan Ibu itu. Dugaanku, Ibu ini mungkin
berdagang nasi soto atau jualan siomay. Bisa jadi dia jualan makanan yang
lainnya.
Keinginan
untuk secepat pulang jadi tertunda gara-gara aku mendengar dan melihat
pertengkaran yang terjadi di warung Ibu di tempat Ibu itu masuk. Aku mendengar
jelas suara Ibu tadi yang sepertinya tengah mempertahankan sesuatu.
“Jangan
kau ambil uang itu lagi, Nak! Itu hasil dagang Ibu hari ini. Kalau kamu
mengambilnya, modal untuk berjualan Ibu besok apa ?”.
“Ah,
peduli dengan semua itu! Itu jadi urusan Ibu. Fadhli membutuhkan uang itu.”
Ibu
itu masih berusaha mencegah anak itu menguras uang dalam laci, tapi sia-sia.
Malah yang ada, Ibu itu terdorong jatuh dan anak itu tak menghiraukannya, ia
pergi begitu saja.
Rasa
kemanusiaanku tersentuh saat malihat Ibu itu terjatuh. Cepat-cepat aku
mengampiri dan mengangkatnya bangun.
“Ibu
tidak apa-apa?”
“Tidak,
Nak! Terima kasih. Kamu belum kembali?”
“Belum,
Bu! ‘Aku mendengar pertengkaran Ibu tadi. Itu tadi siapa?”
“Itu
anak Ibu.”
“Kok
tega sekali dia sama Ibu.”
“Ibu
tidak tahu mengapa dia sering membuat Ibu seperti itu. Mungkin pengaruh
lingkungan dan teman pergaulan.” Ibu itu melanjutkan pekerjaan mencuci piring.
Saat sedang mencuci piring ia kedatangan beberapa pelanggan. Ibu itu terpaksa
menghentikan cuci piringnya dan menyiapkan siomay buat pelanggannya.
“Anak
itu namanya siapa ya? Sejak tadi Ibu belum tahu nama kamu.”
“Saya
Ipan, Bu!”
“Nak
Ipan makan siomay dulu ya di warung Ibu yang tidak seberapa ini, sekalian pernyataan
maaf Ibu karena sudah membuat Nak Ipan dangkol, kesal dan marah tadi.”
“Tidak
apa-apa, Bu! Saya mau pulang. Ada acara keluarga di rumah. Lain kali saja saya
singgah dan mampir ke sini. Ini ada sedikit uang untuk mengganti uang yang
diambil anak Ibu tadi, mohon diterima ya, Bu!”
“Lho,
kok kamu memberi Ibu uang? Kamu tak ada berbuat kesalahan apa-apa sama Ibu.”
“Ibu
terima saja uang yang ini!”
“Tidak,
Nak! Ibu tidak boleh terima uang begitu saja tanpa tahu tujuan yang jelas.”
“Jujur
saya prihatin melihat sikap anak Ibu. Lain dari itu, wajah Ibu mengingatkan
saya akan almarhumah Ibu. Dulu saya juga anak yang bandel dan pernah melawan
pada Ibu. Pada saat itu semua kesalahan belum tertebus dan saya belum bisa buat
Ibu tersenyum akan prestasi-prestasi yang saya capai, Ibunda sudah meninggal.
Saya merasa menyesal sekali, Bu! Kalau dunia dapat berputar kembali pada saat
itu saya tidak akan mengecewakan Ibu saya. Maaf, Bu, saya jadi curhat.”
“Jadi
itu alasan kamu tiba-tiba baik sama Ibu?”
“Maaf
jika sikap baik saya buat Ibu tak terkenan dan salah.”
“Tidak
ada yang salah. Ibu merasa heran saja. Tapi….!”
“Ibu
terima saja uang ini ya buat menutupi modal berdagang Ibu.”
“Ibu
akan terima asal kamu juga bersedia mencicipi siomay dan minuman yang ada di
warung ini. Ibu siapkan dulu hidangan buat mereka yang telah menunggu lama.”
Setelah
menghidangkan seluruh pesanan mereka, Ibu itu menyiapkan siomay untuk aku lengkap
dengan secangkir teh manis dingin. Sambil menemani aku makan, sesekali
kusempatkan bertanya tentang usaha siomay yang ia jalani.
Ternyata
usaha Bu Nani sudah cukup lama berjalan dan langganannya lumayan banyak. Ibu
itu juga pernah memekerjakan beberapa orang untuk membantunya. Sayangnya ia
terlalu percaya dan menyerahkan juga urusan keuangan pada mereka. Tanpa
sepengetahuan Bu Nani, seringkali uang yang dibayar pelanggan diam-diam diambil
oleh pegawainya. Saat menghitung hasil penjualan, Ibu Nani merasa rugi. Padahal
perhitungan sebelumnya ia merasa mendapat keuntungan. Karena tangan jahil
pegawainya yang mengambil uang tanpa sepengetahuannya, ia terpaksa lebih
memilih bekerja sendiri. Harapan dia terhadap Fadhli putra satu-satunya juga
sirna karena anak itu lebih senang keluyuran dan tadi telah mengambil paksa
uang hasil berjualannya.
Aku
coba menghibur Ibu itu dan memberikan sedikit solusi yang bisa saja meringankan
dia dalam menjalankan usahanya. Setidaknya ia tidak terlalu repot.
“Jika
Ibu berkenan, saya akan bantu mencarikan orang untuk meringankan pekerjaan Ibu.
Dari segi kejujuran, saya jaminan orang ini bisa dipercaya,”Ujarku berjanji.
“Terima
kasih, nak! Tapi Ibu ragu bisa memberikan gaji yang pantas untuk orang itu.
Apalagi uang Ibu sering diambil secara paksa oleh Fadhli. Andai saja bapak
masih ada mungkin keadaan Fadhli tidak seperti ini.”
Wajah
Ibu Nani menjadi berkaca-kaca. Mungkin teringat dengan suaminya. Dari nada
bicara dan raut wajahnya bisa kutebak suaminya sudah meninggal. Kembali aku
coba menabahkan hati Ibu itu untuk sabar menghadapi kelakuan putranya. Sabar
juga dalam arti berusaha secara perlahan, tapi pasti untuk menyadarkan kelakuan
putranya yang selalu menyusahkan dirinya.
Selesai
melakukan semua itu aku segera permisi pulang. Apalagi petang sudah dating, aku
harus segera tiba di rumah.
Sepanjang
perjalanan, wajah Ibu itu terus hadir dalam ingatanku. Wajah yang amat mirip
dengan wajah Ibunda. Juga perjuangan hidupnya. Aku jadi kepikiran untuk ziarah
ke makam Ibu. Aku besok akan melakukan ziarah. Hitung-hitung melepas kangenku
pada Ibu yang telah beberapa bulan tak kuziarahi.
Tiba
di rumah, suasana sudah ramai, anak-anak Ayah, berserta cucu sekaligus
keponakan telah ramai berkumpul. Hari ini adalah hari ulang tahun Ayah. Aku
jauh-jauh hari telah menyiapkan kado spesial untuk Ayah. Aku berharap kado
spesial dari aku membuat Ayah senang dan bahagia.
Setelah
itu acara tiup lilin dimulai diiringi tepuk tangan serta lagu ulang tahun. Mata
Ayah kelihatannya berkaca-kaca. Melihat foto Ibu yang ada di depannya, setelah
itu Ayah meniup lilin yang melingkar di tengah kue bolu itu. Tepuk tangan pun
mengiringi lilin yang telah ditiup.
Kemudian
setelah ditiup lilin selesai, Ayah menerima salam anak dan keponakannya yang
menyerahkan satu demi satu kado. “Selamat ulang tahun, Ayah. Hanya kado ini
yang bisa Ipan berikan Ayah. Mudah-mudahan Ayah panjang umur, tambah bahagia
dan sehat walafiat. ***